LOGINTerima kasih udah tetap di sini, jagain Cailin dan Shangkara bareng Lian, Guru Fen dan Ren. Tapi jujur deh ... waktu baca bagian “mereka sedang sangat sibuk berlatih,” kalian lebih ngerasa ikutan malu, penasaran, atau malah senyum penuh pengertian? 😌
Ruang belakang kedai mi di kaki Pegunungan Naga Hitam kini menjadi ruang perawatan darurat. Cahaya pagi menyelinap melalui jendela kayu, menerangi suasana kehancuran dan kelegaan yang pahit. Jenazah Moyan telah diselimuti jubah Klan Bulan dan diletakkan di sudut ruangan.Di tengah ruangan, Ren terbaring pucat di atas kasur darurat. Luka di perutnya masih menyebarkan racun spiritual hitam, yang terus menjalar.Guan berlutut di sisi Ren, tangannya gemetar. Dia menggunakan Es Bulan yang dingin untuk mengisolasi luka, mencegah racun mencapai jantung. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat sangat putus asa.“Jangan menyerah, Tuan Ren,” gumam Guan, suaranya parau. Ia melihat bayangan Moyan di sudut. Ia tidak akan kehilangan orang lagi. “Kita akan singkirkan racun ini. Kita harus.”Setiap kali racun bereaksi, api Vermilion di tubuhnya menyala pelan, lalu meredup lagi.Lian hanya bisa duduk di dekatnya, air matanya menetes tanpa suara. Ia mengatupkan gigi, frustrasi karena ia tidak memil
Di ruang alkimia yang kini silau dengan aura vermilion sang kaisar, udara terasa panas dan sesak. Shangkara berdiri di ambang pintu yang hancur. Di depannya, Pemimpin Klan Naga Hitam berdiri di samping altar tempat Cailin terikat.“Mundur, Kaisar!” Pemimpin Klan Naga Hitam menyeringai, mengambil mangkuk kristal berisi ramuan darah Cailin. “Atau ramuan ini akan ku lemparkan ke wajahmu! Kau akan terikat pada sihir jiwa Naga Hitam selamanya!”“Jiwa Vermilion tak tunduk pada kegelapan,” ucapnya, suara rendah yang bergetar oleh kemarahan yang tertahan. Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, sang Kaisar yang perkasa itu benar-benar terpaku. Bukan karena takut pada ancaman, tapi karena takut satu kesalahan akan merenggut nyawa Cailin.Suara langkah mendekat. Batu berderak. Guan, da
Benteng Klan Naga Hitam telah berubah menjadi neraka. Batu-batu pecah. Dinding runtuh. Udara berbau darah dan abu. Shangkara berdiri di tengah kobaran api. Sayap Vermilion membentang di punggungnya, membuat langit menyala merah. Setiap langkahnya meninggalkan bara. Prajurit yang mencoba mendekat tak sempat menjerit, mereka terbakar jadi debu sebelum pedangnya terangkat.Gelombang api Vermilion raksasa menghantam formasi perlindungan benteng utama. Suara benturan energi itu memekakkan telinga, menciptakan gempa di seluruh gunung. Ribuan prajurit Klan Naga Hitam yang berada di luar benteng hancur lebur menjadi abu hanya karena panas api Vermilion sang kaisar.Shangkara terus berjalan melempar bola api vermilion tanpa henti. Napasnya berat, bukan karena kelelahan, tetapi karena usaha ia menahan diri. Setiap detik ia menahan energi yang mendesak keluar dari dalam dadanya. Karena Cailin masih di dalam.Pemimpin Klan Naga Hitam menggeram dari ruang komandonya. “Sialan! Kekuatan itu! Dia tid
Malam pekat menyelimuti kaki gunung Naga Hitam. Shangkara berdiri sendirian, matanya terpejam. Fokus mengumpulkan energi vermilionnya.“Cailin … tunggu sebentar lagi. Bertahanlah,” gumannya.Ia membuka mata. Matanya yang vermilion menyala terang. Sayap vermilion muncul dari punggungnya. Dalam sekejap ia melesat menuju markas klan naga hitam. “Mari kita bermain api.”Kedua tangannya terangkat. Bola api vermilion raksasa terbentuk di atas tangannya, menerangi seluruh langit di atas markas.“Biar mereka tahu,” suaranya dalam dan berat, “apa artinya menantang Kaisar Vermilion.”Ia melempar bola api itu ke gerbang utama. Suara ledakannya memekakkan telinga. Namun, di bal
Di ruang penjara batu Klan Naga Hitam, Cailin menggigil. Borgol spiritual di pergelangannya terus menguras energinya. Rasa sakit dari pengambilan darah kedua masih menusuk.Ia terbaring lemah di lantai batu yang dingin. Cahaya oranye dari kristal spiritual menyelinap melalui celah pintu. Napasnya tersengal. Ia mengenggam cincin giok di balik hanfunya yang bergetar lembut.“Bertahanlah, Cailin,” bisiknya hampir tanpa suara.Pintu besi berderit terbuka. Pemimpin klan naga hitam masuk lagi dengan dua pengawal. Senyum sinisnya masih menghiasi wajahnya.“Masih hidup rupanya,” ucapnya dingin. “Bagus. Tubuhmu kuat. Kita akan ambil lebih banyak darah malam ini.”Cailin mengangkat
Di Istana Vermilion, di ruang kerja pribadinya, Shangkara duduk di kursi besarnya. Cahaya sore yang redup menembus tirai sutra. Ia telah melepas jubah luar kekaisarannya, membiarkan dirinya menjadi Shangkara, bukan Kaisar. Guru Fen duduk di hadapannya, menatap murid yang dulu dikenal tenang, kini berubah jadi badai yang menahan diri.“Langit tampaknya tak memberi jeda bagi Kaisar,” kata Guru Fen pelan. Shangkara menatap gurunya. “Aku tak tahu apakah aku masih Kaisar, Guru. Aku hanya seorang pria yang kehilangan arah.”Ia menunduk, jemarinya menggenggam lutut. “Besok pengumuman resmi akan di umumkan ke seluruh negeri. Semuanya bersorak, katanya itu langkah politik yang bijak. Keseimbangan bagi istana. Tapi … yang kupikirkan hanya satu hal.” Suara Shangkara merendah, nyaris seperti bisikan. “Bagaimana jika dia tahu lebih dulu dari kabar yang beredar? Akankah dia mengerti bahwa ini semua sandiwara? Atau ... akankah dia membenciku? Bagaimana nanti perasaannya? Apa yang akan dia pikirkan







