LOGINKesadaran merambat perlahan ke dalam diri Cailin, seperti kabut yang tersibak.
Hal pertama yang dirasakannya adalah hangat.
Bukan hangatnya selimut, tetapi sebuah kehangatan aneh yang bersumber dari dalam dirinya sendiri, menyebar ke seluruh tubuhnya yang lemas. Dia membuka mata, perlahan, berkedip mencoba menyesuaikan pandangan.
Langit-langit batu.
Itu bukan langit-langit pondok kayunya di hutan. Ini... berbeda. Dingin. Asing.
Ia mencoba duduk, kepalanya pusing. Meski lemah, tubuhnya terasa ringan dan hangat.
Ia melihat sekeliling. Ruangan ini aneh. Dindingnya batu marmer yang halus dan dingin, diterangi cahaya biru misterius dari kristal-kristal yang menempel. Ada rak kitab kuno dan botol-botol aneh.
“Kau sudah bangun.”
Suara itu, rendah dan berwibawa, membuatnya terkejut. Cailin menoleh ke sumber suara.
Seorang pria berdiri di dekat lengkungan batu, membelakangi cahaya biru sehingga wajahnya sebagian tersembunyi dalam bayangan. Ia tinggi tegap, mengenakan tunik praktis berwarna gelap. Yang paling mencolok adalah sorot matanya yang tajam, mengamatinya dengan tenang.
“Di... di mana ini?” tanya Cailin, suaranya serak dan lemah, nyaris seperti bisikan.
Pria itu mendekat. Sekarang Cailin bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ia tampan, dengan garis wajah yang tegas dan rahang yang kuat.
Cailin langsung tahu. Itu adalah pria yang ia temukan terkapar di hutan. Wajah tegas dan tampannya sama. Tap matanya berbeda. Yang dulu merah menyala, sekarang hanya berwarna coklat biasa. Itu mustahil.
“Aku ingat kamu,” kata Cailin cepat. Tatapannya tajam ke arah Shangkara. “Kamu terluka, aku menolongmu, lalu… gelap.”
Shangkara langsung tegang. Ia berharap Cailin terlalu linglung untuk menyadarinya.
Ia harus berhati-hati. Ia tidak bisa menyangkalnya, tapi juga tidak bisa mengaku sepenuhnya.
“Ya,” ucap Shangkara, dengan nada datar, berusaha terdengar biasa saja. “Kami… membawamu. Iya! Kami membawamu karena kamu pingsan.”
Cailin mengangguk perlahan, “Tapi dimana ini? Kamu bawa aku kemana?”
“Ini salah satu kamar di istana, kamu aman.”
Shangkara duduk di sisi tempat tidur, tangannya terulur perlahan hendak menyentuh dahi Cailin.
“Istana?” Cailin menatap Shangkara curiga, tangannya ia silangkan di dadanya, “Apa yang kamu lakukan?” teriaknya panik.
Shangkara spontan bangun dan mundur.
Cailin masih waspada. Ia menatap lekat pada Shangkara. Ia tidak mengenal pria itu, dan ia berada di tempat asing yang aneh ini. “Siapa yang tahu apa yang kamu lakukan saat aku pingsan?” tuduhnya.
Shangkara masih bisa mengingat sensasi yang ia rasakan saat ibu jarinya menyentuh bibir lembut Cailin. “Aku mengobatimu!” katanya berteriak.
Sebelum Cailin bisa bertanya lebih lanjut, pintu batu ruangan bergeser dengan suara berderak rendah.
Seorang pria lain muncul—pria yang lebih berotot dengan bekas luka di alisnya. Dia membawa nampan berisi semangkuk bubur dan ramuan.
“Yang mul—” Ren menghentikan ucapannya di tengah jalan. Mulutnya langsung ia tutup rapat saat melihat Shangkara memberi isyarat untuk diam.
Matanya melirik cepat ke arah Cailin, lalu kepada Shangkara, penuh dengan pertanyaan yang tidak terucap.
“Ren, temanku,” ucap Shangkara, suaranya terdengar sedikit lebih keras dari yang dimaksudkan. Ia berjalan ke arah Ren dan mengambil alih nampan yang dibawanya, lalu berbisik pelan di telinga Ren, “Jangan sampai dia tahu identitasku.”
Shangkara berbalik, melangkah menuju tempat tidur, “Makan dulu,” ucapnya lembut pada Cailin.
Ren membeku di tempatnya. Matanya membelalak tak percaya.Sang Kaisar yang perkasa, yang biasa memerintah dengan tatapan, baru saja berbicara pada gadis tak dikenal dengan suara lembut. Dunia pasti sudah terbalik.
Cailin hanya bisa menerima nampan itu dengan bingung. “T-Terima kasih,” gumannya, masih mencoba memahami perubahan sikap pria di hadapannya.
Shangkara menyadari dia hampir terbawa perasaan. Dia berdehem, kembali menegakkan posturnya dan memasang wajah datarnya yang biasa. “Kami akan meninggalkanmu. Istirahat yang cukup,” ujarnya, kali ini dengan nada lebih formal.
Dia memberi isyarat pada Ren yang masih termenung dengan tatapan kosong. “Ren. Ayo.”
Mendengar namanya disebut, Ren seakan tersentak dari pikirannya. “I-ya,” jawabnya, terlalu bersemangat hingga suaranya terdengar aneh.
Shangkara meliriknya tajam, memperingatkannya untuk tidak melakukan hal yang mencurigakan. Ren langsung menunduk, berusaha terlihat normal.
Dengan langkah cepat, Shangkara berjalan keluar ruangan. Ren mengikutinya dari belakang.
Begitu pintu batu tertutup, dan mereka berdua sudah berada di koridor sepi yang aman, Ren tidak bisa menahan diri lagi.
“Yang mulia, apa yang—?!” protesnya dengan suara berbisik yang bergetar.
“Diam,” potong Shangkara, suaranya rendah namun penuh wibawa yang tidak bisa dibantah. Dia berhenti dan menatap Ren. “Tidak ada penjelasan, atau pertanyaan. Itu perintah.”
Ren menelan ludahnya, lalu mengangguk pelan.
Shangkara menarik napas dalam. "Sekarang, kamu siapkan kamar untuknya di istana timur. Aku akan ke ruang sidang. Aku sudah terlambat."
Dia berjalan meninggalkan Ren yang masih tercengang, mencoba memproses bagaimana tuannya bisa begitu lembut pada seorang gadis dan kemudian berubah menjadi Kaisar yang dingin hanya dalam hitungan detik.
***
Beberapa hari kemudian, Cailin dibawa Ren menyusuri koridor yang semakin luas dan dihiasi dengan indah. Suara gemericik air mancur mulai terdengar, menggantikan kesunyian koridor kamar sebelumnya. Wangi bunga melekat di udara.
Mereka berhenti di depan sebuah lengkungan gerbang yang dijaga. Di atas gerbang, terpahat tulisan indah: Istana Timur.
“Masuk,” ucap Ren singkat, matanya menghindari kontak dengan para penjaga.
Begitu melewati gerbang, pandangan Cailin disambut oleh pemandangan yang sama sekali tidak dia bayangkan. Sebuah taman yang dipenuhi dengan belasan gadis cantik, semuanya berpakaian sutra berwarna-warni, sedang bercengkrama, berlatih energi, menyulam, atau bermain musik.
Tapi, begitu mereka melihat Ren—dan terutama Cailin yang berpakaian sederhana dan masih terlihat lemah—semua aktivitas terhenti.
Puluhan pasang mata menatapnya. Ada yang penasaran, ada yang sinis, dan banyak yang penuh dengan kecurigaan dan penilaian dingin. Bisik-bisik pun mulai terdengar.
Ren, yang jelas-jelas tidak nyaman berada di tempat ini, melangkah lebih cepat. Ia berhenti di salah satu kamar. “Ini kamarmu mulai sekarang. Jangan berkeliaran. Ini perintah!”
Belum sempat Cailin membuka mulutnya untuk protes atau bertanya, Ren sudah berbalik dan pergi dengan langkah cepat, meninggalkannya di depan kamar yang asing.
Cailin berdiri kaku, perasaannya campur aduk antara bingung, dan sedikit tersinggung menyelimutinya. “Perintah?” gumannya dalam hati. Perintah siapa? Pria itu semakin aneh saja.
Sementara pikirannya masih berusaha mencerna segala yang terjadi, sebuah suara dari belakangnya membuyarkan pikirannya.
“Kamu calon baru, ya?”
Seorang gadis berdiri di sana. Cantik, dengan pakaian sutra yang bagus, tapi ada bayangan kesedihan dan kerinduan yang jelas terpancar dari matanya yang besar. Senyumnya ramah, tapi tidak cukup untuk menyembunyikan kepenatan di wajahnya.
Cailin tidak mengerti, “Calon apa?”
“Calon selir, tentu saja,” jawab gadis itu, suaranya berbisik, seolah membagikan rahasia besar. “Kita semua di sini adalah para gadis bangsawan yang dikirimkan keluarga untuk... dididik. Berharap suatu hari nanti bisa menarik perhatian Sang Kaisar dan diangkat menjadi selir, atau bahkan permaisuri.”
Perkataan gadis itu menggantung di udara, menusuk langsung ke jantung Cailin.
Calon selir.
Mengapa ia harus tinggal di tempat calon-calon selir?
Oke, izinkan aku sedikit curhat, karena mungkin di antara kalian ada yang mikir: “KENAPA CAILIN PUNYA API VERMILION DAN ES BULAN, GILA, GAK NGOTAK NIH AUTHOR!” Jawaban singkatnya: iya, gila. Tapi gila dengan alasan. 😌 Aku tuh dulu suka banget sama konsep dual core power, dan yang pertama kali ngenalin itu ke otak aku ya ... Tang San, Soul Land. Kalian tahu kan? Dua martial soul, dua sistem energi, dua takdir yang harus ditanggung satu tubuh. Aku suka karena dia bukan sekadar kuat — tapi dia punya beban “dua dunia” di dirinya, kayak nggak pernah bisa jadi satu orang penuh. Nah, dari situ aku mikir: gimana kalau ide kayak gitu dibawa ke dunia Vermilion? Tapi jangan salin konsepnya mentah. Aku pengen versiku tuh lebih emosional, bukan cuma teknikal. Jadi, jadilah Cailin, gadis yang dibuang ibu tirinya ke hutan yang aslinya adalah pewaris klan bulan, tapi tiba-tiba dapat energi Vermilion gara-gara satu kaisar sok pahlawan ngasih darahnya tanpa mikir dulu. Boom. Dua energ
Cahaya pagi yang lembut menyelimuti kamar Kaisar. Shangkara dan Cailin bangun, tidak ada raut kelelahan di wajah Shangkara setelah malam yang intens. Justru wajahnya berseri-seri dan inti Qi Vermilion nya berdenyut dengan stabil dan kuat.“Tidak lelah, Yang Mulia?” bisik Cailin, tangannya membelai Segel Vermilion di dada Shangkara.Shangkara tersenyum puas. “Tentu saja tidak, kalau kau mau lagi, aku siap,” godanya.Tawa lepas lolos dari bibir Cailin. “Aku harus kembali.”Ia bangkit dan duduk di tepi ranjang, rambutnya masih berantakan. Ada jejak samar cahaya merah di kulitnya, seolah Vermilion tadi malam masih menolak pergi.Shangkara bangun dan duduk di sebelahnya. Tangannya merapikan ramb
Tetua He menatap ketiganya — Shangkara, Cailin, dan Guru Fen — dengan sorot mata dalam, seperti sedang membaca garis takdir.“Langit jarang memberi dua cahaya dalam satu kerajaan tanpa alasan,” katanya akhirnya. “Tapi arah cahaya itu … belum selesai ditulis.”“Dan bintang yang kau lihat itu?” tanya Shangkara.“Bintang itu, Putri Bulan," jawab Tetua He, menunduk ke arah Cailin. “Bintang baru belum sepenuhnya stabil. Langit belum selesai menulis.”Guru Fen menunduk hormat. “Apakah artinya bintang itu membawa pertanda baik, Tetua He?”Tetua He menghela napas panjang, lalu berjalan ke jendela. “Baik atau buruk bukan urusan manusia. Langit h
Cahaya matahari menembus kisi jendela, menciptakan garis-garis lembut di lantai batu. Cailin terbangun, menikmati kehangatan yang luar biasa di pelukan Shangkara. Ia enggan beranjak. Ia memejamkan matanya kembali dan membiarkan momen itu berlangsung sedikit lebih lama. Shangkara terbangun, tapi ia juga tidak bergerak. Tangannya masih melingkari pinggang Cailin. Ia menyentuh rambut Cailin pelan, menatap wajahnya yang damai. Ia ingin bangun, tapi tubuhnya menolak meninggalkan ketenangan itu. Cailin bergerak pelan, matanya terbuka sedikit. “Kau sudah bangun?” bisiknya. “Sudah dari tadi,” jawab Shangkara lembut. “Tapi aku tidak mau bergerak, takut kau menghilang.” Cailin tersenyum samar, matanya ditutup kembali. “Kalau begitu, aku akan disini dan biarkan dunia menunggu sebentar.” Mereka diam cukup lama, menikmati ketenangan dan kehangatan di antara mereka. Sampai akhirnya, Shangkara berbisik, “Hari ini Dewan Langit akan melapor soal tanggal pernikahan spiritual itu.” Cailin membuka
Malam itu, kabut tipis turun di sebuah jalan kecil yang cukup jauh dari Istana Vermilion.Cailin mengenakan jubah abu-abu polos, rambutnya disembunyikan di balik tudung. Di sampingnya, satu Pasukan Bayangan berjalan tanpa suara, membawa lentera spiritual yang nyalanya nyaris tak terlihat.“Kita akan masuk lewat terowongan yang langsung ke ruang meditasi Kaisar,” bisik prajurit itu. “Jalur ini hanya Kaisar dan kami para pengawal bayangan yang tahu.”Cailin tersenyum samar. “Aku pernah melewati jalan ini,” bisiknya pelan.Saat mereka muncul dari balik dinding batu yang tersembunyi di balik altar, udara di ruang meditasi menyambutnya. Dingin, berat, dan penuh kenangan.Cailin memandang ranjang
Pagi itu, Aula Dewan Agung Istana Vermilion dipenuhi gema suara para tetua. Suara jubah sutra berdesir, suara kipas dibuka-tutup, dan kata-kata “keseimbangan spiritual” disebut berulang kali seakan itu adalah mantra yang tak boleh tidak diucapkan.Shangkara duduk di singgasananya, menatap dingin para tetua. Aura Vermilion-nya ditahan rapat.Tetua Wen berdiri di tengah ruangan, membacakan gulungan yang sudah disegel dengan stempel merah Dewan Agung.“Demi stabilitas spiritual dan keseimbangan kekaisaran, Dewan menuntut pelaksanaan Upacara Pernikahan Spiritual antara Kaisar Vermilion dan Tunangannya, Nona Daiyu, dalam waktu dekat.”Shangkara diam. Tatapan matanya







