Perut Shena terasa tergelitik, mendengar perkataan suaminya yang terkesan tak tahu malu. Malah meminta uang mahar untuk menikahi madunya. Wanita itu menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan suami dan madunya, mereka sama-sama tidak tahu malu di matanya.
"Cih, yang benar saja? Gaya selangit, pakai selingkuh segala, giliran mahar pinjam ke istri, memalukan sekali," timpal Shena, geli dengan tingkah suaminya itu.
Arya meringis, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Mau bagaimana lagi, saat ini di dompetnya kosong dan tidak ada uang cash sama sekali. Uangnya sudah habis, membayar belanjaan Vidya yang banyak maunya.
"Ayolah, Sayang. Pinjam dulu untuk mahar. Aku bakal ganti dengan jumlah yang lebih besar. Bantu aku, ya?" pinta Arya. Ia memohon pada istrinya dengan wajah tanpa dosa.
Jangan tanyakan, bagaimana perasaan Shena saat ini. Sedih, kesal, sekaligus jijik secara bersamaan.
"Nggak usah diganti. Anggap saja sumbanganku untuk wanita sundal itu!" kesal Shena, mengambil dompet dan mengeluarkan uang berwarna biru selembar.
Melihat ada banyak uang di dompet istrinya, Arya ingin bilang agar uang maharnya ditambahkan, supaya dia tidak malu. Masa iya seorang pria kaya memberi mahar sangat kecil, apa kata orang nanti?
"Sayang, bisa ditambahkan, nggak? Aku malu kalau maharnya segini," Arya kembali meminta.
Shena mendengkus kesal, melayangkan tatapan nyalang pada pria yang bernotabene sebagai suaminya. "Jangan ngelunjak kamu, Mas! Kenapa harus malu? Kalau selingkuh nggak malu, tuh? Udahlah, jangan kebanyakan nawar!"
Mendesah pelan, Arya tak ayal langsung terdiam. Dia hanya bisa pasrah mendengar nada bicara Shena yang tak santai.
Semua penghulu dan saksi sudah hadir, Arya dan Vidya duduk bersebelahan, berhadapan dengan penghulu untuk melangsungkan ijab kabul. Di tempat duduknya, Vidya begitu senang, wanita itu bersorak dalam hati karena ia akan menikah dengan Arya.
Menyaksikan suaminya menikah dengan wanita lain, Shena merasa sangat terluka dan kecewa. Sebisa mungkin ia tahan, air matanya terlalu berharga, Shena tidak mau terlihat lemah, ia akan membalas si pelakor itu dengan elegan.
Irma --- sang kakak, sungguh murka melihat adik perempuan satu-satunya yang tak tahu malu, duduk di balai desa dengan penampilan yang nampak berantakan akibat hukuman yang diberikannya saat di rumah Shena tadi.
'Akhirnya, sebentar lagi aku akan menjadi istri Mas Arya. Kasihan sekali nasib Mbak Shena,' batin Vidya.
Wanita itu tersenyum puas, melihat wajah muram Shena yang menyaksikan keduanya duduk bahagia di depan penghulu.
"Dengan saudara Arya Sadewa, apakah Anda sudah siap?" tanya penghulu.
Arya berdehem, guna menghalau rasa gugup, pria itu mengangguk, "Siap, Pak."
Di atas meja, tangan keduanya saling menjabat. Arya dengan seksama mendengar intruksi sang penghulu. Meski sudah merasakan sebelumnya, tetap saja Arya merasa gugup.
"Saya terima nikah dan kawinnya Vidya Arini binti Tono Baskoro dengan mas kawin sebesar lima puluh ribu rupiah dibayar tunai!" ucap Arya, nada bicaranya begitu lugas hanya dengan satu tarikan napas.
Hening, semua orang saling tatap tatkala mendengar mahar dengan nominal lima puluh ribu rupiah yang disebutkan mempelai pria.
Sementara Vidya, senyumnya perlahan memudar, kaget dan malu saat mahar yang diberikan Arya sangat kecil. Benar-benar di luar ekspektasinya. Ijab kabul yang harusnya bahagia, Vidya mati-matian menahan malu, diberikan mahar segitu.
"Bagaimana, para saksi?"
"Sah!" Ijab kabul sudah terlaksana. Dilanjutkan membaca doa dan lainnya.
Semua saksi bubar, kala Arya dan Vidya sudah sah menjadi suami istri. Shena menahan sesak menghimpit dadanya, bagaikan dihantam tombak jika Arya melakukan ijab kabul untuk kedua kalinya.
"Emang pantes sih buat pelakor dapat mahar semurah itu," bisik para saksi yang bisa terdengar oleh kedua mempelai.
"Lima puluh ribu dapat apa di zaman sekarang? Biarkan saja, ini nominal yang setimpal dengan harga dirinya yang murahan itu." Masih banyak lagi bisikan-bisikan lainnya yang masih bisa didengar.
Vidya mengepalkan tangan, air matanya menggenang, hancur sudah harga dirinya karena pernikahan ini. Dia pikir, Arya akan memberikan mahar dalam jumlah besar, sesuai harta yang dimilikinya.
"Kamu bikin aku malu tahu nggak, Mas! Kenapa mahar yang kamu beri hanya berjumlah lima puluh ribu saja?" Vidya meluapkan amarah yang tertahan di hadapan suami dan keluarga barunya.
Kedua bola mata mereka membelalak sempurna, kaget dengan kemarahan Vidya.
Arya mendesis, dia tidak menyangka jika Vidya akan marah, "Mas nggak ada uang, Vid. Itu juga pinjam ke Shena."
Vidya tersentak, semakin bertambah malu. "Apa-apaan sih, Mas? Kenapa kamu malah membuatku malu dipernikahan kita, hah?"
"Tenang, Vid, tenang. Malu dilihat orang," Arya mencoba menenangkan Vidya yang bersungut-sungut lantaran kesal.
"Gimana aku bisa tenang, Mas? Kamu mikir aja dong. Uang lima puluh ribu cukup beli apa?"
"Heh, Vidya! untung kamu dinikahkan dengan putraku. Sudah jadi pelakr, malah nggak tahu diri seperti itu!" sentak Bu Surti, gedeg dengan istri kedua anaknya.
Demi Tuhan, Bu Surti tidak ingin mengakui wanita itu sebagai menantunya. Bagi beliau, hanya Shena menantu satu-satunya.
"Aku sedang bicara dengan Mas Arya, Bu! Bukan kepada Ibu! Bukannya ditegur ngasih mahar segitu, Ibu malah menyalahkanku!" pungkas Vidya.
Sontak Arya dan Shena membelalakkan mata saat Vidya membentak Bu Surti. Selaku anak, tentu Arya tidak terima.
"Diam, Vidya. Jangan membentak Ibuku!" sela Arya, terbawa kesal.
Namun, Vidya tidak peduli. Dia membuang pandangan dengan wajah yang merah padam.
"Kamu nggak diajarkan sopan santun, ya? Berani sekali kamu membentak Ibuku. Benar-benar nggak punya adab!" ketus Shena, ikut nimbrung dan membela Ibu mertuanya.
"Begini saja. Karena Mas Arya hanya memberiku mahar lima puluh ribu, aku ingin tinggal bersama di rumah kalian!" pinta Vidya menegaskan.
Tentu saja permintaannya menuai penolakan, mereka tidak setuju dengan keinginan Vidya yang ingin tinggal satu atap dengan Shena. Tidak terbayang, bagaimana jadinya nanti. Shena juga membantah, tidak setuju.
Bu Surti naik pitam, ia melotot tajam pada Vidya. "Ibu nggak akan sudi menerima jalang itu di rumah! Ibu nggak akan mengizinkan dia tinggal bersama kita!"
"Mas, jawab dong! Jangan diam saja!" kata Vidya, mengguncang lengan kokoh Arya yang sedari tadi diam.
Arya sendiri pun bingung, Shena dan Ibunya sudah pasti tidak setuju.
Tetapi, di tengah-tengah kebingungan itu. Shena menyunggingkan senyum, sebuah ide balas dendam terlintas di pikirannya. Cukup sudah dia dikhianati seperti ini, Shena akan membalas orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan masuk ke dalam rumah tangganya.
"Kamu itu seperti pengecut saja, Mas. Berani berbuat harus berani menerima konsekuensinya. Baiklah ... aku setuju jika Vidya tinggal serumah denganku," tegas Shena, nada bicaranya tenang. Namun dibalik sikap tenangnya, tersembunyi niat terselubung.
Bukankah ia lebih berhak atas Arya? Siapa yang rela, berbagi suami dengan wanita lain. Mustahil sekali Shena diam saja ditindas seperti ini, sepertinya membalas mereka hal yang menyenangkan, bukan?
'Jangan senang dulu, Vidya. Ini adalah awal kehancuranmu. Aku nggak akan membiarkan kamu bahagia. Aku akan membuatmu menderita dan tersiksa di rumahku. Tunggulah, Vidya. Akan kubalas dengan cara elegan.' Batin Shena, bibirnya menyeringai.
Keputusan Shena, membuat Arga dan Bu Surti menganga tidak percaya. Jika Shena akan setuju begitu saja.
"Sayang, kamu bilang apa barusan, Nak? Jangan bercanda! Kenapa kamu mengizinkan wanita perusak kebahagiaanmu tinggal satu atap denganmu? Kenapa?"
***
Ervan hanya mengangguk kecil menanggapi Aulia yang barusan mengucapkan terima kasih. Wajahnya tetap tenang, meski terlihat sedikit lelah. Ia lalu menghampiri Shena yang duduk di samping ranjang Sheira."Aku pamit dulu ya, Shena. Mau pulang sebentar, ganti pakaian. Hari ini ada jadwal mengajar di kampus juga," ujarnya dengan nada sopan dan tampak tergesa.Shena menatap Ervan sejenak lalu mengangguk. "Iya, Mas Ervan. Terima kasih banyak ya, sudah repot-repot membantu dan menemani kami sejak tadi malam."Ervan tersenyum tipis. "Tidak usah berterima kasih. Ini memang sudah menjadi tugasku. Kamu juga harus jaga kesehatan, ya."Ervan lalu melirik sekilas pada Aulia yang berdiri tidak jauh dari ranjang Sheira. "Aulia, saya duluan ya."Aulia mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan raut kecewa yang jelas terpancar di wajahnya. "Iya, Pak. Hati-hati di jalan."Begitu Ervan meninggalkan ruangan, Aulia berdiri terdiam beberapa saat, menatap pintu yang baru saja tertutup. Dadanya sesak. Ia merasa
Arya duduk di tepi ranjang, menatap wajah kecil Arvi yang terlelap. Jari-jarinya mengusap pelan rambut bocah itu, perasaan sayang bercampur dengan kekecewaan yang sulit ia ungkapkan. Sudah hampir dua bulan ia menjalani peran sebagai ayah bagi Arvi, menganggapnya sebagai darah daging sendiri, tapi kenyataan yang Vidya sembunyikan begitu menyakitinya.Ia menarik napas dalam, lalu menoleh sekilas ke arah Vidya yang masih duduk di sofa, sibuk dengan ponselnya. Perempuan itu tampak lelah. Sejak semalam, Vidya tak berhenti memperhatikannya, seolah takut ia akan pergi begitu saja.Arya tahu bahwa Vidya bisa merasakan sikap dinginnya. Ia tak lagi berbicara dengan nada lembut, tak lagi menatap istrinya dengan kehangatan seperti dulu. Semua terasa berbeda sejak rahasia itu terungkap.Setelah beberapa saat, Arya bangkit dari kursinya. Ia mengambil jaket yang tergantung di sandaran kursi dan melangkah ke arah pintu.Vidya langsung menoleh."Kamu mau ke mana, Mas?" tanya wanita itu, suaranya terde
Shena merasakan darahnya mendidih mendengar ucapan Arya. Matanya menatap tajam ke arah pria itu, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulutnya."Apa maksudmu dengan mengatakan aku tidak bisa merawat anakku sendiri?" suaranya bergetar, menahan kemarahan yang siap meledak. "Sejak kapan kau peduli, Mas? Sebelum kita bercerai, di mana kau saat Sheira sakit? Di mana kau saat dia menangis mencari ayahnya?"Arya mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Jangan membalikkan keadaan, Shena. Aku tidak pernah menelantarkan Sheira!"Shena tertawa miris. "Oh, ya? Lalu kenapa selama ini kau tidak pernah menanyakan keadaannya? Kenapa harus menunggu sampai dia terbaring di ranjang rumah sakit baru kau muncul dan bersikap seperti seorang ayah yang bertanggung jawab?"Arya terdiam. Ia tahu Shena benar. Tapi egonya tak membiarkannya mengakui kesalahannya begitu saja."Aku tidak tahu dia sakit," jawab Arya akhirnya, suaranya sedikit melembut. "Jika aku tahu, aku tidak akan tinggal di
Arya ingin mengomel lebih banyak, tapi tangis Arvi kembali pecah. Ia menambah kecepatan mobilnya.Sesampainya di rumah sakit, seorang perawat segera membawa Arvi ke ruang pemeriksaan. Arya dan Vidya bergegas mengikuti, wajah mereka penuh kecemasan.Seorang dokter anak datang tak lama kemudian. Wanita berusia sekitar 40-an itu memeriksa Arvi dengan saksama, menyentuh dahinya, membuka popoknya, lalu memeriksa tenggorokannya dengan senter kecil."Demamnya tinggi, hampir 39 derajat. Sejak kapan mulai rewel begini?" tanya dokter itu sambil mencatat sesuatu di clipboard."Sejak tadi siang, Dok," jawab Vidya dengan cepat. "Tapi dari tadi malam Arvi udah mulai susah tidur."Dokter mengangguk. "Apakah dia masih mau menyusu?"Vidya menggeleng. "Nggak, Dok. Aku udah coba berkali-kali, tapi dia nolak terus."Dokter terlihat berpikir sejenak, lalu berkata, "Dari gejalanya, kemungkinan besar ini infeksi saluran pernapasan atas. Biasanya pada bayi seusia ini, bisa disebabkan oleh virus atau bakteri.
Arya menghela napas panjang saat mobilnya melaju di jalan raya yang mulai ramai oleh kendaraan sore itu. Matanya masih terlihat kosong, pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan Shena dan Sheira yang kini tampak bahagia bersama Ervan. Dadanya sesak, tapi ia berusaha mengabaikan perasaan itu.Di sampingnya, Anna melirik Arya sekilas. Ia bisa melihat betapa terpukulnya sang adik tahu bahwa tak ada gunanya terus membahas hal itu sekarang. Yang terpenting, Arya harus menenangkan diri dan tidak bertindak gegabah."Arya, tolong antar ke rumah Mbak saja. Hari ini Mas Lukman mau mengantar Luna ke rumah," ucap Anna dengan lembut, menyebut nama putrinya.Arya mengangguk tanpa banyak bicara. Ia tahu betapa pentingnya momen itu bagi Anna. Setelah perceraian, Anna dan mantan suaminya memang sepakat untuk tetap berbagi waktu dengan Luna, meskipun hubungan mereka tidak bisa dibilang baik."Tapi setelah itu, kamu langsung pulang, ya?" lanjut Anna, menatap Arya dengan khawatir.Arya hanya diam, tidak me
Dua minggu telah berlalu sejak Arya dan Anna menyerahkan sampel DNA ke laboratorium di rumah sakit. Selama dua minggu ini, Arya mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia tetap bekerja, tetap pulang ke rumah setiap malam, dan tetap berusaha untuk bersikap normal di hadapan Vidya. Tapi jauh di dalam hatinya, ada sebuah ketakutan yang terus menghantui. Pagi itu, ponselnya bergetar saat ia sedang duduk di meja makan, menyeruput kopi yang terasa hambar di lidahnya. Layar ponsel menampilkan nama sebuah rumah sakit. Saat itu pula, jantungnya langsung terasa berdetak lebih cepat."Halo?" suaranya terdengar sedikit bergetar._"Selamat pagi, Bapak Arya. Kami dari bagian laboratorium Rumah Sakit Sumber Medika. Hasil tes DNA Anda sudah keluar dan bisa diambil hari ini."_Mendengar informasi tersebut, Arya menelan ludahnya. "Baik, nanti siang akan saya ambil."Setelah menutup telepon, Arya menatap kosong ke depan. Vidya, yang sejak tadi duduk di seberangnya sambil menggendong Arvi, menyada