Rania menyelesaikan tugasnya di depan rumah. Kini dia berniat mencuci baju di halaman belakang. Satu persatu baju dia pisah lalu ia masukan dalam mesin cuci.
Sesekali matanya melirik di celah-celah pagar besi yang menjadi pembatas antara rumah Bu Husen dengan Rendi.
Entah mengapa perasaannya selalu tertuju pada rumah orang baik yang sudah membantunya tempo hari.
Matanya membulat sempurna karena mendapati sosok yang ia cari sedang menangis sesenggukan.
Rania kembali menajamkan indera penglihatannya agar bisa jelas melihat Rendi sedang melakukan apa?
Mata Rania memindai, melihat tangan Rendi sedang memegang sebotol obat nyamuk.
"Astagfirullahaladzim, Mas … Mas Rendi, mau ngapain?" Rania menggedor-gedor pagar besi. Berharap Rendi mau merespon panggilannya. Namun sayang, Rendi masih fokus dengan barang ditangan. Seperti kehilangan arah, lelaki itu kembali menangis tersedu-sedu. Padahal semalam dia sudah mencurahkan isi hatinya pada Tuhan.
"Ya Allah, Mas Rendi. Istighfar," teriak Rania. Dia mencoba menyadarkan Rendi. Namun lelaki itu masih tak merespon. Rania berlari ke kamar, melihat Salsa. Memastikan anak itu masih terlelap.
Rania kembali berlari ke depan menuju rumah Rendi. Entah ini sebuah kebetulan atau tidak pagar besi tak terkunci apalagi pintu depan. Rania mencoba membukanya, dengan mudahnya pintu itu terbuka. Rania masih dalam keadaan berlari. Menuju halaman belakang, dilihatnya semua barang berserakan di lantai. Jelas sudah, orang yang ada di rumah ini sedang tidak baik-baik saja.
"Pak Rendi, jangan kau lakukan itu. Istighfar," ucap Rania sembari menyahut botol obat nyamuk yang hendak diminum Rendi. Lelaki itu murka, dia marah kenapa Rania menolongnya. Dia ingin pergi, dia ingin mat*. Rasanya cobaan ini begitu berat bagi Rendi.
Air mata Rendi bercucuran. Tubuhnya tersungkur dari kursi roda. Rania hendak membantu namun naas, tangan Rendi menampiknya. Meminta wanita itu pergi dari rumah ini. Rendi menangis sejadi-jadinya.
Rania masih berusaha menolong, namun ditolaknya mentah-mentah oleh lelaki itu.
"Istighfar, Pak. Jika Pak Rendi ingin cerita silahkan cerita semuanya. Jangan seperti ini? Istri Pak Rendi dimana?" tanya Rania sembari pandangannya menyapu ke segala arah.
"Pergi dari rumah saya! Anda tidak perlu ikut campur dengan keluarga saya!"
"Maaf, tapi Pak…."
"Pergilah!"
Rendi tertunduk, sesekali dia menyeka air matanya. Sedangkan Rania tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Dia masih menatap lelaki yang hampir putus asa itu.
Rendi berusaha berdiri, namun gagal. Rania mendekat dan membantunya duduk di kursi roda. Awalnya menolak namun akhirnya Rendi mau dibantu oleh Rania. Setelah usahanya berkali-kali gagal.
Jilbab Pashmina yang dikenakan Rania sedikit menyibak. Ia berniat membetulkan, namun sayang ujung jilbabnya menyangkut di kursi roda. Hingga membuat Rendi membantu melepasnya. Netra mereka saling bertemu ketika jilbab itu berhasil terlepas sesuatu yang membuatnya menyangkut.
"Berzina, kalian berzina!" Clara berteriak. Ketika melihat Rania dan juga Rendi saling menatap.
"Ow, jadi ini yang bikin kamu pengen kita cepat-cepat pergi dari rumah ini?" Ana ikut menimpali. Wanita itu juga ikut mengompori.
"Maaf, Mbak. Ini tidak seperti yang kalian bayangkan. Saya hanya-"
"Hanya berciuman?"
"Astagfirullahaladzim, jaga. Ucapan kamu Clara, kami hanya-"
"Malu kalau tertangkap basah? Rendi, Rendi. Kamu ini lumpuh, tapi ot*knya masih mesum. Seharusnya kepergian kami itu, bikin kamu interopeksi diri. Bukan malah bawa selingkuhan ke rumah!"
"Kalian semalam ngapain saja? Rumah sampai berantakan seperti ini?" Clara mencebik wanita itu benar-benar terlihat senang melihat Rendi berada dalam posisi seperti ini.
"Clara, kamu panggil Pak RT dan semua orang. Biar mereka diadili!"
"Jangan Bu, jangan. Saya mohon, saya bersumpah tidak melakukan apa-apa dengan Mas Rendi."
"Ow, sudah panggil Mas ya sekarang? Kamu benar-benar munafik, Mas!"
Clara pergi meninggalkan orang-orang yang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Rania menangis, sedangkan Rendi masih menatap Ana.
Ana dengan wajah liciknya terus saja yumenatap tajam ke arah mereka. Hingga tak beberapa lama terdengar suara gaduh dari luar.
EndingRania kembali ke rumah Rendi pada akhirnya. Mereka mencoba memulai dari awal. Rania juga lebih berhati-hati dalam bertindak. Tingkahnya beberapa hari lalu dengan Rendi justru menjadi bahan gunjingan para tetangga. Hingga dia dipertanyakan apakah akan bercerai atau tidak? ***"Hari ini kita akan survei rumah. Rumah yang seperti apa yang kamu inginkan?" tanya Rendi pada Rania ketika mereka tengah duduk di kursi teras. "Terserah Mas Rendi aja, yang penting nyaman untuk kita." Rania menyuapi Salsa dengan telaten."Mam … mam ...mam." Bocah berumur dua tahun itu berceloteh. Meski masih belajar, Salsa rupanya sudah cukup pintar. Dia sudah bisa memanggil Ibunya dan juga Ayahnya. Ah, benar-benar bayi menggemaskan.Srutt Rendi menyesap kopi yang hampir habis.Lalu meletakan kembali gelas itu di atas meja. Pandangan Rendi kini tertuju pada tanaman yang subur dan juga segar. Rania ke warung sebentar ya, Mas." Rania beranjak dari duduknya namun dicegah Rendi."Mau beli apa? Biar Mas aja
KembaliRania membereskan piring dan gelas kotor setelah selesai menikmati sarapan pagi. Reni pergi meninggalkan mereka bertujuan agar mereka bisa berbicara dari hati ke hati.Rendi melangkah pelan. Mendekati wanita yang masih sah sebagai istrinya.Berdiri di depan wastafel sedang mencuci piring."Maaf, untuk kemarin. Seharusnya Mas bisa mengontrol emosi.""Ndak papa, Mas. Rania juga salah, Rania seharusnya tidak menyimpan dendam apalagi niatan untuk membalasnya.""Kamu nggak papa?""Nggak kok, Mas. Rania nggak papa.""Maaf, seharusnya aku jelaskan semuanya.""Rania sudah tahu semuanya. Seharusnya Rania mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu. Bukan malah menyalahkan Mas Rendi."Rania selesai mencuci lantas mengeringkan tangannya dengan lap bersih. Lalu pandangannya beralih pada lelaki yang berdiri dihadapannya.Rendi membuka tangannya, memeluk sang istri untuk menguatkannya. Rendi tidak akan bisa membayangkan betapa terlukanya hati Rania saat ini. Andai dia tahu suaminya telah berk
Rendi mencoba memahamiRendi duduk termenung. Pikirannya memang sedang kalut. "Astagfirullahaladzim," ucap Rendi sembari beranjak dari duduknya. Mengambil wudhu lalu bersimpuh memohon ampun pada Allah. Tetesan bening meluncur begitu saja di pipi tanpa dikomando. Semua keluh dan juga risau nya ia curahkan pada sang Khalik. Segera ia meletakan sajadah dan juga saring beserta peci. Menjatuhkan bobot tubuhnya di sisi ranjang. Amarah sesaat membuatnya tak karuan. Semua bukan salah Rania sepenuhnya. Dia juga salah kenapa tidak mau menjelaskan secara rinci. Agar sang istri bisa menerima dan sama-sama saling memaafkan. Rendi melirik jam yang berada di atas nakas. Jam menunjukan angka delapan belum terlalu malam jika dia ingin pergi ke rumah Rania.Tak lupa Rendi membersihkan semua sudut ruangan yang tadi ia lempar dengan membabi buta. Lalu berganti pakaian berniat pergi ke rumah Rania. Senyumnya selalu mengembang ketika berpapasan dengan para tetangga. "Mas Rendi mau kemana?" tanya sala
Nasib Clara"Kamu ini gimana sih, Clara? Sekarang jadi janda. Malah tua bangka itu juga ikut-ikutan ninggalin kamu. Terus kita mau makan apa? Arisan Ibu juga banyak yang belum dibayar!""Bu, kan Ibu sendiri lihat istrinya datang ngelabrak Clara. Di depan para tetangga pula. Sekarang mana berani Clara nyamperin dia. Lelaki tua itu sekarang kemana-mana sama bininya, Bu!""Haist, kamu itu kurang pintar. Kurang menggoda. Terus kita mau hidup pake apa? Ha? Ibu nggak mau ya kalau kita melarat!""Terus Clara mesti gimana, Bu?""Ya kerja lah! Apa cari laki yang kaya. Gimana sih kamu ini? Punya ot*k tu buat mikir jangan cuma dandan aja yang menor.""Clara capek, Bu!""Capek? Ibu juga capek jadi orang miskin!""Salah Ibu juga kenapa sama Mas Rendi nggak mau baik?!""He, Clara. Baik gimana? Wong orang cac*t nggak guna gitu. Nyusahin," ucap wanita tua itu dengan mata berapi-api. Entah mengapa setelah kepergian Clara dan juga ibunya dari rumah Rendi. Kehidupan mereka semakin ruwet. Ditambah Clara
Kesembuhan Rendi"Minta kecup sini boleh?" Rania memainkan bibirnya dengan jari telunjuk."Haist …." Lelaki yang ada di hadapannya bergidik ngeri melihat mantan janda yang ada di sisi ranjang sedang merayu.Rendi berusaha menetralisir pikirannya yang sudah keliling dunia.****Dua bulan kemudianSetiap hari Rania menyiapkan jus. Berganti buah dan juga menyediakan Rendi segelas susu. Rania hanya meminta Rendi setiap pagi berolahraga. Meskipun dalam keadaan duduk. Rendi semakin dekat dengan Salsa. Apalagi balita mungil itu sangat menggemaskan dengan pipi yang chubby.Rendi juga memutuskan pergi ke rumah sakit. Menjalankan terapi yang dulu pernah ia lakukan namun berhenti ditengah jalan karena putus asa. Kini Rania dan juga Salsa adalah penyemangat baru untuk Rendi menghadapi kenyataan. Keputusan terbesar Rendi adalah berkata jujur pada Rania. Bahwa dia masih melakukan pekerjaan di rumah dan mendapatkan gaji lumayan besar.Dan juga dia mengatakan masih memiliki beberapa aset tanpa dike
DilabrakClara segera membuka pintu kontrakannya dengan penasaran. Seketika matanya membulat sempurna melihat sesosok wanita yang tengah berdiri dihadapannya. Dia tahu itu siapa.Plak ….Tamparan cukup keras mendarat di pipi mulus Clara."Wanita mura*an!" ucap wanita yang umurnya sebaya dengan Ana dengan berapi-api. Tangannya mengepal sedangkan rahangnya mengeras. Seluruh giginya gemeretak menahan amarah."Ma-maksud Anda apa?" Ana mencoba bertanya. Meskipun dia tahu wanita ini siapa."He, kamu memang bod*h atau sengaja pura-pura bod*h. Anak perempuanmu ini bermain api dengan suamiku. Bermain api dengan lelaki yang pantasnya dianggap bapak olehnya!" "Maksud Ibu apa? Anda tidak ada bukti ya?" Suara Clara ikut meninggi. Membuat para warga yang tinggal di samping kanan maupun kiri keluar untuk sekedar melihat kerusuhan yang ada. Tak sedikit mereka saling berbisik."Inikan yang katanya bercerai karena nggak dikasih jatah sama suami itu kan?""Iya, dia kurang jatah dari suaminya. Jadi mint