Kadrun termenung di depan komputer di kantornya. Dia hanya bisa berdoa agar istrinya tidak terlalu cepat punya anak. Walaupun dia sebenarnya sangat ingin segera punya anak. Akan tetapi Kadrun tidak ingin buru-buru kehilangan sang istri. Dia mencintai perempuan itu, dan dia masih berharap tidak hanya satu atau dua tahun bersama. Kadrun ingin hidup bersama selamanya dengan Siti Majenun, walaupun Kadrun sendiri tidak cukup yakin perasaan yang sama dimiliki sang istri. Kadrun berharap dengan waktu yang diulur-ulurnya, maka dia akan mempunyai cukup waktu untuk membuat pikiran Siti berubah. Kadrun ingin Siti benar-benar mencintainya seperti dirinya yang tulus mencintai Siti. Kadrun tidak pernah merasa keberatan dengan sifat-sifat asli Siti, bagi Kadrun semua perempuan memang ditakdirkan menjadi cerewet dan menjengkelkan. Apalagi setelah berumah tangga. Kadrun melihat kenyataan itu pada Nenek, Mak, dan kakak-kakak perempuan sepupu yang dekat dengannya. Kadrun jadi memaklumi keadaan Siti.
Bagi Kadrun, Siti adalah perempuan baik dan tulus. Sebab ketulusan dan kebaikan perempuan itu sempat dirasakan Kadrun di awal-awal kedekatan mereka. Kadrun berharap waktu akan membuat kebaikan Siti muncul kembali. Kadrun sungguh-sungguh tidak ingin bercerai semudah itu dengan Siti.
Sebelum jam empat Kadrun sudah kabur dari kantor, sebab jadwalnya menerima jatah dari Siti mengalami perubahan. Biasanya malam hari, tetapi tadi Siti menelponnya karena dia harus pergi bertemu kawan yang sudah lama tidak dia temui. Jadi Siti meminta agar jadwal pemberian jatahnya dipercepat menjadi sore hari sebelum dia bersiap-siap berangkat menemui temannya. Tentu saja Kadrun bergegas seperti kesetanan mengendarai motornya melaju pulang ke kontrakan. Siti sudah terlihat duduk manis di sofa rumah membaca sebuah majalah kecantikan. Wajahnya seolah memiliki bohlam sekian watt, karena cahaya dari tubuh Siti terasa begitu menyilaukan di mata Kadrun, sehingga membuat Kadrun tersandung di depan pintu. Padahal dia tahu betul pintu kontrakannya mempunyai palang bekas penghuni kontrakan dulu yang punya anak balita dan palang itu tidak pernah Kadrun lepaskan. Otomatis Kadrun terjerembab ke lantai dan membuat Siti terkejut.
“Alamak! Kenapa, Drun?”
Kadrun meringis dan segera berdiri menahan rasa sakit dan sekaligus rasa malu. Dia mengelus-elus tulang keringnya.
“Tidak apa-apa, tadi aku sedikit lupa kalo ada palang di pintu kita itu.”
“Lah, bukannya barang itu memang dari dulu ada di situ?” Siti menatap Kadrun bingung.
“Iya. Sudah lama di situ, tetapi kan Yayang Siti belum lama di sini. Jadi aku merasa palang itu jadi tidak pernah ada karena ada Siti di situ.”
Siti tanpa ekspresi menatap Kadrun sebentar. Lalu kembali menekuri majalahnya.
Kadrun menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, “Siti cantik sekali. Itu yang dipakai apa namanya, Yang?”
Siti menatap pakaiannya, “Lingerie,” tambah Siti acuh tak acuh.
“Kok, bisa merah begitu ya.”
“Iya merah. Memangnya kenapa kalau merah? Cepat sana mandi. Jangan buat aku berubah pikiran!” Siti membanting majalahnya di atas meja. Dia mulai merasa kesal dengan basa-basi Kadrun.
“Iya. Iya, Sayang. Di balik lenjernya kok menul-menul gitu?.”
“Dasar norak! Lingerie,” ralat Siti kembali mengambil majalahnya di atas meja.
“Iya, lingerie. Lingerie menul-menul. Maknyus!” Kadrun nyengir sambil terus mengulang-ulang kata tersebut.
Siti menatap Kadrun dengan mata memipih, “Mandi!”
“Oh iya, siap! Mandi! Tapi boleh tanya satu hal lagi, Yang?”
Siti tanpa ekspresi. Matanya tertuju penuh pada halaman majalah yang dia bolak-balik.
“Mahal ya bajunya? Rasanya kok Abang belum pernah belikan.”
“Iya mahal banget, sampai dak cukup belinya dengan gajimu, Drun!”
“Oh, jadi siapa yang belikan?”
“Aku beli sendiri!”
“Wah, banyak duit ya, Sayang.”
“Kalau banyak memang kenapa? Jadi kau senang tidak perlu mensubsidi uang belanja bulanan lagi buatku?”
Kadrun tersindir.
“Kenapa masih di situ? Cepatlah kau mandi!”
“Oh, iya. Iya.” Kadrun bergegas ke kamar mandi dan segera menghapus pikiran macam-macam yang mengacaukan mood bagusnya hari itu.
Sore itu, seperti minggu-minggu sebelumnya, setiap hari Kamis merupakan jadwal Kadrun memperoleh jatah dari Siti. Kadrun tidak mungkin melewatkan jadwal tersebut, karena service yang diberikan Siti memang tiada duanya. Di atas ranjang, Siti selalu melayani Kadrun dengan sepenuh hati, tanpa cela. Membuat Kadrun merasa menjadi seorang sultan yang berkuasa atas perempuan. Semua fantasi nakal Kadrun dipenuhi Siti tanpa ragu-ragu. Kadrun dibuat mabuk kepayang. Kadrun dibuat makin jatuh cinta pada Siti berkat kepiawaiannya di atas ranjang. Semakin kuat keinginan Kadrun untuk mempertahankan Siti dengan cara apapun untuk terus berada di sisinya.
“Bisakah jadwal ini kita tambah, sayang? Aku ragu kalau cuma satu kali seminggu, pembuahan ini tidak cukup cepat terjadi.” Kadrun menyarankan setelah mereka menyelesaikan ronde yang begitu panas di atas ranjang. Bulir-bulir keringat masih tertinggal di pelipis Siti, napasnya pun masih terlihat naik turun. Posisi Kadrun dan Siti masih rebahan di atas ranjang dengan mata yang terpejam. Kedua tubuh telanjang mereka ditutupi selimut.
Siti tidak menoleh ke arah Kadrun, dengan mata masih tertutup bibirnya mengukir senyum sinis.
“Kenapa harus jadwalnya yang ditambah? Sebaiknya kau minum jamu atau obat yang bisa membuat cairanmu benar-benar berkualitas!”
“Menurut dokter tidak cukup seperti itu, Sayang. Intensitas juga penting.”
Siti menghela napas lalu membuka matanya menatap Kadrun di sebelahnya, “Jadi?”
“Kalau Sayang tidak percaya, nanti kita temui dokterku sama-sama.”
“Ck, tak usahlah. Aku percayakan saja padamu.” Siti kembali memejamkan mata.
Tangan Kadrun hendak meremas gunung padat Siti yang setengah menyebul dari balik selimut. Namun sebelum sampai ke tujuan, tangan Kadrun sudah ditepis Siti. Perempuan itu menarik selimutnya.
“Jadi bagusnya jadwal kuda-kudaan kita ditambah lagi, Yang?”
Siti belum menjawab. Matanya masih terpejam. Bisa jadi perempuan itu pura-pura tertidur.
Pikiran Kadrun saling berdebat. Untuk sesaat Kadrun jadi ragu-ragu atas permintaannya barusan. Dia cemas kalau Siti keburu hamil, berarti semakin cepat Siti harus pergi darinya. Dia lebih rela menahan syahwatnya dibandingkan harus buru-buru berpisah dengan Siti. Seminggu sekali sebenarnya jadwal yang cukup buat Kadrun. Toh dulu, dia menahan diri selama 40 tahun, kalaupun kepeleset dia cukup melakukan segalanya secara mandiri. Bisa jadi, cara mandiri akan cukup ideal mengisi jadwalnya yang dirasa kurang.
“Ah, sudahlah, Sayang. Tidak usaha dipikirkan permintaan Abang tadi. Biarlah seperti ini. Seminggu sekali saja. Sudah cukup, biar aku saja yang berusaha lebih keras.”
“Tidak apa-apa kalau mau nambah jadwal. Tapi aku minta perjanjian kita dirubah.”
Kadrun seolah-olah tidak percaya dengan pendengarannya. Dia langsung duduk di ranjang, “Apa, sayang?”
“Intensitas kerja rodi kita ditambah. Biar kemungkinan punya anak lebih cepat, seperti maumu.”
“Iya, Sayang.” Kadrun menjawab ragu-ragu antara sangat kepengen dan takut Siti segera kabur. Tapi Hasrat tampaknya lebih jujur dari rasa takut.
“Kita bisa setiap hari ya, Sayang?”
“Memang kau sanggup. Ukur kemampuanmu dulu kalau bicara.”
Kadrun menelan ludah pahit.
“Kita rubah jadi tiga kali seminggu.”
Kadrun tersenyum senang, dia ingin sekali meremas gunung Siti. Kalau biasanya cuma satu minggu sekali, sekarang dalam seminggu dia bisa melakukannya tiga kali. Kadrun bersorak riang dalam hati.
“Selasa, Kamis, Sabtu untuk jadwalnya. Terserah, kau mau malam atau siang hari.”
“Bisa dua-duanya, Yang?”
“Aku kan sudah bilang, ukur dulu kemampuanmu baru bicara.”
Kadrun mengatup mulutnya rapat-rapat.
“Aku mengajukan penawaran baru.” Siti kemudian bangkit dari rebahannya. Dia mengambil sesuatu dari nakas di sebelah ranjangnya. Selembar kertas dan sebuah pulpen disodorkan di dada Kadrun.
Kadrun meraihnya. Sebuah perjanjian tertulis dengan rapi di kertas tersebut.
“Lima ratus juta?” Kadrun tidak bisa menyembunyikan rasa keterkejutannya melihat angka yang diminta Siti.
“Tiga hari. Full service. Dalam jangka waktu yang tidak terduga, bisa satu tahun, dua tahun, bahkan entah berapa tahun. Tapi aku yakinkan bahwa sampai tiga tahun aku tidak juga hamil. Maka perjanjian itu batal. Aku akan pergi dengan tangan kosong.”
Kadrun masih memandangi kertas yang disodorkan Siti.
“Aku juga minta uang muka sebesar seratus juta.”
“Uang muka?”
“Aku berikan dua pilihan, beri aku uang seratus juta sebagai uang muka perjanjian ini atau biarkan aku kembali bekerja.”
“Bekerja? Untuk apa?”
“Ya, untuk memenuhi kebutuhan aku lah. Uang bulananmu tidak cukup.”
Kadrun menghela napas.
“Helaan napas itu kuanggap kau lebih sanggup membiarkan aku kembali bekerja.”
“Tidak! Kau tidak perlu bekerja. Akan kusediakan uang mukanya.”
Siti tersenyum, “Tolong tanda tangani perjanjian itu dan uangnya ditransfer ke rekeningku. Ingat, uang muka ini tidak akan dikembalikan apabila ternyata aku gagal memberimu seorang anak. Anggap saja itu biaya service yang kuberikan. Kau tidak akan menyesal membayarnya, karena kau tidak akan pernah menemukan service ranjang dari seorang istri yang profesional sepertiku.”
Kadrun merasa tidak punya pilihan, lagi pula perjanjian tersebut cukup saling menguntungkan. Si lelaki memutuskan menoreh tanda tangan di atas lembar perjanjian tersebut. Setelah bagiannya selesai, giliran Siti mengukir tanda tangannya dengan senyum simpul. Perempuan itu merasa bahagia sekarang.
Pertemuan dengan Zulaikah memutar memori putih abu-abu yang telah lama berlalu. Sepanjang jalan mengendarai sepeda motor kesayangannya senyum Kadrun tak berhenti mengembang. Kenangan antara dirinya dengan Zulaikah kembali berputar di kepalanya. Mereka berdua adalah sepasang sahabat yang sangat kompak dan saling memahami satu sama lain. Zulaikah selalu membantunya mengerjakan tugas sekolah dan ujian. Sementara Kadrun selalu menjadi pelindung Zulaikah. Mereka sering menghabiskan waktu selain di sekolah adalah di pasar. Tempat kursus menjahit Zulaikah berada di dekat pasar sementara Kadrun suka nongkrong di pangkalan ojek sekaligus pangkalan preman. Kadrun selalu menunggu Zulaikah selesai kursus menjahit, setelah kursus Zulaikah akan mengajarkan Kadrun pelajaran sekolah yang tertinggal, atau memberikan PR yang sudah dia kerjakan untuk Kadrun.“Masuk sekolah lah besok, Drun. Ada ulangan matematika,” Zulaikah berujar kala itu di pangkalan ojek setelah selesai kursus menjahit.“Aku belum be
“Kau sudah sangat sukses sekarang, Zulaikah.” Kadrun menyahut.Zulaikah tersenyum. “Ya, syukurlah. Rezeki itu Tuhan yang mengatur. Sebagai manusia kita harus mensyukuri.”“Aku bangga ternyata kawan akrabku jadi orang terkenal sekarang.” Kadrun menggoda Zulaikah yang sedang meneguk teh hangat yang dia pesan.“Ah, kawan akrab apa? Kau tidak bisa mengenaliku pas kita ketemu,” protes Zulaikah memonyongkan mulutnya.“Kau sangat berbeda, Zulai! Apalagi kau mengenakan hijab. Wajahmu tidak lagi jerawatan. Kau juga tidak mengenakan kacamata. Dulu kau hitam legam. Sekarang kulitmu seputih pualam. Manalah aku memikirkan kalau kalian orang yang sama. Apalagi dulu kau juga selalu memakai kawat gigi.”“Ingatanmu payah. Masa tidak sedikitpun dari wajahku ini yang kau ingat, padahal aku tidak operasi plastik. Apalagi kalau aku oplas habis-habisan!”“Ah, masa kau mau oplas? Begini
Kadrun terbangun dari tidurnya. Dia duduk sambil memegang kepala di atas ranjang kontrakannya. Dia memperhatikan sekeliling, masih terasa dan tercium aroma Siti. Bagi Kadrun kebersamaannya dengan Siti Majenun hanya sebuah mimpi. Sekarang dia sudah terbangun dari mimpi. Dia kembali ke kehidupan normalnya. Dia kembali kepada keadaan sedia kala.Kadrun melirik jam weker di atas nakas. Pukul 03.00 WIB dini hari. Matanya tidak lagi mampu dia pejamkan walaupun sebenarnya ia ingin segera tertidur dan kembali disibukkan dengan pekerjaan kantor. Kadrun meraih handphone yang tergeletak di nakas sebelah weker. Dia membuka sebuah pesan Whatsapp yang tak terbaca. Sebuah nomor tak dikenal mengirim sebuah pesan.Saya Zulaikah. Maaf, lancang mengirim pesan. Besok pagi apakah kita bisa bertemu? Jam sarapan. Jam 7.30. Saya tunggu di Kafe Morning.Kadrun mengingat kembali sosok Zulaikah. Dia perempuan yang tampak santun dan berpendidikan.
Setelah pertemuan di rumah dinas walikota, Kadrun segera memenuhi janjinya pada Agam, membawa sahabatnya itu ke tempat karaoke langganan mereka. Sambil mendengarkan Agam dan Brewok duet lagu dangdut sampai lagu rock metal, pikiran Kadrun melayang entah ke mana. Sebagian besar pikirannya terbang ke rumah, dia merindukan Siti sekaligus merasa membencinya pada saat bersamaan. Dia ingin segera pulang ke rumah. Beberapa kali dilihatnya arloji tetapi dua jam waktu berkaraoke yang dia pesan terasa terlalu lama berakhir.“Ayo, Jok. Nyanyi apa?” tanya Brewok menegur Kadrun yang terus melamun.Kadrun menggeleng.“Hei, di tempat karaoke itu nyanyi bukan melamun, Jok!” Agam ikut berkomentar.Kadrun hanya tersenyum. “Kalian lah dulu menyanyi, nanti aku belakangan.”Agam dan Brewok kembali memilih lagu. Mereka kembali bernyanyi, kali ini lagu pop Jawa. Kadrun menghela napas. Walaupun suasana hatinya sedang tidak baik, ta
Seperti yang sudah dijadwalkan, Kadrun bersama Agam dan Brewok sepulang kerja langsung meluncur ke rumah dinas walikota untuk menemui Ibu Walikota yang memanggil Kadrun. Rumah dinas tersebut tampak megah dengan pengawalan yang cukup ketat. Satpol PP menyambut kedatangan mereka bertiga di depan pintu pagar.“Wah, Bang Agam, sudah lama sekali tidak mampir ke sini. Sibuk sekali nampaknya?” tegur salah satu petugas Satpol PP yang mengenal Agam. Lelaki itu langsung mengulurkan tangan menjabat tangan Agam dengan erat.“Tidak sibuk-sibuk amat lah, Bang Rahmat. Kerja seperti biasa lah. Lagi pula kalau Ibu tidak memanggil saya, ndak berani juga saya sering-sering kemari, Bang. Oh, Iya, Bang. Ibu ada? Tadi pagi beliau menelpon saya menyuruh kawan saya kemari menemui beliau. Bapak Kadrun. Kata beliau ada tamu dari Jakarta yang mau diperkenalkan.” Agam menjelaskan.“Oh iya. Sudah ditunggu Ibu. Silahkan masuk saja, Bang Agam,” lelaki bertu
Kadrun tiba di kantor tanpa banyak bicara, sepanjang koridor kantor yang dilaluinya Kadrun tidak menyapa siapapun. Dia langsung memasuki ruangannya, meletakkan jaket, duduk di kursi kerjanya, dan mengaktifkan komputer.“Hei,” Brewok yang sedari tadi mengikuti Kadrun dari parkiran menepuk bahu sahabatnya itu. “Kayak pakai kaca mata kuda, jalannya ndak lihat kiri kanan lagi?”Kadrun tidak berkomentar.Brewok jadi dibuat garuk-garuk kepala. “Ada masalah berat di rumah? Bukannya katamu Siti sudah balik ke rumah.”Kadrun menatap tajam pada Brewok membuat lelaki itu jadi menelan ludah. Tidak ada satu katapun keluar dari mulut Kadrun.“Perlu aku peluk, Jok?” tawar Brewok membuat Kadrun bergidik. Dia kembali menghadap komputernya.Brewok yang merasa tidak mendapat respon positif sejak kedatangannya juga ikut-ikutan menarik kursinya menghadap komputer kerja.“Ya, enak buat desain batik saja