Share

7. Kejutan Kedua

Penulis: Syarlina
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-15 14:00:21

Kukerjapkan mata dengan mulut yang menguap lebar. Mataku memicing mengitari sekeliling. Kamar ini … oh, ya aku ingat telah memutuskan tidur di rumah Ibu. Ini semua karena Erika berulah kembali ingin bermanja dan tidur denganku. Katanya semua ini karena permintaan bayi dalam kandungannya.

Namun seketika mataku melebar saat melihat jam di atas nakas.

Astaga! Aku telat. Bergegas turun dari ranjang dan ….

Dbugh!!

Aku terjatuh ke lantai.

"Mas, kenapa?" Erika bertanya masih dengan mata tertutup. Mungkin ia terbangun saat mendengar suara benturan keras dariku yang terjatuh dari atas ranjang.

"Argh! Kamu kenapa nggak bangunin Mas sih?" Bersungut kesal sambil meringis kesakitan. Aku menyalahkan Erika.

"Aku juga baru bangun, Mas. Kok nyalahin aku," sanggahnya tidak mau disalahkan. Ia menguap lebar dan merebahkan diri lagi.

Dasar, istri nggak becus. Paling tidak bangun lebih pagi, shalat subuh dan masak di dapur seperti kebiasaan Andin. Bukannya malah tidur. Aku hanya mengomel dalam hati, malas mengucapkan, yang ada kami akan bertengkar.

Ya Allah, jadi kepikiran Andin. Dia lagi apa di sana? Baru beberapa hari ditinggalkan pergi, ternyata terasa sekali kehilangannya.

"Masak apa Bu?" Aku masuk ke dapur dengan tergesa-gesa.

"Awww …! Panas!" Lidahku terasa terbakar saat meneguk cepat kopi yang berada di atas meja.

"Itu masih panas, Jak. Kenapa terburu-buru begitu?" Aku masih sibuk mengelap bekas semburan kopi di baju yang sedang kukenakan sekarang.

"Sudah ganti saja lagi bajumu, itu masih kotor nggak bakal hilang kalau nggak dicuci. Lagian kenapa bajumu kucek begini? Seperti tidak disetrika?"

Kuhela napas dan membuangnya kasar.

Ibu tidak tahu kalau cuma ini baju yang tersisa di sini. Baju kantorku yang lainnya ada di rumahku bersama Andin. Baju ini kucek karena Erika tidak pernah memperhatikan pakaianku. Ia cuma melipat dan meletakkannya ke lemari. Tidak seperti Andin. Lagi-lagi Andin. Ya, hanya Andin yang mengerti diriku seutuhnya.

"Jak, kok malah bengong. Ayo cepat ganti, nanti telat ke kantornya," titah Ibu. Aku bergegas pergi menuju kamar. Mengambil baju yang kemarin.

Tidak, baju ini sudah berbau. Penuh keringat dan kotor. Kuletakkan kembali ke dalam keranjang. Kuambil baju kaos oblong dan mengenakannya.

"Mas, katanya telat, kok malah memakai baju biasa?" Mataku mendelik tajam ke arahnya. Lalu menggeleng dan keluar dari kamar. Malas meladeni Erika, hanya membuat darah tinggiku kumat.

"Mas! Mas …!" Sayup kudengar panggilan darinya tapi tidak kugubris. Heran, darimana Ibu menemukan wanita pemalas sepertinya. Rasa menyesal tiba-tiba menyergap. Aku merasa sangat bersalah dengan Andin.

***

"Bagaimana Jak? Kamu suka?" Ibu mengenalkanku pada teman anaknya yang bernama Erika. Wanita manis, cantik, berkulit putih mulus dan lebih muda dari Andin.

Entah kenapa kepalaku mengangguk mengiyakan pertanyaan Ibu. Lelaki manapun kalau disuguhkan tampilan wanita seperti Erika, tentu saja menganggukkan kepala. Apalagi aku mulai bosan dengan penampilan istriku di rumah. Sudah badannya besar, wajah berjerawat dan selalu memakai daster di rumah membuat penampilannya semakin memuakkan untuk dipandang. Berbeda dengan wanita di hadapanku. Ia mengenakan dres selutut yang menampilkan kaki jenjangnya. Tingginya pun ideal sesuai dengan berat badannya. Ah … mataku jadi cerah dan segar membayangkan melihat Erika di rumah.

"Tapi Bu bagaimana dengan Andin?" Aku merasa bersalah padanya karena telah menerima permintaan Ibu untuk menikahi Erika. Apalagi tadi mereka telah menentukan tanggal pernikahanku dengan Erika. Terlalu cepat dan terburu-buru. Entah kenapa aku cuma diam dan manut saja dengan semua yang dikatakan Ibu di sana.

"Terserah kamu. Mau bilang silakan, mau diam-diam dulu juga boleh. Untung lo kamu dapat gadis lagi. Sudah itu cantik lagi, lebih cantik dari Andin. Eh … jauh. Bagai bumi dan langit deh mereka berdua. Orang tuanya juga nggak mempermasalahkan kamu yang sudah punya istri dengan catatan segera menceraikan istrimu itu. Ibu setuju, kamu setelah menikah dengan Erika, segera ceraikan Andin. Ibu sudah malas punya menantu yang nggak bisa dibangga-banggakan sedikitpun. Harta nggak ada, wajah pas-pasan, ngasih cucu juga belum. Kamu pasti kena pelet dia waktu dulu. Makanya Ibu minta kamu ruqyah, biar jin-jin kiriman Andin di badanmu itu hilang semua."

Bingung mau menjawab apa, Ibu memang suka sekali menjelek-jelekkan Andin. Namun apa mungkin benar yang dikatakan Ibu? Dulu, kulihat Andin itu adalah gadis yang sangat cantik sebelum badannya melebar seperti sekarang ini. Banyak juga laki-laki lain yang mengejarnya dan akulah yang beruntung, menjadi pemenangnya.

Entahlah … sebenarnya aku beruntung apa buntung mendapatkan Andin?

Akhirnya aku menikah diam-diam tanpa sepengetahuan Andin. Aku izin padanya beralasan ada dinas pekerjaan ke luar kota, dan ia percaya begitu saja. Setiap seminggu sekali aku akan izin padanya ke luar kota, padahal tidak kemana-mana, hanya pergi ke rumah Ibu mengunjungi istri mudaku--Erika. Itulah yang membuatku masih betah dengannya, ia sangat mempercayai mulut suaminya ini. Sayang mulutnya saja yang cerewet dan suka bicara panjang lebar kalau lagi curhat atau cerita, selebihnya Andin adalah istri yang sempurna.

Ternyata menikah lagi itu sangat menyenangkan. Hidup semakin berwarna dan cerah. Setiap pulang ke rumah Ibu, bawaannya sejuk, nyaman, apalagi kalau Erika sangat pintar memanjakanku di atas tempat tidur. Tidak seperti Andin. Memiliki dua istri ternyata membuatku bisa membandingkan dan menilai siapa yang terbaik dalam pelayanannya. Kalau Erika terbaik di tempat tidur, maka Andinlah yang terbaik dalam hal mengurus rumah tangga. Tangannya sangat terampil, berbeda dari Erika. Dia bisanya hanya mempercantik penampilan. Yang lainnya nol besar.

***

"Pak Jaka, ini ada kiriman buat Bapak." Seorang OB di kantor memberikan sebuah amplop besar berwarna cokelat. Keningku mengerut melihatnya.

"Terima kasih, Yud," balasku segera mengambil amplop tersebut.

Belum sepenuhnya kubuka amplop tersebut, bayangan Yudhi yang masih berdiri di depan meja mengusikku.

"Apa lagi? Ada kiriman yang lain?" tanyaku padanya dengan raut wajah bingung.

"Eh, tidak. Pak Jaka penampilannya agak beda hari ini," tuturnya membuat kerutan di dahiku semakin bertambah.

Kuperhatikan penampilan dari baju dan celana yang kukenakan.

Alisku naik satu isyarat bertanya padanya.

"Penampilan Bapak hari ini tidak Serapi sebelumnya. Eh, maaf Pak jangan tersinggung, cuma nanya. Kalau begitu saya pergi dulu," pamitnya mengundurkan diri dari hadapan dengan takut-takut.

Kupindai kembali penampilanku. Lalu akhirnya mendesah pelan. Menyedihkan. Warna pakaian kerjaku tidak senada. Baju dan celana tidak sinkron, bertolak belakang, ditambah belum disetrika menjadi kurang enak dipandang.

Lupakan, setelah ini kupinta Erika menyetrika semua pakaianku tanpa ada alasan apapun darinya. Sepertinya, orang seperti Erika harus dikerasin. Kalau tidak, dia akan semakin manja. Sekarang lebih baik fokus ke pekerjaan. Mata ini tidak sengaja melirik ke arah amplop yang hampir saja terlupakan. Entah apa isinya. Segera kubuka dan aku tercengang. Tanganku sampai gemetar saat membaca isinya.

Surat dari pengadilan agama. Apakah ini ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (6)
goodnovel comment avatar
Kecamatan IV Jurai
andin luar biasa
goodnovel comment avatar
Anduweni Setya Sayekti
Andin wanita mandiri
goodnovel comment avatar
Anduweni Setya Sayekti
bagus banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kado Biru Istriku   Ending

    Aku tidak menjawab permintaan Ibu untuk melepaskan Andin. Sulit untuk menjawab iya. Nyatanya hati ini masih menginginkannya. Hubunganku dengan Ibu sedikit renggang. Bukan maksud menjauhinya. Hanya sedikit menjaga jarak, dengan tidak mengajaknya banyak bicara, seperti yang biasanya kami lakukan. Aku tidak mungkin memusuhinya. Bagaimanapun ia orang yang paling berarti dalam hidupku. Diam-diam aku mengikuti Andin. Namun sayangnya ia lebih sering beraktivitas di dalam rumah. Dari cerita Ibu memang Andin menjadikan sebuah ruangan untuk tempat bisnisnya, dan memang berkembang pesat. Kuakui jiwa bisnis Andin dari dulu memang tinggi. Teknik marketing yang ia kuasai sangat menunjang usaha bisnis yang sedang ia geluti sekarang. *** "Abang tahu kenapa kuajak bertemu di luar?" Andin tiba-tiba menghubungiku untuk meminta bertemu. Aku senang, tapi di satu sisi juga tak tenang kenapa harus di luar? Kenapa tidak dibicarakan di rumahnya saja, karena aku akan kesana bersama Ibu pada hari ini, yai

  • Kado Biru Istriku   Cerita Ibu

    "Namanya Albiru Fauzan. Umur 32 tahun." Aku tidak begitu mendengarkan apa yang dikatakan Karyo, orang suruhanku untuk memata-matai lelaki yang bernama Al. Yang kuingat nama lengkapnya saja. Albiru Fauzan. "Pak!" "Pak!" panggil Karyo membuyarkan lamunanku. "Ya," jawabku terkaget. "Bapak dengar saya kan?" tanyanya menyelidik, menatapku lekat."I--iya. Saya dengar. Lalu apa lagi?" Kuletakkan kembali gelas kopi yang sudah kosong. Kami melakukan pertemuan di sudut cafe, di pinggir jalan. "Dia duda tanpa anak. Istrinya meninggal sejak setahun yang lalu." Karyo melanjutkan ceritanya. "Mempunyai tiga tempat gym dan satu kantor." "Kantor? Kantor apa?" Keningku mengerut mendengarnya. Ternyata banyak juga bisnis yang ia geluti. Salut, semuda ini dia sudah mempunyai banyak usaha. Bisa jadi karena bantuan orang tua. "Oh, itu Pak Jaka. Kantor yang khusus untuk bertemu klien atau apa ya …." Karyo tampak berpikir. "Sudahlah, tidak penting. Terus apa lagi?" selaku memotong ucapannya. Rasa

  • Kado Biru Istriku   Kalah Saing

    Astaga … aku baru ingat kalau laki-laki itu adalah orang yang bertengkar denganku di depan rumah Lola. Sebenarnya bukan bertengkar, hanya saja waktu itu aku tidak suka dia ikut campur dan sok mengurusi urusan kami, hingga Lola merasa benar waktu itu dan memojokkanku di hadapan warga sana. Waktu itu dia ngaku tetangganya Lola? Kalau dia memang tetangga Lola, tapi kenapa bisa akrab dengan Andin? Apa jangan-jangan …. Dengan cepat kuambil ponsel yang tergeletak di atas meja dan menekan nomor Lola. "Lol, siapa laki-laki yang sedang dekat dengan Andin?" Aku sampai lupa mengucap salam ketika panggilanku disambut olehnya di seberang sana. Bukan jawaban yang kudapat malah tawa terbahaknya yang ia semburkan. Sialan, dia paling suka mengejekku. "Puas!" serangku ketika tawanya mereda.Lola masih terkekeh kecil di ujung sana. "Lagian kamu menelepon langsung bertanya seperti itu, ya aku tertawa jadinya," jawabnya tidak mau disalahkan. "Seperti itu apanya?" tanyaku tidak paham maksud pertan

  • Kado Biru Istriku   Akhirnya Bertemu

    "An, aku pulang dulu," ucapnya memandangi wajah Andin dengan seulas senyum tipis. Ada yang berbeda dari tampilan Andin. Badannya lebih kurus dari sebelumnya dan dia semakin cantik walau tanpa polesan make up. Sudah lama tidak ketemu membuatku sedikit pangling melihatnya. "Iya Mas, hati-hati ya, dan terima kasih hadiahnya untuk Ghaffar dan Ghani," balas Andin. Ghaffar dan Ghani adalah nama kedua anak kembarku. Siapa laki-laki itu dan apa hubungannya dengan Andin? Aku dan Ibu masih terpaku di depan rumahnya. Andin sama sekali belum menyapa kami. Genggaman tangan Ibu begitu erat di lenganku. Kucoba mengusapnya sebagai upaya menenangkan. "Masuklah!" titah Andin tanpa senyum setelah lelaki itu pergi. Aku dan Ibu masuk dengan ragu. Kami berjalan beriringan dengan Andin yang memimpin di depan. Rangkulan tangan Ibu belum lepas dari lenganku. "Duduklah, saya ke kamar dulu menjemput Ghaffar dan Ghani. Mau minum apa?" Aku dan Ibu saling pandang. "Air putih saja," ucapku diaminkan Ibu de

  • Kado Biru Istriku   siapa Lelaki Itu?

    Lagi aku membujuknya berharap sangat ia mau membantu. Hanya Lola harapanku satu-satunya. "Iya, tunggu saja kabar baik dariku. Kali ini kucoba percaya. Sudah ya, kututup." Lola mematikan teleponnya lebih dulu, obrolan kami pun berakhir. *** Hari ini Ibu sudah bisa pulang. Wajah Ibu masih pucat khas orang sakit. Ini pun terpaksa membawa pulang atas permintaannya. Bujukan untuk memaksanya tetap tinggal sehari lagi, sesuai rekomen dokter ditolaknya dengan alasan sudah bosan. "Jangankan Ibu, Jaka pun sama Bu, bosan ke rumah sakit terus. Bolak-balik kantor, rumah sakit, tapi kalau pulang sekarang, lalu Ibu sakit lagi gimana? Itu malah memperpanjang masa Ibu dirawat di sini." "Kamu sudah bosan ya urus Ibu? Iya, Ibu bisanya nyusahin kamu saja, sudah hancurin rumah tang--" "Hussstttt! Bukan itu, Bu. Bukan salah Ibu, tapi Jaka. Kalau Jaka bisa teguh sama prinsip Jaka, mau dibujuk bagaimanapun harusnya nggak akan goyah. Jadi stop menyalahkan diri sendiri. Ibu juga salah paham, Jaka nggak

  • Kado Biru Istriku   Mencari Cara

    Ibu dimasukkan ke IGD, dan sekarang dalam penanganan dokter. Aku terduduk lemas di kursi depan ruangan, menunggu dengan harap cemas. Ada penyesalan yang teramat dalam, karena ulahku Ibu sampai begini. Seharusnya tidak perlu kutanyakan pertanyaan yang bakal menyakiti hatinya, membuka tabir pesakitannya. "Bagaimana keadaan Ibu saya, dok?" Kuhampiri dengan cepat saat pintu ruangan UGD terbuka. Tampak seorang dokter keluar dari sana. "Anda anaknya Bu Menik?" Kuanggukkan kepala. "Syukur Ibu Menik cepat dibawa kemari. Kalau terlambat sedikit saja maka …." Dokter di depanku menggelengkan kepala dengan membuang napas pelan. "Lalu bagaimana kondisinya, dok?" ulangku karena ingin memastikan keadaannya, kuharap Ibu baik-baik saja. "Alhamdulillah masih bisa diselamatkan, tapi beliau masih dalam pantauan. Kita lihat perkembangannya. Kalau sudah membaik, maka bisa kita pindahkan segera ke ruang perawatan." Aku bernapas lega mendengarnya. Syukurlah Ibu tertolong. Aku tidak boleh ceroboh dan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status