Share

Bab 6

Kehilangan arah

Rendi tertunduk. Matanya mengembun, dia tidak pernah mengira jika kata talak benar-benar sudah diucapkan. 

Dia harus bisa menerima semuanya. Hidup sendiri tanpa ada orang yang menemani. 

Meskipun pernikahan yang ia bangun masih seumur jagung. Namun dia harus bisa menerima. Jika Clara bersamanya terus bukan hanya Rendi yang akan terluka tapi Clara juga akan terluka. Dia butuh sentuhan butuh nafkah batin. Sedangkan Rendi, dia tidak bisa memberikannya. 

Rendi sudah memikirkan matang-matang keputusannya ini. Selama ini dia cukup pandai mengurus hidupnya sendiri. Jadi jika tidak ada lagi Clara dia sudah bisa menjalani hidupnya seperti biasa.

Meskipun tak pernah ia pungkiri. Dia masih menyimpan cinta itu untuk Clara. Tapi luka yang diberikan wanita itu juga terlalu dalam. Cukup untuk mengubur rasa itu dalam-dalam.

****

"Bu, kamu itu jangan tertipu dengan muka Rendi yang sok lugu itu. Dia memang begitu kok!" ucap Ana sembari memberikan kode pada Clara.

Clara hanya diam dia memainkan sendok makanan yang berada di depannya. Nafsu makannya benar-benar sudah menguar begitu saja.

"Ow, saya pikir. Mbak Clara pergi ninggalin Mas Rendi karena dia nggak bisa ngasih nafkah batin."

Uhuk … uhuk …

Ana tersedak ketika mendengar sang pemilik warung mengatakan alasan kenapa Clara pergi. 

Dia benar-benar tidak pernah menyangka jika tetangganya bisa berpikir demikian. Padahal mereka jarang sekali mengumbar masalah kepada tetangga. 

"Pelan-pelan, Jeng. Kalau toh ucapanku benar. Itu biar menjadi rahasia kita, ya kan Mbak Clara?" Wanita itu mengedipkan satu matanya ke arah Clara. Sedangkan Clara hanya membalas dengan senyuman yang dipaksakan.

"Sudah jadi rahasia umum kali, Jeng! Kalau sebentar lagi ada yang bercerai karena nafkah batin. Ih, jadi perempuan kok gitu amat ya? Padahal dulu pas masih sehat baik-baik. Eh, setelah sakit ketahuan tu belangnya. " Tiba-tiba beberapa tetangga mulai berdatangan.

Clara pura-pura tuli mendengar ucapan dan sindiran para tetangga.

Warung pun semakin ramai.

Ada yang sekedar membeli sabun tapi ada juga yang memutuskan makan di tempat. Benar-benar membuat Ana dan Clara malu dan juga salah tingkah. Dia bingung harus pergi kemana? 

Pemilik warung itu pun akhirnya pergi melayani pembeli. Meskipun masih ada banyak tanya dalam pikirannya. Jelas saja dia selalu mengatakan bahwa Rendi lelaki yang baik. Memang benar, dia saja yang tidak tahu bahwa Clara wanita liar.

Ana hanya bisa menatap netra Clara. Dia memang seperti itu bukan.

Keduanya hingga akhirnya berpamitan. Setelah membayar makanan yang ada di depan mereka.

Lantas menyeret koper pergi meninggalkan warung tersebut yang cukup ramai pembeli.

"Kamu telpon pacarmu itu sekarang! Mau tidur dimana kita malam ini? Ibu nggak mau kita tidur di jalanan ya!" Ana murka dengan anak semata wayangnya. Meskipun tadi dia berkata ingin keluar rumah segera tapi tak ia pikirkan kemana malam ini mereka akan tidur.

"Gara-gara Ibu kita harus diusir sama Mas Rendi. Seharusnya kita baik-baik dulu. Setelah aku bisa membawa sertifikat rumah dan aset lainnya baru kita pergi!"

"Halah, kelamaan. Ibu sudah muak dengan lelaki Caca* itu. Sombongnya kebangetan. Ibu nggak suka!"

"Yang sombong tu Ibu bukan Mas Rendi!"

"Ow, jadi kamu nyesel pergi dari rumah itu sama Ibu?"

"Ya nggak gitu juga, tapi kan kita bisa menyusun rencana tho, Bu. Gimana kedepannya, nggak kek gini. Berantakan!"

"Jadi kamu mau nyalahin Ibu begitu?!"

Clara menculas, dia gak ingin lagi berdebat dengan wanita yang sudah melahirkannya itu. Dia akan terus disalahkan, meskipun tidak semua salah Clara.

Akhirnya mobil lelaki tua itu datang. Menghampiri mereka dan membawa mereka pergi dari komplek itu. 

Sepanjang perjalanan Clara hanya diam. Dia menatap jauh keluar jendela. Dia tidak menyangka akan secepat ini bercerai dengan Rendi.

"Aku harus bagaimana? Agar bisa masuk kedalam rumah itu lagi?" ucap Clara dalam hati. 

***

Rania terus memeluk anaknya. Tidak mungkin dia tega membiarkan anaknya kelaparan. Tapi bagaimana dia bisa membeli makanan? Uang satu sen pun dia tak punya.

Setelah Salsa terlelap dia menidurkannya di kamar. Lalu dengan menguatkan hati dia memberanikan diri pergi ke warung yang tak jauh dari rumahnya. 

Meminta belas kasih agar diperbolehkan berhutang beras. Namun naas sang pemilik warung tidak mengizinkan Rania berhutang. Masih banyak hutang yang belum dibayar olehnya. 

Rania pulang dengan kekecewaan. Tubuhnya ia hempaskan di kursi teras depan rumah. Berdoa agar sang pemberi hidup mengirimkan bantuannya padanya. 

Doanya terkabul, dia melihat sang pemilik warung berjalan menghampiri. Membawakan satu karung beras. Dan juga mengatakan bahwa hutang-hutangnya sudah lunas. Rania bahagia meski dia harus mengesampingkan malu.

Tak henti-hentinya dia mengucap syukur. Berdoa agar sang pemurah hati itu selalu dilimpahkan kebahagiaan dan keselamatan.

Rania berniat mengucapkan terima kasih. Namun sayang kedatangannya di waktu yang tidak tepat.

Dia dituduh selingkuh dengan Rendi padahal dia baru saja mengenal Rendi. Tidak masuk akal bukan. Tapi tak pernah Rania masukan dalam hati. Karena dia yakin jika Rendi baik

Rania pulang dengan membawa Salsa. Memeluknya dan mendekapnya erat. Disaat-saat seperti ini dia merindukan suaminya. Suami yang begitu dicintai. Mereka berpisah karena maut, karena Allah yang telah memisahkan mereka. 

"Mbak Sulis? Kok ada disini?" Kakak ipar Rania datang. Dia sudah duduk di kursi teras. 

"Mana uang yang diberikan ibu pada kamu!" Rania tak menyangka jika kedatangan Sulis hanya karena uang semata. Bukan karena ingin melihat keadaan dirinya dan Salsa.

"Uang itu tidak ada, Mbak."

"Jangan bohong kamu! Kamu pikir aku tidak tahu, kalau Ibu memberikan uang padamu untuk menghidupi Salsa? Mana sini uangnya!"

"Nggak ada, Mbak. Lagian Mbak Sulis tidak malu meminta uang pada janda sepertiku? Bagaimana reaksi Ibu jika dia tahu Mbak Sulis ke sini?!"

"Kenapa? Kamu mau ngadu? Kamu mau ngadu sama dia?"

Tiba-tiba Salsa menangis ketika mendengar Mbak Sulis berbicara sedikit keras. Iparnya satu ini memang tidak tahu malu. Meminta uang dengan seorang perempuan yang sudah tak memiliki suami, dan bertambah miris jika status mereka hanyalah Ipar saja. 

"Kamu harus cepet-cepet nikah biar hidupmu nggak berantakan seperti ini!" ucap Sulis sembari meninggalkan Rania yang mencoba menenangkan Salsa. Netranya terus saja melihat kepergian Sulis. 

Jika dia harus memilih dia juga ingin suaminya tetap hidup.

Dia sangat mencintai Putra, suami yang sudah pergi terlebih dahulu menghadap sang pencipta.

Tapi Tuhan mempunyai alasan, memberi takdir yang tidak pernah diketahui seperti apa. Yang pasti Rania yakin jika dia akan mendapatkan pengganti yang lebih baik lagi. 

Kring … kring

Benda pipih yang sudah lama tak berbunyi itu akhirnya bersuara juga. Segera ia menjawab telepon dari nomor tak dikenalnya.

Seseorang memberikan Rania sebuah pekerjaan. Dengan senang hati dia menerimanya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status