Share

KUUBAH IDENTITAS DEMI DENDAM PADA SUAMIKU
KUUBAH IDENTITAS DEMI DENDAM PADA SUAMIKU
Penulis: Herofah

1. POSITIF

"Aku mau ngomong sama kamu," kata Atama dengan tatapan tajam dan dalam.

"Ngomong apa? Di sini aja!" pinta si lelaki yang saat itu sedang menikmati sebatang rokok.

"Nggak bisa!" Atama menarik lengan Aljabar dan berkata pada teman-temannya. "Pinjem Al, teman-teman."

"Ada apa, sih? Bentar lagi ada kuliah, Ta."

"Kita bolos hari ini."

"Ta, satu semester kita udah bolos dua belas kali, ntar bisa-bisa kita di DO."

"Penting, Al," putus gadis bersuara lembut itu.

Atama menggenggam tangan Aljabar erat-erat. Mengajak Aljabar pergi dari kampus dan keduanya berjalan menuju taman, tak peduli hari masih pagi.

Mereka duduk berdampingan, mata Atama yang penuh kecemasan menatap Aljabar dengan nanar.

Aljabar membelai wajah Atama santai.

"Kenapa? Mau main ke kost-an lagi? Aku juga udah pengen!" ucap lelaki itu dengan wajah mesum.

Atama meremas jemarinya sendiri, wajah tertekur dan hati hancur. Apa yang harus dia katakan pada kedua orang tuanya?

"Kamu tau, aku bukan cewek yang suka bolos mata kuliah sebelum kenal kamu," ucap Atama saat itu. Dia sedikit berbasa-basi. Wajah Atama memaling ke arah Aljabar, menatapnya dengan ekspresi sedih dan juga takut. Menumpahkan rasa kalut dan segala kemelut di dalam dada. Berharap Aljabar peka terhadap apa yang dia rasakan.

"Ya, terus?" Aljabar balik menatap Atama, seolah tatapannya penuh unsur tanya.

"Kamu tau, aku cewek yang nggak suka ngelanggar aturan sebelum kita sama-sama. Aku nggak ngerasa kamu pengaruh buruk buat aku karena aku cinta sama kamu. Jadi please, Al. Apa pun yang terjadi jangan tinggalin aku. Sebagaimana yang udah kamu janjiin ke aku." Atama mengeratkan genggaman pada jemarinya.

"Apa sih, Ta? Drama banget. Kan aku udah bilang kita nggak akan semudah itu putus, jadi mana mungkin aku ninggalin kamu,"

"A-aku... aku hamil," kata Atama cepat.

Ekspresi santai Aljabar menegang. Menatap Atama dengan sorot mata membelalak.

"A-apa?" Pekiknya menunjukkan bahwa dia benar-benar terkejut atas berita yang kekasihnya sampaikan pagi ini.

Atama hamil?

Tidak, ini bahkan tidak pernah terpikir walau hanya di dalam mimpi buruk!

Aljabar menggumam dalam hati dengan kepalanya yang sedikit menggeleng.

"Aku hamil dan aku nggak tau mesti gimana? Aku mesti gimana?" Atama menggigit bibir bagian dalam. Tubuhnya berguncang oleh tangisan.

Sementara Aljabar hanya bisa menatap nanar ke sekitar, ada rasa sakit yang berdiam di dadanya.

Atama mengingat hari di mana petaka ini berawal.

*

Flash Back On...

"Arghh... Al..." Sebuah desahan terdengar dari mulut Atama dengan tubuhnya yang berguncang hebat. Sebelah tangan menggenggam seprai sementara tangan lainnya mencengkram punggung polos pasangannya.

"Ya sa-yang..." Desis suara Aljabar di tengah kegiatannya yang semakin intens di atas ranjang itu. Menindih tubuh wanitanya dengan posesif.

Sepasang anak manusia itu sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam.

Tujuan mereka hanya satu, ingin saling memuaskan nafsu secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin. Tanpa peduli usia yang masih sangat muda. Bahkan dua muda-mudi tersebut rela mengorbankan masa depan hanya demi kenikmatan sesaat.

Setelah beberapa puluh menit keduanya saling menghangatkan, Atama mulai menggelinjang dan mendesah seperti kesetanan.

Seketika Aljabar membungkam bibir Atama dengan ciuman panjang. Lalu tubuh mereka berdua merasakan sengatan panas seolah terkena arus listrik ribuan volt yang begitu menggairahkan. Terengah-engah sambil mengatur napas, tubuh Aljabar ambruk menimpa Atama. Mereka terdiam sembari menikmati lezatnya percintaan mereka.

"Ata, makasih, udah jadi seindah ini dan menjadi hadiah terhebat dalam hidupku." Pemuda itu memeluk gadis itu. Gadis yang tak lagi polos saat berada di hadapannya. "Aku sayang kamu, Ata," ucapnya lagi.

Jika kini wajah si lelaki tampak tersenyum puas setelah usai permainan panas mereka, namun berbeda dengan ekspresi khawatir yang ditunjukkan si wanita.

"Aku takut, Al. Kita masih kuliah. Kamu bilang nggak akan tembak sembarangan?" Ata menatap Aljabar dengan cemas dan mata berkaca-kaca. Meskipun ini bukan kali pertama melakukannya, Atama selalu merasa takut setelah semua usai.

"Jangan takut, aku selalu bersama kamu." Ucap Aljabar seperti biasa, meyakinkan wanitanya bahwa dia memang benar-benar mencintai Atama.

"Tapi ...."

"Ssstt... Please, jangan meragukan aku, Ata." Aljabar mengecup pipi Atama dengan sayang, membelai rambutnya lalu keduanya tidur dengan posisi saling memeluk.

*

Dunianya runtuh, sesaat setelah Atama melihat dua garis merah vertikal yang tampak dengan jelas di sana. Kenikmatan sesaat yang yang membawa sesat ini menguburnya dalam sesal.

Atama memejamkan mata rapat- rapat, berharap saat membuka mata hasilnya akan berubah. Tapi naas, semua ini nyata dan Atama harus menghadapi kenyataan tersebut.

Dirinya bahkan belum lulus kuliah. Mau jadi apa hidupnya kelak?

Gadis itu membekap mulut kuat- kuat, berharap suara tangis itu tak terdengar dari luar toilet.

Bersimpuh pada lantai toilet yang bahkan masih basah. Tuhan telah menghukumnya dengan cara sangat sopan.

Seperti biasa, Atama bersiap hendak berangkat kuliah. Menghambur pergi tanpa menyentuh nasi yang telah siap di meja makan. Dia tak peduli, pikirannya begitu kalut saat itu. Aljabar harus tahu, Aljabar harus bertanggung jawab pada apa yang sudah dia lakukan padanya.

Di luar kamarnya terlihat Arlan, sang Kakak dan Papanya sedang sarapan, sang papa menyapa.

"Ta, kamu nggak sarapan dulu?"

Atama menggeleng.

"Kamu kelihatan pucat banget, kenapa? Kamu sakit?" imbuh lelaki paruh baya berpakaian kantor itu.

"Jangan-jangan kamu hamil?" Arlan menebak dengan sinis. Membuat hati Atama terasa seperti diremas hingga terasa begitu sakit.

"Hushhh ... kamu ngomong apa, sih, Lan? Jangan begitu sama adikmu," tegur Papanya.

"Papa aja yang nggak tau kelakuan anak haram itu di luar sana. Dia itu sama lontenya kayak istri Papa!"

"ARLAN!" Bentak sang Papa tersulut emosi.

"Ata berangkat kuliah, ya, Pah!" Gadis itu melenggang, meninggalkan meja makan dengan perasaan kacau. Bahkan dia malas menanggapi olok-olok kakaknya apalagi jika mereka sudah mulai bertengkar.

"Kuliah kissing, petting, anj*ng nungging!" celetuk Arlan yang tak dipedulikan oleh adiknya.

Sampai di kampus Atta bergegas menuju seseorang yang telah diincarnya. Dia menyusuri area kampus dan dengan terburu-buru langkahnya menghampiri pemuda yang dilihatnya dari kejauhan itu.

*

Flash Back Off...

Hening...

Suasana sekitar mendadak hening, hanya tangisan Atama yang tersisa dan menggema dalam gendang telinga.

Aljabar tersadar dari kekalutannya.

Kembali menatap Atama bingung.

"Terus... gimana, Ta?" ucap lelaki itu cemas.

Atama memejamkan mata. Sesak di dada mengakuisisi seluruh rasa. "Kamu harus tanggung jawab, ini anak kita!" tekan Atama.

"Kamu yakin cuma ngelakuin itu sama aku aja? Nggak ada yang lain?"

Seketika dada Atama bergemuruh mendengar ucapan Aljabar yang sangat kurang ajar. Hingga sebuah tamparan pun melayang di pipi lelaki itu.

PLAK!

"Kamu mau lari dari tanggung jawab? Kamu pikir aku cewek apaan, hah?" Teriak Atama marah.

"Bukannya aku nggak mau tanggung jawab, Ta. Kamu tau keadaanya. Kita masih kuliah. Ya kali aku jadi ayah, aku masih muda, terus kalo aku tanggung jawab, aku mau ngasih makan anak kita pakai apa? Cinta?" Sergah Aljabar yang mendadak kehilangan arah.

"Harusnya itu yang kamu pikirin pas kamu minta aku ngelakuin itu sama kamu, Al. Kita suka sama suka. Kamu tau konsekuensinya dan kamu janji akan menanggung apa pun yang terjadi."

"Kita masih terlalu muda, Atama."

Atama menutup wajah dengan kedua tangan dan menyembunyikan tangisnya di sana. "SEHARUSNYA KITA NGGAK NGELAKUIN ITU, AL. SEHARUSNYA KAMU NGGAK TERUS MENERUS MEMINTANYA. DAN SEHARUSNYA AKU JUGA NGGAK MENURUTINYA." Sesalnya memuncak. Apa pun yang keluar dari mulut Atama hanya amarah meledak-ledak.

"Dan kamu juga mau kan? Jadi salahku di mana?" ucap Aljabar mendebat.

Jutaan molekul listrik menyengat di dada Atama. Rasanya sakit sekali. Sakit sampai dia ingin mati. Bukan kalimat itu yang diharapkan keluar dari mulut Aljabar, bukan.

Sementara dalam hati Aljabar sendiri hanya dipenuhi kepanikan. Apakah papanya akan membunuhnya jika dia tahu bahwa putranya telah menghamili anak orang?

Aljabar mengembuskan napas lalu menjambak rambutnya frustrasi.

"Aku cinta sama kamu, Al. Itu yang bikin aku selalu memberikan apa pun yang kamu minta." Netra Atama memejam, tetes-tetes air mata satu per satu mulai berjatuhan. Sesak dan perih memenuhi rongga dada kemudian menjalar sampai ke seluruh tubuh. Atama seperti tak sanggup menghadapi ini semua. "Apa itu nggak cukup jadi alasan kenapa aku mau ngelakuin itu sama kamu?" Kini tatapannya menuntut, penuh kemarahan.

"Kamu selalu saja merumitkan masalah!"

Atama mendengkus kasar. "Jadi aku lagi yang salah? Aku yang merumitkan?"

"Kamu, sih, ngapain coba pakai hamil segala!" kata Aljabar ketus.

"Kita ngelakuinnya sama-sama. Kamu yang bilang nggak akan tinggalin aku apa pun yang terjadi," lirih ucap Atama putus asa.

"Kamu aja jadi cewek naif amat, kenapa mau-mau aja? Lagian kita saling nikmatin kan? Kamu tau, pelacur aja dibayar, yang bego siapa? Bahkan kamu ngasih semuanya ke aku secara gratis! Jadi apa yang harus aku pertanggung jawabkan?"

Lagi, Atama tak kuat menahan amarah dan kekecewaannya, hingga satu tamparan kuat kembali menghantam di pipi Aljabar saat itu.

"Bajingan, kamu, Al!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
~kho~
gila si al, kaga gentle amat sih. najis cemen bgt.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status