BAB 5
KIENAN PINGSAN"Kami akan melakukan penelusuran lebih lanjut. Dana tersebut ada yang ditarik tunai, ada juga yang masuk ke beberapa rekening. Beri kami waktu dua Minggu. Kalau tidak ada kendala, kita sudah bisa menemukan tersangkanya.""Baik, Pak Nizam. Saya percayakan masalah ini kepada Anda.""Baik, Bu! Terimakasih! Kalau begitu, saya permisi! Selamat siang!"Mereka berjabat tangan."Selamat siang, pak Nizam!" Kienan mengantar pak Nizam hingga ke pintu.Saat hendak membuka membuka pintu, tiba-tiba, kepalanya terasa pusing. Dia yang tidak siap, akhirnya terjatuh.Sebelum benar-benar kehilangan kesadarannya, Kienan merasakan seseorang menangkap tubuhnya dan memanggil-manggil namanya. Setelah itu, semua menjadi gelap.Nizam membopong tubuh Kienan dan menidurkannya di sofa, kemudian memanggil Annisa. Tak lama kemudian, Annisa datang.Mereka berusaha menyadarkan Kienan dengan menepuk-nepuk pipinya dan memberi minyak kayu putih. Tak lama kemudian, perlahan Kienan mulai membuka matanya."Bu Kienan, ibu bisa mendengar saya?" tanya Annisa.Kienan mencoba bangkit."Jangan bangun dulu! Anda masih lemas!"ujar Nizam.Kienan menoleh. Dia melihat masih ada pak Nizam disana."Aku kenapa,Nis?" tanya Kienan."Tadi Ibu pingsan. Untungnya, ada pak Nizam yang nolongin." Annisa memberi penjelasan.Kienan mencoba bangkit lagi dengan dibantu Annisa."Terimakasih, pak Nizam atas bantuannya!""Sama-sama, Bu! Bu Kienan gak papa? Apa perlu saya antar ke rumah sakit?" tanya Nizam."Gak usah, Pak! Saya gak papa, kok! Hanya kecapekan saja!""Baiklah, kalau begitu, saya permisi! Selamat siang!""Selamat siang, Pak!"Setelah Nizam pergi, Kienan mencoba bangkit."Ibu mau apa? Biar saya ambilkan! Ibu istirahat aja dulu!""Tolong ambilkan tas dan ponsel saya di meja!""Baik, Bu!""Tolong juga cancel semua jadwal saya hari ini! Saya mau pulang! Kalau da berkas yang harus ditandatangani, antarkan saja kerumah!""Baik, Bu! Saya antar ke bawah, ya?""Iya. Ayo!"Beriringan mereka melangkah menuju lift."Pak Firman sudah pulang, Nis?" Sudah, Bu! Tadi pagi, setelah mengantar pak Nizam ke ruangannya, beliau langsung pulang. Ada janji dengan klien, katanya. Ada yang perlu disampaikan?" Annisa memberi penjelasan."Besok pagi, suruh beliau menemui saya di kantor.""Baik, Bu!"**********************************************Sesampainya di rumah, Kienan langsung merebahkan badannya. Dia benar-benar lelah. Tak lama kemudian, dia tertidur.Sore harinya, dia terbangun dengan badan yang sedikit segar. Segera dia menuju kamar mandi untuk berendam. Cukup lama dia berendam membuat tubuhnya terasa rileks.Setelah merasa cukup, dia segera keluar. Di sore hari begini, ia ingin menikmati secangkir teh sembari duduk di gazebo dekat kolam renang. Rasanya pasti menyenangkan.Kienan segera turun dari kamarnya dan mendengar suara ribut-ribut di depan."Kienan!"Seseorang memanggil namanya,begitu dia menjejakkan kaki di tangga terakhir.Kienan menghentikan langkahnya.Ternyata yang datang adalah ibu mertua dan adik iparnya."Ibu? Ada apa?" tanya Kienan."Kok ada apa? Kamu lupa sekarang tanggal berapa? Kok jatah Ibu belum dikirim?" protes mertuanya."Iya, nih, kak Kienan. Uang jajanku juga udah habis. Aku kan mau nongkrong di cafe sama temen-temenku," sahut Aira, adik iparnya.Mereka kini duduk santai di ruang tengah."Maaf, Bu! Apa mas Akbar belum cerita kepada Ibu?""Cerita apa?" tanya mertuanya."Mas Akbar sudah menjatuhkan talak sama aku, Bu! Kami bukan suami istri lagi! Jadi, Ibu bukan tanggung jawab aku!""Apa? Talak? Kamu serius?" tanya mertuanya."Iya, Bu. Jadi, untuk uang bulanan sebaiknya Ibu minta langsung ke mas Akbar.""Kok bisa dia jatuhkan talak sama kamu? Pasti, kamu gak becus jadi istri."Kienan menghela napas perlahan."Aku yang minta, Bu!" jawab Kienan."Kenapa?""Mas Akbar selingkuh, Bu! Bahkan, wanita itu sekarang sudah hamil besar.""Ka … kamu tahu dari mana?" tanya mertuanya grogi."Aku lihat sendiri, Bu! Mas Akbar juga sudah mengakui kalau wanita itu istrinya.""Trus, Akbarnya sekarang dimana?"Kienan menghela napas."Entahlah. Mungkin dia di rumah istri barunya. Apa Ibu tidak tahu kalau mas Akbar menikah lagi?" tanya Kienan."Em … masalah itu …."Mertuanya terlihat gelisah."Jadi, selama ini Ibu sudah tahu? Dan Ibu menutupi semua ini dari aku?" tanya Kienan tak percaya. Melihat gelagat mertuanya, dia langsung paham jika mertuanya terlibat dengan pernikahan kedua suaminya."Bukan begitu, Kienan! Waktu itu, Ibu tidak punya pilihan. Wanita itu sedang hamil anaknya Akbar. Jadi, dia harus tanggung jawab," jawab mertuanya merasa tak enak."Dan ibu merahasiakan itu semua dari aku?""Akbar yang minta. Katanya, nanti Akbar sendiri yang akan cerita. Jadi, Akbar memang sudah cerita, ya?" tanya mertuanya."Gak. Aku tahu dengan sendirinya.""Kenapa kalian harus bercerai? Anak itu kan sudah lama ditunggu sama Akbar. Toh, itu nanti jadi anakmu juga. Nanti kalian bisa merawat sama-sama.""Apa Ibu tidak memikirkan perasaanku saat mengatakan itu? Aku dikhianati, Bu! Mas Akbar selingkuh! Dan dengan santainya Ibu mengatakan aku harus merawat anak itu sama-sama?" ujar Kienan dengan emosi."Ya … mau bagaimana lagi. Kamu kan, mandul. Akbar anak laki-laki Ibu satu-satunya. Dia harus punya keturunan untuk meneruskan garis keluarga kami.""Tapi kan, tidak harus dengan cara selingkuh, Bu! Masih ada cara lain! Lagian, aku gak mandul!""Kalian sudah menikah hampir lima tahun dan belum dikarunia anak. Apa namanya kalau bukan mandul?""Iya, nih, mbak Kienan. Harusnya, mbak menerima mbak Rachel. Daripada jadi janda! Siapa yang mau sama janda mandul?" ejek Aira."Jaga mulutmu, Aira! Yang sopan sama orang yang lebih tua!""Kienan! Beraninya kamu bentak anakku! Lagipula, yang dikatakan Aira memang benar! Siapa yang mau sama janda mandul kayak kamu!""Aku tidak mandul, Bu! Aku sedang hamil!" ujar Kienan."Apa? Yang benar? Jangan bohong kamu!""Untuk apa aku berbohong, Bu! Terserah Ibu mau percaya atau tidak.""Alah … itu pasti akal-akalannya saja, Bu! Agar gak jadi diceraiin sama mas Akbar! Mandul aja belagu!" ejek Aira."Kamu bener, Ra! Pasti dia nyesal sudah meminta cerai dari Akbar.""Tidak akan, Bu! Aku malah bersyukur!""Itu karena kamu belum tahu saja …." ucap Aira dengan senyum mengejek."Belum tahu apa?" tanya Kienan."Aira, sudah. Jangan diteruskan! Ayo kita pulang!"Mereka segera beranjak dan berniat meninggalkan rumah Kienan."Tunggu, Bu!" cegah Kienan.Mertuanya tersenyum sinis."Apalagi? Kamu mau bilang menyesal dan minta Akbar balik lagi sama kamu?" ejek mertuanya.Kienan tersenyum tenang."Bi Asih?" teriak Kienan memanggil pembantunya."Iya, Bu! Ada apa?" tanya bi Asih."Tolong ambilkan koper dan barang-barang kemarin!""Baik, Bu!""Koper apa, Nan?" tanya mertuanya heran."Barang-barang milik mas Akbar yang masih tertinggal disini, Bu! Tolong, Ibu bawa sekalian. Aku tidak mau menyimpannya."Tak lama kemudian, bi Asih membawa sebuah koper besar dan dua buah kardus."Ini, Bu, barang-barangnya!""Terimakasih, Bi!""Iya, Bu! Sama-sama!""Silahkan dibawa, Bu! Daripada aku membuangnya ke tong Sampah!""Keterlaluan kamu, Kienan! Status Akbar masih suamimu. Dia masih punya hak di rumah ini. ""Sejak dia ketahuan berselingkuh dan menjatuhkan talak padaku, dia sudah tidak punya hak apapun di rumah ini. Silahkan barangnya dibawa!""Anton ….!" teriak mertuanya memanggil sopir Kienan.Mendengar teriakan yang begitu nyaring, Pak Anton yang minum kopi di dapur bergegas berlari ke depan."Iya, Bu! Ada apa?" sahut Anton."Masukkan itu ke dalam mobil saya!"Pak Anton masih terdiam sambil memandang Kienan seolah meminta izin. Saat Kienan mengangguk, pak Anton baru berani mengangkat barang-barang tersebut."Kamu akan menyesal, Kienan! Ingat itu!"Kienan tak menggubris ocehan mertuanya. Dia kembali ke tujuan awal, melangkahkan kaki ke gazebo.Sembari menikmati secangkir teh, dia memikirkan semuanya. Apa yang telah terjadi dan apa yang harus dia lakukan. Dia tidak ingin menunda-nunda waktu lagi.********************************************Setelah keluar dari rumah Kienan, Bu Ana dan Aira menuju rumah Rachel."Bu, kita kemana sekarang?""Kita ke rumah Rachel mengantar barang kakakmu, sekalian minta uang belanja," jawab Ibunya.Aira mengarahkan mobilnya menuju rumah Rachel. Mobil itu pemberian Kienan saat Aira awal masuk kuliah. Saat itu, Aira merengek minta dibelikan mobil. Dengan segala upaya, Ibunya membujuk Kienan agar mau membelikannya.Tak lama kemudian, mereka sudah sampai di tujuan."Akbar!" teriak Ibunya begitu memasuki rumah.BAB 13AKHIR YANG BAHAGIA"Ibu!" ujar Farel terkejut."Ngapain kamu di rumah perempuan itu? Ayo pulang!" sentak wanita bertubuh tambun tersebut."Aku hanya mengantar mereka pulang saja, Bu!" sahut Farel."Jangan banyak alasan, cepat pulang! Hei, Nana! Kamu itu sudah menikah. Bisa-bisanya kamu menggoda anakku. Kalau mau selingkuh, cari laki-laki lain, jangan anakku. Aku tidak rela!" sentak ibu Farel."Ibu, siapa yang menggoda sih? Aku hanya mengantar mereka. Lagi pula aku sendiri yang berinisiatif!" sahut Farel membela Nana."Jangan bela mereka. Ingat ya, ini peringatan terakhir. Jangan ganggu anakku lagi!" Usai mengatakan hal tersebet, wanita bertubuh tambun tersebut segera menyeret Farel meninggalkan rumah Nana. Tak diperdulikannya beberapa warga yang menonton kejadian tersebut."Ada apa, Na? Kok ibu dengar ribut-ribut!" tanya Bu Husna. "Tadi … ibunya Mas Farel kesini!" sahut Nana dengan mimik sedih. Bu Husna menghela nafas panjang sejenak. Bisa bisa menebak apa yang tejadi tadi. Di
BAB 12BERTEMU KEMBALIDengan penuh percaya diri, pengendara tersebut segera turun dari motornya. Belum juga dia melepas helmnya, Nana sudah menghampiri dan melabraknya.“Hei, Mas, maksudnya apaan, menghalangi jalan kami? Mau pamr motor?” sentak Nana. Pria tersebut yang hendak melepaskan helmnya, menghentikan aksinya seketika. Dia menatap Nana dengan intens dari balik helm full facenya.“Kalau mau aksi keren-kerenan, jangan disini! Lagipula saya gak minat!” lanjut Nana.“Nana ... jangan kasar begitu! Maaf ya, Nak!” ujar Bu Husna merasa tidak enak.“Untuk apa Ibu minta maaf sama dia. Dia yang salah kok!” sahut Nana membela diri.“Iya, Bu, tidak apa-apa! Saya paham kok! Saya kan sudah hafal dengan sifatnya!” sahut pria tersebut. Nana terkesiap seketika. Suara itu, suara yang pernah sangat akrab di telinganya. Nana menatap pria tersebut dengan intens. Sayangnya, keberadaan helm yang masih dikenakan pria tersebut, membuatnya tidak bisa mengenali pria tersebut.Menyadari kebingungan wanita
BAB 11DI KAMPUNGTok tok tok ....“Sebentar!” samar-samar, Nana mendengar sebuah sahutan dari dalam. Nana tersenyum tipis. Itu adalah suara yang selalu dia rindukan selama ini.“Nana! Masya Allah!” ujar wanita yang berusia hampir senja tersebut. Beliau menatap Nana dengan penuh haru.“Ibu!” ujar Nana dengan suara tercekat. Dia pun segera mencium punggung tangan wanita tersebut. Wanita tua tersebut membawa Nana ke dalam pelukannya.“Nana! Ibu kangen banget sama kamu!” ujarnya dengan air mata yang mulai membasahi pipi.“Nana juga kangen sama Ibu dan Bapak!” ujar Nana. Dia pun sudah tak dapat membendung air matanya lagi. Kerinduannya membuncah. Sejak menikah, ini pertama kalinya dia kembali menginjakkan kaki di rumah orang tuanya. Untuk beberapa lama, mereka saling berpelukan meluapkan kerinduan yang terpendam.“Kamu kok sendirian? Reno mana?” tanya wanita tersebut.“Em ... Mas Reno sedang sibuk, Bu. Jadi, gak bisa ngantar!” sahut Nana beralasan.“Bapak mana, Bu?” tanya Nana lagi.“Ba
BAB 10FAKTA MENGEJUTKAN"Bapak kenal Pak Nizam?" tanya Nana bingung."Em … iya, Na. Dulu!" sahut Akbar dengan wajah bingung."Pak Akbar apa kabar sekarang?" tanya Nizam mengalihkan perhatian."Alhamdulillah baik, Pak Nizam! Silahkan duduk! Maaf, tempatnya kotor!" ujar Akbar."Tidak masalah, terima kasih!" ujar Nizam, lalu duduk di salah satu bangku pembeli. "Na, ini sudah malam. Sebaiknya kamu istirahat saja. Lagipula, warung kan sepi. Sebentar lagi Bapak juga beberes!" ujar Akbar."Nana bantuin beberes aja ya, Pak?" sahut Nana."Tidak usah. Kamu istirahat saja!" ujar Akbar.Nana menghela nafas panjang."Baiklah kalau begitu. Pak Nizam, saya permisi dulu ya!" pamit Nana."Iya, silahkan!" sahut Nizam. Nana pun meninggalkan majikannya bersama Akbar."Jadi … ini kegiatan Pak Akbar setelah keluar dari penjara?" tanya Nizam."Iya, Pak. Sebenarnya, waktu itu beberapa kali saya mencoba melamar pekerjaan, tapi tidak ada yang mau menerima. Akhirnya, saya merintis jualan bakso ini!" sahut Akb
BAB 9RENCANA MENGGUGATBeruntung, sebelum dia benar-benar terjatuh, Nizam meraih tubuhnya. Untuk beberapa saat, mereka saling bertatapan. Jantung Nana berdetak dengan kencang. Seumur-umur, baru kali ini dia berada pada jarak sedekat ini dengan majikannya.“Papa!” sebuah panggilan mengagetkan mereka. Nana segera berdiri dan Nizam pun melepaskan pelukannya.“Papa ngapain di dapur?” tanya Clara, putri Nizam.Nana berusaha bangkit dan berdiri tegak, sedangkan Nizam segera melepaskan pelukannya pada Nana. Suasana pun menjadi kikuk. “Em ... ini, tadi Nana jatuh. Kebetulan Papa pas disini. Kamu belum berangkat?” tanya Nizam pada putrinya. “Sebentar lagi, Pa!” sahut Clara seraya menatap Nana curiga.“Saya buatkan kopinya dulu, Pak!” pamit Nana.“Oh, iya! Saya tunggu di depan!” ujar Nizam.“Ayo, Sayang!” ajak Nizam pada Clara.“Papa gak kerja?” tanya Clara.“Ntar, berangkat agak siangan! Papa ada janji ketemu klien di dekat sini! Dari pada bolak-balik, mending berangkat ntar sekalian!”
BAB 8TALAK“Cepat berikan uangnya!” perintah mertuanya.“Maaf, Bu, saya tidak bisa!” sahut Nana tegas.Narti yang merasa sangat geram, segera merampas tas Nana yang masih dipegangnya. Nana pun berusaha mempertahankan tanya sehingga terjadi aksi saling mendorong hingga akhirnya mereka berdua terjatuh. Nana menghembuskan nafas lega karena dia berhasil mempertahankan tasnya.“Ibu!” teriak Reno saat melihat Ibunya jatuh tersungkur.“Ibu tidak apa-apa?” tanyanya khawatir.“Nana, apa yang kamu lakukan sama Ibu?” bentak Reno pada Nana. “Ren, istrimu sungguh durhaka, Ren! Dia sama sekali tidak menghargai Ibu!” ujar Narti seraya terisak.Reno menatap istrinya dengan geram. Reno segera membantu Ibunya bangkit dan duduk di sofa. “Ibu kenapa bisa jatuh gitu?” tanya Reno lagi.“Ibu didorong Nana, Ren! Ibu hanya mau pinjam uangnya sedikit untuk membeli obat!” ujar Narti.“Memangnya uang yang aku kasih kurang, Bu?” tanya Reno.“Uangnya sudah habis, Ren! Sudah Ibu gunakan untuk bayar kuliahnya Viv