Share

Bab 6

Author: NawankWulan
last update Last Updated: 2022-05-09 21:06:24

Pov : Feri 1

"Aku yatim piatu, Mas. Tak punya apa-apa, pun tak punya sanak saudara. Kamu nggak malu menikah denganku? Secara kamu berpendidikan dan mapan, sementara aku hanya lulusan sekolah menengah atas yang kerja serabutan asalkan halal," ucap perempuan sederhana itu dua tahun yang lalu, saat aku berencana untuk melamarnya tiga bulan setelah berkenalan dengannya. 

Sebuah perkenalan tak disengaja. Mungkin memang begitulah cara Allah menyatukan hambaNya. Tak kenal, tak disengaja bertemu dan jatuh cinta. 

"Kenapa ngomong begitu?" tanyaku singkat. Haruskah laki-laki yang berpendidikan dan mapan mencari istri yang selevel juga? Kupikir nggak begitu. Karena hati tak bisa dibohongi. 

"Beberapa teman begitu. Orang tuanya tak ada yang setuju jika anak lelakinya dekat denganku. Karena itu pula mulai detik itu aku sadar diri. Siapa lah aku? Mas juga sama. Lebih baik mundur saja, daripada nanti hatiku patah di saat aku mulai ada rasa," ucapnya polos sembari memainkan ujung sedotan di gelasnya. 

"Nggak. Aku tetap melangkah. Karena aku yakin, memang kamu lah perempuan baik itu. Aku tak pernah memilih seseorang berdasarkan pendidikan atau kemapanannya, karena aku yang akan mendidiknya. Aku yang akan membuatnya mapan dan nyaman," ucapku meyakinkannya saat itu. Dia tersenyum, senyum yang manis.

"Mungkin ibuku sama seperti ibu teman-teman lelakimu. Tapi kalau aku dan kamu yakin, kita pasti bisa meluluhkan hatinya. Batu akan rapuh juga bisa selalu ditetesi air, kan? Kupikir, hati ibu juga. Akan luluh jika kita memberinya cinta dan perhatian yang tulus setiap harinya," ucapku lagi. 

Lagi-lagi perempuan manis itu tersenyum. 

"Laki-laki sama saja, ya? Terlalu pintar mengolah kata dan bersandiwara," ucapku kemudian. 

"Laki-laki labil mungkin iya, tapi aku bukan labil lagi, kan?" balasku. 

"Bedanya apa labil atau bukan?" 

"Kapan kamu siap kulamar? Labil mungkin saja baru ingin mengajakmu menjadi pacar, tapi aku akan mengajakmu menjadi istri." 

"Istikharah dulu, ya, Mas. Nanti dikabari lagi," jawabnya saat itu begitu santai seolah tak ada minat sama sekali. 

Satu, dua, tiga hari dia diam saja tak memberi kabar. Sampai dua minggu tak jua ada kabarnya padahal aku sudah menunggu. 

|Besok, aku akan menjemputmu untuk bertemu ibu. Aku akan segera menghalalkanmu| 

Kuberanikan diri untuk mengirimkan pesan padanya. Kupikir, dia akan marah atau menolak. Tak kusangka jika jawabannya terlalu singkat namun begitu membuatku berbunga.

|Oke| 

Berulang kali kubaca pesan yang kukirimkan, berulang kali pula kubaca balasannya, dan aku pun lompat-lompat kegirangan benar-benar seperti anak labil yang baru diterima cintanya oleh gadis pujaannya. 

Arina yang lembut, murah senyum dan penyayang. Entah mengapa setelah menikah denganku sikapnya berubah dingin dan lebih pendiam. Sia sering menangis sembari menatap luas hamparan kebun kosong di samping kamar. Kebun yang kini berubah menghijau karena rajinnya dia bercocok tanam.

Arina yang cantik dan lembut itu tak pernah kuijinkan untuk bekerja di luar, aku masih sanggup memenuhi kebutuhannya. Lagipula aku juga tahu, kodrat seorang istri ada di rumah sedangkan suami di luar rumah untjk mencari nafkah. Biar saja dia di rumah, membantu ibu, apalagi kupikir ibu cukup kesepian tiap kali kutinggal kerja. 

Sebulan, dua bulan semua terlihat baik-baik saja. Sesekali masih kulihat Arina tersenyum meski kutahu dalam sorot matanya menyimpan banyak duka. Tiap kali aku tanyakan mengapa, dia selalu menggelengkan kepala. Hanya satu hal yang dia minta sejak dulu, mengontrak rumah saja atau membeli rumah kecil-kecilan untukku dan dia. Namun lagi-lagi aku memintanya bersabar. 

"Sabar dulu, Sayang. Aku masih menabung untuk membeli rumah impian kita. Kalau kita mengontrak rumah, otomatis akan berkurang jatah tabungan kita tiap bulan. Kalau di rumah ibu, lumayan jatah mengontrak bisa ditabung, iya, kan?" jawabku mencoba untuk tetap tenang dan lembut menghadapinya. 

Aku tahu beban hidupnya terlalu berat sejak dulu, karena itu pula aku berusaha untuk menghapus dukanya dengan menikahinya. Aku tak tega melihat dia selalu dihina dan diremehkan, aku ingin mengangkat sedikit derajatnya. 

Tiap kali kutolak permintaan satu-satunya itu, dia hanya mengangguk namun air mata itu mengalir begitu saja di kedua pipinya. Aku tak paham mengapa bisa terjadi, tapi dia selalu pandai menutupi. 

"Kamu sayang sama ibu, kan? Kasihan dia kalau di rumah sendiri," ucapku kemudian. Namun dia diam saja tak menjawab, hanya bahunya tetap terguncang karena isak.

"Kamu bilang sangat ingin dekat dengan ibu, kamu rindu kasih sayang ibu?" 

Lagi-lagi dia semakin menangis. Kutenangkan dia dalam pelukan sembari mengusap pelan pucuk kepalanya. 

"Tapi ibu sepertinya tak menginginkanku, Mas. Dia juga sering membandingkan aku dengan Delima. Siapa Delima, Mas? Sepertinya dia begitu spesial di hati ibu," ucapku lagi. 

"Siapa?" tanyaku gugup saat itu.

"Delima, Mas," balasnya sembari menatap lekat kedua mataku. 

Delima ... perempuan yang pernah aku lamar bahkan sudah kusematkan cincin pertunangan di jari manisnya namun dia memilih putus saat bekerja di luar negeri sebagai TKW. Bukan karena kesalahanku melainkan karena dia lebih memilih cinta yang lain dibandingkan cintaku. 

Foto-fotonya dengan laki-laki lain tersebar di medsos saat masih menjadi tunanganku, karena itu pula aku iyakan saja keinginannya untuk putus meski ibu sempat protes. Ibu tak pernah tahu alasan putus ini karena Delima yang tak setia. Bukan karena aku yang tak lagi cinta. 

"Delima ... mantan pacar kamu?" tanyanya lagi. 

"Mantan tunangan. Rumahnya tak begitu jauh dari sini. Dia teman sekolah dulu, sebelum berangkat ke luar negeri sebagai TKW, aku melamar dan menyematkan cincin tunangan. Namun setelah setahun dia di sana, dia meminta putus karena sudah memiliki cinta yang baru. Ibu tak tahu soal ini, mungkin karena itulah ibu selalu menyalahkanku atas keputusan yang kupilih," ucapku kemudian. 

Sepahit apa pun, aku berusaha untuk jujur padanya. Aku tak ingin ada yang ditutup-tutupi soal masa lalu, karena nanti hanya akan menjadi boomerang diri sendiri. 

"Bahkan ibu menyalahkanmu karena sudah memilihku," ucapnya lirih di tengah isaknya. 

"Kamu kenapa? Cekcok dengan ibu?" 

Arina menatapku dalam, lalu mengangguk pelan. 

"Bukan kah kamu pernah bilang, merawat orang tua memang butuh kesabaran yang luas, karena semakin lansia sikap mereka berubah seperti anak-anak kembali, yang banyak maunya dan manja?" tanyaku lagi, menirukan ucapannya beberapa hari setelah pernikahanku dengannya. 

"Aku tahu, Mas. Tapi setahun ini aku sudah mencoba untuk sabar dan tulus namun ibu-- 

"Arina! Kamu mau menjelekkan ibu di depan suamimu?" Teriakan ibu dari balik jendela membuatku dan Arina terlonjak seketika. Entah mengapa ibu tiba-tiba ada di sana. Wajah Arina mendadak pias. Dia begitu ketakutan melihat wajah ibu yang merah padam menahan amarah. 

*** 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Teten Devans
semangat bc n mles setlh ada acra pke pov2 segala.....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   Extra Part 4

    Tahun Berganti"Ibu dan Feri kecelakaan, Rin. Sekarang mereka masih di Rumah Sakit Husada Keluarga. Kamu dan Bian bisa ke sini sekarang, kan? Aku tak tahu apa yang harus kulakukan detik ini. Tulang-tulang dalam tubuhku rasanya lolos begitu saja."Suara Mbak Vina di tengah isaknya detik ini membuatku shock dan luruh ke lantai begitu saja. Secangkir kopi yang belum sedikitpun kusesap jatuh berceceran, tercipta kepingan-kepingan kecil yang tajam.Pasca Bian wisuda, sengaja kuajak dia berlibur ke Jogja. Kupikir libur bersama kali ini bisa membuat keluarga kecilku semakin hangat dan bahagia, bisa saling berbagi cerita satu sama lain setelah sekian lama tak bersua dan bersama. Namun ternyata impianku tak sesuai kenyataan yang ada. Semua harapan itu pun luluh lantah tak bersisa. Kulihat Bian berlari kecil ke arahku yang masih tertunduk lesu di samping meja makan. Kembali mendengarkan cerita Mbak Vina yang penuh jeda karena dia juga tak kuasa menahan rasa sesak dalam dadanya."Ibu dan Feri gi

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   Extra Part 3

    Rumah produksi aneka fashion berdiri di depan mata. Mas Feri memberikan nama yang cukup unik untuknya. Perpaduan namanya dengan namaku. Iya, Ferina Fashion. Konveksi rumahan yang ternyata sudah berjalan nyaris enam bulan lamanya. Mas Feri merintis usaha ini saat kami masih sama-sama di Jogja. Tak kusangka dia merencanakan kepindahan ini dengan cukup matang. Lagi-lagi aku tercengang saat dia memintaku masuk ke sebuah ruangan khusus. Ruangan yang sangat nyaman dengan fasilitasnya yang lengkap. Seolah bukan kantor melainkan tempat istirahat yang menenangkan dan tempat mencari inspirasi yang mengasyikkan. "Kamu mungkin sudah melupakan mimpi ini, Dek. Mimpi untuk memiliki ruangan tersendiri dan kembali melatih jari-jarimu untuk berkreasi," ucap Mas Feri setelah memintaku duduk di sofa samping jendela. Ada taman kecil di luar jendela yang bisa kunikmati keindahannya. "Mimpi apa, Mas? Aku sudah tak memiliki mimpi apa-apa karena bagiku semua mimpi itu telah terwujud. Aku sangat menikma

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   Extra Part 2

    Hari ini aku dan Mas Feri akan menghadiri acara perpisahan kelulusan Bian. Setelah melewati serangkaian ujian, akhirnya surat tanda lulus pun bisa digenggam. Raut bahagia tampak begitu jelas di wajahnya yang tampan. Berulang kali mengucapkan syukur atas karuniaNya, berulang kali pula dia mengucapkan terima kasih padaku karena sudah mendoakan dan memberikan support terbaik untuknya. Bian adalah anakku yang pintar. Dia mendapatkan peringkat pertama dalam kelulusan ini. Bukan itu saja yang membuatku bangga, tapi sikap dan unggah-ungguhnya selama ini pun membuatku begitu bersyukur memilikinya. Dia tak neko-neko, sederhana, taat pada agama dan cukup selektif memilih teman bergaul dan tak sembarangan hingga membuat pergaulannya terjaga. Dia bisa memilah mana yang terbaik untuknya dan mana yang hanya menciptakan dampak negatif untuk kehidupannya. "Aku juara bukan semata-mata karena usaha kerasku, tapi karena mama yang tak pernah lupa mendoakanku di setiap sujudnya. Mama adalah wanit

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   Extra Part 1

    ~14 tahun Kemudian ~Waktu terus bergulir. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan pun berganti tahun. Tak terasa tahun demi tahun telah terlewati, mengurangi jatah usia yang telah ditetapkanNya. Setiap detik, aku selalu mensyukuri apapun yang DIA karuniakan untuk hidupku. Aku yakin, takdirNya akan selalu indah.Masa-masa suram itu terlewati dengan sempurna juga berkat karuniaNya. DIA tak akan pernah meninggalkanku begitu saja setelah deretan ujian yang dijatuhkan ke pundakku. DIA tetap akan membantu dan menarikku dari lubang duka itu untuk kembali menemukan kata bahagia.Seperti inilah sekarang, setelah berhasil melewati segala ujianNya, kini aku mendapatkan hadiah spesial dariNya. Aku memiliki keluarga kecil yang bahagia. Suami, anak dan keluarga yang penuh kasih dan cinta adalah salah satu anugerah terbesar yang kupunya dan aku begitu mensyukurinya.Arbian Bagaskara. Anak lelakiku itu tumbuh menjadi anak yang tampan, penyayang dan periang. Dia adalah malaikat kecil kami

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   67 Spesial

    Luka dan bahagia silih berganti. Ada banyak sekali ujianNya yang terlewati. Bermacam caraNya untuk menguji setiap hamba agar mereka semakin teguh dalam Iman dan taqwa. Tak terkecuali hidupku dan Mas Feri. Beginilah hidup di dunia, seperti roda yang berputar. Kadang di bawah, kadang pula di atas. Tangis, sedih, luka dan bahagia silih berganti sebagai pertanda kita naik tangga. Setiap ujian yang dia berikan, anggap saja sebagai tangga untuk memperkokoh Iman. Tak pernah ada kata sia-sia di setiap tetes perjuangan. Tak pernah ada kata percuma di setiap pengorbanan. Semua alur yang kita lalui itu adalah bagian dari ketetapanNya, bukan sebuah ketidak sengajaan semata. Karena setiap daun yang jatuh pun atas kehendakNya. Begitu pula sakit yang dialami Mas Feri, aku yakin memang semua sudah menjadi ujianNya. Ujian agar aku dan dia lebih mengerti apa arti kesabaran, perjuangan dan pengorbanan. Ada banyak hal yang kami dapatkan setelah sakit itu, rasa sayang yang semakin bertambah, rasa cin

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   66 Penyesalan

    Saat masih asyik ngobrol panjang lebar, terdengar salam dari luar. Mbak Vina pun izin untuk melihat siapa yang datang. Sepertinya suara Bang Sony. Dia duduk di ruang tamu bersama Mbak Vina, sementara Fano dan Fian sudah ke sana karena panggilan mamanya. "Mau apalagi kamu ke sini, Bang?" Kudengar pertanyaan keluar dari bibir Mbak Vina. Aku tahu, Mbak Vina memang belum sepenuhnya ikhlas dengan pengkhianatan Bang Sony selama ini. Wajar saja, tak mudah bagi seorang istri untuk melupakan pengkhianatan suaminya sendiri. "Maafkan aku, Vin. Maafkan aku sudah mengkhianati cinta dan rumah tangga kita," balas Bang Sony sedikit gugup. Dia menundukkan kepala, seolah tak berani menatap sorot mata Mbak Vina yang tajam."Sudah berulang kali kamu ngomong begitu. Aku capek dengarnya, Bang. Gara-gara kamu, nyawa Feri dan Fian terancam. Perempuanmu itu memang keterlaluan. Biar saja sekarang membusuk di penjara!" Ucap Mbak Vina ketus. Dia begitu geram saat tahu dalang yang membuat Fian dan Mas Feri ce

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   65 Segenggam Hikmah

    Pagi ini, aku dan Mas Feri siap-siap ke rumah ibu. Sengaja membawa beberapa potong baju, barang kali nanti tiba-tiba pengin nginep di sana. Mas Feri tampak lebih bersemangat menjalani hari-harinya setelah berhasil melewati prediksi dokter itu. Aku dan Mas Feri diantar Mang Edi ke rumah ibu. Beberapa hari belakangan kami memang tak main ke sana. Ibu dan Mbak Vina sepertinya juga cukup sibuk, jadi tak ada waktu luang untuk menjenguk Bian.Akhir-akhir ini Mas Feri juga sering ke resto untuk melihat perkembangan usaha baru kami itu. Usaha yang sudah menampakkan hasilnya. Di luar dugaan, semua seolah dimudahkan olehNya. Alhamdulillah. Keuntungan yang didapat tiap bulannya pun semakin bertambah. Aku selalu mendengarkan cerita-cerita Mas Feri tentang perkembangan resto kami setiap dia pulang kerja. Lelah yang selama ini selalu terlihat di wajahnya itu berganti dengan senyum dan semangat yang kian meningkat dari hari ke hari. Tak hanya soal duniawi, Mas Feri juga meningkatkan ibadahnya, se

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   64 Pesan Darinya

    Aku benar-benar tak menyangka jika Mas Alvin akan menikah secepat ini. Bukan masalah iri, cemburu atau apa seperti yang dituduhkan Mas Feri, hanya saja selama ini Mas Alvin memang tak pernah cerita apapun soal rencana pernikahannya. Aku juga tak pernah tahu siapa teman dekatnya akhir-akhir ini. Wajar jika aku sangat kaget mendengar kabar bahagianya itu, kan?Mas Alvin memang jarang menceritakan tentang hidupnya. Dia agak tertutup sejak aku menikah dengan Mas Feri. Meski begitu dia masih sering menanyakan kabar keluarga kecilku, termasuk menanyakan soal perkembangan Bian. Namun lagi-lagi dia tak pernah cerita soal asmaranya, apalagi calon istri dan tanggal pernikahannya. Aku juga tak tahu kenapa dia menutupi kabar bahagia itu dariku, sementara pada Mas Feri dia justru cerita semuanya. Padahal dulu akulah yang menjadi tempatnya berkeluh kesah.Ah ya, dulu. Kini aku pun maklum, dia begitu karena terlalu menghargai statusku. Mungkin karena tak ingin ada fitnah diantara aku dan dia makany

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   63 Prediksi Dokter

    Waktu terus bergulir, Mas Feri sepertinya sudah bisa 'berteman' dengan sakitnya. Tak seperti bulan lalu yang masih sering menjerit sakit kepala tiba-tiba, tapi sekarang dia sudah bisa mengontrol diri saat sakit itu tiba-tiba datang menyerang. Entah mengapa, aku jarang melihat Mas Feri kesakitan. Atau dia memang sengaja menyembunyikan segala sakitnya, hanya demi terlihat baik-baik saja di depanku dan keluarga besarnya? Mas Feri sering izin ke resto untuk sekadar cuci mata. Aku pun mengizinkan asalkan dia janji banyak istirahat di sana. Ada ruangan khusus untuk Mas Feri melepas lelah. Sejak Mas Feri sakit, kami memang menyewa sopir untuk mengantar jemput dia saat ingin pergi ke sana-sini. Tak kuizinkan Mas Feri menyetir mobil sendirian. Penglihatan Mas Feri mulai kabur, kadang dia juga sering lemah. "Mas, gimana sakitmu? Sudah membaik atau ada keluhan lain yang mungkin bertambah sakit?" tanyaku lagi saat dia tampak begitu lelah saat pulang dari resto. "Alhamdulillah sudah mendinga

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status