Dor. Dor. Sial. Hendra memberondongku dengan peluru. Entah mendapat kekuatan darimana, tubuhku mampu bergerak. Dengan cepat aku menjatuhkan tubuh ke lantai dan bersembunyi di balik meja. Mataku bergerak mencari senjata yang terjatuh.Aku berusaha mengambil senjata yang tak jauh dariku. Sial. Hendra kembali menembakku. Untung saja aku menarik tangan. Kalau tidak, pasti timah panas itu bersarang di tanganku.“Mau ke ujung duniapun, akan ku kejar kau, vania! Ayo keluar. Jangan jadi pengecut!”Posisiku terjepit sekarang. Tak ada senjata di tangan. Artinya, nyawaku berada di ujung tanduk. Hendra dan anak buahnya pasti akan menyerangku membabi buta.Braak. Seseorang menendang meja yang melindungi tubuhku. Benar saja, mereka menembakku dari berbagai arah. Dengan cepat aku berguling-guling menghindar dari serangan. Saat tembakkan hampir mengenai tubuhku, aku berhasil menghindar dengan melompat dan jungkir balik menghindari.Posisiku benar-benar tidak menguntungkan. Saat ini aku tak bisa lari
“Kenapa? Apa kau masih mencintainya?!” sentak Clarista dengan kesal.“Bukan begitu. Aku hanya ....”“Kau membuatku kesal, Mas. Kau lihatlah. Aku akan membuat istrimu menderita!”Clarista nampak begitu marah. Dia kembali menjambak rambutku dengan keras. Rupanya clarista tak main-main dengan ucapannya. Sorot matanya yang begitu tajam mengisyaratkan amarah yang meledak dalam dada.Berkali-kali aku mencoba melepaskan diri. Namun tak jua berhasil. Aku hanya bisa pasrah. Dalam hati aku berdo’a dan memejamkan mata. Kalau memang takdirku harus mati di tangannya, aku tak bisa menolaknya. Tapi kalau nyawaku belum di ijinkan untuk lepas dari raga, Tuhan pasti akan mengirimkan bantuan.Mencoba untuk menarik nafas panjang dan siap menghadapi kematian. Selamat tinggal Raisya. Mamah sangat mencintaimu, Nak.Aku sudah siap menanti kematianku. Namun tiba-tiba terdengar suara tembakan entah dari mana. Mungkin saja hendra akan mengakhiri hidupku dengan cara menembakku, supaya aku tak tersiksa. Mungkink
Saat ini aku tak memegang senjata. Hanya koper yang ada di tanganku yang bisa membantu. Tak mau mengambil resiko. Aku lempar dua koper ke arah anak buah Hendra. Uang yang tersimpan dalam koper beterbangan di udara.Hana berhasil melumpuhkan anak buah hendra dengan tembakan tepat bersarang di kaki ketiga anak buah Hendra yang sangat nekat.“Amankan mereka!” perintah ayah kepada anggota polisi.“Siap!”Polisi segera meringkus Hendra beserta anak buahnya.“Awas kamu, Vania! Aku tak terima dengan semua ini! Tunggu pembalasanku!” teriak Hendra saat digelandang oleh polisi.“Aku tunggu pembalasanmu, Mahendraku sayang!” jawabku sembari membusungkan dada.Ayah mengejar Hendra. Dan tanpa basa-basi langsung meninju wajahnya.Bugg. “Dasar kau pria pengecut, Mahendra! Kalau kau sudah tidak suka dengan anakku, kembalikan saja dia padaku! Jangan dengan cara menyiksanya!”Bugg. Satu pukulan keras kembali mengenai wajah suamiku. Hendra hanya terdiam dan menundukkan kepala.“Akan ku bunuh kau dengan
Tiba di kantor polisi tempat mereka di tahan. Setelah mengikuti prosedur pembesukan, aku lalu di antar oleh salah satu petugas ke ruang kunjungan. Tak berapa lama datanglah si pelakor dengan tangan yang masih diperban.“Cepat keluarkan aku dari sini!” teriaknya dengan tidak sopan. Belum juga mencapai tempat duduk sudah menyemprotku. Dasar wanita gila.“Aku ke sini hanya untuk memberitahumu tentang ini.” Aku mengambil ponsel lalu membuka konten tentang dirinya yang sedang menjadi buah bibir di masyarakat. Wajahnya terlihat memerah. Amarahnya kini mulai tersulut.Aku harus berhati-hati dan memegang ponsel dengan kuat. Yang ditakutkan dia akan mengambil lalu memecahkannya.Benar saja, tangannya terulur untuk mengambil. Untung saja aku lebih sigap dengan menariknya.“Aku hanya ingin memberitahumu saja. Supaya kau tak kaget jika keluar nanti ha ....ha ....” meninggalkannya dengan tertawa puas. Tak peduli dengan teriakannya yang terus memakiku. Walau perih dalam dada tapi melihat dia mender
“Apa kamu pikir dengan menghukumnya akan mengembalikan kepercayaan orang kepadku?! Tidak clarista! Kamu pikir menghukum seseorang gak pake duit?” tanyaku dengan kesal kepada wanitaku.“Kamu’kan punya banyak uang!”“Vania sudah mebekukan seluruh akses keuanganku. Aku tidak punya uang sepeserpun! perusahaanku diambang kebangkrutan! Seluruh investor akan menarik sahamnya! Aku bisa gila Clarista!” aku memukuli kepalaku yang terasa berat. Beban yang menghimpit membuat dadaku terasa hampir meledak.“Jadi kau benar-benar miskin sekarang?!” tanya Clarista dengan wajah memucat.“Ya. Aku jadi lelaki kere seperti yang dikatakan oleh Vania! Dia benar-benar membuktikan kata-katanya! Semua karena kertas sialan itu! Cepat sekali Vania mengurusnya! Haach!” kembali aku kesal dan memukul meja kayu yang ada di hadapanku.“Lalu bagaimana nasib kita. Aku juga bangkrut. Tak ada lagi orang yang mau mengontrakku. Aku gak mau miskin, Mas, aku gak mau. Ayo, kembalikan semua seperti dulu. Kau pasti bisa. Aku ga
“Rumah ini milikku! Cepat buka pintunya! Kita selesaikan masalah secepatnya!” teriak Hendra sambil terus menggedor pintu seperti orang kesetanan.“Dengar, Hendra. Tak ada tempat untukmu di sini! Rumah ini sudah menjadi milikku! Kau tak bisa lagi masuk ke rumah ini, tanpa seijinku!” jawabku tak kalah sengit. Enak saja dia mau kembali ke sini setelah apa yang terjadi.“Tidak bisa! aku yang bekerja keras dengan membeli rumah ini! Takkan kubiarkan kau menang, Vania! Cepat buka pintunya! Hadapi aku kalau kau berani!”Hendra berteriak seperti orang gila. Kalau tidak kubuka pintu, pasti dia mengira aku takut padanya. Segera memutar kunci.Belum sempat aku membuka pintu, Hendra mendorong pintu dengan kuat. Untung saja tak sampai membuatku terjatuh.Dengan tiba-tiba dia mencekik leherku hingga aku nyaris kehabisan napas. Benar-benar tak menyangka akan mendapat serangan mendadak seperti ini dan membuatku tak berdaya.“Lepaskan!” aku berusaha melepaskan diri. Pria di hadapan mendorongku hingga
Tiba-tiba dadaku terasa membara. Menatap keduanya bergantian untuk membaca sesuatu yang tersirat pada wajah. Sayangnya tak sedikitpun aku bisa membaca isyarat pada wajah Hendra ataupun Hana.“Nanti aku jelaskan kepadamu, Vania! Jangan percaya dengan apapun yang keluar dari mulut suamimu!”“Kau bisa saja menutupinya. Tapi tidak denganku. Dulu aku masih menghargai Vania sebagai istriku. Tapi sekarang tidak lagi. Semua akan kubongkar di sini!”“Silakan! Aku juga sudah siap. Tapi ingat, kau harus bicara sejujurnya! Termasuk dengan penipuan yang kau lakukan kepada keluargaku! Bersiaplah masuk penjara!” jawab Hana dengan kesal.Wajah Hendra berubah masam. Dia bergeming seperti memikirkan sesuatu. Tak lama kemuadian dia membusungkan dada sembari melipat kedua tangan di depan dada.“Aku akan pergi! Tapi ingat, aku akan membalas perbuatan kalian!” Pria itu membalikkan badan dan berlalu meninggalkan kami. Sengaja kubiarkan.Kali ini tatapan mataku fokus kepada sahabatku. Dia hanya menundukkan k
Hana menangkap satu bantal yang kulempar lalu membuang ke lantai. Tatapan matanya sangat sulit di artikan. Dia pasti sedang berusaha untuk meminta maaf kepadaku. Aku takkan pernah mau memaafkannya.“Cepat pergi! Jangan harap aku akan memaafkan penghianat sepertimu!” teriakku kembali.“Vania. Aku takkan meminta maaf padamu. Semua kejadian di masalalu bukan salahku. Seandainya kau tahu cerita yang sebenarnya, seharusnya aku yang menyabut dirimu sebagai penghianat. Permisi!”Hana membalikkan badan dan berlalu. Aku mencoba mencerna ucapannya. Apa maksudnya dengan semua itu. Bukankah dia yang sudah menghianatiku, tapi kenapa seoalah dia yang akan menghakimiku. Apa sebenarnya yang terjadi. Semua ini membuat kepalaku seperti mau pecah. “Hana. Tunggu!” Aku berteriak, mencoba menghentikan langkah wanita yang paling mengerti tentang diriku. Hana terus melanjutkan langkah, tak peduli dengan panggilanku.“Hana! berhenti! Dengarkan aku!” kembali menyeru. Sayangnya, orang yang sangat kusayangi tet