"Bajingan, kamu, Al!"
Atama bangkit dari tempat duduk setelah kembali melayangkan tamparan di pipi Aljabar lantas mendorong tubuh Aljabar sekuat yang dia bisa ketika lelaki itu ikut berdiri.Kekecewaannya memburai. Dia tak menyangka Aljabar akan mengatakan semua itu padanya.Aljabar terhuyung ke belakang akibat tak mengantisipasi serangan Atama. Atama yang hilang kendali tanpa pertimbangan memukul perutnya berulang kali. Dia berpikir sebaiknya bayi itu harus mati, kalau pun Atama harus mati bersama bayi itu, dia tak peduli. Atama benar-benar sudah kehilangan akal, saking putus asanya dia."Ka... kamu jahat, Al. Kamu bilang... kamu bilang... kamu sayang sama aku. Aku nggak nyangka kamu sejahat ini!" seru Atama terbata-bata.Aljabar memegangi pipinya yang merah, lantas menahan aksi Atama saat itu."Bukannya gitu, Ta. Aku cuma belum siap. Aku mesti ngomong apa sama mama-papaku? Aku harus apa? Aku bingung, Ata.""Kamu pikir aku siap, gitu? Pikir, Al. Masa depan aku, semuanya aku korbankan buat kamu."Aljabar melepas tangannya dari tangan Atama lalu menatap ke arah perut Atama yang masih rata. "Gugurin bayi itu, aku bakal jual motor, duitnya bisa buat ngebersihin nama kita. Jalan kita masih panjang, Ata. Buat apa kita mikirin pernikahan kalo kita masih bisa happy-happy?"Kalimat itu lebih menyakitkan daripada sambaran petir di siang bolong. Atama tidak lagi bisa berkata-kata. Aljabar menatap Atama tajam. Penuh intimidasi."Gugurin? Bunuh bayi yang nggak berdosa?""Jangan bicara dosa kalau kamu juga pernah menikmati dosa itu, Atama!" tekan Aljabar tegas."Nggak ada jalan lain selain itu, aku belum mau nikah, ngerti kamu!" ucap Aljabar dengan intonasi meninggi. Aljabar tak pernah membayangkan akan menikah, apalagi secepat ini. Dia bahkan belum lulus kuliah.Tangan Atama kembali terangkat hendak menampar Aljabar namun kali ini Aljabar dengan cepat menahan aksi sang kekasih. "Nggak usah pukul lagi! Bunuh aja aku sekalian kalau itu bisa buat hati kamu lebih tenang Ata!"Atama menarik tangannya. Tungkai kakinya melemah seiring dengan tangisannya yang kembali pecah.Tubuh Atama kembali jatuh terduduk di bangku taman dengan kepalanya yang terus menunduk. Menatap kosong ke bawah. "Dosa kita bisa ditutupi dari manusia, Al. Tapi kita punya Tuhan. Aku nggak mau jadi pembunuh anak kita." Gumam Atama dalam tangisnya."Terus kamu maunya apa?" Aljabar mendelik kesal, lelaki itu berdiri berkacak pinggang di hadapan Atama.Atama menyeka air mata di pipinya. Sadar bahwa air matanya terlalu berharga untuk terus menangisi Aljabar yang bahkan tidak memperdulikan perasaannya. Tapi Atama tidak akan menyerah untuk meminta Aljabar bertanggung jawab. Mereka memulai semua bersama, maka Aljabar pun harus ikut tenggelam ke dalam jurang bersamanya. Jika memang mereka harus mati, maka mereka harus mati bersama-sama juga."Nikahin aku!" Tegas Atama seraya mendongakkan kepalanya, menusuk Aljabar dengan tatapannya."What? Kamu tau aku belum lulus kuliah? kalo kita nikah, kamu mau aku ngehidupin kamu pake apa? Minta uang mama-papa tiap hari buat menuhin biaya hidup kita? Itu namanya nggak tau malu, Atama. Di samping itu, aku harus jadi apa buat dapet duit? Kuli bangunan? Kuli panggul? Tukang ojek? Perampok? Pikir, Ta. Otak tuh dipake!" keluh Aljabar sambil memijit kening dengan perasaan kalut."Harusnya kamu yang pake otak kamu buat berpikir! Karena kamu yang memulai semuanya duluan! Anak kita butuh status, Al," tuntut Atama tajam. "Aku tunggu kamu ke rumah buat ngomong sama orang tua aku, kalau kamu nggak juga dateng, aku anggap kamu emang benar-benar brengsek. Dan aku nggak akan pernah maafin kamu seumur hidupku!" Atama lalu pergi meninggalkan Aljabar dengan hasil tes pack yang tergeletak di hadapan Aljabar.Atama tidak berani langsung pulang setelah itu, dia pikir jika dia langsung pulang kalau sampai ketahuan bolos kuliah hari ini, Arlan pasti akan memukulnya lagi. Atama sudah lelah. Sudah cukup babak belur dengan semua kenyataan yang harus dia hadapi. Dia tidak ingin menderita lebih buruk lagi.Hingga setelahnya, Atama kembali ke rumah ketika hari sudah sore. Bersikap seolah semuanya baik-baik saja, mungkin bisa jadi skenario yang mudah dijalani. Dia tahu betul bahwa tak ada cara lain selain berpura-pura tak terjadi apa-apa. Meski dia tahu hati dan hidupnya telah hancur.Selama dua minggu Atama memutuskan untuk tidak kuliah barang sehari pun. Tetap berseragam tetapi mengikuti langkah kaki kemana pun. Hanya bungkusan- bungkusan rokok menemani hari-harinya. Bahkan dia tidak peduli jika rokok dapat memengaruhi janin yang sedang dia kandung.Hari terus berganti, membuat kegelisahan di hati Atama semakin menjadi-jadi. Dia berpikir keras, bagaimana jika Aljabar tidak datang?Sementara di lain tempat, Aljabar terus di gerayangi rasa bimbang. Jika orang tua Atama tahu anaknya hamil dan dia tidak bertanggung jawab, pasti dirinya akan masuk penjara. Tak ada pilihan, bahkan setelah dirinya tersiksa selama berminggu-minggu setelah pertemuan terakhirnya dengan Atama di taman itu, maka hari itu dia memberanikan diri mendatangi kediaman Atama untuk mengatakan hal yang sejujurnya pada keluarga Atama."Kak, Atama mana?" tanya Aljabar pada Arlan. Keringat dingin mengucur membasahi dahi, rasanya dia sudah sangat kelelahan menghadapi semua ini."Dia nggak pernah keluar kamar habis pulang kuliah, kamu ada masalah sama dia? Kenapa sih kalian nggak putus aja? Aku nggak pengen ya, hubungan baikku sama Nando rusak gara-gara kalian.""Nggak kok, Kak. Kami baik-baik aja."Atama yang mendengar pembicaraan mereka segera keluar kamar. Dan sebelumnya dia memang telah mengintip pembicaraan sang kakak dengan Aljabar dari balik pintu kamar."Akhirnya kamu dateng. Aku pikir kamu ngilang." Atama tersenyum pahit. Air matanya menggenang di pelupuk mata. Meskipun tak jatuh."Sini!" Aljabar meminta Atama duduk di sampingnya. Wanita itu menurut."Kamu baik-baik ajakan Ta?" Tanya Aljabar seraya meremas jemari Atama.Saat itu, Atama bisa merasakan tangan kekasihnya itu sangat dingin. Tanpa dijelaskan, Atama tahu bahwa kekasihnya takut."Aku baik-baik aja kok," jawab Atama berbohong, karena di depan Arlan."Mama sama Papa kemana?""Idih, Mama-Papa? Om-tante kali, kuliah yang bener! Aku tuh nggak suka kamu deket-deket sama Ata. Kamu sama Ata tuh sama aja, begajulan!" Potong Arlan yang memang tak pernah menyukai hubungan Aljabar dengan adiknya."Terserah Kak Arlan deh, tapi aku ke sini memang karena aku mau ketemu mereka." Jelas Aljabar tak ingin mengulur waktu."Mama nggak di rumah, Papa masih belum pulang kerja. Serius amat? Ada apa sih?" Tanya Arlan yang semakin curiga."Ya, udah. Nanti sampaikan sama mereka, ada yang penting." Kata Aljabar kemudian."Mengenai apa?""Ata, Kak.""Ngomong aja. Mama sama Papa, mereka sibuk ama urusan mereka masing- masing. Aku kok yang biasa ngurusin dia, walaupun dia beban." Arlan menunjuk Atama menggunakan dagu."Jangan marahin Atama tapi, Kak,""Ya terserah aku lah, siapa kamu ngatur-ngatur!" pungkas Arlan menatap Aljabar dengan sorot tajam. Ingin rasanya menelan bulat-bulat laki-laki di depannya ini kalau saja dia bukan adik dari sahabatnya, Nando."Atama... ha-hamil, Kak," kata Aljabar terbata-bata. Rasanya dia seperti tak memiliki tulang saking lemasnya. Dia benar-benar gugup. Dia takut pada apa yang mungkin terjadi setelah ini.Atama harus bersiap menguatkan diri untuk melihat kemarahan kakak laki-lakinya itu. Tatapan mata Arlan tajam seperti singa lapar. Tangannya mengepal kuat dan gemertak giginya mampu terdengar jelas hingga ke telinga. Atama bangkit dari tempat duduknya, sesegera itu pula Aljabar mengikutinya dan menyembunyikan kekasihnya yang rapuh itu di balik tubuh kurusnya.Arlan mendekat, hendak meraih lengan adiknya namun Aljabar menepis tangan kekar tersebut."Jangan sakitin Ata, Kak!" Tegas Aljabar saat itu.Pembelaan-pembelaan seperti ini lah yang membuat Atama begitu mendewakan sosok Aljabar yang mampu menghangatkan hatinya. Pria itu selalu melindunginya dan tidak peduli jika harus babak belur karenanya.Seperti yang sudah-sudah, Aljabar memanglah seorang yang tidak pernah konsisten dengan sikapnya. Entah dia itu alien atau makhluk jenis apa sebenarnya, siapa juga yang mengetahuinya.Sikap Aljabar memang terkesan cuek, tapi di balik kecuekan itu, tak jarang lelaki itu membuktikan perasaannya pada Atama melalui tindakan."Kita ke orang tua kamu sekarang juga, kamu harus tanggung jawab. Aku nggak peduli, pernikahan kalian bakal bertahan sampai sehari atau dua hari, yang penting kalian harus tetap nikah buat nyelametin nama baik keluarga kita!" Ucap Arlan meluapkan emosinya yang seketika membuncah. "Kalo aja kamu bukan adiknya Nando, pasti udah kubikin tulang leher kamu patah, tau nggak!" Sentak Arlan dengan tatapan mengancam.Arlan lantas menyeret tangan Aljabar dan membawa lelaki itu menuju rumah orang tua Aljabar dengan mengendarai mobil miliknya. Atama hanya dapat pasrah dan terdiam mengikuti mereka berdua dari belakang menggunakan taksi yang dia tumpangi sambil beruraian air mata.Rumah Aljabar dan Atama hanya berjarak kurang lebih dua kilometer. Akan tetapi, pemuda nakal itu lebih betah hidup ngekost dari pada pulang ke rumah orang tuanya.Saat tiba di rumah bercat putih susu itu, hanya ada Mama Aljabar dan Nando yang sedang bersantai di teras rumah.Hingga setelahnya, Arlan pun menjelaskan apa yang kini terjadi menimpa Atama dan Aljabar pada Ibunda Aljabar.Dan orang tua mana yang tidak syok saat mendengar anak lelakinya baru saja menghamili anak orang?Begitu pun dengan Ibunda Aljabar dan Nando, tentunya."Kok bisa sih? Bagaimana dengan kuliah kamu, Al? Mau jadi apa kamu nanti, hah? Mama sangat kecewa sama kamu, Al," ketus wanita paruh baya itu menatap nyalang ke arah Aljabar, sang anak.Widya benar-benar kesal mendengar pengakuan Aljabar dan demi menutupi rasa malu akibat perbuatan bejat sang anak, dengan panik dia malah sibuk mencari kesalahan."Kalian masih muda, loh! Apa yang udah kalian pikirkan? Ya Tuhan! Mama kecewa sama kamu, Al," ucap Widya lagi yang terus mengulang kalimat yang sama. Sengaja memakai kata "kalian" agar terdengar bahwa bukan hanya Aljabar yang salah dalam hal ini, tapi Atama juga.Mendapat kemarahan sang Ibu, Aljabar hanya bisa pasrah menerima, tanpa melakukan apapun. Lelaki itu hanya berdiri sambil menundukkan kepala."Ini pasti ada yang nggak bener, Lan! Tanya adikmu, sama siapa aja dia main begituan?" Kali ini suara yang terdengar berasal dari mulut Nando yang jelas membela adiknya."Maaf, Tante! Kalau Tante dan anak Tante mau berkilah silakan. Biar polisi yang bicara!" Ancam Arlan yang juga tidak terima jika adiknya kini dianggap murahan. Meski selama ini Arlan terlihat sangat membenci Atama namun tak dipungkiri, Arlan masih memiliki sisi kemanusiaan di mana sebenarnya dia menyimpan sedikit rasa sayang pada adik tirinya itu.Widya menatap sengit ke arah anak bungsunya. Kemudian irisnya berputar ke arah Atama, menatapnya penuh konfrontasi. "Kamu juga, sih, jadi perempuan nggak bisa jaga diri. Kalo udah kaya gini, anak Tante 'kan, yang susah!" Ungkapnya menyalahkan.Atama hanya tertunduk dengan bulir air mata berjatuhan.Semua kepahitan itu harus Atama telan sendirian.Bahkan di saat dirinya kini tengah di serang oleh Ibu dan kakak lelakinya, Aljabar tak sama sekali membelanya, sekadar mengatakan pada mereka bahwa apa yang terjadi bukan sepenuhnya kesalahan Atama seperti yang mereka tudingkan.Aljabar yang tidak pernah mau mengerti perasaan Atama yang sesungguhnya meski pun lelaki itu mau bertanggung jawab.Atama kadang bingung menentukan sikap. Bahkan dia tidak tahu, jika dia mencintai pemuda bernama Aljabar akan semenyakitkan ini.Atama terkurung dalam perasaan bersalah. Dia merasa bahwa karena dialah masa depan Aljabar rusak. Bahwa karena Atama, Aljabar tidak bisa melanjutkan kuliah karena berganti peran jadi suami muda dengan istri hamilnya.Jika memang harus terjadi, maka pernikahan Atama dan Aljabar itu hanya seonggok dokumen kecil yang tersimpan rapi di laci lemari. Bagi keduanya pernikahan itu hanya omong kosong.Atama hanya bisa pasrah atas takdir. Dia telah mengorbankan semua yang dia miliki untuk pemuda yang begitu dia puja itu, atas dasar cinta sebagai pembungkus.Tanpa pernah Atama sadari bahwa Aljabarlah yang sesungguhnya telah menghancurkan hidupnya.Gaun pernikahan berwarna putih gading dan tampilan dengan make up agak tebal tampak menjadi pemandangan yang menarik pagi itu.Gadis itu terlihat cantik dengan bulu mata lentiknya. Akan tetapi, sayangnya, Atama beberapa kali malah mengumpat."Ck Sialan! kenapa wanita dewasa betah menyiksa diri dengan memakai riasan wajah laknat seperti ini?" Ucapnya membatin. Mengenakan make up tebal bukanlah kebiasaannya.Tidak ada acara besar, hanya keluarga kecil kedua mempelai yang menghadiri pernikahan itu. Juga Nando yang tampak gagah dengan baju yang dia kenakan.Nando terus menatap Atama sampai membuat gadis itu sedikit tidak nyaman. Acara memang belum dimulai, karena itu juga Atama masih santai duduk- duduk di ruang tengah sambil memainkan ponsel walau pun sebenarnya Atama sedikit bosan.Saat itu, Nando terlihat menghampiri Atama, hal yang tidak pernah dia lakukan seumur hidupnya sekali pun dia sering datang ke rumah gadis itu untuk sekedar 'jalan bareng' dengan Arlan sebagaimana mereka bersa
Atama POV*****Aljabar berkali- kali menyulut rokoknya di tepi jendela tanpa menoleh ke arahku. Lalu dia mengambil jaketnya, memakainya buru-buru dan bergerak untuk keluar dari jendela.Aku menarik tangannya. Siapa yang rela ditinggalkan oleh suaminya pada malam pertama pernikahan?"Al, kamu mau ke mana?" Tanyaku cepat."Jalan ama temen-temen. Kenapa? Nggak suka?" Ucapannya beriringan dengan tatapan sinis. Matanya yang dingin terasa tajam menusuk indraku. Suaranya yang penuh ketidaksukaan terasa merusak pendengaran. Aku merasa terbunuh oleh keadaan ini. Aku benci kenapa tidak pernah bisa berkutik di hadapannya."Ini malam pernikahan kita, Al." Aku tertunduk, sadar bahwa Aljabar memang tidak menginginkanku."Pernikahan kita? Pernikahan kamu kali, Ta. Kan kamu yang mau nikah sama aku? Aku nggak kan?"Aku tidak melepaskan tangannya, memejamkan mata yang memanas oleh luka yang menderaku tanpa belas kasihan. Sikapnya yang dingin terasa membekukan jiwa. Cinta memang indah hanya diawal saja
Atama POV*****Kesulitan perekonomian menjadi permasalahan kompleks bagiku meski baru menikah beberapa bulan belakangan.Aljabar sok-sokan tak mau menerima bantuan dari orang tuanya, maupun mertuanya. Sementara dia pun belum mendapatkan pekerjaan.Sebagai seorang istri yang baik, aku tentu berinisiatif ingin membantunya, walau pun keadaanku sedang hamil, toh aku bisa bekerja apa saja yang ringan-ringan.Seperti lowongan pekerjaan di fotokopian dekat kontrakan kami.Aku mencoba bicara baik-baik, tapi dia tidak pernah menanggapinya dengan baik-baik pula. Itulah Al, aku tidak tahu bagaimana harus menilainya. Yang aku tahu rasa cintaku padanya tak pernah ternilai banyaknya dan semua itu selalu saja mampu menutupi kesalahannya."Al, aku boleh nggak kerja? Ada lowongan pekerjaan di fotokopian Bang Yusuf. Gajinya nggak seberapa sih, cuma dari pada nggak ngapa-ngapain, kan bosen di rumah terus." Ucapku mengungkapkan keinginan."Nggak!" Jawabnya singkat, padat, dan jelas."Kan deket, Al?""Ak
Awalnya Atama berpikir semua baik-baik saja.Kesabarannya akan mampu melunakkan hati Aljabar seiring waktu. Ternyata semuanya tak semudah yang dia pikirkan.Seandainya Atama tidak pernah menjawab telepon itu mungkin dia akan selamanya menjadi istri yang bodoh, yang tidak tahu apa-apa mengenai perselingkuhan suaminya."Ini siapa, ya?" ucapnya saat itu dengan telepon genggam menempel di telinga."Kamu yang siapa?" Di ujung saluran telepon, perempuan lain bersuara. Membuat hati Atama dirambati retakan-retakan tak kasatmata. "Aku pacarnya Al!"Sejenak kalimat itu mampu membuat hati Atama melebur lalu hancur. Mimpi burukkah itu?"Aku istrinya!" Jawab Atama tegas dan dominan."Jangan bercanda, ya!" Nada wanita di ujung saluran telepon itu terdengar sumbang. Jelas sepertinya dia tak senang."Jauhi Al! Aku lagi hamil," ucap Atama dengan dada yang bergerak naik turun bersamaan dengan napasnya yang kian memburu. Menahan sakit."Ini siapa sih? Nggak jelas banget! Nggak usah sok ngaku-ngaku ya! A
Atama POV*****Cukup sudah.Aku sudah tidak sanggup membayangkannya. Jika Aku tidak secinta ini padanya, tentu rasa yang aku tanggung tidak akan sesakit ini.Cinta, Aku tidak yakin apakah kata itu anugerah atau kutukan. Terlalu menyakitkan untuk ditelan."Mungkin, kalau aja kamu nggak hamil aku juga nggak akan nikahin kamu. Nikah sama kamu tuh mimpi buruk! Kamu hidup sama aku tapi kamu cuma jadi perempuan gampangan. Penyesalan terbesarku dalam hidup ini adalah, menikahi kamu, Atta!""Pulangkan aku, Al." Kaki ini terasa tak lagi mampu menopang tubuh, gravitasi seakan meninggalkanku.Hanya tangis pilu yang mampu aku suarakan. Aku berharap hidup sialan ini segera selesai. Berharap kematian membuat diriku sedikit berharga. Karena hidup tidak pernah membuatku merasa dibutuhkan."Nggak usah drama. Kamu tau dengan jelas siapa antagonisnya!"Kepercayaan, adalah sebuah hal yang sangat mustahil Aku dapatkan dari suamiku. Aljabar adalah sosok kasar dan arogan. Dan Aku berharap keajaiban akan me
Atama POV*****Aku memesan minum, sebotol Wishkey mungkin bisa menghangatkan hatiku yang beku. Atau setidaknya aku bisa melepaskan kepedihanku walaupun sesaat, dan tentu saja aku belum pernah menyentuh minuman beralkohol sebelumnya.Kutuang minuman berwarna pekat itu ke dalam gelas model Serry copita yang berlekuk, menggoyangkannya sampai isinya teraduk.Aku meminumnya, tidak peduli minuman ini memiliki rasa yang kuat, pahit, dan aroma tajam yang terasa tabu bagi lidahku. Namun, aku tidak mencari rasa. Aku hanya ingin lupa jika hari ini pernah ada.Selama Whiskey masih di mulut, minuman ini dapat berganti rasa. Unik memang. Bisa manis, sedikit pahit, sedikit rasa buah, dan sebagainya yang sulit kudefinisikan.Aku menyulut sebatang rokok. Menikmatinya, tidak peduli aku bagaikan perempuan jalang hari ini. Aku hanya ingin melupakan sejenak saja sakit hati, sejenak saja tanpa air mata.Jujur aku lelah.Perkataan Wahyu semakin membuatku berantakan, apakah benar semua yang dia katakan, dan
Atama POV*****"Contoh tuh, Wulan. Anaknya Papa, adik aku tuh. Nggak kayak kamu. Bisanya cuma bikin malu keluarga doang. Anak haram!" Dia menunjuk-nunjuk wajahku dengan tatapan penuh kebencian.Saat itu, Kak Arlan hendak pergi tapi aku menahan lengannya dengan cepat. Tak terima dengan ucapannya yang menyebut aku sebagai anak haram."Salahku, Kak? Semuanya salahku Papa sama Mama bertengkar terus? Salahku punya kakak yang kasar dan suka mukul? Salahku punya adik yang hampir sempurna? Salahku, Kak? Salahku juga kenapa aku harus lahir?" Ucapku dengan air mata yang mengumpul di pelupuk mata. Menahan gejolak sesak yang seakan merampas oksigen dari paru-paruku."Ya, semua salah kamu! Kamu bikin aku sadar, ada yang salah sama keluarga kita!" Tekan Kak Arlan sama sengitnya.Aku bergeming, satu pertanyaan yang selama ini tersimpan rapat di hati seolah meluncur bergitu saja dalam pikiranku.Lantas, jika aku hanya anak haram, siapa ayah biologisku?"Kalo otak kamu di kepala, pasti nggak bakal ke
Atama POV*****Entah ke berapa puluh kali ku kirimkan pesan pendek kepada Al, sampai pukul tujuh malam dia baru membalas pesan pendekku.Nanti malam aku pulang, Ta.Aku langsung membalas.Kamu nggak apa-apa kan, Al?Tidak ada jawaban lagi setelahnya.Sampai malam telah larut, akhirnya terdengar suara ketukan pintu. Sesuai seperti yang kukatakan sebelumnya, aku akan memeluknya ketika dia kembali.Ya, menjatuhkan diriku ke pelukannya dan menangis ketika dia datang, aku takut sekali kehilangan dia.Sangat takut.Tapi saat aku membuka pintu dan mendapati wajah Aljabar pun sama babak belurnya, aku pun tahu satu hal bahwa apa yang dikatakan Tante Dayu pasti benar adanya.Aku berjalan menuju kamar setelah memutar kenop pintu dan membiarkan Aljabar masuk. Mengekor di belakangnya dengan degup jantung yang bertalu tak menentu."Apa yang udah kamu lakuin sama Lexi? Kamu mukulin dia?" Tanyaku saat itu. Aku tidak tahu kenapa pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku karena pada dasarnya a