Share

Bab 4

"Dewi? Ngapain kamu di sini?" tanyaku padanya. Seakan tak percaya perempuan itu benar-benar ada di hadapanku detik ini. Dia tersenyum sinis sambil melirik, tanpa menjawab pertanyaanku, duduk begitu saja di sebelah Maya, calon maduku. 

Pertemuan yang tak pernah kusangka sebelumnya. Dia tak mempedulikanku, menganggap seolah tak ada aku dalam ruangan ini. Benar-benar nggak ada sopan santunnya bertamu di rumah orang. Perempuan seperti itukah yang diidamkan ibu menjadi menantunya?

 

"Ohya Lin, buatin teh buat mereka to. Sekalian bawakan camilannya," perintah ibu padaku. 

 

"Kenapa harus Lina, Bu?," jawabku sekenanya. Aku masih kesal dengan sikap Dewi kala itu, apalagi saat ini. Tak pernah ada rasa bersalah di hatinya sudah mempermalukanku waktu itu. Bahkan sekedar kata maaf pun enggan dia ucapkan. 

 

"Lantas siapa kalau bukan kamu, Lin? Ibu? Atau mereka kamu suruh bikin teh sendiri?" Ucapan ibu naik beberapa oktaf. 

 

Aku melirik sekilas. Beranjak dari tempat duduk, tanpa mengucap sepatah kata. Lalu, melangkah malas menuju  dapur, memasak air di teko. 

 

"Kamu kaget Lin, aku ada di sini?" Suara perempuan itu mengagetkanku. 

 

Menoleh ke arahnya yang masih berdiri di samping kulkas dengan tangan terlipat di dada. Menyebalkan sekali gayanya! Kenapa dia bisa bersikap seolah tuan rumah sedangkan aku pembantunya?! 

 

"Kenapa? Kaget? Shock? Nggak bisa bilang apa-apa? Dasar pelakor nggak tahu malu!" ucapnya lagi. 

 

Kutarik rambutnya kuat-kuat. Dia memang perempuan tak punya adab. Kurang ajar. Mulutnya nggak pernah di sekolahkan. 

 

"Apa-apaan kau, Lin. Sakitttt rambutku. Sudah gila kau ya? Stress karena suamimu sudah bosan padamu, sampai dia ingin memberimu madu?" 

 

Mulut perempuan itu masih saja tak mau diam. Semakin dia bicara semakin kencang kutarik rambut panjang sebahunya. Dia teriak-teriak kesakitan. 

 

Ibu, Mas Gilang dan Maya berlarian ke dapur. Terkejut, melihat kami saling jambak tak beraturan. 

 

"Apa-apaan kalian ini!" teriak Mas Gilang kaget.

 

Dia menarik tanganku, sedangkan Ibu dan Maya menarik tangan perempuan itu yang hampir mencakar pipiku. 

 

"Kurang ajar istrimu itu, Mas. Bukannya terima kasih aku bantuin bikin teh malah nyakar-nyakar lenganku. Sudah gila dia!" Dewi mulai bikin drama. Rasanya ingin kutampar mulutnya yang lumer itu. Nggak ada akhlak! 

 

"Apa katamu heh?! Nggak salah ucapanmu itu? Dasar perempuan nggak punya sopan santun di rumah orang!" balasku tak mau kalah. 

 

"Apa-apaan kau, Lin. Dia memang minta ijin mau bantuin kamu di dapur. Harusnya kamu bersyukur ada tamu yang nggak mau merepotkan tuan rumah" Ibu membela. 

 

Kutatap tajam bola mata ibu. Perempuan ini, yang dulu selalu kuhormati dan kusayangi sepenuh hati, nyatanya tak pernah menghargai aku sebagai menantunya. Sebanyak apapun pengorbananku untuknya, sepertinya dia memang sudah mati rasa. 

 

"Ibu nggak perlu ikut campur. Dia memang pandai bersandiwara, Bu," jawabku cepat. 

 

Wajah ibu memerah. Bukan karena malu namun sepertinya dia menahan amarah. 

 

"Dasar menantu kurang ajar. Sudah tak bisa memberi cucu, mulutmu juga tak bisa diatur!" 

 

Mas Gilang memelukku, mencoba menenangkan. Namun hatiku sudah terlanjur sakit, berantakan. Apalagi melihat ibu yang justru membela orang lain daripada menantunya sendiri. 

 

"Sudah. Sudah. Malah berantem di sini seperti anak kecil. Malu kalau sampai tetangga tahu." Mas Gilang mencoba melerai. 

 

"Lebih baik kalian pulang sekarang. Aku nggak mau buang-buang energi untuk meladeni mulutmu yang kotor itu, Wi," bentakku kemudian. 

 

"Pulang? Mereka baru saja datang, Lin. Kita sudah sepakat membicarakan tanggal pernikahan itu, kan?" 

 

Ibu masih saja ikut campur. Rasanya ingin kuusir mereka semua dari rumah ini jika tak takut murka suami. Mencoba istighfar lagi dan lagi, agar emosiku tak meledak kembali. 

 

"Terserah kalian. Mau tanggal berapa dan di mana pernikahan itu digelar. Kepalaku pusing, mau tidur di kamar."

Aku melangkahkan kaki menuju kamar, Mas Gilang sempat mencegah. Namun aku tak peduli. Malas melihat mereka berada di rumah ini. 

 

Setengah jam berlalu, aku masih termangu di sudut ranjang dengan air mata berlinang. Dadaku terasa amat sesak. Sakit ini, tak bisa kujelaskan lewat kat-kata. Ingin rasanya teriak sekencang-kencangnya agar beban ini lebih ringan, namun itu tak mungkin kulakukan. Aku tak ingin dianggap gila. 

 

Sebenarnya apa tujuan Dewi ikut datang ke rumah ini? Apa hubungan dia dengan Maya? Mas Gilang mengirimkan beberapa chat whatshap, memintaku untuk keluar sebentar namun kuabaikan.

 

"Lin ...." Suara Mas Gilang di depan pintu kamar. 

 

"Lina, aku tahu kamu nggak tidur, kan?," tanyanya lagi. 

 

"Lin, maafkan aku ...." 

 

Hanya itu ucapannya. Kemudian, kudengar derap langkah kakinya menjauh. Suara mobil Mas Gilang pun meninggalkan garasi. Mungkin dia akan mengantar mereka pulang. Syukurlah, mereka sudah pergi. Rasanya rumah ini tenang dan nyaman kembali. 

 

Kubuka pintu perlahan. Melangkah ke dapur untuk membuat secangkir kopi. Setidaknya, mungkin bisa menemani kekalutanku sore ini. 

 

"Pernikahannya digelar besok, Lin. Jam sembilan, di rumah ini," ucapan ibu dari ruang tamu menghentikan aktivitasku. 

 

***

 

 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Satria izzet ilhami
segitu bucinnya ya sampe mau dimadu & madunya tinggal bareng di rmhnya sendiri. mana pula msh ngasih jatah bulanan dari gaji sendiri buat ibu mertua. vinta boleh aja, tapi jgn lah terlalu bodoh
goodnovel comment avatar
Izha Effendi
baru ini ku tengok betina bodoh...uda jelas rumah sendri,tak bsiah tegas,malahan mau aja di madu..pengalam ya thor.klw jdi istri tu jgn lemah thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status