Share

Bab 6

Alhamdulillah," ucapku diselingi tawa yang terdengar sumbang.

"Apa kamu sungguh-sungguh, Nak Gus?" tanya ibu dengan raut wajah khawatir. Matanya bahkan sekilas melirik padaku sebagai tanda tidak percaya.

"Jika ini yang diinginkan Yumna, aku bisa apa, Bu? Sudah sering kuingatkan untuk bersabar, memberitahunya kalau aku tidak pernah mau menikah lagi. Akan tetapi, dia selalu memaksakan kehendak bahkan ...."

"Sudah, Mas. Ini keputusan terbaik, aku yakin sebentar lagi kita sekeluarga akan bahagia," sambungku cepat begitu Mas Hanan menunduk dalam.

Ayah dan ibu hanya bisa diam serta menatap penuh tanda tanya. Aku menautkan ibu jari dan telunjuk sebagai isyarat kalau hati sedang baik-baik saja.

Tidak sabar rasanya menyampaikan berita baik ini pada Syahdu. Aku pun pamit masuk kamar seraya merogoh ponsel dalam saku gamis.

"Assalamualaikum, Syahdu. Kamu apa kabar?" sapaku via telepon.

"Waalaikumussalam, Mbak. Alhamdulillah aku baik-baik saja. Mbak gimana kabarnya?"

"Alhamdulillah, Syahdu." Aku tersenyum kecut karena jauh di lubuk hati tersimpan perih yang meraja. "Ada kabar baik juga nih untuk kamu."

"Kabar apa, Mbak?"

Sebelum menjawab pertanyaan Syahdu, aku melipat bibir yang berujung embusan napas panjang berulang kali karena dada terasa sesak. Perempuan mana pun akan merasakan luka jika menyadari sebentar lagi suaminya akan berbagi hati.

Walau ini permintaan aku sendiri, tetap saja tidak bisa mengelabui hati untuk merasa senang dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Namun, mengingat kebahagiaan Mas Hanan adalah prioritas, bibir kembali mengukir senyum.

"Mas Hanan setuju akan melamarmu."

"Alhamdulillah," gumam Syahdu di balik telepon, kemudian dia meralat karena rasa bersalah, "maaf, Mbak. Apa Gus Hanan mau melamar aku? Em, aku ndak pantas."

Jauh di lubuk hati Syahdu pasti ada rasa bahagia karena akan menikah dengan lelaki yang mengisi hatinya. Cinta memang butuh pengorbanan. Diri ini harus tersenyum melihat sang kekasih bahagia sekalipun bukan dengan kita.

Aku menelan saliva, lalu mengukir senyum mengusik pikiran buruk yang menaungi jiwa. Syahdu tidak bersalah, dia juga bukan perebut suami orang.

"Syahdu, Allah tahu kamu pantas untuk Mas Hanan makanya beliau setuju menikah sama kamu. Nanti aku kabari lagi kapan lamarannya dilangsungkan karena harus berunding dulu dan tolong jaga rahasia ini, jangan sampai orang lain tahu dulu. Oke?"

"Insya Allah, Mbak," jawab Syahdu lirih.

Panggilan telepon terputus, aku meletakkan ponsel di nakas. Kedua kaki aku peluk dan menenggelamkan wajah di kedua lutut.

Berat sekali rasanya menjalani kehidupan yang sama sekali tidak pernah aku inginkan. Kalau saja boleh, aku ingin hidup berdua dengan Mas Hanan selamanya.

Kehadiran perempuan lain dalam pernikahan kita memang hal yang boleh bahkan termasuk sunnah terutama jika ada masalah syariat seperti aku yang belum juga hamil. Pertanyaannya adalah, adakah hati mampu menerima dengan lapang?

"Sayang."

Aku mendongak begitu mendengar suara Mas Hanan dari dekat. Benar saja, dia tengah berdiri di depanku dengan raut wajah sedih.

Hujan di luar memang sudah sedikit reda, tetapi petir terus menyambar dalam hati memporak-porandakan segala yang terpatri di sana. Aku menghela napas panjang begitu Mas Hanan beralih duduk di depanku.

Tangannya dengan lembut menyentuh pipi yang tidak lagi menitikkan air mata. Ada binar cinta yang terpancar di kedua netranya, bahkan bisa dilihat dari jarak jauh sekali pun.

"Jangan khawatir, Mas. Aku baik-baik saja."

Mas Hanan menggeleng pelan. "Matamu menyiratkan kesedihan." Kemudian mencium keningku beralih pada dua kelopak mata.

"Aku sudah dewasa, Mas. Tentu sangat mudah memanajemen hati."

Berlinang air mata Mas Hanan ketika aku menyuguhkan seulas senyum. Apalagi suaraku tadi kian parau. Dia lelaki setia bahkan sejak dulu selalu mengalah dan menerima sikapku yang kadang posesif.

Selain mencoba ikhlas pada takdir yang diberi Tuhan, aku tidak tahu harus melakukan apa. Ingin menua berdua tanpa sosok anak juga rasanya tidak mungkin.

Aku takut menunggu belasan tahun untuk memiliki seorang anak karena jangan sampai berujung kecewa dan penyesalan. Memang di luar sana ada yang hamil setelah sepuluh tahun menikah, tetapi tidak sedikit pula yang selamanya hanya berdua.

Harapan yang terlalu melambung tinggi bisa mendatangkan kecewa yang luar biasa sakitnya. Mas Hanan bukan milikku seutuhnya, mungkin memang Tuhan menciptakan suamiku untuk dua istri.

Aku dan Syahdu.

"Syahdu sudah tahu?" tanya Mas Hanan lagi.

"Tentu saja, Mas. Dia pasti sangat bahagia, begitu juga denganku karena punya teman yang bisa mengurus kamu. Misalnya aku bersih-bersih rumah, Syahdu menyiapkan makan dan pakaian untukmu."

Mas Hanan menggeleng pelan. "Kalau saja boleh, aku tidak akan pernah membiarkanmu dimadu. Akan tetapi, Syahdu pun sudah tahu, mas tidak bisa berbuat banyak." Dia menghela napas berat. "Mas tidak mau kalian tinggal dalam satu rumah."

"Mas, aku baik-baik saja. Lihat, apa aku sedang menangis?" Dengan susah payah kubalut luka dan tersenyum bahagia di depan Mas Hanan.

"Coba tertawa!" perintahnya. Aku menurut, Mas Hanan langsung menggeleng. "Terdengar sumbang."

Air mata langsung mengalir deras karena sudah ketahuan. Mas Hanan membawaku dalam pelukannya, mengelus belakang ini lembut serta berbisik bahwa dia tidak akan pernah menikah lagi.

Aku mengurai pelukan. "Mas, aku bahagia. Air mataku ini pertanda bahagia. Kamu jangan bilang begitu karena Syahdu sudah bahagia."

Mas Hanan tidak menjawab, dia mengalihkan pandangan ke luar jendela yang terbuka. Mungkin sedang menghitung rintik hujan yang jatuh membasahi bumi.

"Memang benar usiaku lebih mudah darimu, tetapi aku bukan anak kecil lagi yang tidak tahu mana air mata bahagia dan mana yang menyiratkan luka. Jangan mencoba menutupinya dariku, Yum!"

Lekas aku memeluk Mas Hanan. Hati seketika merasa damai di posisi sekarang sekalipun hanya detak jantung yang terdengar merdu.

Apakah Syahdu sedang berbunga-bunga? batinku penasara.

"Syahdu tidak sepenuhnya bahagia, Sayang. Dia tidak mungkin bahagia di atas penderitaan kamu."

"Mas?" Aku sedikit terkejut. Mas Hanan hanya diam tanpa menatapku. Entah dia yang bisa mendengar isi hati orang atau aku yang mudah dibaca gerak-geriknya.

Notifikasi Whats*pp berbunyi, ada pesan dari Syahdu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status