Share

KUGUGAT CERAI SUAMI SAAT DIA MEMILIH POLIGAMI
KUGUGAT CERAI SUAMI SAAT DIA MEMILIH POLIGAMI
Penulis: NawankWulan

BAB 1

"Al, bajuku udah disetrika belum?" tanya Mbak Rani saat aku masih sibuk menjemur baju di belakang. 

"Belum, Mbak. Belum kepegang soalnya, cucian banyak banget. Maaf belum sempat," ucapku cepat sembari menggantungkan beberapa baju yang sudah kucuci. Bukan hanya bajuku dan baju Mas Naufal saja, tapi baju ipar-iparku dan mertua juga. 

"Gimana sih, Al?! Itu baju mau aku pakai sekarang kok malah belum disetrika? Harusnya nyetrika baju dulu, Al. Nyucinya nanti belakangan kalau kita sudah pergi ke hajatan. Kamu kan di rumah beberes." 

Mbak Rani bersungut kesal. Kedua matanya melotot tajam ke arahku yang masih sibuk dengan tumpukan baju setengah kering. 

"Iya, maaf, Mbak. Soalnya ini mumpung cuaca panas, biar lekas kering," balasku lagi. 

"Alasan aja. Baju mama juga sudah ditungguin itu. Buruan, lelet banget sih kaya putri Solo!" 

Buru-buru kuletakkan ember di samping mesin cuci. Mesin yang rusak, hanya pengeringnya saja yang masih jalan. Berulang kali kuminta Mas Naufal memanggil tukang servis tapi sampai sekarang belum dipanggil juga. 

Kadang badan rasanya tak karuan tiap hari mencuci baju segitu banyak tanpa bantuan siapapun. Baju mama mertua, bajuku dan Mas Naufal, baju adik iparku Ratna dan baju keluarga kecil Mbak Rani. Semua aku yang mencuci. Awalnya tak terlalu bermasalah karena ada mesin cuci, tapi akhir-akhir ini masalah pun terjadi setelah mesin cuci rusak dan mereka tak ada yang peduli. 

Mereka benar-benar kompak memperlakukanku seperti babu. Apalagi tiap kali ada acara keluarga, pasti aku tak pernah diajak serta. Sengaja ditinggal di rumah untuk beberes ini dan itu. 

Tiap kali Mas Naufal tanya kenapa aku belum siap-siap, mereka selalu sahut menyahut menyudutkanku. Parahnya, Mas Naufal selalu percaya ucapan mereka sebab mereka lebih banyak sementara aku hanya sendiri. 

Aku tak tahu kenapa keluarga suamiku begitu tega memperlakukanku seperti itu. Awalnya aku begitu bahagia saat dipersunting Mas Naufal. Aku selalu bermimpi memiliki keluarga baru yang hangat dan merasakan kasih sayang seorang ibu, kakak juga adik yang tak pernah kurasakan selama ini. 

Sayangnya semua hancur berantakan sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini. Mereka yang sebelumnya tampak hangat ternyata hanya bersandiwara agar aku mau menikah dengan Mas Naufal hingga mereka bebas menjadikan aku sebagai babu gratisannya. 

Entah mengapa tiga bulan menikah dengan Mas Naufal, hidupku justru nelangsa. Berulang kali kubilang sikap mama, kakak dan adiknya yang tak pernah menganggapku ada, tapi mas Naufal selalu tak percaya. Dia bahkan lebih percaya pada keluarganya dibandingkan pada istrinya sendiri. 

Ingin rasanya pergi, tapi aku tak tahu harus tinggal di mana. Rumah peninggalan ibu sudah kujual untuk melunasi hutang almarhum bapak yang membengkak karena riba. Bahkan Mas Naufal ikut membayar empat juta agar semua hutang benar-benar lunas. 

Mungkin karena itu pula keluarga Mas Naufal seolah begitu berjasa melepaskanku dari jeratan riba, hingga mereka bebas menyuruhku ini dan itu sesuka hati mereka. 

"Alya! Setrika yang bener. Jangan melamun. Itu baju mahal. Memangnya kamu sanggup menggantinya kalau baju itu sampai gosong?" Mama tiba-tiba sudah berdiri di depanku. 

Entah sejak kapan beliau ada di sana. Terlalu fokus membayangkan masa lalu hingga membuatku lupa jika detik ini ada tumpukan baju yang harus kusetrika secepatnya. 

"Iy-- iya, Ma. Maaf," balasku cepat lalu kembali fokus menyetrika satu persatu baju milik mama dan ipar dan keponakanku itu. 

Tak peduli peluh membanjiri pipi. Aku harus segera menyelesaikannya. Barangkali setelah selesai semua, Mas Naufal mau mengajakku ke hajatan itu. Dia yang kini masih di kantor dan baru perjalanan pulang. 

Beberapa menit kemudian, urusan persetrikaan kelar. Aku buru-buru menyambar handuk setelah membaca pesan dari Mas Naufal yang telah terkirim dua puluh menit lalu agar aku segera siap-siap. Baru saja memasuki kamar mandi, mobil Mas Naufal sudah memasuki garasi. Mama, ipar dan keponakanku menyambutnya dengan ceria. 

"Ayo, Fal. Kita sudah telat ini. Acara kumpul keluarga jam empat sore. Harusnya kita sudah sampai sana, ini malah baru mau berangkat," ucap mama sembari menarik lengan Mas Naufal. Aku masih mematung di depan pintu kamar mandi menyaksikan obrolan mereka.

"Alya mana, Ma?" 

"Istrimu itu lelet, bukannya buru-buru mandi malah sibuk mainan handphone. Sudah, biar dia di rumah saja istirahat. Sepertinya dia juga kurang enak badan. Kita berangkat sekarang, malu kalau sampai serombongan telat semua," ucap mama lagi disertai anggukan Mbak Rani dan Ratna.

"Tapi, Ma ...."

"Sudahlah, Fal. Istrimu memang lelet. Sepertinya dia juga nggak niat mau ikut. Biar saja di rumah." 

Beberapa saat kemudian suasana mendadak hening. Sesak ini kembali menjalar. Berulang kali Mas Naufal tak memiliki nyali untuk mematahkan perintah mama dan kakaknya. Menganggap semua ucapan mereka benar tanpa menyelidiki kebenarannya sendiri. 

Entah sampai kapan aku harus bersabar. Tiga bulan tinggal di rumah ini, rasanya seperti setahun. Mungkin jika aku bisa memiliki penghasilan sendiri, mereka tak akan meremehkanku seperti ini. Setidaknya aku bisa mengembalikan uang Mas Naufal yang empat juta itu. 

Aku harus bekerja, tapi di mana? Aku hanya tamatan SMA yang tak memiliki keahlian apa-apa. Jikalaupun bisa bekerja, Mas Naufal tak pernah mengizinkanku bekerja di luar rumah. Setelah selesai mandi, aku mengambil handphone dari atas meja. Mendadak kedua mataku membola melihat pesan dari Nuri di aplikasi biruku. 

Nuri adalah sahabatku sejak SMA. Sudah cukup lama aku tak bertemu dengannya sebab dia pindah ke Bandung bersama neneknya setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan beberapa tahun silam. Meski begitu, aku masih sering berhubungan dengannya via maya. 

|Sesuai janjiku padamu, Al. Setelah enam bulan, aku akan merinci semua pengeluaran dan pendapatan dari usaha laundry kita. Aku akan membagi hasilnya sesuai modal yang kamu titipkan padaku enam bulan lalu ya? Aku sudah transfer sebelas juta ke rekeningmu. Itu bagi hasil untukmu selama enam bulan ini, rinciannya bisa kamu cek sendiri. Mulai sekarang, aku akan transfer bagi hasil kita tiap bulan ya, Al. Kalau kamu mau, kita bisa bekerja sama lagi untuk bikin laundry kedua. InsyaAllah sama-sama menjanjikan sebab di sini memang area kampus dan perkantoran| 

Air mataku menetes seketika saat melihat bukti transfer yang dikirimkan Nuri. Aku cek di mobile banking, uang itu benar-benar sudah masuk ke rekeningku. Aku tak menyangka jika uang empat juta dari hasil menjual perhiasanku enam bulan lalu ternyata menghasilkan keuntungan berlipat. 

Nuri memang pintar berniaga dan wirausaha. Sesuai dengan kuliahnya yang jurusan bisnis. Tak salah aku menitipkan modal itu padanya. Kini, usahanya semakin maju bahkan ingin membuka cabang baru. Dengan uang itu aku bisa mengembalikan uang Mas Naufal dan menambah modal untuk cabang laundry yang baru. 

Lihat saja, setelah ini aku pasti bisa mematahkan keangkuhan mereka semua.

💕💕💕 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
knp ya gak dibuat judul bab. mengurangi semangat baca lho
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kau aja yg tolol mau2nya diperlakukan seperti itu. otakmu g berguna krn terlalu bucin. jd pantasnya tempatmu memang sebagai babu. g usah banyak alasan dan menyalahkan orang. keputusan ada ditangan mu sendiri. memperjuangkan nasibmu atau menerimanya dg semua konsekwensi yg ada.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status