"Aku mau ngomong sama kamu," kata Atama dengan tatapan tajam dan dalam.
"Ngomong apa? Di sini aja!" pinta si lelaki yang saat itu sedang menikmati sebatang rokok."Nggak bisa!" Atama menarik lengan Aljabar dan berkata pada teman-temannya. "Pinjem Al, teman-teman.""Ada apa, sih? Bentar lagi ada kuliah, Ta.""Kita bolos hari ini.""Ta, satu semester kita udah bolos dua belas kali, ntar bisa-bisa kita di DO.""Penting, Al," putus gadis bersuara lembut itu.Atama menggenggam tangan Aljabar erat-erat. Mengajak Aljabar pergi dari kampus dan keduanya berjalan menuju taman, tak peduli hari masih pagi.Mereka duduk berdampingan, mata Atama yang penuh kecemasan menatap Aljabar dengan nanar.Aljabar membelai wajah Atama santai."Kenapa? Mau main ke kost-an lagi? Aku juga udah pengen!" ucap lelaki itu dengan wajah mesum.Atama meremas jemarinya sendiri, wajah tertekur dan hati hancur. Apa yang harus dia katakan pada kedua orang tuanya?"Kamu tau, aku bukan cewek yang suka bolos mata kuliah sebelum kenal kamu," ucap Atama saat itu. Dia sedikit berbasa-basi. Wajah Atama memaling ke arah Aljabar, menatapnya dengan ekspresi sedih dan juga takut. Menumpahkan rasa kalut dan segala kemelut di dalam dada. Berharap Aljabar peka terhadap apa yang dia rasakan."Ya, terus?" Aljabar balik menatap Atama, seolah tatapannya penuh unsur tanya."Kamu tau, aku cewek yang nggak suka ngelanggar aturan sebelum kita sama-sama. Aku nggak ngerasa kamu pengaruh buruk buat aku karena aku cinta sama kamu. Jadi please, Al. Apa pun yang terjadi jangan tinggalin aku. Sebagaimana yang udah kamu janjiin ke aku." Atama mengeratkan genggaman pada jemarinya."Apa sih, Ta? Drama banget. Kan aku udah bilang kita nggak akan semudah itu putus, jadi mana mungkin aku ninggalin kamu,""A-aku... aku hamil," kata Atama cepat.Ekspresi santai Aljabar menegang. Menatap Atama dengan sorot mata membelalak."A-apa?" Pekiknya menunjukkan bahwa dia benar-benar terkejut atas berita yang kekasihnya sampaikan pagi ini.Atama hamil?Tidak, ini bahkan tidak pernah terpikir walau hanya di dalam mimpi buruk!Aljabar menggumam dalam hati dengan kepalanya yang sedikit menggeleng."Aku hamil dan aku nggak tau mesti gimana? Aku mesti gimana?" Atama menggigit bibir bagian dalam. Tubuhnya berguncang oleh tangisan.Sementara Aljabar hanya bisa menatap nanar ke sekitar, ada rasa sakit yang berdiam di dadanya.Atama mengingat hari di mana petaka ini berawal.*Flash Back On..."Arghh... Al..." Sebuah desahan terdengar dari mulut Atama dengan tubuhnya yang berguncang hebat. Sebelah tangan menggenggam seprai sementara tangan lainnya mencengkram punggung polos pasangannya."Ya sa-yang..." Desis suara Aljabar di tengah kegiatannya yang semakin intens di atas ranjang itu. Menindih tubuh wanitanya dengan posesif.Sepasang anak manusia itu sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam.Tujuan mereka hanya satu, ingin saling memuaskan nafsu secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin. Tanpa peduli usia yang masih sangat muda. Bahkan dua muda-mudi tersebut rela mengorbankan masa depan hanya demi kenikmatan sesaat.Setelah beberapa puluh menit keduanya saling menghangatkan, Atama mulai menggelinjang dan mendesah seperti kesetanan.Seketika Aljabar membungkam bibir Atama dengan ciuman panjang. Lalu tubuh mereka berdua merasakan sengatan panas seolah terkena arus listrik ribuan volt yang begitu menggairahkan. Terengah-engah sambil mengatur napas, tubuh Aljabar ambruk menimpa Atama. Mereka terdiam sembari menikmati lezatnya percintaan mereka."Ata, makasih, udah jadi seindah ini dan menjadi hadiah terhebat dalam hidupku." Pemuda itu memeluk gadis itu. Gadis yang tak lagi polos saat berada di hadapannya. "Aku sayang kamu, Ata," ucapnya lagi.Jika kini wajah si lelaki tampak tersenyum puas setelah usai permainan panas mereka, namun berbeda dengan ekspresi khawatir yang ditunjukkan si wanita."Aku takut, Al. Kita masih kuliah. Kamu bilang nggak akan tembak sembarangan?" Ata menatap Aljabar dengan cemas dan mata berkaca-kaca. Meskipun ini bukan kali pertama melakukannya, Atama selalu merasa takut setelah semua usai."Jangan takut, aku selalu bersama kamu." Ucap Aljabar seperti biasa, meyakinkan wanitanya bahwa dia memang benar-benar mencintai Atama."Tapi ....""Ssstt... Please, jangan meragukan aku, Ata." Aljabar mengecup pipi Atama dengan sayang, membelai rambutnya lalu keduanya tidur dengan posisi saling memeluk.*Dunianya runtuh, sesaat setelah Atama melihat dua garis merah vertikal yang tampak dengan jelas di sana. Kenikmatan sesaat yang yang membawa sesat ini menguburnya dalam sesal.Atama memejamkan mata rapat- rapat, berharap saat membuka mata hasilnya akan berubah. Tapi naas, semua ini nyata dan Atama harus menghadapi kenyataan tersebut.Dirinya bahkan belum lulus kuliah. Mau jadi apa hidupnya kelak?Gadis itu membekap mulut kuat- kuat, berharap suara tangis itu tak terdengar dari luar toilet.Bersimpuh pada lantai toilet yang bahkan masih basah. Tuhan telah menghukumnya dengan cara sangat sopan.Seperti biasa, Atama bersiap hendak berangkat kuliah. Menghambur pergi tanpa menyentuh nasi yang telah siap di meja makan. Dia tak peduli, pikirannya begitu kalut saat itu. Aljabar harus tahu, Aljabar harus bertanggung jawab pada apa yang sudah dia lakukan padanya.Di luar kamarnya terlihat Arlan, sang Kakak dan Papanya sedang sarapan, sang papa menyapa."Ta, kamu nggak sarapan dulu?"Atama menggeleng."Kamu kelihatan pucat banget, kenapa? Kamu sakit?" imbuh lelaki paruh baya berpakaian kantor itu."Jangan-jangan kamu hamil?" Arlan menebak dengan sinis. Membuat hati Atama terasa seperti diremas hingga terasa begitu sakit."Hushhh ... kamu ngomong apa, sih, Lan? Jangan begitu sama adikmu," tegur Papanya."Papa aja yang nggak tau kelakuan anak haram itu di luar sana. Dia itu sama lontenya kayak istri Papa!""ARLAN!" Bentak sang Papa tersulut emosi."Ata berangkat kuliah, ya, Pah!" Gadis itu melenggang, meninggalkan meja makan dengan perasaan kacau. Bahkan dia malas menanggapi olok-olok kakaknya apalagi jika mereka sudah mulai bertengkar."Kuliah kissing, petting, anj*ng nungging!" celetuk Arlan yang tak dipedulikan oleh adiknya.Sampai di kampus Atta bergegas menuju seseorang yang telah diincarnya. Dia menyusuri area kampus dan dengan terburu-buru langkahnya menghampiri pemuda yang dilihatnya dari kejauhan itu.*Flash Back Off...Hening...Suasana sekitar mendadak hening, hanya tangisan Atama yang tersisa dan menggema dalam gendang telinga.Aljabar tersadar dari kekalutannya.Kembali menatap Atama bingung."Terus... gimana, Ta?" ucap lelaki itu cemas.Atama memejamkan mata. Sesak di dada mengakuisisi seluruh rasa. "Kamu harus tanggung jawab, ini anak kita!" tekan Atama."Kamu yakin cuma ngelakuin itu sama aku aja? Nggak ada yang lain?"Seketika dada Atama bergemuruh mendengar ucapan Aljabar yang sangat kurang ajar. Hingga sebuah tamparan pun melayang di pipi lelaki itu.PLAK!"Kamu mau lari dari tanggung jawab? Kamu pikir aku cewek apaan, hah?" Teriak Atama marah."Bukannya aku nggak mau tanggung jawab, Ta. Kamu tau keadaanya. Kita masih kuliah. Ya kali aku jadi ayah, aku masih muda, terus kalo aku tanggung jawab, aku mau ngasih makan anak kita pakai apa? Cinta?" Sergah Aljabar yang mendadak kehilangan arah."Harusnya itu yang kamu pikirin pas kamu minta aku ngelakuin itu sama kamu, Al. Kita suka sama suka. Kamu tau konsekuensinya dan kamu janji akan menanggung apa pun yang terjadi.""Kita masih terlalu muda, Atama."Atama menutup wajah dengan kedua tangan dan menyembunyikan tangisnya di sana. "SEHARUSNYA KITA NGGAK NGELAKUIN ITU, AL. SEHARUSNYA KAMU NGGAK TERUS MENERUS MEMINTANYA. DAN SEHARUSNYA AKU JUGA NGGAK MENURUTINYA." Sesalnya memuncak. Apa pun yang keluar dari mulut Atama hanya amarah meledak-ledak."Dan kamu juga mau kan? Jadi salahku di mana?" ucap Aljabar mendebat.Jutaan molekul listrik menyengat di dada Atama. Rasanya sakit sekali. Sakit sampai dia ingin mati. Bukan kalimat itu yang diharapkan keluar dari mulut Aljabar, bukan.Sementara dalam hati Aljabar sendiri hanya dipenuhi kepanikan. Apakah papanya akan membunuhnya jika dia tahu bahwa putranya telah menghamili anak orang?Aljabar mengembuskan napas lalu menjambak rambutnya frustrasi."Aku cinta sama kamu, Al. Itu yang bikin aku selalu memberikan apa pun yang kamu minta." Netra Atama memejam, tetes-tetes air mata satu per satu mulai berjatuhan. Sesak dan perih memenuhi rongga dada kemudian menjalar sampai ke seluruh tubuh. Atama seperti tak sanggup menghadapi ini semua. "Apa itu nggak cukup jadi alasan kenapa aku mau ngelakuin itu sama kamu?" Kini tatapannya menuntut, penuh kemarahan."Kamu selalu saja merumitkan masalah!"Atama mendengkus kasar. "Jadi aku lagi yang salah? Aku yang merumitkan?""Kamu, sih, ngapain coba pakai hamil segala!" kata Aljabar ketus."Kita ngelakuinnya sama-sama. Kamu yang bilang nggak akan tinggalin aku apa pun yang terjadi," lirih ucap Atama putus asa."Kamu aja jadi cewek naif amat, kenapa mau-mau aja? Lagian kita saling nikmatin kan? Kamu tau, pelacur aja dibayar, yang bego siapa? Bahkan kamu ngasih semuanya ke aku secara gratis! Jadi apa yang harus aku pertanggung jawabkan?"Lagi, Atama tak kuat menahan amarah dan kekecewaannya, hingga satu tamparan kuat kembali menghantam di pipi Aljabar saat itu."Bajingan, kamu, Al!""Bajingan, kamu, Al!"Atama bangkit dari tempat duduk setelah kembali melayangkan tamparan di pipi Aljabar lantas mendorong tubuh Aljabar sekuat yang dia bisa ketika lelaki itu ikut berdiri.Kekecewaannya memburai. Dia tak menyangka Aljabar akan mengatakan semua itu padanya.Aljabar terhuyung ke belakang akibat tak mengantisipasi serangan Atama. Atama yang hilang kendali tanpa pertimbangan memukul perutnya berulang kali. Dia berpikir sebaiknya bayi itu harus mati, kalau pun Atama harus mati bersama bayi itu, dia tak peduli. Atama benar-benar sudah kehilangan akal, saking putus asanya dia."Ka... kamu jahat, Al. Kamu bilang... kamu bilang... kamu sayang sama aku. Aku nggak nyangka kamu sejahat ini!" seru Atama terbata-bata.Aljabar memegangi pipinya yang merah, lantas menahan aksi Atama saat itu."Bukannya gitu, Ta. Aku cuma belum siap. Aku mesti ngomong apa sama mama-papaku? Aku harus apa? Aku bingung, Ata.""Kamu pikir aku siap, gitu? Pikir, Al. Masa depan aku, semuanya aku korbankan
Gaun pernikahan berwarna putih gading dan tampilan dengan make up agak tebal tampak menjadi pemandangan yang menarik pagi itu.Gadis itu terlihat cantik dengan bulu mata lentiknya. Akan tetapi, sayangnya, Atama beberapa kali malah mengumpat."Ck Sialan! kenapa wanita dewasa betah menyiksa diri dengan memakai riasan wajah laknat seperti ini?" Ucapnya membatin. Mengenakan make up tebal bukanlah kebiasaannya.Tidak ada acara besar, hanya keluarga kecil kedua mempelai yang menghadiri pernikahan itu. Juga Nando yang tampak gagah dengan baju yang dia kenakan.Nando terus menatap Atama sampai membuat gadis itu sedikit tidak nyaman. Acara memang belum dimulai, karena itu juga Atama masih santai duduk- duduk di ruang tengah sambil memainkan ponsel walau pun sebenarnya Atama sedikit bosan.Saat itu, Nando terlihat menghampiri Atama, hal yang tidak pernah dia lakukan seumur hidupnya sekali pun dia sering datang ke rumah gadis itu untuk sekedar 'jalan bareng' dengan Arlan sebagaimana mereka bersa
Atama POV*****Aljabar berkali- kali menyulut rokoknya di tepi jendela tanpa menoleh ke arahku. Lalu dia mengambil jaketnya, memakainya buru-buru dan bergerak untuk keluar dari jendela.Aku menarik tangannya. Siapa yang rela ditinggalkan oleh suaminya pada malam pertama pernikahan?"Al, kamu mau ke mana?" Tanyaku cepat."Jalan ama temen-temen. Kenapa? Nggak suka?" Ucapannya beriringan dengan tatapan sinis. Matanya yang dingin terasa tajam menusuk indraku. Suaranya yang penuh ketidaksukaan terasa merusak pendengaran. Aku merasa terbunuh oleh keadaan ini. Aku benci kenapa tidak pernah bisa berkutik di hadapannya."Ini malam pernikahan kita, Al." Aku tertunduk, sadar bahwa Aljabar memang tidak menginginkanku."Pernikahan kita? Pernikahan kamu kali, Ta. Kan kamu yang mau nikah sama aku? Aku nggak kan?"Aku tidak melepaskan tangannya, memejamkan mata yang memanas oleh luka yang menderaku tanpa belas kasihan. Sikapnya yang dingin terasa membekukan jiwa. Cinta memang indah hanya diawal saja
Atama POV*****Kesulitan perekonomian menjadi permasalahan kompleks bagiku meski baru menikah beberapa bulan belakangan.Aljabar sok-sokan tak mau menerima bantuan dari orang tuanya, maupun mertuanya. Sementara dia pun belum mendapatkan pekerjaan.Sebagai seorang istri yang baik, aku tentu berinisiatif ingin membantunya, walau pun keadaanku sedang hamil, toh aku bisa bekerja apa saja yang ringan-ringan.Seperti lowongan pekerjaan di fotokopian dekat kontrakan kami.Aku mencoba bicara baik-baik, tapi dia tidak pernah menanggapinya dengan baik-baik pula. Itulah Al, aku tidak tahu bagaimana harus menilainya. Yang aku tahu rasa cintaku padanya tak pernah ternilai banyaknya dan semua itu selalu saja mampu menutupi kesalahannya."Al, aku boleh nggak kerja? Ada lowongan pekerjaan di fotokopian Bang Yusuf. Gajinya nggak seberapa sih, cuma dari pada nggak ngapa-ngapain, kan bosen di rumah terus." Ucapku mengungkapkan keinginan."Nggak!" Jawabnya singkat, padat, dan jelas."Kan deket, Al?""Ak
Awalnya Atama berpikir semua baik-baik saja.Kesabarannya akan mampu melunakkan hati Aljabar seiring waktu. Ternyata semuanya tak semudah yang dia pikirkan.Seandainya Atama tidak pernah menjawab telepon itu mungkin dia akan selamanya menjadi istri yang bodoh, yang tidak tahu apa-apa mengenai perselingkuhan suaminya."Ini siapa, ya?" ucapnya saat itu dengan telepon genggam menempel di telinga."Kamu yang siapa?" Di ujung saluran telepon, perempuan lain bersuara. Membuat hati Atama dirambati retakan-retakan tak kasatmata. "Aku pacarnya Al!"Sejenak kalimat itu mampu membuat hati Atama melebur lalu hancur. Mimpi burukkah itu?"Aku istrinya!" Jawab Atama tegas dan dominan."Jangan bercanda, ya!" Nada wanita di ujung saluran telepon itu terdengar sumbang. Jelas sepertinya dia tak senang."Jauhi Al! Aku lagi hamil," ucap Atama dengan dada yang bergerak naik turun bersamaan dengan napasnya yang kian memburu. Menahan sakit."Ini siapa sih? Nggak jelas banget! Nggak usah sok ngaku-ngaku ya! A
Atama POV*****Cukup sudah.Aku sudah tidak sanggup membayangkannya. Jika Aku tidak secinta ini padanya, tentu rasa yang aku tanggung tidak akan sesakit ini.Cinta, Aku tidak yakin apakah kata itu anugerah atau kutukan. Terlalu menyakitkan untuk ditelan."Mungkin, kalau aja kamu nggak hamil aku juga nggak akan nikahin kamu. Nikah sama kamu tuh mimpi buruk! Kamu hidup sama aku tapi kamu cuma jadi perempuan gampangan. Penyesalan terbesarku dalam hidup ini adalah, menikahi kamu, Atta!""Pulangkan aku, Al." Kaki ini terasa tak lagi mampu menopang tubuh, gravitasi seakan meninggalkanku.Hanya tangis pilu yang mampu aku suarakan. Aku berharap hidup sialan ini segera selesai. Berharap kematian membuat diriku sedikit berharga. Karena hidup tidak pernah membuatku merasa dibutuhkan."Nggak usah drama. Kamu tau dengan jelas siapa antagonisnya!"Kepercayaan, adalah sebuah hal yang sangat mustahil Aku dapatkan dari suamiku. Aljabar adalah sosok kasar dan arogan. Dan Aku berharap keajaiban akan me
Atama POV*****Aku memesan minum, sebotol Wishkey mungkin bisa menghangatkan hatiku yang beku. Atau setidaknya aku bisa melepaskan kepedihanku walaupun sesaat, dan tentu saja aku belum pernah menyentuh minuman beralkohol sebelumnya.Kutuang minuman berwarna pekat itu ke dalam gelas model Serry copita yang berlekuk, menggoyangkannya sampai isinya teraduk.Aku meminumnya, tidak peduli minuman ini memiliki rasa yang kuat, pahit, dan aroma tajam yang terasa tabu bagi lidahku. Namun, aku tidak mencari rasa. Aku hanya ingin lupa jika hari ini pernah ada.Selama Whiskey masih di mulut, minuman ini dapat berganti rasa. Unik memang. Bisa manis, sedikit pahit, sedikit rasa buah, dan sebagainya yang sulit kudefinisikan.Aku menyulut sebatang rokok. Menikmatinya, tidak peduli aku bagaikan perempuan jalang hari ini. Aku hanya ingin melupakan sejenak saja sakit hati, sejenak saja tanpa air mata.Jujur aku lelah.Perkataan Wahyu semakin membuatku berantakan, apakah benar semua yang dia katakan, dan
Atama POV*****"Contoh tuh, Wulan. Anaknya Papa, adik aku tuh. Nggak kayak kamu. Bisanya cuma bikin malu keluarga doang. Anak haram!" Dia menunjuk-nunjuk wajahku dengan tatapan penuh kebencian.Saat itu, Kak Arlan hendak pergi tapi aku menahan lengannya dengan cepat. Tak terima dengan ucapannya yang menyebut aku sebagai anak haram."Salahku, Kak? Semuanya salahku Papa sama Mama bertengkar terus? Salahku punya kakak yang kasar dan suka mukul? Salahku punya adik yang hampir sempurna? Salahku, Kak? Salahku juga kenapa aku harus lahir?" Ucapku dengan air mata yang mengumpul di pelupuk mata. Menahan gejolak sesak yang seakan merampas oksigen dari paru-paruku."Ya, semua salah kamu! Kamu bikin aku sadar, ada yang salah sama keluarga kita!" Tekan Kak Arlan sama sengitnya.Aku bergeming, satu pertanyaan yang selama ini tersimpan rapat di hati seolah meluncur bergitu saja dalam pikiranku.Lantas, jika aku hanya anak haram, siapa ayah biologisku?"Kalo otak kamu di kepala, pasti nggak bakal ke