"Aku akan mempertemukanmu dengannya besok, Lin. Untuk hari ini, biarlah kita fokus menata hati."
Apakah dia masih menunggu cinta Mas Gilang? Hingga sampai detik ini belum juga menikah? Atau dia memang masih belum siap berumah tangga? Meski usinya tak lagi muda bahkan hampir kepala tiga?
"Dewi? Ngapain kamu di sini?" tanyaku padanya. Seakan tak percaya perempuan itu benar-benar ada di hadapanku detik ini. Dia tersenyum sinis sambil melirik, tanpa menjawab pertanyaanku, duduk begitu saja di sebelah Maya, calon maduku. Pertemuan yang tak pernah kusangka sebelumnya. Dia tak mempedulikanku, menganggap seolah tak ada aku dalam ruangan ini. Benar-benar nggak ada sopan santunnya bertamu di rumah orang. Perempuan seperti itukah yang diidamkan ibu menjadi menantunya?"Ohya Lin, buatin teh buat mereka to. Sekalian bawakan camilannya," perintah ibu padaku. "Kenapa harus Lina, Bu?," jawabku sekenanya. Aku masih kesal dengan sikap Dewi kala itu, apalagi saat ini. Tak pernah ada rasa bersalah di hatinya sudah mempermalukanku waktu itu. Bahkan sekedar kata maaf pun enggan dia ucapkan. "Lantas siapa kalau bukan kamu, Lin? Ibu? Atau mereka kamu suruh bikin teh sendiri?" Ucapan ibu naik beberapa oktaf. Aku melirik sekilas. Beranjak dari tempat duduk, tanpa mengucap sepatah kata. La
Cahaya mentari menembus celah-celah jendela kamar. Kubuka gorden jendela. Wangi mawar semerbak menyambut pagi. Semilir angin membelai wajah seketika. Wajah yang mungkin begitu sembab karena menangis semalaman. Hah! Harusnya memang aku tak terlalu sesedih itu. Bukankah aku sendiri yang memilih jalan ini? Lantas kenapa aku merasa tersakiti karena pilihanku sendiri?! Bodoh! Kuremas kasar lengan piyama. Pagi yang biasanya begitu kunanti dan kunikmati. Namun tidak untuk pagi ini. Pagiku kini terasa begitu berbeda. Tak kulihat senyumnya saat membuka mata. Tak kudengar dengkur lirihnya ataupun lengan kekarnya yang melingkar di perutku saat kubuka jendela. Pagi ini, mungkin adalah pagi yang tak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku. Karena akan menjadi saksi pernikahan kedua suamiku. Di sini. Di rumah peninggalan ibuku. Rumah bertingkat dua yang menyimpan banyak kenangan. Kenanganku bersama orang tuaku, sekaligus kenangan indah dan romantis bersamanya. Seandainya ibu masih ada, aku yaki
Acara pernikahan itu sudah selesai. Para tamu mulai keluar dari rumah ini. Sesederhana itu, sekedar ijab qabul tanpa resepsi. Benarkah Maya, gadis 21 tahun itu rela pernikahannya tanpa resepsi? Benarkah dia ikhlas pernikahannya digelar sesederhana itu? Bahkan tanpa mengundang teman-teman sebayanya satu pun? Apakah dia sengaja menyembunyikan status pernikahannya dari kawan-kawannya? Malu karena hanya menjadi istri kedua? Sehingga menerima begitu saja saran Mas Gilang untuk melangsungkan pernikahannya dengan sangat sederhana? Mungkin saja begitu. Terserah, aku tak ingin ikut campur soal itu. "Mas ... nanti kita tinggal di mana? Mas sudah nyiapin rumah kan buat aku?" Pertanyaan gadis itu sok manja dan mendayu-dayu membuatku ingin muntah saja. Seganjen itukah dia? "Mas, sudah siapin rumah baru kan buat aku?," tanyanya lagi. Heh! Rumah baru katanya? Duit darimana, Non. Bahkan untuk memberi nafkah bulanan buatmu saja nanti kerepotan. Aku tersenyum kecut. Makanya sebelum mengambil keputu
Pov : Gilang Ada tiga mobil yang masuk bengkel minta diservis. Alhamdulillah, meskipun minggu ini belum banyak customer yang datang tapi aku yakin bulan-bulan selanjutnya pelanggan akan bertambah. Yang paling penting sekarang adalah memberikan pelayanan semaksimal mungkin agar mereka tak kecewa. Hampir delapan bulan berlalu, memang belum ada hasil signifikan dari usaha bengkel ini. Jangankan balik modal atau bisa untuk tabungan. Bahkan hasilnya baru cukup untuk membayar gaji para karyawan.Tapi tak apa, aku harus bersyukur. Berapapun hasilnya yang penting halal. Sebenarnya, ada rasa bersalah di dalam dada karena tak bisa memberikan nafkah yang layak untuk istriku, Lina. Namun apa boleh buat, aku sudah berusaha maksimal hanya saja baru segitu rizki yang Dia kirimkan. Bersyukur aku memiliki istri sepertinya, dia tak pernah menuntut macam-macam, selalu mendukungku sepenuh hati di saat aku terpuruk dan jatuh, bahkan rela menyisihkan sebagian gajinya untuk jatah bulanan ibuku, yang seh
Pov Gilang (2) Sejak permintaan serius ibu kemarin aku makin nggak tenang. Aku takut Lina tahu keinginan ibu saat ini. Tiap kali dia mendekat, aku selalu berusaha menghindar. Aku takut keceplosan bicara jika berada di sampingnya. Karena tiap kali banyak pikiran, kadang ucapan dan emosiku tak terkontrol. Berulang kali dia tanya kenapa? Aku hanya menjawabnya asal. Capek lah, pusing lah atau ngantuk. Hanya itu alasanku, makin membuat gurat kebingungan di wajahnya yang ayu. Meski akhir-akhir ini aku sedikit cuek, tapi dia tak pernah kesal ataupun marah bahkan senyum manis itu masih terus terukir di kedua sudut bibirnya. Lina ... Betapa beruntungnya aku memilikimu. Kamu yang dulu begitu banyak disukai para lelaki. Kamu yang bahkan rela menolak Adam-- laki-laki yang dijodohkan ibumu itu, hanya demiku. Padahal dari segi wajah dan finansial, mungkin dia jauh lebih di atasku. Tak pernah menyangka bahwa akulah pemenangnya. Aku yang saat itu masih kuliah semester akhir, dengan polos
Suasana sekolah kembali lengang. Murid-murid sudah pulang. Namun, aku begitu enggan beranjak dari kursi kelas empat ini. Masih duduk termangu, memikirkan rumah tanggaku.Hari ini, jadwal Mas Gilang pulang. Entah ekspresi apa dan bagaimana nanti yang akan kutunjukkan. Bingung. Meskipun jalan ini, aku yang memilihnya sendiri, namun jujur saja aku belum sepenuhnya bisa menerima dan memahami. Tapi ... Jika aku terus merasa tersakiti, bukankah aku justru lebih berdosa? Memaksakan sesuatu yang tak mampu kuterima? Mataku kembali berkaca-kaca mengingat semuanya. Kudengar derap langkah ke luar dari ruang guru. Mungkin beberapa guru mulai meninggalkan sekolah. "Aku kasihan lihat Bu Lina. Sejak suaminya menikah lagi, dia terlihat berbeda. Sering melamun sendirian di kelas saat anak-anak pulang. Kadang juga duduk aja di mushola sampai sekolah sepi." Kudengar suara Bu Ika membicarakanku. Kuhela napas sesak."Lagian siapa suruh mau dimadu? Bu Lina sendiri yang memilih, kan? Kalau saya jadi di
Langit begitu gelap. Suara guruh terdengar riuh, sesekali menggelegar. Rintik hujan pun mulai datang mengguyur. Perlahan membasahi bumi. Aroma tanah yang khas ketika hujan mulai mengusik Indra penciuman. Aku menyukai itu. Merindukan damai dan tenangnya di tengah semilir angin yang sesekali menerpa wajah.Kumainkan gemericik air yang turun dari langit dengan telapak tangan. Membiarkannya terpercik ke lengan dan baju yang kukenakan. Tak lupa menengadahkan tangan ke atas, menangkap air yang mulai deras mengguyur lalu membasuhkannya ke wajah. Sejuk dan dingin yang terasa berbeda. Lagi-lagi aku menyukainya. Cukup lama aku di sini. Terdiam di sebuah gazebo taman belakang, ditemani secangkir teh hangat dan mi telur favoritku. Tak kupedulikan Mas Gilang yang sedari tadi duduk di bangku teras, menatapku. Tiba-tiba Maya datang membawakan nampan berisi dua cangkir dan camilan. Mungkin teh atau kopi. Entahlah. Lalu, muncul ibu dari belakang. Bicara, entah apa. Aku pura-pura tak melihat. Menikma
Alarm handphone berbunyi tepat di samping kepala. Kukucek mata perlahan lalu mematikan alarm yang begitu berisik di telinga. Setelahnya menata selimut dan bantal kemudian bergegas keluar kamar. Kulihat Mas Gilang tidur di sofa tanpa bantal dan selimut. Entah mengapa, aku sebenarnya nggak tega melihatnya seperti itu. Tapi ... rasa sebal dan cemburu itu masih saja merajai otakku.Aku masih setengah menerima, setengah menolak pernikahan keduanya! Kadang kuberpikir, apakah Mas Gilang sudah tak mencintaiku lagi? Apakah aku sudah tak semenarik dulu? Apakah keturunan itu hanya sebagai alibi karena kebosanannya padaku? Apakah aku pernah membuatnya kecewa, hingga dia sengaja membalasnya dengan mengirimkaku seorang adik madu? Kuhembuskan napas kasar. Aku bergeming. Memandang wajah Mas Gilang yang begitu nyenyak terlelap. Dia terlihat tenang dan damai, meski gurat beban masih tampak jelas di wajah tampannya. Aku tak tahu kenapa dia bisa setenang itu. Padahal biasanya dia tak bisa terlelap ta