Share

184 - ke Bawah

Penulis: Luna Maji
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-23 11:12:52
Cahaya tipis jatuh dari celah di langit-langit ruang sempit itu.

Lian duduk bersandar pada dinding batu, napasnya masih belum sepenuhnya teratur. Gulungan kulit binatang itu ia genggam erat, seolah menggenggam benda itu adalah satu-satunya cara untuk menahannya agar tidak hanyut oleh ketakutan.

Pasir masih berdesir di lorong luar—suaranya halus, sabar, seperti sesuatu yang tidak perlu terburu-buru karena tahu buruannya kehabisan ruang.

Ia menatap sekeliling.

Ruangan ini tidak besar.

Dinding-dindingnya dipahat rapi, sudut-sudutnya bersih. Batu lantainya rata, bahkan aus di beberapa bagian—seperti sering diinjak.

Lian bangkit perlahan, mengabaikan nyeri di rusuknya.

Ia melangkah tertatih, menelusuri dinding dengan ujung jarinya. Di sana—di balik lapisan lumut kering—ia menemukan sesuatu yang berbeda. Sebuah pola goresan yang hampir hilang—alur tipis berulang, seperti arah hembusan angin yang dipahat dengan sengaja.

Lian meletakkan telapak tangannya di dinding itu.

Udar
Luna Maji

Terima kasih sudah membaca sejauh ini dan tetap bertahan, bahkan ketika ceritanya memilih jalur yang tidak mudah. Di bagian ini, Luna tidak sedang mencari jurus yang lebih besar. Aku justru mencari alasan kenapa sesuatu yang tampak tak terkalahkan bisa runtuh tanpa benar-benar dikalahkan. Pasir itu jarang hancur jika hanya diserang. Tapi ketika dipaksa berubah terlalu cepat—dipanaskan lalu didinginkan tanpa waktu menyesuaikan diri—ia menjadi kaca yang rapuh dan mudah retak. Jadi, dinding itu runtuh bukan karena siapa yang paling kuat, melainkan karena perubahan suhu yang terlalu cepat. Mungkin itu juga yang sedang terjadi pada para tokoh di cerita ini. Bukan siapa yang paling kuat yang akan bertahan, tapi siapa yang dipaksa berubah sebelum ia siap.

| Sukai
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    184 - ke Bawah

    Cahaya tipis jatuh dari celah di langit-langit ruang sempit itu. Lian duduk bersandar pada dinding batu, napasnya masih belum sepenuhnya teratur. Gulungan kulit binatang itu ia genggam erat, seolah menggenggam benda itu adalah satu-satunya cara untuk menahannya agar tidak hanyut oleh ketakutan. Pasir masih berdesir di lorong luar—suaranya halus, sabar, seperti sesuatu yang tidak perlu terburu-buru karena tahu buruannya kehabisan ruang. Ia menatap sekeliling. Ruangan ini tidak besar. Dinding-dindingnya dipahat rapi, sudut-sudutnya bersih. Batu lantainya rata, bahkan aus di beberapa bagian—seperti sering diinjak. Lian bangkit perlahan, mengabaikan nyeri di rusuknya. Ia melangkah tertatih, menelusuri dinding dengan ujung jarinya. Di sana—di balik lapisan lumut kering—ia menemukan sesuatu yang berbeda. Sebuah pola goresan yang hampir hilang—alur tipis berulang, seperti arah hembusan angin yang dipahat dengan sengaja. Lian meletakkan telapak tangannya di dinding itu. Udar

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    183 - Catatan

    Lian menahan napas di balik celah batu yang sempit. Dari kejauhan, suara langkah menggema di aula kuil. “Lian,” suara Ravia terdengar dingin, menggema di antara pilar batu. “Aku tahu kau belum pergi jauh.” Lian menelan ludah. Ia merapatkan tubuh ke dinding, menahan gemetar. Pasir di lantai berderak pelan, seolah merespons langkah Ravia. Suara itu terlalu dekat. Terlalu tenang. Ia menggeser tubuhnya sedikit, meraba dinding di sekelilingnya. Jarinya menyentuh permukaan batu yang berbeda—lebih halus, penuh ukiran tua yang nyaris terhapus waktu. Ia terus merayap pelan di lorong sempit itu, menggeser tubuhnya beberapa senti lebih dalam. Udara di sini pengap, berbau debu tua dan sesuatu yang busuk. Cahaya dari aula utama tidak bisa menembus masuk, memaksanya meraba-raba dalam kegelapan total. Setiap pergerakannya menyiksa. Rusuknya yang memar bergesekan dengan dinding batu, menciptakan rasa nyeri y

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    182 - Bertahan

    Di ruangan altar Kuil Tua, saat Ravia menyentuh dahi Lian, rasa sakit tajam menghantam kepala Lian. Pasir di lantai kuil bergetar pelan, mengikuti irama yang tidak bisa ia pahami. Lilin-lilin ungu di sekeliling ruangan menyala stabil, nyalanya tenang. Ravia berdiri di hadapannya. “Tenanglah,” kata wanita itu lembut. “Ini cuma sakit sedikit,” katanya, seolah rasa sakit adalah hal sepele. Lian menggertakkan gigi. Ia mencoba menggerakkan jarinya. Tidak bisa. Tubuhnya terasa terlalu berat. Ia mencoba mengangkat kakinya. Gagal. “Tidak perlu melawan,” bisik Ravia. “Aku hanya mengubah arah.” “Takdir bukan benda,” desis Lian. “Kau tidak bisa mengarahkannya sesukamu.” “Tentu saja bisa.” Ravia tersenyum tipis. “Aku membentuk jalurnya.Padahal kau angin—tapi kau memilih diam. Kau tahu?” Ia mendekat ke telinga Lian. “Angin bisa mendorong gadis bulan itu menjauh, atau menarik Kaisar ke pelukanmu. Tapi kau …,” Ravia memutar jarinya di dahi Lian. “... malah bermain dengan pengawal itu.”

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    181 - Arah

    Pagi itu, Istana Vermilion tidak diselimuti duka, melainkan ketidaksabaran.Daiyu sudah mati, tapi Dewan Tetua belum puas.Mereka mencium sesuatu—bukan kebenaran, melainkan kesempatan.Guru Fen membuka pintu kamar pribadi kaisar.“Yang Mulia, Dewan memanggil sidang darurat. Mereka gelisah soal pemakaman Daiyu. Mereka menuntut pemeriksaan formal.”Shangkara membuka mata, pelan. “Tentu saja,” gumamnya. Ia berdiri. Kakinya sempat goyah, tapi ia menegakkan punggungnya sebelum siapa pun sempat melihat.Guru Fen menatapnya cermat. “Kau akan kesana?”“Aku Kaisar,” jawab Shangkara. “Kalau aku tidak muncul, mereka akan mencium kelemahan.”Ia melangkah pergi.Matahari sudah tinggi ketika pintu Ruang Dewan terbuka.Para Tetua yang sejak tadi ribut menuntut penjelasan langsung terdiam.Shangkara melangkah masuk. Ia mengenakan jubah kebesaran Vermilion lengkap dengan mahkotanya. Wajahnya meman

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    Bab Bonus — Catatan Penulis (Tentang Sunyi yang Disengaja)

    Di titik ini, mungkin ada yang berpikir: “Kok ceritanya jadi sepi?” Atau lebih jujur lagi: “Ini nggak serame dulu.” Kabar baiknya: kalian tidak salah. Kabar buruknya: Luna juga tahu. Bab-bab terakhir ini memang agak berat dan datar. Tidak ada kemenangan besar. Tidak ada ledakan panjang yang memuaskan. Yang ada justru orang-orang yang pergi diam-diam, kalah tanpa tepuk tangan, dan memilih keputusan yang rasanya salah di mata siapa pun—kecuali diri mereka sendiri. Sebagai penulis, ini bagian yang paling tidak ramah pembaca. Dan mungkin, paling tidak ramah untuk Luna sendiri. Karena jauh lebih mudah menulis adegan hebat daripada menulis konsekuensinya. Lebih mudah membuat karakter menang, daripada membiarkan mereka tertinggal, tertipu, atau terluka tanpa bisa membalas. Kalau semua ini terasa tidak “rame”, itu karena cerita sedang berhenti memanjakan. Luna paham jika ada yang berhenti di sini. Luna juga paham jika ada yang bertanya-tanya apakah cerita ini kehilangan arah. Ya

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    180 - Angin & Pasir

    Bilah angin pertama Lian melesat.Ravia mengangkat tangan sedikit. Pasir dari botol di pinggangnya keluar seperti cambuk yang menepis bilah angin. Cambuk pasir itu mengenai bilah angin Lian dan serangan itu buyar seketika.Lian tidak menahan diri. Ia memutar tubuhnya, menyalurkan Qi yang dimilikinya ke ujung-ujung jari.Angin berdesing tajam, membelah udara lembap di Hutan Barat.Puluhan bilah angin melesat serentak ke arah Ravia, cukup tajam untuk memotong batang pohon di hadapannya.Ravia tidak bergeser sejengkal pun. Ia hanya tersenyum tipis, mengeluarkan pasirnya lagi dari botol yang menggantung di pinggangnya.Pasir itu bergerak cepat. Dalam sekejap mata, pasir itu memadat di

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status