"Jaka, kamu darimana saja?" Baru datang sudah dicecar pertanyaan oleh Ibu.
"Mukanya kusut gitu? Andin?" Aku mendongak menatapnya saat disebut nama Andin. Hanya sebentar lalu terus berjalan masuk ke dalam menuju dapur. "Mama telepon juga nggak diangkat." Ibu penasaran. Ia mengekor langkahku sampai ke dapur. "Kamu kenapa, Jak? Lihat penampilanmu? Kacau begini." Ibu masih menelisik penampilanku. Diguncangnya tubuh ini tapi segera kutepis tangannya. Kuacuhkan dengan menuangkan air mineral ke dalam gelas dan menandaskannya. "Andin kabur, Bu," ungkapku dengan muka sedih setelah melepaskan dahaga. Aku nanar menatap atas meja yang kosong. "Kabur? Maksudnya?" Ibu mendekat dan menarik kursi di sebelahku. "Andin tahu kalau Jaka sudah menikah lagi. Andin pun tahu kalau sebentar lagi Ibu akan mendapatkan cucu. Sepertinya Andin marah dan memutuskan menggugat cerai." "Serius? Andin menggugat cerai kamu?" Kuanggukkan kepala, iya. Ibu tersenyum kecut. "Punya apa dia sampai berani melakukan semua itu?" Dengan melipat kedua tangan Ibu meremehkan sikap Andin. Aku diam. "Sudah, lupakan saja. Kamu masih punya Erika, cantik, dan bisa mengandung anakmu. Terserah dia mau kabur kemana? Minggat kemana? Paling juga nggak bakal lama balik lagi. Minta rujuk. Bisa apa dia tanpamu!" Gegas Ibu penuh emosi meluapkan amarahnya. Ibu salah, Andin itu orang yang kuat. Dia bukan wanita lemah yang bersembunyi di bawah ketiak suaminya dan tidak bisa berbuat apa-apa. Andin menurut padaku bukan karena dia takut, tapi itu sebagai tanda baktinya pada suami, yaitu aku. Aku sering menegurnya dari A-Z. Namun dia diam saja dan menganggap angin lalu. Sekarang saat dia merasa tersakiti maka inilah yang terjadi. Ia berani melawan dan bahkan memutuskan pergi dariku. "Ekhem." Suara dehaman seseorang mengejutkanku. Erika. "Jadi Andin pergi? Baguslah Mas. Artinya cuma aku istrimu satu-satunya. Kabulkan gugatannya Mas. Aku setuju. Lagipula aku mengandung anakmu sekarang." Tanpa permisi Erika muncul dan ikut menimpali ucapan Ibu. "Kenapa Mas? Ditinggal Andin sampai segininya? Kamu masih cinta sama dia?" Mulai lagi. Ia mendekat mengambil duduk di sebelah kiriku. Erika paling suka mendebat. "Cukup, Dek. Mas capek. Mas mau tidur." Kutinggal begitu saja Erika dan Ibu di dapur. Beranjak pergi ke kamar. Kalau kuladeni, malam ini akan semakin panjang. "Mas, jawab dulu. Kamu mau kan menceraikan Andin?" Badanku digoyang Erika. Ia masih membahas permasalahan yang tadi di dapur. Padahal ia melihat aku sudah menarik selimut hingga sebatas leher, yang menandakan aku ingin tidur. "Mas!" "Dek, bisa tidak sekali saja jangan memaksakan kehendakmu pada Mas. Lihat ini, Mas mau tidur. Besok kan bisa kita bicarakan lagi. Mas capek," tegurku dengan sedikit meninggikan suara. "Tuh, kan Mas jahat, Adek benci Mas!" Ia beringsut dari tempat tidur dan gegas keluar. Argh! Pasti ngambek. Malas membujuknya. Kepalaku mumet karena masalah Andin. Hampir sejam aku di jalan keliling mencari keberadaannya, tidak ketemu. Baru pulang sudah dicecar Ibu dan Erika. Pakai disuruh menggugat cerai Andin lagi. Kututup seluruh tubuhku dengan selimut, biarlah besok saja urusan membujuk Erika. Dikasih uang belanja juga dia bakalan kembali ceria. *** "Andin …!" teriakku terbangun dengan napas memburu. "Kamu kenapa, Mas? Kamu mimpi? Mimpiin Andin?" Erika yang berada di sampingku beruntun bertanya dengan sewot. Kupindai badan dan sisi ruangan. Aku mengenalnya. Ini di dalam kamar. Ada Erika di sampingku artinya aku berada di rumah Ibu dan yang tadi itu hanya mimpi. Kuraup wajah pelan sambil mengelus dada. "Mas, aku bertanya kenapa tidak dijawab?" Ah, Erika … Erika. Bisakah mulutmu diam barang sejenak saja. "Iya, aku mimpi buruk," gumamku pelan. "Iya, aku tahu, tapi mimpi apa? Andin? Kenapa harus teriak?" cecarnya lagi. "Tidak apa, tidur lagi," ajakku padanya. Kurebahkan badan menghadap ke arah berlawanan dengan Erika. Aku tidak mungkin cerita tentang mimpiku barusan padanya. Apalagi tentang kehamilan Andin. Ibu pun kurasa tidak perlu tahu. Erika dan Ibu sangat dekat, kalau mereka tahu Andin hamil, entah bagaimana tanggapan mereka. Kalau Erika kurasa pasti kesal karena selama ini selalu menuding Andin mandul, dan membanggakan kehamilannya sekarang, tidak tahu kalau Ibu. Apakah dia akan menyukai berita kehamilan Andin? Kudengar Erika masih ngedumel di sampingku. Tidak jelas, hanya terdengar samar seperti kicauan burung beo. Ia masih marah, tapi untunglah mau tidur bersama. Kukira ia bakal lama merajuk dan memilih tidur dengan Ibu. Aku mimpi buruk. Di dalam mimpiku Andin bersama dua anak kecil yang sangat rupawan. Satu lelaki dan satu lagi perempuan. Awalnya mereka memanggilku Ayah, tapi setelahnya mereka malah ikut Andin pergi menjauhiku bersama seorang laki-laki lain. Tidak jelas, aku lupa seperti apa rupa lelaki itu. Namun yang jelas, raut wajah Andin sangat bahagia saat dipanggil sayang oleh lelaki itu. Yang paling mengherankan wajah Andin berbeda, lebih cantik dan dia tidak gemuk. Kalau itu bukan Andin, kenapa aku memanggilnya dengan nama Andin? Lalu anak-anak itu siapa? Anakku kah?Aku tidak menjawab permintaan Ibu untuk melepaskan Andin. Sulit untuk menjawab iya. Nyatanya hati ini masih menginginkannya. Hubunganku dengan Ibu sedikit renggang. Bukan maksud menjauhinya. Hanya sedikit menjaga jarak, dengan tidak mengajaknya banyak bicara, seperti yang biasanya kami lakukan. Aku tidak mungkin memusuhinya. Bagaimanapun ia orang yang paling berarti dalam hidupku. Diam-diam aku mengikuti Andin. Namun sayangnya ia lebih sering beraktivitas di dalam rumah. Dari cerita Ibu memang Andin menjadikan sebuah ruangan untuk tempat bisnisnya, dan memang berkembang pesat. Kuakui jiwa bisnis Andin dari dulu memang tinggi. Teknik marketing yang ia kuasai sangat menunjang usaha bisnis yang sedang ia geluti sekarang. *** "Abang tahu kenapa kuajak bertemu di luar?" Andin tiba-tiba menghubungiku untuk meminta bertemu. Aku senang, tapi di satu sisi juga tak tenang kenapa harus di luar? Kenapa tidak dibicarakan di rumahnya saja, karena aku akan kesana bersama Ibu pada hari ini, yai
"Namanya Albiru Fauzan. Umur 32 tahun." Aku tidak begitu mendengarkan apa yang dikatakan Karyo, orang suruhanku untuk memata-matai lelaki yang bernama Al. Yang kuingat nama lengkapnya saja. Albiru Fauzan. "Pak!" "Pak!" panggil Karyo membuyarkan lamunanku. "Ya," jawabku terkaget. "Bapak dengar saya kan?" tanyanya menyelidik, menatapku lekat."I--iya. Saya dengar. Lalu apa lagi?" Kuletakkan kembali gelas kopi yang sudah kosong. Kami melakukan pertemuan di sudut cafe, di pinggir jalan. "Dia duda tanpa anak. Istrinya meninggal sejak setahun yang lalu." Karyo melanjutkan ceritanya. "Mempunyai tiga tempat gym dan satu kantor." "Kantor? Kantor apa?" Keningku mengerut mendengarnya. Ternyata banyak juga bisnis yang ia geluti. Salut, semuda ini dia sudah mempunyai banyak usaha. Bisa jadi karena bantuan orang tua. "Oh, itu Pak Jaka. Kantor yang khusus untuk bertemu klien atau apa ya …." Karyo tampak berpikir. "Sudahlah, tidak penting. Terus apa lagi?" selaku memotong ucapannya. Rasa
Astaga … aku baru ingat kalau laki-laki itu adalah orang yang bertengkar denganku di depan rumah Lola. Sebenarnya bukan bertengkar, hanya saja waktu itu aku tidak suka dia ikut campur dan sok mengurusi urusan kami, hingga Lola merasa benar waktu itu dan memojokkanku di hadapan warga sana. Waktu itu dia ngaku tetangganya Lola? Kalau dia memang tetangga Lola, tapi kenapa bisa akrab dengan Andin? Apa jangan-jangan …. Dengan cepat kuambil ponsel yang tergeletak di atas meja dan menekan nomor Lola. "Lol, siapa laki-laki yang sedang dekat dengan Andin?" Aku sampai lupa mengucap salam ketika panggilanku disambut olehnya di seberang sana. Bukan jawaban yang kudapat malah tawa terbahaknya yang ia semburkan. Sialan, dia paling suka mengejekku. "Puas!" serangku ketika tawanya mereda.Lola masih terkekeh kecil di ujung sana. "Lagian kamu menelepon langsung bertanya seperti itu, ya aku tertawa jadinya," jawabnya tidak mau disalahkan. "Seperti itu apanya?" tanyaku tidak paham maksud pertan
"An, aku pulang dulu," ucapnya memandangi wajah Andin dengan seulas senyum tipis. Ada yang berbeda dari tampilan Andin. Badannya lebih kurus dari sebelumnya dan dia semakin cantik walau tanpa polesan make up. Sudah lama tidak ketemu membuatku sedikit pangling melihatnya. "Iya Mas, hati-hati ya, dan terima kasih hadiahnya untuk Ghaffar dan Ghani," balas Andin. Ghaffar dan Ghani adalah nama kedua anak kembarku. Siapa laki-laki itu dan apa hubungannya dengan Andin? Aku dan Ibu masih terpaku di depan rumahnya. Andin sama sekali belum menyapa kami. Genggaman tangan Ibu begitu erat di lenganku. Kucoba mengusapnya sebagai upaya menenangkan. "Masuklah!" titah Andin tanpa senyum setelah lelaki itu pergi. Aku dan Ibu masuk dengan ragu. Kami berjalan beriringan dengan Andin yang memimpin di depan. Rangkulan tangan Ibu belum lepas dari lenganku. "Duduklah, saya ke kamar dulu menjemput Ghaffar dan Ghani. Mau minum apa?" Aku dan Ibu saling pandang. "Air putih saja," ucapku diaminkan Ibu de
Lagi aku membujuknya berharap sangat ia mau membantu. Hanya Lola harapanku satu-satunya. "Iya, tunggu saja kabar baik dariku. Kali ini kucoba percaya. Sudah ya, kututup." Lola mematikan teleponnya lebih dulu, obrolan kami pun berakhir. *** Hari ini Ibu sudah bisa pulang. Wajah Ibu masih pucat khas orang sakit. Ini pun terpaksa membawa pulang atas permintaannya. Bujukan untuk memaksanya tetap tinggal sehari lagi, sesuai rekomen dokter ditolaknya dengan alasan sudah bosan. "Jangankan Ibu, Jaka pun sama Bu, bosan ke rumah sakit terus. Bolak-balik kantor, rumah sakit, tapi kalau pulang sekarang, lalu Ibu sakit lagi gimana? Itu malah memperpanjang masa Ibu dirawat di sini." "Kamu sudah bosan ya urus Ibu? Iya, Ibu bisanya nyusahin kamu saja, sudah hancurin rumah tang--" "Hussstttt! Bukan itu, Bu. Bukan salah Ibu, tapi Jaka. Kalau Jaka bisa teguh sama prinsip Jaka, mau dibujuk bagaimanapun harusnya nggak akan goyah. Jadi stop menyalahkan diri sendiri. Ibu juga salah paham, Jaka nggak
Ibu dimasukkan ke IGD, dan sekarang dalam penanganan dokter. Aku terduduk lemas di kursi depan ruangan, menunggu dengan harap cemas. Ada penyesalan yang teramat dalam, karena ulahku Ibu sampai begini. Seharusnya tidak perlu kutanyakan pertanyaan yang bakal menyakiti hatinya, membuka tabir pesakitannya. "Bagaimana keadaan Ibu saya, dok?" Kuhampiri dengan cepat saat pintu ruangan UGD terbuka. Tampak seorang dokter keluar dari sana. "Anda anaknya Bu Menik?" Kuanggukkan kepala. "Syukur Ibu Menik cepat dibawa kemari. Kalau terlambat sedikit saja maka …." Dokter di depanku menggelengkan kepala dengan membuang napas pelan. "Lalu bagaimana kondisinya, dok?" ulangku karena ingin memastikan keadaannya, kuharap Ibu baik-baik saja. "Alhamdulillah masih bisa diselamatkan, tapi beliau masih dalam pantauan. Kita lihat perkembangannya. Kalau sudah membaik, maka bisa kita pindahkan segera ke ruang perawatan." Aku bernapas lega mendengarnya. Syukurlah Ibu tertolong. Aku tidak boleh ceroboh dan