Diana menyusuri jalan dengan langkah berat. Pundaknya condong ke depan seolah sedang memanggul karung berton-ton beban. Matanya sayu dan berkantung, sesekali berkedip kala debu menerpa masuk tanpa ampun.
Pikirannya kacau. Berkecamuk tanpa henti penuh pertanyaan, penuh makian, entah ditujukan untuk siapa. Bram. Nama pria itu kembali menghantui benaknya. Membengkak dalam ruang pikir hingga dada terasa pengap. Tawaran Bram terus memutar di kepalanya bagai kaset rusak. “Sial…” desisnya pelan, “kenapa hidupku sial sekali?” Diana memasuki halaman rumah. Sunyi. Pinggiran jalan yang selalu sepi kini mencekam, hanya dipenuhi semak liar dan tanaman rambat. Matanya sempat melirik ke kiri dan kanan rumah-rumah tetangga tampak rapi, bahkan mewah. Kontras dengan rumah kontrakan reotnya yang lebih menyerupai kandang sapi. Saat membuka pintu, suara tawa kasar meledak menyambut. “Hahaha!!” Diana memejamkan mata cepat. Mengedip berkali-kali menahan perih. Aroma alkohol menyengat hidung, bercampur asap rokok dan keringat lelaki. Ia mendongak. Pandangannya jatuh pada ruang tamu yang penuh botol minuman keras, abu rokok, dan kartu remi berserakan. Matanya membelalak murka. Dengan satu tarikan napas panjang, Diana berteriak. “APA YANG KALIAN LAKUKAN DI RUMAHKU?!” Di tengah ruangan, Reza duduk tenang dengan botol di tangan dan selembar kartu di tangan lainnya. Matanya setengah tertutup, senyum miring menghiasi bibirnya. “Oh... sayang, kamu baru pulang?” ucap Reza santai, seolah tak ada yang salah. Diana menatap suaminya dengan jijik. Tubuh Reza lunglai, wajahnya merah. Jelas ia mabuk. Tiga pria lainnya menoleh ke arah Diana dengan senyum menyeringai. Salah satunya, pria gempal yang kemarin pernah datang ke rumah. Gunadi. “Hey, nona cantik. Kita ketemu lagi, hahaha,” ejek Gunadi. Suaranya serak dan berat. Diana memicingkan mata, napasnya naik turun. “Apa yang kau lakukan di rumahku, hah?!” Gunadi terkekeh. “Tenang aja, sayang. Kita cuma main kecil-kecilan kok. Saling untung dikit.” Ia bangkit, tubuhnya besar dan mengintimidasi. Tangannya hendak menyentuh pipi Diana namun wanita itu dengan sigap menghindar. “Sekali kau menyentuhku, aku akan bunuh kau saat itu juga,” ancam Diana tajam, suaranya dingin seperti belati. Gunadi malah tertawa keras. “Sayang sekali aku gak takut,” katanya santai. Dua anak buahnya Bagas dan Surya ikut tergelak, seperti serigala mencium bau ketakutan. “Masuklah, sayang. Kita pesta bareng,” Gunadi menarik paksa lengan Diana. Wanita itu terhuyung. Ia langsung meronta, memukul dada Gunadi berkali-kali. “LEPAS!! JANGAN SENTUH AKU, BRENGSEK!!” “Wuih, galak. Aku suka nih,” ejek Gunadi, wajahnya semakin menjijikkan. Bagas dan Surya ikut menahan tubuh Diana dari belakang. Lengan-lengan mereka mencengkeram kuat. Diana menjerit sambil menghentakkan kaki, berusaha melawan. “REZA!! TOLONG!! Suruh mereka LEPASIN AKU!” Reza hanya menoleh sekilas. Lalu, kembali fokus pada kartunya. “Aku menang! Hahaha! Lihat nih... uang ku makin banyak!” katanya sambil menumpuk lembaran ratusan ribu di atas meja. Dunia Diana runtuh. Ia menggigit tangan Bagas, menyikut Surya, bahkan menyambar botol kosong dan menghantamkannya ke bahu Gunadi— namun tak berdampak. Pria itu hanya meringis sebentar, lalu tertawa semakin keras. “Lucu banget. Kayak kucing kecil nyakar harimau.” Diana kembali memukul, menendang, menjerit. Namun kekuatannya kalah jauh. Tenaganya cepat habis, sedangkan ketiganya terus menahan dan mempermainkannya. "Lepas... lepasin aku...!” suaranya melemah. Tubuhnya terguncang. Rambutnya acak-acakan. Napasnya berat. Namun tak ada yang peduli. Bahkan Reza. Pria itu sibuk bersandar di kursi dan menghitung uang judi. Diana tak lagi berharap Reza bisa menjadi pria seperti dulu. Ia bahkan tak lagi menuntut cinta. Setidaknya... pria itu bisa menyelamatkannya, melindungi ketika ia hampir dipermainkan oleh Gunadi dan antek-anteknya. Namun lihatlah... Reza malah tertawa, menikmati lembaran uang merah yang tak seberapa nilainya. Suara tawanya lebih menyakitkan dari tamparan apa pun yang pernah Diana terima. Gunadi terbahak puas. Ia merasa menang ketika melihat Diana terdiam, terpojok, dan seolah tak berdaya. Namun... mereka salah. Diana masih bernyawa. Dan ia belum selesai. Dengan sisa tenaga yang ia punya, Diana membungkuk, menekuk lutut, lalu menghantamkan lututnya ke perut Gunadi. Pria tambun itu mengaduh dan terhuyung. Tak berhenti di situ, Diana menyikut wajah Bagas, dan menendang lutut Surya hingga keduanya tersungkur. Ia meraih botol arak dari meja dan dengan sekuat tenaga menghantam tubuh Gunadi hingga botol itu pecah berhamburan. “SIALAN KAU PEREMPUAN JALANG!!” teriak Gunadi, marah besar. Dengan gerakan cepat, tamparan keras melayang menghantam pipi Diana. Tubuhnya terpelanting ke arah meja—kepalanya menghantuk keras tepian kayu hingga bunyi dentuman tajam terdengar. Dunia Diana berputar. Pandangannya kabur. Suara di sekelilingnya mendengung. Tapi rasa sakit di wajah dan kepala jauh kalah dibanding rasa terhina yang merambat di seluruh tubuhnya. Gunadi tak berhenti. Pria itu menghampirinya yang tergeletak di lantai. Dengan kasar, ia menarik seragam Diana menyobek kancing depan satu per satu. “HAHAHA! Lihat ini!” soraknya saat kain itu tersibak, menampakkan dalaman hitam yang membungkus dada Diana yang penuh. Diana hanya bisa menahan napas. Tangannya berusaha menutup tubuhnya yang terbuka, tapi kedua tangan itu gemetar dan lemah. Namun Air mata tak keluar. “lepas... brengsek...” bisiknya nyaris tak terdengar. "Bahkan di kondisimu yang seperti ini kau masih bisa mengumpatiku?" Gunadi tertawa lebih keras, semakin merendahkan. Di belakang, Reza malah bersiul sambil memainkan kartu, seolah ini semua hanya hiburan biasa. Surya dan Bagas ikut tergelak walaupun sesekali mengusap perutnya yang nyeri. Rumah itu tak lagi menjadi rumah. Dindingnya diam. Lantainya dingin. Udara pekat oleh bau arak, asap rokok, dan kehinaan. Tempat itu telah berubah menjadi neraka dunia. Dan Diana adalah korbannya. Gunadi mencengkeram lengan Diana, memaksa wanita itu untuk duduk. Wajah pria itu memerah oleh nafsu dan kemarahan. Rahangnya mengeras. Matanya menatap Diana seolah hendak menelannya hidup-hidup. Namun... dalam mata Diana tak ada rasa takut. Yang ada hanya amarah, harga diri, dan luka yang mendidih dalam diam. Dan semua itu memancing rasa tak terima dalam tubuh Gunadi. Tangan Gunadi mencengkeram dagu Diana. Senyum cabul menghiasi wajahnya saat tangan kecil Diana berusaha menutupi dadanya yang terbuka. "Patuhlah," Ucapnya pelan namun mengancam. "Akan kubuat kau menjerit nikmat di bawah kungkunganku." Kalimat itu seperti racun. masuk ke telinga Diana, merambat hingga ke ulu hati. Lalu tanpa ragu, Gunadi menyambar sisa kain seragam Diana yang menggantung. srekk!! Kain itu terlepas begitu saja. ia lantas menarik paksa jeans lusuh yang masih melekat di tubuh Diana. "LEPAS! JANGAN!!!" jerit Diana sambil menendang, meronta, mencakar sekuat yang ia bisa. Namun Surya dan Bagas sudah menahan kedua kakinya, wajah mereka memerah, Menatap lapar tubuh Diana.Diana menyusuri jalan dengan langkah berat. Pundaknya condong ke depan seolah sedang memanggul karung berton-ton beban. Matanya sayu dan berkantung, sesekali berkedip kala debu menerpa masuk tanpa ampun.Pikirannya kacau. Berkecamuk tanpa henti penuh pertanyaan, penuh makian, entah ditujukan untuk siapa.Bram.Nama pria itu kembali menghantui benaknya. Membengkak dalam ruang pikir hingga dada terasa pengap.Tawaran Bram terus memutar di kepalanya bagai kaset rusak.“Sial…” desisnya pelan, “kenapa hidupku sial sekali?”Diana memasuki halaman rumah. Sunyi. Pinggiran jalan yang selalu sepi kini mencekam, hanya dipenuhi semak liar dan tanaman rambat. Matanya sempat melirik ke kiri dan kanan rumah-rumah tetangga tampak rapi, bahkan mewah.Kontras dengan rumah kontrakan reotnya yang lebih menyerupai kandang sapi.Saat membuka pintu, suara tawa kasar meledak menyambut.“Hahaha!!”Diana memejamkan mata cepat. Mengedip berkali-kali menahan perih. Aroma alkohol menyengat hidung, bercampur asap
Diana kembali ke dalam toko dengan isi kepala yang penuh. Ribuan pertanyaan menggantung di otak membuatnya pening dalam sekejap.Tiba-tiba di datangi seorang pria yang nampak bukan orang sembarangan siapa tak terkejut?Belum lagi pernyataan sekaligus penawaran yang tak masuk akal itu?"Hah..." Hembusan nafas berat kembali keluar dari bibir pucat Diana. Semua itu tak luput dari tatapan Amalia yang sejak tadi melihatnya."Kamu kenapa? Sejak bertemu dengan pria itu kamu terlihat seperti manusia penuh hutang."Diana menoleh, menatap rekan kerja satu-satunya sejak 1 tahun terakhir."Ya...aku sedang di landa hutang dengan nominal yang tak kecil." Jawab Diana setengah berat.Ia menunduk memandangi tumpukan kardus yang berantakan. Isinya bukan sekadar barang dagangan, melainkan simbol beban hidup yang terus menggunung."Kamu serius? Berapa? Siapa tahu aku bisa bantu." Lanjut Amalia lagi dengan penuh perhatian.Diana tersenyum. Tapi bukan senyum senang. Melainkan senyum tipis, sinis, dan menge
Dua jam mengurung diri di kamar, Diana akhirnya memutuskan untuk kembali bekerja.Ia tidak peduli, meski hari ini seharusnya menjadi jatah liburnya. Nyatanya, berada di bawah satu atap dengan Reza justru membuatnya semakin frustasi.Dengan langkah lesu, Diana mengenakan flatshoes miliknya yang sudah kusam dan rusak. Ia lebih memilih kelelahan di tempat kerja daripada harus menatap wajah Reza yang memuakkan."Kamu mau ke mana, Diana?"Diana melirik singkat ke arah Reza yang tampak gelisah duduk di sofa. Pria itu sesekali memutar gelas di tangannya, seolah sedang menyusun kata."Bukannya hari ini kamu libur? Kok pakai seragam itu lagi?"Diana, yang hampir mencapai pintu, menoleh sambil menatapnya sinis."Tentu saja bekerja. Aku butuh uang untuk makan."Tanpa menunggu reaksi Reza, ia langsung melangkah pergi. Tak ada salam, tak ada lambaian tangan, hanya derap langkah berat penuh amarah yang menghentak lantai.Rasa kesalnya terhadap Reza bukan lagi hal sederhana yang terlihat. melainkan
"sejak kapan kamu hutang uang, Mas? Dan buat apa uang itu sebenarnya?" Nada suara Diana tajam, matanya menyorot penuh kemarahan. Di depannya, Reza duduk menunduk di atas sofa yang usang dan robek di beberapa sisi. Kedua tangannya saling menggenggam, dingin oleh rasa takut dan malu. Pria itu tak langsung menjawab. Napasnya tertahan. “Jawab, Mas! Jangan cuma diam aja!” Sentakan Diana membuat bahunya terlonjak. Suaranya bergetar, tapi bukan karena lemah melainkan menahan emosi yang nyaris meledak. Matanya sudah memerah, menahan air mata yang ingin jatuh, bukan karena sedih, tapi karena kecewa. "A-ak… aku hutang… untuk…" "Untuk apa? Mabuk? Judi lagi?" Potong Diana cepat, penuh tuduhan yang tak bisa dibantah. Reza hanya mengangguk. Pelan. Malu. Lemas. Diana mengusap wajahnya kasar. Jari-jarinya mencengkram rambutnya sejenak. “Mas... kamu tuh mikir gak sih? Kita ini hidup udah pas-pasan, makan aja harus utang ke warteg. Tapi kamu malah buat masalah baru?! Buat beban baru?!” “Aku
Pagi kembali datang. Diana terbangun dengan kepala pening dan hati jengkel. Padahal hari ini jatahnya libur, seharusnya bisa dipakai untuk memulihkan tenaga—jiwa dan raga. Tapi alih-alih tenang, suara bising yang menggelegar dari luar malah membuyarkan harapannya.“Sialan... sambutan pagi macam apa ini?” gerutunya sambil meraih daster kusam di gantungan pintu.Langkahnya cepat dan penuh kesal. Saat melewati ruang tamu, ia sempat melirik. Botol-botol minuman keras yang semalam berserakan ternyata sudah lenyap. Pasti Reza yang membereskan. Setidaknya pria itu tahu diri.Ia tak peduli. Saat ini, matanya tajam menyapu pintu depan yang sudah rusak gemboknya. Suara teriakan makin jelas terdengar.“Bayar utangmu, bangsat! susah enam bulan kau tak bayar. Jangan harap kau bisa lari dari kami!”Dahi Diana mengernyit dalam. Itu bukan suara tetangga, rumah mereka ada di ujung gang sempit, dan biasanya tak ada yang berani datang ke situ. Dengan cepat, Diana membuka pintu depan.Matanya langsung b
"Kamu mabuk lagi, Mas?" Nada suara Diana dingin, namun matanya bergetar menahan amarah dan sedih yang terus menumpuk. Ia berdiri mematung di ambang pintu ruang tamu yang remang dan berantakan. Lagi, sambutan ia pulang ke rumah bukanlah senyum manis sang suami, ataupun sekedar pertanyaan 'sayang apakah kamu lelah?' Tidak. Melainkan, botol-botol kosong bergelimpangan di lantai seperti serpihan kehidupan yang tak utuh. Beberapa tumpah, meninggalkan bekas lengket dan bau menusuk. Sisa makanan basi, asbak penuh puntung, dan baju kotor berserakan tanpa ampun di lantai rumah kecil yang semakin terasa pengap. Tangannya refleks menutup hidung. "Ya Tuhan, ini rumah atau tempat sampah, Mas?" Di sofa reyot yang busanya mencuat keluar, Reza terbaring. Kaos putihnya yang lusuh dan penuh jamur melorot dari bahu, celana pendeknya hampir melorot dari pinggang, rambut gondrongnya kusut dan berminyak. Matanya merah, bergerak liar tanpa arah, mulutnya bau alkohol. "Diana... Kamu pulang ya?" Suara