Angin dingin dari utara menelusup masuk ke Biara Gunung Qiu sebelum fajar. Pagi tampak tenang, tapi ketenangan seperti itu sering kali bukan pertanda damai—melainkan peringatan yang tertunda.Weixian sudah bangun sejak tengah malam. Ia tidak mempercayai keheningan. Dan kecurigaannya segera terbukti. Seorang pengintai datang tergesa ke dapur biara, napasnya putus-putus, wajahnya penuh debu dan keringat.“Mereka datang,” katanya. “Pasukan dari garnisun selatan. Dua regu kecil. Tidak berseragam resmi. Lewat jalur semak belakang, bukan jalan utama.”Weixian tak perlu bertanya siapa yang mengirim. Dia hanya berkata, “Sembunyikan anak itu. Sekarang.”Di bangunan utama, Qianru sedang duduk di samping An Ji yang tertidur lelap. Tangannya menggenggam potongan bambu kecil, menulis pelan tapi pasti. Di permukaannya terukir kalimat:“Jika aku tak sempat bicara, maka jangan serukan namaku.Tapi bawa kata-kataku lewat langkahmu.”Ia menyelipkan bambu itu ke dalam pakaian dalam An Ji, lalu membelai
Langit Gunung Qiu diselimuti kabut tipis ketika Qianru tiba di gerbang biara. Langkah kakinya ringan, tapi napasnya berat.Weixian berjalan di belakang, diam. Ia tahu:Perjalanan ini bukan lagi soal membela sejarah… tapi mengukir ulang masa depan.Seorang biarawan tua membuka pintu, matanya lembut tapi awas.“Apakah… kau dari Keluarga Li?” tanyanya.“Aku adalah sisa dari mereka yang dibakar, tapi belum padam.”Biarawan itu menunduk, lalu memberi isyarat.Mereka dibawa masuk melewati lorong batu dan halaman kecil hingga ke bangunan paling dalam.Di sana, di bawah pohon prem tua, duduk seorang anak laki-laki, kira-kira usia delapan.Ia sedang membaca sepotong kayu kecil bertuliskan kutipan Qianru.“Kalau kau tak bisa bicara, maka dengarkan.Dan kalau kau tak bisa menulis, maka hidupkan.”“Namanya An Ji,” kata biarawan. “Kami memberinya nama itu karena ia lahir saat langit terbuka hujan, tapi dia tidak menangis.”Qianru mendekat perlahan. Anak itu menatapnya.“Apa kamu tahu siapa aku?” t
Dua hari setelah pengumuman Kaisar, suasana istana tampak tenang—terlalu tenang.Tapi di balik dinding marmer dan ukiran emas, arah kekuasaan telah bergeser, dan semua yang pernah merasa aman… kini panik dalam diam.⸻Zhou Shixuan berdiri di ruang rahasia di belakang Aula Dokumentasi, dikelilingi oleh belasan gulungan surat. Semua bersimbol lambang Keluarga Li.“Ini bukan surat,” katanya pada kasim bayangannya. “Ini bahan bakar. Dan kita akan bakar semuanya. Malam ini.”“Kalau rakyat tahu?”“Rakyat tak tahu yang dibakar. Mereka hanya tahu yang tersisa.”⸻Sore itu, satu madrasah di barat istana terbakar.Kecil. Tidak memakan korban. Tapi seluruh tulisan Qianru yang disalin para murid… lenyap.Tak lama setelah itu, buku-buku kecil dan kutipan dari Qianru mulai disita.Tidak ada perintah resmi.Tidak ada surat kekaisaran.Tapi para penjaga mulai menyita dan membakar kertas—tanpa tanya.Bai Heng datang ke paviliun Qianru, wajahnya tegang.“Mereka mulai membakar,” katanya. “Bukan hanya su
Angin pagi membawa suara langkah tergesa di lorong-lorong istana. Para kasim dan pengawal berlari pelan, membawa gulungan-gulungan penting. Di antara mereka, ada satu berita yang menembus setiap dinding:“Selir Li Qianru akan diadili oleh Sidang Kekaisaran Khusus.”Bukan karena ia membunuh.Bukan karena ia berkhianat.Tapi karena ia berbicara.Qianru menerima surat pemanggilan itu di depan semua pelayannya. Bukan rahasia. Bukan jebakan.Surat itu resmi, dengan cap Komite Keamanan Kekaisaran, yang baru dibentuk dua hari sebelumnya oleh para menteri netral yang telah dibelokkan oleh Zhou dan Selir Yan.Ia membacanya pelan.“Dengan ini, Li Qianru dipanggil untuk memberikan penjelasan atas kegiatan di luar istana yang berpotensi mengguncang keseimbangan dalam sistem kekaisaran.”Qianru hanya tersenyum tipis. “Akhirnya mereka memakai bahasa paling sopan untuk menyebut takut.”Bai Heng tampak pucat. “Mereka tidak akan membunuhmu… tapi…”“Tapi mereka akan coba membuat semua orang percaya aku
Suasana di istana berubah.Tidak secara langsung. Tidak dalam pengumuman. Tapi dalam hal-hal kecil:Para pelayan mulai berbisik tentang “wanita yang bicara di jamuan.”Beberapa kasim muda menulis puisi dengan kutipan yang mirip kalimat Qianru.Bahkan penjual bunga di luar gerbang mulai menyebut Qianru bukan sebagai selir, tapi sebagai “Suara dari Dalam.”Dan semua itu… tanpa Qianru berkata sepatah kata pun lagi.Pagi itu, Qianru memanggil Lian Yi dan Bai Heng ke ruang kecil di belakang paviliunnya.“Aku ingin memulai sesuatu,” katanya. “Bukan revolusi. Tapi percakapan.”Bai Heng ragu. “Dengan siapa, Nona?”“Dengan siapa pun yang tidak takut mendengar.”Ia membuka gulungan surat kecil: kumpulan cerita pendek, kutipan, dan peribahasa lama… tapi diberi sentuhan baru. Disamarkan sebagai pelajaran moral. Tapi semua orang tahu… ini sindiran lembut.“Aku ingin ini disebarkan di dapur, ruang pelayan, bagian pembersih, dan sekolah-sekolah kecil di luar istana.”Lian Yi mengangguk. “Aku tahu ca
Hari itu, istana merayakan Festival Musim Dingin.Sebuah jamuan besar diadakan di Aula Timur, dihadiri oleh seluruh selir, para menteri utama, jenderal kehormatan, dan tentu saja, Kaisar sendiri. Ratusan lampion digantung. Musik petik mengalun dari balik tirai sutra. Para pelayan berjalan membawa anggur manis dan makanan perayaan yang berlimpah.Tapi semua tahu: perayaan ini bukan perayaan.Ini adalah panggung.Dan semua mata… menunggu apakah Qianru akan muncul.Beberapa hari sebelumnya, surat undangan resmi dikirim ke Paviliun Bayangan Giok.“Selir Li Qianru diminta hadir dalam jamuan besar untuk merayakan Festival Musim Dingin.Harap mengenakan pakaian resmi kelas dua.”Itu sinyal bahwa dia diberi tempat, tapi tidak kehormatan.Bai Heng membaca surat itu dengan ekspresi kaku. “Ini jebakan,” katanya. “Mereka ingin kau muncul… lalu mereka akan mengepungmu dari semua sisi.”Qianru hanya tersenyum tipis. “Kalau mereka sudah siapkan panggung… maka biar aku tentukan lakonnya.”Malam jamua