Share

7. Kejutan Kedua

Kukerjapkan mata dengan mulut yang menguap lebar. Mataku memicing mengitari sekeliling. Kamar ini … oh, ya aku ingat telah memutuskan tidur di rumah Ibu. Ini semua karena Erika berulah kembali ingin bermanja dan tidur denganku. Katanya semua ini karena permintaan bayi dalam kandungannya.

Namun seketika mataku melebar saat melihat jam di atas nakas.

Astaga! Aku telat. Bergegas turun dari ranjang dan ….

Dbugh!!

Aku terjatuh ke lantai.

"Mas, kenapa?" Erika bertanya masih dengan mata tertutup. Mungkin ia terbangun saat mendengar suara benturan keras dariku yang terjatuh dari atas ranjang.

"Argh! Kamu kenapa nggak bangunin Mas sih?" Bersungut kesal sambil meringis kesakitan. Aku menyalahkan Erika.

"Aku juga baru bangun, Mas. Kok nyalahin aku," sanggahnya tidak mau disalahkan. Ia menguap lebar dan merebahkan diri lagi.

Dasar, istri nggak becus. Paling tidak bangun lebih pagi, shalat subuh dan masak di dapur seperti kebiasaan Andin. Bukannya malah tidur. Aku hanya mengomel dalam hati, malas mengucapkan, yang ada kami akan bertengkar.

Ya Allah, jadi kepikiran Andin. Dia lagi apa di sana? Baru beberapa hari ditinggalkan pergi, ternyata terasa sekali kehilangannya.

"Masak apa Bu?" Aku masuk ke dapur dengan tergesa-gesa.

"Awww …! Panas!" Lidahku terasa terbakar saat meneguk cepat kopi yang berada di atas meja.

"Itu masih panas, Jak. Kenapa terburu-buru begitu?" Aku masih sibuk mengelap bekas semburan kopi di baju yang sedang kukenakan sekarang.

"Sudah ganti saja lagi bajumu, itu masih kotor nggak bakal hilang kalau nggak dicuci. Lagian kenapa bajumu kucek begini? Seperti tidak disetrika?"

Kuhela napas dan membuangnya kasar.

Ibu tidak tahu kalau cuma ini baju yang tersisa di sini. Baju kantorku yang lainnya ada di rumahku bersama Andin. Baju ini kucek karena Erika tidak pernah memperhatikan pakaianku. Ia cuma melipat dan meletakkannya ke lemari. Tidak seperti Andin. Lagi-lagi Andin. Ya, hanya Andin yang mengerti diriku seutuhnya.

"Jak, kok malah bengong. Ayo cepat ganti, nanti telat ke kantornya," titah Ibu. Aku bergegas pergi menuju kamar. Mengambil baju yang kemarin.

Tidak, baju ini sudah berbau. Penuh keringat dan kotor. Kuletakkan kembali ke dalam keranjang. Kuambil baju kaos oblong dan mengenakannya.

"Mas, katanya telat, kok malah memakai baju biasa?" Mataku mendelik tajam ke arahnya. Lalu menggeleng dan keluar dari kamar. Malas meladeni Erika, hanya membuat darah tinggiku kumat.

"Mas! Mas …!" Sayup kudengar panggilan darinya tapi tidak kugubris. Heran, darimana Ibu menemukan wanita pemalas sepertinya. Rasa menyesal tiba-tiba menyergap. Aku merasa sangat bersalah dengan Andin.

***

"Bagaimana Jak? Kamu suka?" Ibu mengenalkanku pada teman anaknya yang bernama Erika. Wanita manis, cantik, berkulit putih mulus dan lebih muda dari Andin.

Entah kenapa kepalaku mengangguk mengiyakan pertanyaan Ibu. Lelaki manapun kalau disuguhkan tampilan wanita seperti Erika, tentu saja menganggukkan kepala. Apalagi aku mulai bosan dengan penampilan istriku di rumah. Sudah badannya besar, wajah berjerawat dan selalu memakai daster di rumah membuat penampilannya semakin memuakkan untuk dipandang. Berbeda dengan wanita di hadapanku. Ia mengenakan dres selutut yang menampilkan kaki jenjangnya. Tingginya pun ideal sesuai dengan berat badannya. Ah … mataku jadi cerah dan segar membayangkan melihat Erika di rumah.

"Tapi Bu bagaimana dengan Andin?" Aku merasa bersalah padanya karena telah menerima permintaan Ibu untuk menikahi Erika. Apalagi tadi mereka telah menentukan tanggal pernikahanku dengan Erika. Terlalu cepat dan terburu-buru. Entah kenapa aku cuma diam dan manut saja dengan semua yang dikatakan Ibu di sana.

"Terserah kamu. Mau bilang silakan, mau diam-diam dulu juga boleh. Untung lo kamu dapat gadis lagi. Sudah itu cantik lagi, lebih cantik dari Andin. Eh … jauh. Bagai bumi dan langit deh mereka berdua. Orang tuanya juga nggak mempermasalahkan kamu yang sudah punya istri dengan catatan segera menceraikan istrimu itu. Ibu setuju, kamu setelah menikah dengan Erika, segera ceraikan Andin. Ibu sudah malas punya menantu yang nggak bisa dibangga-banggakan sedikitpun. Harta nggak ada, wajah pas-pasan, ngasih cucu juga belum. Kamu pasti kena pelet dia waktu dulu. Makanya Ibu minta kamu ruqyah, biar jin-jin kiriman Andin di badanmu itu hilang semua."

Bingung mau menjawab apa, Ibu memang suka sekali menjelek-jelekkan Andin. Namun apa mungkin benar yang dikatakan Ibu? Dulu, kulihat Andin itu adalah gadis yang sangat cantik sebelum badannya melebar seperti sekarang ini. Banyak juga laki-laki lain yang mengejarnya dan akulah yang beruntung, menjadi pemenangnya.

Entahlah … sebenarnya aku beruntung apa buntung mendapatkan Andin?

Akhirnya aku menikah diam-diam tanpa sepengetahuan Andin. Aku izin padanya beralasan ada dinas pekerjaan ke luar kota, dan ia percaya begitu saja. Setiap seminggu sekali aku akan izin padanya ke luar kota, padahal tidak kemana-mana, hanya pergi ke rumah Ibu mengunjungi istri mudaku--Erika. Itulah yang membuatku masih betah dengannya, ia sangat mempercayai mulut suaminya ini. Sayang mulutnya saja yang cerewet dan suka bicara panjang lebar kalau lagi curhat atau cerita, selebihnya Andin adalah istri yang sempurna.

Ternyata menikah lagi itu sangat menyenangkan. Hidup semakin berwarna dan cerah. Setiap pulang ke rumah Ibu, bawaannya sejuk, nyaman, apalagi kalau Erika sangat pintar memanjakanku di atas tempat tidur. Tidak seperti Andin. Memiliki dua istri ternyata membuatku bisa membandingkan dan menilai siapa yang terbaik dalam pelayanannya. Kalau Erika terbaik di tempat tidur, maka Andinlah yang terbaik dalam hal mengurus rumah tangga. Tangannya sangat terampil, berbeda dari Erika. Dia bisanya hanya mempercantik penampilan. Yang lainnya nol besar.

***

"Pak Jaka, ini ada kiriman buat Bapak." Seorang OB di kantor memberikan sebuah amplop besar berwarna cokelat. Keningku mengerut melihatnya.

"Terima kasih, Yud," balasku segera mengambil amplop tersebut.

Belum sepenuhnya kubuka amplop tersebut, bayangan Yudhi yang masih berdiri di depan meja mengusikku.

"Apa lagi? Ada kiriman yang lain?" tanyaku padanya dengan raut wajah bingung.

"Eh, tidak. Pak Jaka penampilannya agak beda hari ini," tuturnya membuat kerutan di dahiku semakin bertambah.

Kuperhatikan penampilan dari baju dan celana yang kukenakan.

Alisku naik satu isyarat bertanya padanya.

"Penampilan Bapak hari ini tidak Serapi sebelumnya. Eh, maaf Pak jangan tersinggung, cuma nanya. Kalau begitu saya pergi dulu," pamitnya mengundurkan diri dari hadapan dengan takut-takut.

Kupindai kembali penampilanku. Lalu akhirnya mendesah pelan. Menyedihkan. Warna pakaian kerjaku tidak senada. Baju dan celana tidak sinkron, bertolak belakang, ditambah belum disetrika menjadi kurang enak dipandang.

Lupakan, setelah ini kupinta Erika menyetrika semua pakaianku tanpa ada alasan apapun darinya. Sepertinya, orang seperti Erika harus dikerasin. Kalau tidak, dia akan semakin manja. Sekarang lebih baik fokus ke pekerjaan. Mata ini tidak sengaja melirik ke arah amplop yang hampir saja terlupakan. Entah apa isinya. Segera kubuka dan aku tercengang. Tanganku sampai gemetar saat membaca isinya.

Surat dari pengadilan agama. Apakah ini ....

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Kecamatan IV Jurai
andin luar biasa
goodnovel comment avatar
Anduweni Setya Sayekti
Andin wanita mandiri
goodnovel comment avatar
Anduweni Setya Sayekti
bagus banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status