Share

Bab 6

Author: NawankWulan
last update Last Updated: 2022-12-20 05:35:48

"Sayang, mau ke mana?" Aku mencegah Zilva yang akan pergi begitu saja setelah mama mengusirnya dari gedung yang kusewa untuk acara pernikahan ini. Mama memang keterlaluan dan seolah tak memiliki perasaan.

Seharusnya mama menyambut Zilva dengan tangan terbuka karena dia sudah merelakanku untuk menikah lagi. Itu artinya dia rela dimadu demi mengabulkan impian mama yang berharap segera mendapatkan cucu pada pernikahan keduaku ini. 

Zilva menghentikan langkah lalu membalikkan badan. Sesaat dia bergeming, menatapku cukup lekat lalu tersenyum tipis sembari menunjuk ke belakangku dengan dagunya. 

Aku tahu di belakang sana ada pesta penuh tawa dan bahagia setelah para saksi dan penghulu mengatakan pernikahan ini sah di mata agama. Aku mengerti jika masih banyak tamu yang begitu euforia dengan pernikahan keduaku ini. 

Mungkin mereka mengira aku juga sebahagia itu. Menikah dengan perempuan cantik dan seksi yang disetujui bahkan disaksikan oleh istri pertamanya sendiri tentu menjadi hal yang berbeda dan istimewa menurut mereka. 

Sayangnya, aku tak bisa sebahagia itu. Ada bongkahan luka yang menghujam jantungku tiap kali melihat senyum tipis Zilva. Senyum yang sengaja dia perlihatkan di depan semua orang bahwa dia baik-baik saja, padahal kutahu menyimpan luka yang teramat perihnya. 

"Tak perlu memikirkanku. Aku baik-baik saja dengan semua keputusanmu, Mas. Ini hari pernikahanmu bersama perempuan itu. Berbahagialah dan pulang tepat waktu sebab aku tetap istri sahmu. Jika tak sanggup berbagi hati dan waktu, boleh menceraikanku," balas Zilva dengan tenangnya setelah menghela napas panjang.  

Sungguh, jawaban Zilva kali ini benar-benar membuatku tercekat seketika. Tak menyangka jika Zilva yang dulu begitu mencintai dan seakan tak bisa hidup tanpaku kini telah menjelma menjadi sosok yang berbeda. Bahkan dia berani menawarkan sebuah perceraian yang tak pernah terpikirkan sedikitpun di benakku. Jangankan terlintas di otak, sekadar membayangkannya saja tak pernah. 

Aku sangat mencintai Zilva sejak pandangan pertama hingga detik ini. Bagaimana mungkin aku menceraikannya? Bahkan aku menikah dengan Lala pun ingin mendapatkan izinnya karena aku tak ingin membuat lukanya bertambah dalam jika melihatku menikah diam-diam. 

Mungkinkah Zilva tak lagi mencintaiku karena pernikahan keduaku ini? Secepat itukah cinta yang begitu dalam untukku itu memudar di hatinya? Kurasa nggak mungkin. Zilva jelas masih mencintaiku, hanya saja dia pura-pura tegar di depan Lala dan mama. Setidaknya agar tak kembali menjadi bahan ejekan mereka seperti sebelumnya. Iya, aku yakin itu.  

"Sayang, Zilva. Kita sudah janji nggak akan membahas soal perceraian bukan? Percayalah, sampai kapanpun aku sangat mencintaimu. Kamu harus yakin jika pernikahan ini sekadar menuruti permintaan mama untuk mendapatkan keturunan. Satu mimpi mama yang belum kesampaian sampai sekarang, bukan karena aku yang menginginkan apalagi karena aku mencintai Lala. Kamu percaya itu kan?" lirihku kembali meyakinkannya. Zilva menoleh lalu tersenyum tipis seolah mengejek apa yang kujelaskan. 

"Bukan hanya mama, tapi juga kamu, Mas. Kamu bilang dua tahun adalah waktu yang singkat dan masih ada tahun-tahun berikutnya untuk mendapatkan momongan. Tapi nyatanya, kamu pun mulai masuk dalam jebakan mama. Tak sengaja mengeluhkan hal yang sama. Kamu sering bilang ingin segera mendapatkan keturunan karena rumah cukup sepi selama dua tahun belakangan. Sudahlah, tak perlu menjadikan mama sebagai alibimu terus menerus, padahal kamu dan mama memiliki mimpi yang sama." 

"Zilva ... jika mama tak terus menuntutku, aku tak mungkin mengiyakan pernikahan ini. Kupikir dengan menikah lagi, mama tak akan terus mengusik dan menyindirmu, Sayang. Aku nggak tega melihatmu menjadi bahan sindir-sindiran atau ejekan keluarga besar tiap kali kumpul bersama. Kamu percaya kan?" 

Aku begitu memohon agar Zilva mempercayai semua yang kuucapkan. Aku benar-benar takut jika dia meragukan cinta dan kasih sayangku padanya. Cinta itu tetap sama dan tak akan pernah berubah sekalipun aku telah memiliki Lala.

 

Zilva dan Lala adalah pribadi yang sangat berbeda. Jelas aku merasa sangat nyaman jika bersama istri pertamaku itu dibandingkan bersama Lala. 

Zilva memiliki kecantikan hati dan wajah yang selalu membuatku rindu, tapi Lala hanya memamerkan keindahan tubuh dan kecantikan wajahnya saja yang kurasa hanya menghadirkan nafsu. 

Berulang kali kuminta Zilva untuk tetap mempercayai cintaku, tapi perempuan berwajah teduh itu hanya mengulas senyum seolah ada keraguan dalam senyumnya. 

Tak ada sepatah kata pun yang diucapkannya. Tak seperti biasa yang selalu banyak tanya, banyak pujian, banyak obrolan yang membuatku semakin nyaman berada di sampingnya.

Kini, aku mulai merasakan perbedaan dari Zilva dan aku tak tahu apakah akan menemukan Zilvaku kembali seperti dulu.  

"Katakan jika kamu masih mencintaiku, Sayang. Cintamu adalah kekuatanku. Kamu tahu itu kan?" Lagi, Zilva hanya melambaikan telapak tangannya di depanku seolah menepis semua yang kuucapkan. 

 

"Itu dulu, bukan sekarang, Mas. Kekuatan cintamu tak lagi aku, tapi juga perempuan itu. Bersikaplah adil, jika kamu tak ingin rugi dunia akhirat. Tak peduli apa alasanmu menikahiku dan menikahinya, tapi adil adalah kewajibanmu."  

"Mas! Kenapa di sini terus sih? Ini hari pernikahan kita, Sayang. Harusnya kita nikmati kebahagiaan ini. Bukankah dia sudah mengizinkanmu menikah lagi? Kenapa dia tak jua pergi? Apa sengaja datang ke sini karena tak ikhlas dengan keputusannya sendiri?" Lala datang dengan kekesalannya. Aku yakin mama yang memintanya datang ke sini agar aku segera masuk dan menyambut tamu yang mulai berdatangan. 

"Aku memang akan pergi, Mbak. Hanya saja, suamiku memanggil dan ingin ngobrol sebentar. Tak salah bukan jika aku ngobrol dengan suamiku sendiri?" balas Zilva dengan tenangnya. Wajah Lala memerah seketika. Ada kemarahan yang terlukis dalam tatapnya. 

 

"Tenang saja, aku tak akan mengganggu kebahagiaan kalian berdua. Aku tahu letak hak dan kewajibanku. Aku pulang dan selamat bersenang-senang." 

Zilva menatapku sekilas sebelum pergi dengan taksi yang sudah menunggunya di tepi jalan. Entah mengapa, kata bersenang-senang yang diucapkannya sedikit menggoreskan luka di ulu hati. Aku telah melukai perempuan itu. Perempuan yang nyaris tak pernah membuatku terluka selama dua tahun bersamanya. 

"Ayo masuk, Mas. Malu dilihat banyak tamu. Jangan sampai papaku kembali murka dan sakit jantung mama kumat lagi karena kamu masih terus memikirkan perempuan itu di acara sakral kita!" ancam Lala membuatku terjaga. Kuhela napas panjang lalu mengikutinya memasuki gedung pernikahan.

Mungkin Lala benar. Seminggu ke depan adalah waktuku bersamanya. Aku tak boleh terus-terusan memikirkan Zilva sebab nanti ada jatah waktuku sendiri untuk bersamanya. Dia tinggal menunggu saja di rumah dan aku akan datang menemuinya. 

Aku yakin Zilva baik-baik saja. Dia perempuan yang taat, tak mungkin patah hanya karena dimadu. Dia perempuan yang kuat sebab sejak dulu memang selalu diuji dengan berbagai masalah. Dia tak pernah tumbang, justru semakin menancap kuat dan berkembang. 

*** 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (6)
goodnovel comment avatar
Harmila Bahar
zilva yg dimadu sy yg sakiit ......
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
yakin bisa setia? klu setia kamu g akan mendua. justru wanita seperti lala yg akan membuat mu tenggelam dlm nafsu dan perlahan2 lupa akan zilpa yg menunggu giliran. menjijikkan membayangkan digilir suami
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
ada ya mertua bangsatt dan laki² oon kayak gini ??
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • KUSITA HARTA SEBELUM SUAMI MENDUA   Keluarga yang Hangat (TAMAT)

    Rumah Amran sore ini terasa berbeda. Udara hangat, aroma masakan memenuhi rumah, dan suara tawa bercampur riuh anak-anak menggema dari halaman belakang. Hari ini bukan perayaan besar. Tak ada tenda, tak ada dekorasi mewah, hanya syukuran kecil-kecilan, tetapi hangatnya menembus sampai ke dada.Zilva berdiri di dapur, mengatur piring dan gelas sambil sesekali menoleh ke arah halaman belakang. “Mas, tolong ambilin karpet gulung yang di gudang ya,” serunya.Amran yang sedang membantu mama menata meja tertawa kecil.“Iya, Tuan Putri. Perintahnya langsung jalan.”Mama Amran, Bu Ratna, ikut terkekeh.“Anak Mama tuh kalau istrinya yang ngomong langsung nurut. Mama saja kalah pamor.”“Ma … jangan begitu dong." Amran protes sambil tertawa. “Ini kan acara syukuran buat semuanya. Jadi, suami harus rajin dikit.”Bu Ratna hanya menggeleng sambil tersenyum bangga.“Kamu tuh sekarang jauh lebih lembut, Ran. Zilva yang bikin kamu berubah.”Zilva mendongak, mengelap tangannya dengan sapu tangan.“Ad

  • KUSITA HARTA SEBELUM SUAMI MENDUA   Jalan Tak Terduga

    Suasana ruang keluarga Amran sore ini terasa lebih berat daripada hari-hari sebelumnya. Prilly duduk di sofa dengan kaki diperban, Romy berada di sampingnya, dan Roby berdiri dekat jendela sambil memegang map berisi bukti-bukti yang berhasil ditemukan. Amran melangkah masuk dengan wajah serius, tetapi ada juga kelembutan yang sulit disembunyikan.“Mas, gimana? Sudah lapor polisi?” tanya Prilly, suaranya pelan namun penuh cemas.Amran duduk di depan mereka sembari menyilangkan tangan.“Belum. Belum ada laporan apa pun dari kita ke polisi.”Romy mengerutkan alis. “Kenapa, Mas? Kita punya bukti lengkap. Luka Prilly, rekaman CCTV, identitas pelaku bahkan pengakuan Fammy di telepon itu." Romy menepuk-nepuk pelan pundak istrinya yang ikut gelisah. Amran menghela napas panjang. “Iya, aku tahu. Tapi sebelum kita bertindak jauh, kita harus pikir matang-matang.”Prilly menggigit bibir. “Bertindak matang-matang gimana, Mas? Tinggal jebloskan perempuan itu ke penjara kan semua sudah jelas dan

  • KUSITA HARTA SEBELUM SUAMI MENDUA   Kedok Terbongkar

    Minimarket itu sudah sepi. Lampunya tinggal satu yang menyala redup. Roby mengetuk pintu kaca.“Permisi! Ada pengurus shift malam?" Seorang karyawan muncul, wajah mengantuk. “Iya, Mas. Ada apa?” Roby mengeluarkan kartu nama.“Saya Roby, asisten Amran Iriansyah.” Dia menekan nama itu dengan sengaja. “Kami butuh akses rekaman CCTV untuk penyelidikan kecelakaan tabrak lari.”Karyawan itu segera tersadar.“Oh … iya, iya, Mas! Tunggu, saya panggil kepala tokonya.”Tak sampai semenit, kepala toko datang tergopoh-gopoh.“Maaf, Mas. Ada kepentingan apa dengan CCTV?” Romy ikut bicara. “Istri saya ditabrak orang dekat sini. Kami butuh lihat arah datangnya motor itu.”Kepala toko langsung mengangguk.“Saya bantu, Mas. Silakan masuk.”Mereka masuk ruang monitor. Roby memperhatikan dengan tajam.“Putar mulai jam delapan lewat lima belas.”Rekaman berjalan. Lalu…“STOP!” Roby menunjuk layar.“Itu dia! Itu motornya!”Terlihat Prilly berjalan membawa plastik belanja. Lalu sebuah motor melaju dari

  • KUSITA HARTA SEBELUM SUAMI MENDUA   Jejak Gelap

    Ruang kerja Amran sudah gelap ketika semua lampu kantor lain padam, namun dia masih duduk tegak di balik meja besar kayu mahoni. Tangan kirinya mengepal, sementara tangan kanan memijat pelipis. Wajahnya tegang, matanya merah karena lelah tetapi pikirannya tak berhenti bekerja.Dia baru saja pulang dari rumah sakit setelah menjenguk Prilly. Adiknya itu masih shock. Tubuhnya penuh memar, kakinya diperban akibat benturan keras. Dokter bilang luka itu bisa lebih parah kalau Prilly tidak sempat melompat ke samping sebelum motor itu benar-benar menabraknya.Tapi yang lebih menakutkan adalah kalimat Prilly waktu sadar."Sepertinya dia emang sengaja nabrak aku, Mas. Dia udah ngawasin aku sejak beberapa hari belakangan. Mungkin ini kesempatan yang pas, makanya dia langsung eksekusi." Detik ini, Amran meremas rambutnya sendiri dengan frustrasi. Dia tak bisa tinggal diam. Dia akan selesaikan satu persatu masalah keluarganya. Setelah teror keluarga kecilnya usai, dia mulai fokus membantu Prilly

  • KUSITA HARTA SEBELUM SUAMI MENDUA   Akhirnya kebenaran Tersingkap

    Suara sirine masih menggema ketika Benny dan tiga anak buahnya didorong masuk ke ruang interogasi. Baju mereka lusuh, wajah penuh debu, dan tangan diborgol. Di balik kaca satu arah, Amran berdiri kaku dengan rahang mengeras. Roby berada di sampingnya, menepuk pundak bosnya pelan, mencoba menenangkan meski dadanya sendiri berdegup tak karuan. Di ruang interogasi, penyidik bersandar, nada suaranya tajam.“Benny. Kamu dan anak buahmu selalu meneror keluarga Amran. Ini sudah masuk pasal berat. Jelaskan siapa otaknya.”Benny menelan ludah. Tangannya gemetar. Dia tak membalas bahkan terus menyangkal berulang kali. Namun, setelah beberapa menit dicecar, akhirnya dia menyerah. “Tolong, kami hanya disuruh."“Siapa yang nyuruh?”Benny memejamkan mata. Anak buahnya saling pandang, wajah mereka pucat. Akhirnya Benny mengembuskan napas panjang.“Deswita, Pak. Namanya Deswita. Dia bayar kami. Katanya cuma buat nakut-nakutin keluarga Amran. Suruh kasih peringatan biar istrinya sadar diri.”“Sadar

  • KUSITA HARTA SEBELUM SUAMI MENDUA   Menyerah

    "Kamu nggak ninggalin dia tanpa pengawasan kan, Rob?" tanya Amran sembari mendengarkan bukti rekaman yang didapatkan asistennya itu. "Ada anak buah saya di sana, Mas. Tenang aja. Semua sudah saya atur dan dia nggak akan bisa kabur." Roby membalas cepat sembari membenarkan letak duduknya. Amran pun manggut-manggut. Dia cukup percaya dengan kinerja Roby karena sudah bertahun-tahun bersamanya. Dia bertanya demikian hanya untuk memastikan dan lebih meyakinkan perkiraannya saja. "Dia sendirian di kontrakan itu atau ada teman lain?" Amran kembali bertanya lebih detail. "Sendirian, Mas. Sepertinya dia akan pergi malam ini juga karena tahu kalau Mas Amran sudah mulai mencurigainya." "Atur semuanya, bawa polisi sekalian. Aku nggak mau dia kabur lagi." Amran mematikan rekaman lalu memindahkan bukti itu ke laptopnya untuk jaga-jaga kalau rekaman pertama kenapa-kenapa. "Baik, Mas. Saya akan urus semuanya." Roby memasukkan ponselnya ke saku celana lalu menyeruput secangkir kopi yang disediak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status