Share

Bab 5

Suara pintu utama terdengar, pasti Mas Hanan sudah pulang dari masjid. Aku langsung ke luar dan menghambur dalam pelukannya.

"Senang amat, ada apa, ya?" tanya Mas Hanan dengan nada menggoda.

"Syahdu bersedia, Mas!" pekikku bahagia.

Tiba-tiba saja senyum di wajah Mas Hanan sirna. Rembulan di wajahnya seakan tertutup awan tebal. Aku sudah mengenal Mas Hanan cukup lama dan tahu kalau hati kecilnya terukir luka.

"Benarkah? Benarkah kamu bahagia dengan kabar itu?"

"Aku bahagia, Mas. Sekarang masuk kamar karena aku sudah tidak sabar untuk meminta restu ibu."

"Tapi aku belum menjawab, Dek. Kamu bahkan belum tahu aku mau apa tidak."

"Mas, aku bahagia jika kamu menikahi Syahdu. Rasa cemburu itu hanya ada sebentar, nanti akan sirna jika aku sudah lebih ikhlas. Perempuan yang dipoligami bukan cuma aku dan kita punya alasan kuat. Pokoknya Mas harus menuruti keinginanku ini. Oke?"

"Terserah kamu lah!" ketus Mas Hanan.

Aku meloncat kegirangan. Sekalipun nada bicaranya terdengar ketus, tetap saja tahu kalau Mas Hanan akhirnya setuju dan memberiku kesempatan untuk membahagiakan keluarga kami yang belum lengkap.

Saat Mas Hanan sudah terlelap, aku merogoh ponsel mencari nomor W******p Amel. Biasanya jam sepuluh dia belum tidur karena anak bungsunya suka rewel.

Amel sudah punya dua anak dan semuanya perempuan. Dia hidup bahagia bersama Kevin yang kini kerja di Kalimantan. Benar saja, sahabatku itu sedang online bahkan baru saja memasang story W******p.

Dengan gerak cepat jariku menari indah di papan keyboard putih; memberitahu Amel atas segala masalah hidup yang menimpa. Mulai dari gunjingan tetangga hingga keinginan melamar Syahdu untuk Mas Hanan.

[Kamu yakin dengan keputusan itu, Yum? Kamu gak lagi bercanda, kan?] balas Amel setelahnya.

Tidak ingin mengusik tidur Mas Hanan, aku beranjak dari kasur menuju dapur dan berakhir duduk di meja makan. "Tentu saja aku yakin, Mel. Aku serius ingin menjadikan Syahdu sebagai adik madu!" balasku antusias via pesan suara.

"Kamu tahu resiko berbagi hati? Kamu paham bagaimana rasanya seatap dengan madu? Apa kamu sudah memikirkan bagaimana kedepannya apalagi jika Gus Hanan lebih mencintai Syahdu?" cecar Amel yang juga ikut mengirim pesan suara.

Aku menelan saliva. Pertanyaan Amel begitu menohok hati. Resikonya tentu saja berat apalagi jika seatap dengan madu karena setiap detik hati akan dirundung rasa cemburu.

Tentang kelak Mas Hanan lebih mencintai Syahdu, aku tidak tahu harus menjawab apa karena hati pasti terluka, tetapi bagaimana pun kalau dia sudah menjadi istri tetap saja berhak menerimanya.

"Doakan saja aku, Mel. Mas Hanan itu mau punya anak."

"Tapi kan bukan salah kamu. Kata dokter kalian baik-baik saja, kan? Cuma belum waktunya saja. Kamu kenapa gak bersabar lebih sedikit lagi?" balas Amel terdengar emosi.

Setelah itu dia mengirim pesan aksara kalau anak bungsunya rewel sehingga tidak bisa melanjutkan mengobrol. Dengan berat hati kembali kulangkahkan kaki ke kamar dan meletakkan ponsel di nakas.

Mata Mas Hanan terbuka. "Semoga Allah memberimu petunjuk."

***

Hujan jatuh membasahi bumi begitu deras seakan memberi kabar pada semesta kalau ada hati yang sedang dirundung duka. Cinta tak ubahnya hujan yang sama-sama meninggalkan kenangan.

Aku dan Mas Hanan berdiri dalam satu payung besar. Kami melangkah panjang berniat menemui ibu, sedangkan pengajian diliburkan saja karena cuaca tidak mendukung.

"Masuk, masuk!" perintah ibu begitu melihat kami.

"Bu, aku sudah memutuskan kalau Mas Hanan harus menikahi Syahdu," ujarku begitu kami duduk di kursi.

"Kenapa, Yum? Kenapa kamu harus merelakan suamimu menikah dengan perempuan lain kalau dia saja tidak mempermasalahkan anak?" timpal ayah tiba-tiba.

"Benar, Ayah. Padahal aku sama sekali tidak pernah punya niat untuk menikahi perempuan lain sekalipun itu Syahdu. Namun, Yumna selalu mendesakku," sambung Mas Hanan.

Aku tahu dia merasa tidak enak sekarang karena kami datang meminta restu. Kedua orangtuanya sudah meninggal sehingga aku memutuskan biar Syahdu dilamar oleh ayah saja sebagai mertua Mas Hanan.

Ibu mengatup bibir, dia pasti merasa berat untuk memberi restu karena aku ini putri tercintanya. Belum lagi dengan Mas Dika, entah bagaimana marahnya dia kalau sudah tahu perihal ini.

"Bu, aku menginginkan Syahdu menikah dengan Mas Hanan. Aku ikhlas, Bu. Jangan berpikir mereka yang berbagi suami itu tidak pernah bahagia. Poligami bukan sesuatu yang baru, sudah banyak ustaz juga yang melakukannya," kataku lagi berusaha meyakinkan mereka bertiga.

"Aku tidak sanggup berlaku adil, Yum!" tegas Mas Hanan.

"Maka aku akan membantumu untuk bisa adil, Mas. Aku akan selalu rida bagaimana pun kehidupan kita setelah kehadiran Syahdu."

Mas Hanan diam, dia hanya menatapku penuh tanda tanya. Pasti dalam pikirannya bertanya-tanya kenapa aku terus mendesak untuk dipoligami.

Tentu saja alasan ini sudah aku utarakan berkali-kali, yakni untuk memberikan kebahagiaan. Syahdu itu lebih muda dariku, mungkin dia sepantaran dengan Mas Hanan, aku tidak begitu ingat.

Perempuan muda tentu saja memiliki rahim subur sementara aku tahun depan sudah masuk kepala tiga. Jika Syahdu tidak hadir di antara kami, maka selamanya rumah akan sepi dari gelak tawa anak-anak.

Aku bahkan sering kesal pada mereka yang dengan mudah membuang anaknya ke tempat sampah atau mengaborsi karena rahimku sangat membutuhkan janin. Andai saja Allah memberiku kepercayaan itu.

"Besok ayah harus melamar Syahdu untuk Mas Hanan!" pintaku dengan tatapan mengiba.

"Ayah tidak mungkin mau melukai hatimu, Yumna. Kamu jangan pernah berharap ayah akan melamar Syahdu untuk suamimu!" tolak ayah tegas.

"Aku bahagia, Ayah. Tolong bantu aku menjadi istri salihah untuk Mas Hanan," balasku seraya memegang bahu suami yang meluruh.

"Kamu sudah menjadi istri salihah, Yum," gumam Mas Hanan menundukkan kepala.

Aku menghela napas berat. Kenapa susah sekali meyakinkan ibu, ayah serta Mas Hanan kalau aku benar-benar ikhlas dipoligami?

Apa karena diri yang mudah menangis? Memang benar aku selalu manyun jika ada perempuan yang menyapa Mas Hanan sekalipun tidak punya perasaan apa-apa, tetapi untuk Syahdu aku ikhlas.

Rasa cemburu bisa padam terutama jika anak itu sudah lahir di tengah-tengah kami. Aku juga ingin menjadi ibu dan dipanggil umi oleh anak Mas Hanan sekalipun tidak lahir dari rahimku.

Alasan ini sudah pernah diketahui Mas Hanan beberapa bulan terakhir, tetapi dia bersikukuh untuk mengadopsi anak dari panti saja. Aku tidak setuju karena khawatir jika dia besar nanti bisa menjadi petaka jika iman tidak kuat.

Bukannya mengharamkan adopsi atau enggan merawat anak yatim hanya saja aku lebih memilih mengirimkan uang untuk panti saja. Apakah ini salah?

"Sekali lagi aku mohon sama kamu, Mas, nikahi Syahdu. Dia mencintaimu." Air mata sudah tumpah tanpa permisi.

"Baiklah." Mas Hanan membuang napas kasar. "Ayah, tolong lamar Syahdu untukku!" pintanya dengan suara parau.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status