Aku ikut mengantar Maya ke kontrakannya. Rumah minimalis bercat abu muda itu akan menjadi tempat tinggalnya saat ini. Belum ada perabotan apapun di sana. Mungkin nanti atau besok akan datang. Kudengar Mas Gilang sudah memesan beberapa perabotan penting, seperti kulkas, tempat tidur, almari, meja rias, tivi dan peralatan masak. "Semoga nanti kamu cepat hamil ya, May. Biar ibu cepat nimang cucu," ucap ibu sambil menepuk lengan Maya pelan. Maya mengangguk sambil tersenyum menatap ibu mertuanya. Aku hanya melirik sekilas. "Jangan lupa May, jaga kesehatan, makan makanan yang bergizi, jangan suka begadang, jangan minum kopi kebanyakan." Nasehat ibu terdengar begitu panjang untuk menantu kesayangan. Seperhatian itu dia. Sama aku? Boro-boro! "Mas, ini kontrakan kenapa nggak ada isinya apa-apa?" tanya Maya cepat, Mas Gilang baru selesai mematikan obrolan di henfonnya."Sabar, May. Sebentar lagi juga datang. Baru dikirim," jawab Mas Gilang kemudian."Kok nggak ngajak aku sih pesennya, Mas?
Terdengar tawa renyah anak didikku saat salah seorang temannya tak bisa mengerjakan soal di papan tulis. Andi sebenarnya anak yang pintar, hanya saja dia sering kali ketiduran di kelas saat jam pelajaran. Tiap kutanyakan alasannya apa, dengan jujur dia bilang keasyikan main game semalaman.Sepertinya zaman sekarang memang banyak anak lain seperti Andi yang dibebaskan bermain handphone atau internet tanpa pengawasan orang tua, bahkan terkadang orang tua tak terlalu peduli dengan aktivitas dan pergaulan anaknya sendiri.Sering kali orang tua berpikir yang penting mereka diam dan tak mengganggu kegiatan orang tuanya. Padahal, seorang ibu dan bapak memiliki kewajiban untuk memberikan arahan mana yang pantas dan mana yang tak pantas menjadi tontonan anak-anaknya. "Makanya Di, jangan main game mulu," ucap Nola, temannya yang duduk tepat di depan meja guru. Andi hanya cengengesan sambil garuk-garuk kepala yang mungkin tak gatal. Dia melirikku lagi, salah tingkah. "Udah Bu, kasih hukuman j
Tiga hari sudah ibu dirawat di rumah sakit. Hari ini, Alhamdulillah sudah diperbolehkan pulang meski kulihat wajah ibu masih sedikit pucat. Namun, dokter bilang jika tensinya sudah normal. Mas Gilang dan dokter Lukman masih ngobrol soal kesehatan ibu. Beliau memberikan pengarahan tentang beberapa hal yang dianjurkan dan dipantang oleh penderita stroke ringan seperti ibu. Ibu harus banyak mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran seperti pir, jeruk, apel, melon, pisang, wortel, kentang. Untuk ikan bisa memilih tuna atau salmon.Mas Gilang tampak manggut-manggut mengerti. "Untuk makanan yang dipantang apa saja ya, Dok?" tanya Mas Gilang lagi. Dia begitu antusias mendengarkan nasehat dokter untuk kebaikan ibunya. "Makanan yang sebaiknya dihindari untuk stroke ringan seperti ibu, makanan yang tinggi gula dan tinggi garam, aneka makanan olahan seperti makanan kaleng, makanan kemasan atau cepat saji, daging merah juga nggak boleh ya, Pak. Untuk garam baiknya dikurangi, kalau bisa sehari ti
Pov : MayaSejak perceraian ayah dan ibu belasan tahun lalu, tepatnya saat aku menginjak bangku kelas enam sekolah dasar, aku memang tumbuh menjadi anak yang lumayan susah diatur. Begitu kata ibu. Begitu juga kata nenekku.Tanpa pernah mereka tahu atau mungkin sedikit mencari tahu, kenapa aku bisa berubah sedrastis itu? Aku yang sebelumnya selalu menjadi kebanggaan orangtuaku, aku yang sebelumnya selalu patuh, hormat dan tak pernah membantah. Berubah menjadi seorang pembangkang. Bukan maksudku untuk itu, hanya saja aku butuh perhatian dan kasih sayang. Sejak ayah dan ibu berpisah, ayah sudah jarang menjenguk. Hanya Mbak Dewi sesekali datang. Membawakan aneka makanan ataupun peralatan sekolah. Dia bilang, kado dari ayah. Entah. Sedangkan ibu, sibuk dengan urusan pekerjaannya sebagai buruh jahit di konveksi rumahan, tak terlalu jauh dari tempat tinggal kami. Dia jarang memperhatikan keseharianku, mungkin merasa sudah ada nenek yang tiap hari mengurus dan mengawasi. Ibu hanya berpikir,
Pov : Adam "Tahu nggak sih, Dam? Si Lina, mau-maunya dimadu. Dia itu benar-benar nggak berkutik sama suaminya. Apa iya karena terlalu cinta sampai rela berbagi suami begitu? Mbak mau kasihan sebenarnya, cuma kadang kesal juga kenapa dia sebucin itu sama suaminya. Apa sih yang membuat Lina sampai sebegitu cinta?!" Ceita panjang Mbak Isma seminggu yang lalu membuatku tersedak saat menyeruput kopi. Aku shock dan tak menyangkaendapatkan kabar mengejutkan seperti itu. Lina? Dimadu?! Pikiranku mendadak kacau setelah mendengar cerita Mbak Isma dari ponsel pintar. Kerja pun tak lagi fokus. Bertahun-tahun aku berusaha mengubur cinta itu, berusaha melupakan kenangan-kenangan manis bersamanya, berusaha sepertinya yang hanya menganggap hubunganku dan dia sebatas kakak beradik, berusaha untuk menata masa depan tanpanya, namun nyatanya aku nggak bisa! Tiap kali mencoba untuk melupakan, justru hatiku seolah berontak tak ingin meninggalkan. Tiap kali berusaha mencari pengganti, justru dalam hati
Kuseduh secangkir teh untuk menghangatkan badan. Pagi ini lumayan dingin. Mentari seolah malu-malu keluar dari balik awan. Padahal, waktu sudah beranjak dhuha. Jam delapan. Namun, sinarnya belum terlihat menerangi bumi yang mulai berisik dengan lalu lalang kendaraan. Kudengar deru mobil Mas Gilang di halaman. Akhirnya dia ingat jalan pulang. Tak menyambutnya dengan senyum semringah, aku justru memilih diam. Tak beranjak dari tempat dudukku. Kubiarkan diri ini tenang dan santai sembari menikmati sepotong kue bolu dengan menyruput teh hangat, di gazebo belakang. "Lin ...." Panggilan itu kembali kudengar, setelah tiga harian ini menghilang.Aku menoleh, seolah terkejut akan hadirnya yang tiba-tiba meski beberapa detik lalu sudah kudengar kedatangannya. Detik ini, kembali kutatap lekat kedua bola matanya. Masih tetap sama seperti sebelumnya yang begitu teduh dan menenangkan jiwa."Lin, kedua mobilnya ke mana? Kok nggak ada di garasi?" Mas Gilang terlihat kaget saat melihat pemandangan y
Sekian tahun berpisah akhirnya detik ini, kami dipertemukan. Aku, Mas Gilang dan Mas Adam kembali dipertemukan dalam ruangan yang sama. Inilah pertemuan perdana kedua lelaki itu, setelah sekian tahun tak berjumpa. Entah kenapa, suasana terasa agak berbeda. Bahkan Mas Adam yang biasanya penuh canda, kini terasa sedikit kaku. Mas Adam berdehem pelan, memecah keheningan. "Maaf ya, Lang. Nggak bermaksud lancang. Beberapa hari yang lalu Lina memintaku untuk menjualkan mobilnya. Ini hasil penjualan dan notanya." Mas Adam menyerahkan amplop tebal di atas meja tamu. Mas Gilang mengangguk pelan, mengucapkan terima kasih lalu mencoba untuk tersenyum meski kulihat begitu datar. Aku lihat ekspresi keduanya begitu tak nyaman. Mungkin karena sudah terlalu lama tak bertemu, jadi sekaku itu. Tapi ... nggak juga sih. Memang dari dulu, ekspresi mereka kurang bersahabat. Apa gara-gara aku? Entah! "Aku bikinkan minum dulu, ya, Mas," pamitku, beranjak dari ruang tamu. Berharap saat aku tak ada di san
"Maya hamil.""Maya hamil.""Maya hamil." Kalimat itu selalu memenuhi otakku. Mungkinkah Maya benar-benar hamil? Secepat itu? Kenapa? Kenapa dia bisa secepat itu hamil sedangkan aku harus menunggu sekian lama? Bahkan hingga sebelas tahun berumah tangga belum juga bergaris dua?!Kenapa, Ya Allah? Apakah salah dan dosaku terlampau banyak, hingga Kau belum juga mempercayaiku untuk hamil dan merasakan makhlukMu di rahimku? Mengapa sampai sebelas tahun ini aku belum juga memiliki keturunan? Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa aku bisa selama itu, sementara dia bisa secepat ini berbadan dua? Apa salah dan dosaku, Ya Allah? Air mata ini kembali deras bercucuran. Kulipat kedua lutut di pojok kamar. Entah mengapa rasanya sakit sekali tiap mengingat soal keturunan. Mendadak, rasanya bumi ini berhenti berputar. Suara-suara sumbang itu seolah mengejekku di berbagai sudut. Kututup telinga rapat agar tak mendengar apapun, tapi rasanya percuma. Aku masih begitu jelas mendengarnya."Kamu kalah Lin