Share

3 - Bangun

Author: Luna Maji
last update Last Updated: 2025-09-25 18:34:31

Kesadaran merambat perlahan ke dalam diri Cailin, seperti kabut yang tersibak.

Hal pertama yang dirasakannya adalah hangat.

Bukan hangatnya selimut, tetapi sebuah kehangatan aneh yang bersumber dari dalam dirinya sendiri, menyebar ke seluruh tubuhnya yang lemas. Dia membuka mata, perlahan, berkedip mencoba menyesuaikan pandangan.

Langit-langit batu.

Itu bukan langit-langit pondok kayunya di hutan. Ini... berbeda. Dingin. Asing.

Ia mencoba duduk, kepalanya pusing. Meski lemah, tubuhnya terasa ringan dan hangat.

Ia melihat sekeliling. Ruangan ini aneh. Dindingnya batu marmer yang halus dan dingin, diterangi cahaya biru misterius dari kristal-kristal yang menempel. Ada rak kitab kuno dan botol-botol aneh. 

“Kau sudah bangun.”

Suara itu, rendah dan berwibawa, membuatnya terkejut. Cailin menoleh ke sumber suara.

Seorang pria berdiri di dekat lengkungan batu, membelakangi cahaya biru sehingga wajahnya sebagian tersembunyi dalam bayangan. Ia tinggi tegap, mengenakan tunik praktis berwarna gelap. Yang paling mencolok adalah sorot matanya yang tajam, mengamatinya dengan tenang.

“Di... di mana ini?” tanya Cailin, suaranya serak dan lemah, nyaris seperti bisikan. 

Pria itu mendekat. Sekarang Cailin bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ia tampan, dengan garis wajah yang tegas dan rahang yang kuat. 

Cailin langsung tahu. Itu adalah pria yang ia temukan terkapar di hutan. Wajah tegas dan tampannya sama. Tap matanya berbeda. Yang dulu merah menyala, sekarang hanya berwarna coklat biasa. Itu mustahil.

“Aku ingat kamu,” kata Cailin cepat. Tatapannya tajam ke arah Shangkara. “Kamu terluka, aku menolongmu, lalu… gelap.”

Shangkara langsung tegang. Ia berharap Cailin terlalu linglung untuk menyadarinya.

Ia harus berhati-hati. Ia tidak bisa menyangkalnya, tapi juga tidak bisa mengaku sepenuhnya.

“Ya,” ucap Shangkara, dengan nada datar, berusaha terdengar biasa saja. “Kami… membawamu. Iya! Kami membawamu karena kamu pingsan.”

Cailin mengangguk perlahan, “Tapi dimana ini? Kamu bawa aku kemana?”

“Ini salah satu kamar di istana, kamu aman.”

Shangkara duduk di sisi tempat tidur, tangannya terulur perlahan hendak menyentuh dahi Cailin.

“Istana?” Cailin menatap Shangkara curiga, tangannya ia silangkan di dadanya, “Apa yang kamu lakukan?” teriaknya panik.

Shangkara spontan bangun dan mundur.

Cailin masih waspada. Ia menatap lekat pada Shangkara. Ia tidak mengenal pria itu, dan ia berada di tempat asing yang aneh ini. “Siapa yang tahu apa yang kamu lakukan saat aku pingsan?” tuduhnya.

Shangkara masih bisa mengingat sensasi yang ia rasakan saat ibu jarinya menyentuh bibir lembut Cailin. “Aku mengobatimu!” katanya berteriak.

Sebelum Cailin bisa bertanya lebih lanjut, pintu batu ruangan bergeser dengan suara berderak rendah.

Seorang pria lain muncul—pria yang lebih berotot dengan bekas luka di alisnya. Dia membawa nampan berisi semangkuk bubur dan ramuan. 

“Yang mul—” Ren menghentikan ucapannya di tengah jalan. Mulutnya langsung ia tutup rapat saat melihat Shangkara memberi isyarat untuk diam.

Matanya melirik cepat ke arah Cailin, lalu kepada Shangkara, penuh dengan pertanyaan yang tidak terucap.

“Ren, temanku,” ucap Shangkara, suaranya terdengar sedikit lebih keras dari yang dimaksudkan. Ia berjalan ke arah Ren dan mengambil alih nampan yang dibawanya, lalu berbisik pelan di telinga Ren, “Jangan sampai dia tahu identitasku.”

Shangkara berbalik, melangkah menuju tempat tidur, “Makan dulu,” ucapnya lembut pada Cailin.

Ren membeku di tempatnya. Matanya membelalak tak percaya.Sang Kaisar yang perkasa, yang biasa memerintah dengan tatapan, baru saja berbicara pada gadis tak dikenal dengan suara lembut. Dunia pasti sudah terbalik.

Cailin hanya bisa menerima nampan itu dengan bingung. “T-Terima kasih,” gumannya, masih mencoba memahami perubahan sikap pria di hadapannya.

Shangkara menyadari dia hampir terbawa perasaan. Dia berdehem, kembali menegakkan posturnya dan memasang wajah datarnya yang biasa. “Kami akan meninggalkanmu. Istirahat yang cukup,” ujarnya, kali ini dengan nada lebih formal.

Dia memberi isyarat pada Ren yang masih termenung dengan tatapan kosong. “Ren. Ayo.”

Mendengar namanya disebut, Ren seakan tersentak dari pikirannya. “I-ya,” jawabnya, terlalu bersemangat hingga suaranya terdengar aneh.

Shangkara meliriknya tajam, memperingatkannya untuk tidak melakukan hal yang mencurigakan. Ren langsung menunduk, berusaha terlihat normal.

Dengan langkah cepat, Shangkara berjalan keluar ruangan. Ren mengikutinya dari belakang.

Begitu pintu batu tertutup, dan mereka berdua sudah berada di koridor sepi yang aman, Ren tidak bisa menahan diri lagi.

“Yang mulia, apa yang—?!” protesnya dengan suara berbisik yang bergetar.

“Diam,” potong Shangkara, suaranya rendah namun penuh wibawa yang tidak bisa dibantah. Dia berhenti dan menatap Ren. “Tidak ada penjelasan, atau pertanyaan. Itu perintah.”

Ren menelan ludahnya, lalu mengangguk pelan.

Shangkara menarik napas dalam. "Sekarang, kamu siapkan kamar untuknya di istana timur. Aku akan ke ruang sidang. Aku sudah terlambat."

Dia berjalan meninggalkan Ren yang masih tercengang, mencoba memproses bagaimana tuannya bisa begitu lembut pada seorang gadis dan kemudian berubah menjadi Kaisar yang dingin hanya dalam hitungan detik.

***

Beberapa hari kemudian, Cailin dibawa Ren menyusuri koridor yang semakin luas dan dihiasi dengan indah. Suara gemericik air mancur mulai terdengar, menggantikan kesunyian koridor kamar sebelumnya. Wangi bunga melekat di udara.

Mereka berhenti di depan sebuah lengkungan gerbang yang dijaga. Di atas gerbang, terpahat tulisan indah: Istana Timur.

“Masuk,” ucap Ren singkat, matanya menghindari kontak dengan para penjaga.

Begitu melewati gerbang, pandangan Cailin disambut oleh pemandangan yang sama sekali tidak dia bayangkan. Sebuah taman yang dipenuhi dengan belasan gadis cantik, semuanya berpakaian sutra berwarna-warni, sedang bercengkrama, berlatih energi, menyulam, atau bermain musik. 

Tapi, begitu mereka melihat Ren—dan terutama Cailin yang berpakaian sederhana dan masih terlihat lemah—semua aktivitas terhenti.

Puluhan pasang mata menatapnya. Ada yang penasaran, ada yang sinis, dan banyak yang penuh dengan kecurigaan dan penilaian dingin. Bisik-bisik pun mulai terdengar.

Ren, yang jelas-jelas tidak nyaman berada di tempat ini, melangkah lebih cepat. Ia berhenti di salah satu kamar. “Ini kamarmu mulai sekarang. Jangan berkeliaran. Ini perintah!” 

Belum sempat Cailin membuka mulutnya untuk protes atau bertanya, Ren sudah berbalik dan pergi dengan langkah cepat, meninggalkannya di depan kamar yang asing.

Cailin berdiri kaku, perasaannya campur aduk antara bingung, dan sedikit tersinggung menyelimutinya. “Perintah?” gumannya dalam hati. Perintah siapa? Pria itu semakin aneh saja.

Sementara pikirannya masih berusaha mencerna segala yang terjadi, sebuah suara dari belakangnya membuyarkan pikirannya.

“Kamu calon baru, ya?”

Seorang gadis berdiri di sana. Cantik, dengan pakaian sutra yang bagus, tapi ada bayangan kesedihan dan kerinduan yang jelas terpancar dari matanya yang besar. Senyumnya ramah, tapi tidak cukup untuk menyembunyikan kepenatan di wajahnya.

Cailin tidak mengerti, “Calon apa?”

“Calon selir, tentu saja,” jawab gadis itu, suaranya berbisik, seolah membagikan rahasia besar. “Kita semua di sini adalah para gadis bangsawan yang dikirimkan keluarga untuk... dididik. Berharap suatu hari nanti bisa menarik perhatian Sang Kaisar dan diangkat menjadi selir, atau bahkan permaisuri.”

Perkataan gadis itu menggantung di udara, menusuk langsung ke jantung Cailin.

Calon selir.

Mengapa ia harus tinggal di tempat calon-calon selir?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    7 - Peluk

    Ruang batu itu terasa sejuk, nyaris membekukan. Shangkara merebahkan Cailin di tempat tidur batu yang datar dan dingin. Di luar, suara-suara istana seperti lenyap. Dengan belati, Shangkara kembali melukai tangannya. Darah vermilionnya menetes perlahan ke bibir Cailin. Cailin yang menggigil, sedikit mengerang saat darah hangat itu masuk. Tangan Shangkara yang lain dengan lembut mengusap dahi Cailin yang basah oleh keringat dingin. Perlahan, suhu tubuh Cailin mulai turun, namun ia masih menggigil, napasnya tersendat.“Tubuhnya dingin,” Shangkara menoleh kepada Ren, “cari selimut!” perintahya.Shangkara menggenggam tangan Cailin. Menggososknya dengan tangannya sendiri.Ren kembali dengan selimut tebal, lalu memberikannya pada Shangkara. Shangkara segera menyelimuti Cailin, tapi gadis itu masih menggigil hebat, bibirnya mulai membiru. “Tubuhnya masih dingin, Ren. Sangat dingin,” bisik Shangkara. “Aku harus menghangatkannya.” Ren mengerti, wajahnya berubah pucat. “Yang mulia, anda tidak

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    6 - Energi

    Keesokan paginya, istana timur sudah sibuk dengan berbagai aktivitas. Lian sudah menarik lengan Cailin dengan semangat.“Cailin, ayo ikut aku ke kuil! Kamu terlalu lemah. Kamu harus melatih energimu. Guru Fen akan menguji energi spiritualmu, supaya kita bisa berlatih bersama.”Cailin mengikuti langkah Lian dengan sedikit tertatih, karena luka di lututnya belum sembuh sempurna. “Tapi... aku tidak pernah belajar menggunakan energi. Aku bahkan tidak tahu apa itu energi spiritual.”Lian tersenyum lembut. “Tenang saja. Banyak gadis di sini juga baru mulai. Guru Fen akan membantumu.”Mereka berdua akhirnya tiba di kuil tempat latihan di wilayah istana timur. Lian membawa Cailin menemui seorang tetua berjubah abu-abu yang duduk tenang di depan sebuah batu kristal besar.Guru Fen membuka matanya perlahan. “Siapa ini, Lian?”“Guru, ini Cailin. Dia baru datang. Bisakah anda mengujinya?”Guru Fen mengangguk, lalu menatap Cailin. “Letakkan tanganmu di atas batu ini. Tutup matamu, dan coba rasakan

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    5 - Lutut

    Cailin duduk di tempat tidurnya. Lian membersihkan luka di lutut Cailin dengan air hangat. “Kau harus hati-hati, Cailin,” ujar Lian. Ia mencelupkan kain ke dalam wadah air hangat, perlahan ia menusap kembali luka di lutut Cailin. “Kau bisa terus-terusan di ganggu Daiyu.”Brak!Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan suara keras.Cailin dan Lian terkejut, menoleh ke arah pintu. Cailin langsung menurunkan roknya untuk menutupi kakinya yang terbuka.Seorang pria tinggi tegap berdiri di ambang pintu, napasnya sedikit tersengal. Matanya langsung menatap ke arah kaki Cailin. Ia melangkah mendekat.Lian langsung berdiri, maju melindungi Cailin, “Siapa Anda?” tanyanya, suara bergetar. “Apa maksud kalian masuk kamar ini tanpa izin. Akan ku panggil penjaga.”Shangkara mengabaikan pertanyaannya. Langkahnya mendekat, matanya terus menatap rembesan darah di baju Cailin. Ia ingin memastikan dugaannya.Ren muncul dari belakang Shangkara, melangkah masuk mengikuti tuannya. Ia mendekati Lian, menunju

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    4 - Istana Timur

    “Kau harus ganti baju,” desisnya, membuka lemari dan mengeluarkan sebuah hanfu berwarna pastel. “Pakaianmu yang sekarang... terlalu mencolok. Itu akan membuatmu menjadi target.”“Aku Lian,” kata gadis itu, memecahkan keheningan yang menegangkan setelah ucapannya tentang ‘calon selir’ menggantung di udara. “Ayo, masuk ke kamarmu sebelum yang lain memperhatikanmu lebih jauh.”“Target? Target apa? Aku bukan calon selir!” bantah Cailin, suaranya masih bergetar.Lian hanya menghela napas, “Ah! Kamu tamu?”Cailin mengangguk cepat.Lian melanjutkan, “Di istana timur ini, persepsi lebih penting daripada kenyataan. Tidak peduli kamu tamu atau calon. Sekarang, ganti bajumu. Akan kuceritakan semuanya.”“Itu pakaian siapa?” tanya Cailin melihat hanfu warna pastel yang dipegang Lian.“Ini disiapkan istana. Kamu penghuni kamar ini, semua yang ada disini berarti milikmu.”Lian membantu Cailin mengganti baju, dan menyisir rambutnya. “Oh, ya. Siapa namamu? Kamu dari keluarga mana?” tanyanya, tangannya

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    3 - Bangun

    Kesadaran merambat perlahan ke dalam diri Cailin, seperti kabut yang tersibak.Hal pertama yang dirasakannya adalah hangat.Bukan hangatnya selimut, tetapi sebuah kehangatan aneh yang bersumber dari dalam dirinya sendiri, menyebar ke seluruh tubuhnya yang lemas. Dia membuka mata, perlahan, berkedip mencoba menyesuaikan pandangan.Langit-langit batu.Itu bukan langit-langit pondok kayunya di hutan. Ini... berbeda. Dingin. Asing.Ia mencoba duduk, kepalanya pusing. Meski lemah, tubuhnya terasa ringan dan hangat.Ia melihat sekeliling. Ruangan ini aneh. Dindingnya batu marmer yang halus dan dingin, diterangi cahaya biru misterius dari kristal-kristal yang menempel. Ada rak kitab kuno dan botol-botol aneh. “Kau sudah bangun.”Suara itu, rendah dan berwibawa, membuatnya terkejut. Cailin menoleh ke sumber suara.Seorang pria berdiri di dekat lengkungan batu, membelakangi cahaya biru sehingga wajahnya sebagian tersembunyi dalam bayangan. Ia tinggi tegap, mengenakan tunik praktis berwarna ge

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    2 - Darah

    Ruangan rahasia itu tersembunyi di balik kemegahan istana yang berlapis emas dan permata. Dindingnya terbuat dari batu marmer yang halus, yang dingin bila disentuh. Beberapa gulungan kitab kuno bersandar usang di rak kayu, bersamaan dengan beberapa botol kecil berisi cairan obat yang tidak diberi label. Di tengah ruangan, sebuah tempat tidur batu polos dan datar—yang biasanya menjadi tempat Shangkara bermeditasi hingga larut malam—kini tergeletak seorang gadis tak dikenal yang napasnya tersengal-sengal. Cahaya biru dari kristal-kristal energi yang tertanam di dinding menerangi segala sudutnya, menciptakan bayangan-bayangan yang menari. Tidak ada satu pun simbol kebesaran kerajaan yang terpajang. Ini adalah tempat Sang Kaisar melepas semua topeng dan mahkotanya, menjadi dirinya yang paling sederhana dan paling tersembunyi—sebuah ruang yang selalu dia sembunyikan dari seluruh dunia.Ren adalah satu-satunya orang yang ia izinkan masuk.Tiba-tiba tubuh Cailin yang terbaring tak sadarkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status