Share

RENCANA RACHEL

BAB 6

RENCANA RACHEL

Setelah keluar dari rumah Kienan, Bu Ana dan Aira menuju rumah Rachel.

"Bu, kita kemana sekarang?"

"Kita ke rumah Rachel mengantar barang kakakmu, sekalian minta uang belanja," jawab Ibunya.

Aira mengarahkan mobilnya menuju rumah Rachel. Mobil itu pemberian Kienan saat Aira awal masuk kuliah. Saat itu, Aira merengek minta dibelikan mobil. Dengan segala upaya, Ibunya membujuk Kienan agar mau membelikannya.

Tak lama kemudian, mereka sudah sampai di tujuan.

"Akbar!" teriak Ibunya begitu memasuki rumah.

"Ibu? Tumben kesini?" tanya Rachel.

Dia terkejut mendengar ribut-ribut di depan, jadi dia bergegas keluar.

"Memangnya gak boleh? Ini kan, rumah Akbar juga. Dia yang beli," jawab Bu Ana sewot. Dia segera duduk di ruang tengah.

"Kok gitu sih, Bu, jawabnya!? Aku kan, tanya baik-baik!" ujar Rachel.

"Bibi!" teriak Bu Ana.

Bi Murni tergopoh-gopoh berlari ke depan.

"Iya, Bu! Ada apa?"tanya bi Murni.

"Buatkan saya jus jeruk, sekalian bawakan camilan juga!" perintah Bu Ana.

"Baik, Bu!" jawab bi Murni.

"Aku juga, Bi! Aku jus alpukat ya!"

"Iya, Non!" Bi Murni segera undur diri ke belakang. Rachel hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan mertuanya.

"Akbar mana?" tanya Bu Ana.

"Ada apa, Bu?" sahut Akbar tiba-tiba muncul.

"Bener, kamu sudah talak Kienan?" tanya Ibunya tanpa basa-basi.

"Iya, Bu! Dia yang minta sendiri!" jawab Akbar santai.

"Kenapa kamu turutin, sih?" omel Ibunya.

"Dia gak mau Nerima Rachel, Bu. Aku gak mau lah, kalau harus kehilangan Rachel. Anak ini sudah aku tunggu lama. Gak mungkin aku sia-siain," jawab Akbar. Rachel tersenyum bangga mendengar jawaban Akbar.

"Apa gak sayang? Asetnya masih banyak, lho!"

"Sudah, Bu! Gak usah dipikirin! Semua udah aku pertimbangkan! Lagian, Ibu ngapain kesana?" tanya Akbar heran.

"Kamu lupa ini tanggal berapa? Ini waktunya ngasih jatah bulanan Ibu. Tak tungguin kok gak di transfer. Ya udah, Ibu samperin aja sekalian jalan-jalan!"

"Trus, dikasih?"

"Gaklah! Dia bilang, kamu udah talak dia, jadi dia nyuruh Ibu minta sama kamu."

"Jadi, Ibu kesini mau minta uang?" tanya Rachel.

"Iya. Biasanya jatah bulanan Kienan yang kasih, sekarang Ibu minta kesini."

"Berapa, Bu, biasanya?" tanya Rachel lagi.

"Untuk Ibu dua puluh juta, Aira sepuluh juta. Total tiga puluh juta."

Rachel terkejut.

"Banyak sekali, Bu?" tanyanya heran.

"Iyalah! Itu untuk kebutuhan rumah satu bulan! Ibu juga harus bayar arisan sana sini." Bu Ana memberi penjelasan.

"Untuk Aira kok sampe segitu? Itu untuk biaya kuliah sekalian, ya?"

"Gaklah! Itu uang jajan aja. Biaya kuliah lain lagi," sahut Aira.

"Kenapa? Kamu keberatan?" tanya mertuanya.

"Bukan begitu, Bu, hanya gak nyangka saja sebanyak itu."

"Itu belum seberapa. Kalo Ibu lagi pengen beli tas, baju atau perhiasan, biasanya ibu minta lagi sama Kienan, dan selalu dikasih. Jadi, kamu jangan pelit sama Ibu!" sahut mertuanya.

"Udah, Bar! Mana uangnya! Mau Ibu pake belanja!" lanjut ibu Akbar.

"Iya, Bu! Akbar ambilkan dulu!"

Akbar beranjak ke kamarnya diikuti Rachel.

Sesampainya di kamar, Akbar segera membuka brankas untuk mengambil uang tunai.

"Mas, kok banyak sekali sih, jatah bulanan untuk Ibu?" protes Rachel.

"Mau bagaimana lagi? Biasanya Ibu Nerima juga segitu."

"Tapi, jangan disamakan, dong! Kebutuhan kita kan, juga banyak. Apalagi, sebentar lagi kita punya anak."

"Tapi, aku gak enak kalau harus mengurangi jatah mereka."

"Udah, mana uangnya! Aku gak rela yang sebanyak ini kamu kasihkan cuma-cuma untuk mereka! Mending, untuk aku belanja!" Rachel segera merebut uang tersebut.

"Trus, mereka bagaimana?"

"Udah, aku yang atur. Ayo, turun!"

Mereka segera keluar dari kamarnya menuju tempat Ibu dan Aira menunggu.

"Bu, ini yang belanjanya! Dan, ini untuk Aira!" ujar Rachel sembari menyerahkan uang tersebut.

"Berapa ini? Kok, kayaknya sedikit," protes Ibu Akbar.

"Iya, nih! Kayaknya ini gak sampe sepuluh juta, deh!" sahut Aira, lalu menghitung uang tersebut.

"Mbak, punyaku cuma lima juta?" protes Aira.

"Iya, nih! Punya Ibu juga cuma sepuluh juta! Akbar! Kamu jangan bercanda, ya!" protes Ibunya.

"Maaf, Bu. Sekarang kan, aku istri mas Akbar. Jadi, uang mas Akbar aku yang pegang. Aku rasa, uang segitu sudah cukup kok buat sebulan!" jawab Rachel halus.

"Cukup dari mana? Ini buat belanja, bayar listrik air, belum arisan Ibu."

"Terserah Ibu bagaimana mengaturnya. Yang jelas, jatah dari aku segitu. Dicukup-cukupin ajalah, Bu!"

"Akbar! Jangan diam saja kamu!" teriak Ibunya.

"Maaf, Bu! Rachel benar! Lagian, sebentar lagi dia melahirkan! Kami butuh banyak biaya!" sahut Akbar.

"Kalau tahu begini, lebih baik jangan kamu ceraikan Kienan. Dia masih bisa sapi perah kita."

"Sudahlah, Bu! Jangan bawa-bawa Kienan! Bukankah dulu Ibu sendiri yang meminta aku mencari istri lagi?"

"Iya. Ibu kan, sudah pengen gendong cucu!"

"Lha iya itu! Ini Rachel sebentar lagi kasih ibu cucu! Gak usah bahas wanita mandul itu lagi!"

"Dia gak mandul, Bar!" sahut Ibunya lirih.

"Apa maksud Ibu? Bukankah selama ini Ibu sendiri yang mengatakan kalau dia mandul? Buktinya, aku baru sebentar dengan Rachel, dia langsung hamil."

"Tadi, pas ibu kesana, dia bilang sama Ibu kalau dia sedang hamil."

"Apa?" Akbar dan Rachel berteriak bersamaan.

"Ibu serius?" tanya Akbar memastikan.

"Dia bilangnya sih, gitu."

"Trus, ibu percaya? Bisa aja kan, dia ngomong kayak gitu, biar gak jadi diceraiin mas Akbar," sahut Rachel.

"Ibu tadi juga sempat kepikiran kayak gitu, cuma Kienan itu kan gak pernah bohong. Dia gak mungkin bohongin kita, apalagi untuk masalah seserius ini," sahut Ibu Akbar.

Akbar tampak berpikir.

"Bu, bagaimana kalau Kienan beneran hamil? Itu anakku, Bu!" ujar Akbar.

"Mas, jangan aneh-aneh, deh! Ini juga anakmu!" sahut Rachel sewot, lalu beranjak meninggalkan mereka.

Mereka bertiga memandang kepergian Rachel dengan perasaan yang entah. Sulit dijabarkan.

Setelah Rachel sudah benar-benar menghilang, ibu Akbar berucap,"Bar, bagaimana kalau Kienan beneran hamil? Apa kamu akan rujuk sama dia?"

Akbar mengacak rambutnya frustasi.

"Akbar gak tau, Bu. Yang jelas, kita harus memastikan apakah Kienan beneran hamil atau hanya pura-pura."

"Caranya?"

"Aku akan temui dia, Bu! Kalau benar dia hamil, aku gak mungkin ninggalin dia, Bu! Yang dikandungannya juga anakku. Anak yang sudah kami tunggu selama lima tahun," jawab Akbar.

Sementara itu, di kamarnya Rachel mondar-mandir gelisah.

"Gak. Kienan gak oleh hamil. Aku gak mau mas Akbar berubah pikiran dan kembali sama dia. Aku harus menyelidiki masalah ini." Rachel berbicara sendiri di dalam kamarnya.

Rachel meraih ponselnya.

"Halo, Gerry!"

"Halo, sayang! Tumben telepon! Kamu pasti kangen sama aku. Iya, kan?" sahut pria di ujung telepon.

"Gerry! Jangan bercanda kamu! Aku ada kerjaan buat kamu! Temui aku besok di tempat biasa!"

"Oke, sayang! Asal jangan lupa, bawakan aku uang!"

"Gak. Kemarin aku sudah memberi kamu dua puluh lima juta!" sahut Rachel.

"Itu,kan, kemarin, sayang! Uangnya udah habis dong, buat senang-senang!"

"Jangan gila kamu, Ger! Suamiku bisa curiga kalau aku sering-sering kasih kamu uang!"

"Ya … pinter-pinternya kamu lah cari alasan. Oke, sayang? See you!" Gerry memutuskan sambungan ponselnya sepihak.

Rachel pun segera menutup teleponnya. Dia begitu gelisah.

"Sial!"

*****************************************

Pagi ini, seperti biasa, Kienan telah bersiap pergi ke kantor.

"Bi, camilan yang saya minta sudah disiapkan?" tanya Kienan.

"Sudah, Bu! Sudah saya siapkan di kotak makan!"

"Terimakasih, Bi!"

"Iya, Bu! Sama-sama!"

Semalam, Kienan memang minta dibawakan bekal camilan buah kupas dan beberapa potong kue. Alhamdulillah, kehamilannya tidak menghalangi aktivitasnya. Dia hanya mengalami sedikit mual dan lemas. Selebihnya, aman.

Sesampainya di kantor, Kienan sudah ditunggu pak Firman.

"Selamat pagi, Bu Kienan!" sapa pak Firman.

"Selamat pagi, pak Firman! Mari, ke ruangan saya!"

"Baik, Bu!"

Mereka melangkah beriringan. Sepanjang jalan, para karyawan menyapa mereka. Kienan membalas sapaan mereka ramah.

"Annisa, tolong minta OB membuat kopi untuk pak Firman. Saya minta teh hangat saja!" ucap Kienan kepada sekretarisnya.

"Baik, Bu!”

Kienan dan pak Firman segera masuk ke dalam ruangan.

"Ada apa bu Kienan memanggil saya? Ada yang bisa saya bantu lagi?" tanya Pak Firman.

"Begini, Pak! Saya ingin mengajukan gugatan cerai. Apakah pak Firman bisa membantu saya?" tanya Kienan.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
NK0812
aku sakit hati kerana tdk boleh beli kredit
goodnovel comment avatar
Ahmad dae Rhobi
bagus kenan mendingan km cerai aja sama suami brengsek
goodnovel comment avatar
Yosua Tipagau
mantap. menarik dan bikin pembaca penasaran.semakin tra bisa bergerak dari meja baca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status