Home / Romansa / Kaisar Tunduk Padaku / Bab 7 : langkah pertama yang tidak akan kembali

Share

Bab 7 : langkah pertama yang tidak akan kembali

Author: Selvy
last update Last Updated: 2025-06-05 15:33:19

“Ini bukan soal siapa yang benar. Tapi siapa yang lebih dulu membuktikannya.”

—Li Weixian

Malam berikutnya, ruang sempit di bawah dapur utama istana dipenuhi suara napas tertahan. Lilin kecil menyala di sudut ruangan, cukup untuk menampakkan wajah tiga orang: Qianru, Weixian, dan Lian Yi.

“Dia akan tahu kalau dokumen itu disebar dari arah kita,” kata Weixian pelan.

“Biar saja,” balas Qianru. “Zhou harus tahu kita bukan bayangan. Kita cahaya yang ia coba padamkan.”

Lian Yi menatap mereka. “Kalau kalian mulai perang terbuka, maka kalian butuh sekutu. Dan aku tahu siapa yang bisa membantu… dengan harga yang sesuai.”

Qianru menatapnya. “Siapa?”

“Namanya Shen Du. Kepala penjaga pintu utara. Dulu dia orang kepercayaan Ayah. Tapi setelah kejadian malam itu, dia diam… dan terus bertahan. Banyak yang lupa dia ada. Tapi dia tidak pernah lupa siapa yang membuatnya kehilangan segalanya.”

Weixian menyilangkan tangan. “Kalau dia bisa diam selama itu, artinya dia tahu cara hidup.”

“Dan sekarang dia mungkin siap untuk mati,” bisik Qianru.

Lian Yi menatap mereka. “Dia tak akan mati. Tidak kalau kalian tahu cara bicara dengannya.”

Malam itu, Qianru keluar dari jalur utama istana, menyamar sebagai pelayan biasa. Ia menyelinap melalui lorong penyimpanan beras, ke pintu belakang Paviliun Pagi, lalu masuk ke bagian paling tua dari tembok barat—tempat Shen Du menjaga dalam senyap.

Shen Du bukan pria muda. Wajahnya keras, mata kirinya buta, dan tangan kirinya gemetar. Tapi saat Qianru menyebut nama Jenderal Li Xian, dia menatapnya tajam.

“Apa kau datang untuk mengorek luka lama?” tanya Shen.

“Aku datang untuk membayar utang,” jawab Qianru. “Dan untuk membuka mata orang yang ditutup terlalu lama.”

Shen tertawa pelan. “Mata yang dibuka dengan kebenaran… sering membuat pemiliknya dibunuh.”

“Aku tidak takut dibunuh,” balas Qianru.

“Lalu kenapa baru sekarang?”

“Karena baru sekarang aku bisa memilih siapa yang berdiri di sisiku… dan siapa yang akan jatuh di depanku.”

Shen menatapnya lama. Lalu mengangguk sekali. “Aku akan bantu. Tapi aku tak akan bicara. Aku hanya akan membuka pintu saat waktunya tepat.”

“Itu sudah cukup,” kata Qianru. “Karena sekali pintu terbuka… sejarah akan masuk.”

Sementara itu, di ruang kerja Kaisar, Xu Jiayan duduk sendiri. Qianru memintanya untuk bicara secara pribadi. Tak ada kasim. Tak ada penjaga. Hanya dua orang… dan terlalu banyak yang belum dikatakan.

“Kau tahu kenapa aku panggil kau kembali ke istana?” tanya Jiayan, membuka percakapan.

“Aku tahu,” jawab Qianru. “Tapi aku ingin dengar dari mulutmu.”

Jiayan menatapnya.

“Karena aku takut pada kekuasaan yang kupunya. Dan aku pikir… hanya kau yang bisa membuatku ingat, aku juga manusia.”

“Lalu kenapa sekarang kau diam?” suara Qianru tajam.

“Karena sekarang… kekuasaan itu kembali menakutiku. Dan aku tidak tahu cara menyelamatkanmu… tanpa kehilangan seluruh istana.”

Qianru berdiri. Matanya tak berkedip.

“Jangan selamatkan aku, Jiayan. Bantu aku menyelamatkan kebenaran. Kalau itu menjatuhkanmu—biar aku yang tanggung.”

Jiayan berdiri juga. “Dan kalau aku tetap diam?”

“Lalu jangan pernah cari aku di medan pertempuran. Karena aku akan berdiri di seberangmu.”

Beberapa malam kemudian, aksi pertama dimulai.

Lian Yi menyusupkan dokumen kecil ke dalam laporan pajak tahunan. Dokumen itu berisi angka-angka pengeluaran fiktif yang ditandatangani atas nama Zhou Shixuan—dengan cap palsu milik seorang pejabat yang telah meninggal dua tahun lalu.

Begitu laporan itu dibaca oleh Menteri Liang… reaksi berantai dimulai.

Zhou dipanggil oleh Dewan Keuangan. Ia murka.

“Siapa yang menulis laporan ini?” bentaknya.

“Tidak ada yang tahu,” jawab tangan kanannya. “Tapi isi dan segel terlalu meyakinkan.”

Zhou tahu: ini bukan kerjaan orang iseng. Ini operasi diam yang dilakukan orang dalam. Dan orang dalam itu… pasti dekat dengan Qianru.

Hari itu, Weixian duduk bersama Qianru di paviliunnya.

“Aku rasa kita baru mengganggu kaki naga,” kata Weixian.

“Bagus,” balas Qianru. “Sekarang kita arahkan kepalanya untuk melihat siapa yang datang membakar sarangnya.”

“Kau siap kalau besok semua mata tertuju padamu?”

“Sudah lima tahun semua punggung membelakangiku. Sekarang… aku siap dilihat. Tapi bukan sebagai selir. Bukan sebagai putri Jenderal. Aku ingin mereka lihat aku… sebagai ancaman.”

Malam sebelum penyusupan, Qianru duduk lama di depan cermin. Rambutnya terurai, tak dihias. Di balik dirinya, paviliun yang dulu sunyi kini penuh pergerakan diam-diam: pesan keluar-masuk, pelayan berganti, dan mata-mata mulai berdatangan.

Dia bukan perempuan yang sama lima tahun lalu.

Bukan gadis yang menunggu dijemput untuk dipersunting.

Bukan putri jenderal yang menulis puisi sambil menunggu senja.

Dia kini adalah bayangan yang tumbuh jadi cahaya.

Dan cahaya, tahu ke mana harus menyinari.

Malam itu, Lian Yi dan Bai Heng menyamar sebagai pelayan gudang, membawa peti kecil berisi dokumen dan salinan cap segel. Mereka berjalan dari lorong barat menuju ruang administrasi keuangan—jalur yang tidak dijaga, karena dianggap jalur barang biasa.

Tapi mereka tidak sendiri.

Di atap bangunan istana, Weixian berjongkok, mengawasi dari kejauhan, mata tajamnya memantau tiap penjaga yang melintas. Di tangannya, isyarat lampu minyak kecil siap dikirim bila ada gangguan.

“Waktu kita kurang dari lima puluh napas,” bisik Lian Yi saat mereka menyusup ke ruang pengarsipan.

“Salinan ini akan kami letakkan di antara laporan tahun kedua puluh dua,” tambah Bai Heng. “Tempat paling jarang disentuh, tapi pasti dibuka saat audit akhir tahun.”

Lian Yi mengangguk. “Lakukan cepat.”

Dan dalam waktu dua menit, sepotong bukti baru tertanam di jantung sistem istana.

Keesokan paginya, Dewan Pajak Kekaisaran memanggil rapat darurat. Di antara puluhan dokumen, mereka menemukan laporan dengan tanda tangan Menteri Zhou… atas transaksi dari seorang pejabat yang sudah wafat dua tahun sebelumnya.

“Ini tidak mungkin kesalahan cetak,” ujar salah satu kepala bidang keuangan.

“Kalau bukan salah cetak, ini… rekayasa,” balas yang lain.

Zhou dipanggil ke ruang audit. Tapi bahkan sebelum dia tiba, para menteri sudah saling menatap, bertanya dalam hati:

Siapa yang berani melakukan ini? Dan siapa yang akan dijadikan kambing hitam?

Sore harinya, Qianru menerima kunjungan yang tidak diundang.

Pelayan masuk terburu-buru. “Selir Yan menunggu di taman luar. Ia ingin bertemu langsung.”

Qianru berdiri, tenang. “Akhirnya dia datang juga.”

Di taman belakang, dua wanita itu berdiri berhadapan.

Yang satu: tenang seperti air dalam, tapi dalamnya bisa menenggelamkan.

Yang satu: manis di permukaan, tapi bisa menyengat seperti racun di cangkir teh.

“Terima kasih sudah menerimaku,” kata Selir Yan, senyumnya tidak sampai ke mata.

“Aku tidak pernah menutup pintu,” balas Qianru. “Tapi tidak semua tamu akan duduk nyaman di dalam.”

Mereka duduk di bangku batu, pelayan menjauh.

“Aku dengar,” kata Selir Yan, “kau mulai bermain di ranah yang bukan wilayahmu.”

“Kalau aku bermain, maka aturan permainannya sudah rusak sejak lama.”

“Permainan ini tidak dibuat untukmu.”

“Tapi aku bagian dari papan catur itu,” balas Qianru. “Dan bidak yang pernah dibuang… bisa jadi ratu saat waktu tiba.”

Selir Yan menatap tajam. “Kau pikir Kaisar akan melindungimu? Kau pikir dia akan memilihmu… daripada seluruh istana?”

“Aku tidak minta dilindungi,” ucap Qianru, suara rendah tapi tajam. “Aku hanya ingin mereka yang bersembunyi… keluar. Kau tahu siapa yang pertama kali harus berdiri di depan?”

Diam.

Selir Yan bangkit. “Kalau kau pikir ini hanya tentang nama dan surat… kau terlalu polos, Qianru. Ini bukan perangmu.”

“Bukan. Tapi sekarang ini adalah perhitunganku.”

Selir Yan pergi tanpa pamit. Tapi Qianru tahu: itu bukan tanda kalah. Itu tanda perang benar-benar dimulai.

Malam itu, Kaisar Jiayan memanggil para kasim senior.

“Siapkan audit besar-besaran. Tahun keuangan dua puluh dua. Tak boleh ada dokumen yang tidak diperiksa.”

“Termasuk milik Zhou Shixuan, Yang Mulia?” tanya kasim.

Jiayan diam sejenak. “Termasuk semuanya. Bahkan milikku… kalau perlu.”

Setelah semua pergi, ia berdiri sendiri di depan jendela.

“Aku pikir aku masih punya kendali. Tapi ternyata, aku cuma duduk di atas singgasana yang dibangun dari ketakutan dan tipu daya.”

Ia menatap malam, dan terlintas wajah Qianru dalam pikirannya.

“Dan kau… mungkin satu-satunya alasan aku belum menyerah.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 19 : ketika anak kecil bicara diruangan orang dewasa

    Langit di atas istana tampak terlalu biru untuk hari seperti ini. Tenang, nyaris tanpa awan, seperti sengaja disiapkan untuk menyambut peristiwa penting—atau, mungkin, sebuah eksekusi diam-diam.Qianru melangkah masuk ke Aula Batu Terbuka, tempat forum istana luar biasa diselenggarakan. Bukan pengadilan. Tapi juga bukan jamuan. Ini—dalam bahasa lembut para menteri—adalah “dialog untuk meluruskan pemahaman rakyat.”Tapi semua tahu:Ini adalah panggung jebakan.Di sisi kiri, para menteri duduk berderet.Di sisi kanan, para utusan rakyat—guru, pedagang, kepala madrasah—diundang sebagai penonton.Tapi tak satu pun dari mereka boleh bicara.Dan di ujung aula, duduk Kaisar Jiayan.Wajahnya tegang. Bukan dingin—tapi seperti seseorang yang tahu badai akan datang, dan ia… memilih tidak membawa payung.Qianru berhenti di tengah aula. Ia tidak membungkuk. Ia tidak tersenyum. Tapi ia berdiri dengan tenang, seperti seseorang yang lebih takut kehilangan kata-kata daripada nyawa.Menteri Fei memulai

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 18 : ketika surat tidak ditulis di istana

    Hari itu, langit mendung tapi belum hujan. Kota kekaisaran tampak seperti menahan napas. Tidak ada jamuan. Tidak ada pengumuman. Tapi semua orang tahu… sesuatu akan tiba.Di pagi yang seolah biasa itu, surat dari istana tiba di tangan Qianru. Tapi bukan dibawa utusan resmi.Surat itu tiba melalui seorang anak tukang roti, yang berkata:“Tadi pagi, lelaki berpakaian hitam menitipkan ini. Katanya, ‘Untuk Suara yang Tak Lagi Punya Dinding.’”Surat itu tidak memakai lambang kekaisaran. Tidak dimeteraikan emas.Tapi tulisan tangannya… Qianru mengenalnya.Itu tulisan Jiayan.Ia membaca perlahan:“Aku pernah mengira diam adalah cara melindungi.Tapi sekarang aku tahu: diam hanya menyelamatkan istana, bukan orang yang aku cintai.”“Aku tidak tahu bagaimana jadi Kaisar dalam badai.Tapi jika kau masih bersedia… maka biarkan aku berdiri di dekatmu.Bukan di atasmu.”Surat itu membuat ruangan hening.Weixian membaca ulang tiga kali, lalu berkata, “Kalau dia tulus, itu pertanda baik. Tapi kalau i

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 17 : Ketika Kota menyaksikan tanpa memihak

    Langit kota kekaisaran pagi itu dipenuhi kabut tipis dan suara burung-burung pasar. Tidak ada pengumuman. Tidak ada gendang. Tapi desas-desus menyebar seperti api pelan:“Dia akan datang pagi ini. Dia akan bicara.”Tidak semua percaya. Beberapa menertawakannya.Tapi tetap saja… ratusan orang berkumpul diam-diam di Lapangan Utara — tempat dulu diadakan pengumuman bea beras dan eksekusi pendosa. Kini, tidak ada panggung. Hanya batu. Hanya langit. Dan satu tempat kosong di tengah kerumunan.Mereka menunggu.Dan saat jam bayangan menunjukkan waktu pagi keempat, dia datang.Qianru.Tanpa palanquin. Tanpa kasim. Tanpa jubah bangsawan.Ia mengenakan kain polos biru kelabu, tanpa lambang, tanpa payung.Ia berjalan kaki. Sendirian.Orang-orang tak bersorak.Tak juga mencemooh.Mereka… diam.Seperti melihat seseorang yang seharusnya tidak ada di sana, tapi justru tampak paling wajar.Di antara mereka, anak kecil menunjuk dan berbisik:“Itu dia… yang disebut suara.”“Bukan. Itu ibu dari anak dar

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 16 : Angin dari Utara

    Angin dingin dari utara menelusup masuk ke Biara Gunung Qiu sebelum fajar. Pagi tampak tenang, tapi ketenangan seperti itu sering kali bukan pertanda damai—melainkan peringatan yang tertunda. Weixian sudah bangun sejak tengah malam. Ia tidak mempercayai keheningan. Dan kecurigaannya segera terbukti. Seorang pengintai datang tergesa ke dapur biara, napasnya putus-putus, wajahnya penuh debu dan keringat. “Mereka datang,” katanya. “Pasukan dari garnisun selatan. Dua regu kecil. Tidak berseragam resmi. Lewat jalur semak belakang, bukan jalan utama.” Weixian tak perlu bertanya siapa yang mengirim. Dia hanya berkata, “Sembunyikan anak itu. Sekarang.” Di bangunan utama, Qianru sedang duduk di samping An Ji yang tertidur lelap. Tangannya menggenggam potongan bambu kecil, menulis pelan tapi pasti. Di permukaannya terukir kalimat: “Jika aku tak sempat bicara, maka jangan serukan namaku. Tapi bawa kata-kataku lewat langkahmu.” Ia menyelipkan bambu itu ke dalam pakaian dalam An Ji, l

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 15 : ketika darah sendiri menolak dibungkam

    Langit Gunung Qiu diselimuti kabut tipis ketika Qianru tiba di gerbang biara. Langkah kakinya ringan, tapi napasnya berat.Weixian berjalan di belakang, diam. Ia tahu:Perjalanan ini bukan lagi soal membela sejarah… tapi mengukir ulang masa depan.Seorang biarawan tua membuka pintu, matanya lembut tapi awas.“Apakah… kau dari Keluarga Li?” tanyanya.“Aku adalah sisa dari mereka yang dibakar, tapi belum padam.”Biarawan itu menunduk, lalu memberi isyarat.Mereka dibawa masuk melewati lorong batu dan halaman kecil hingga ke bangunan paling dalam.Di sana, di bawah pohon prem tua, duduk seorang anak laki-laki, kira-kira usia delapan.Ia sedang membaca sepotong kayu kecil bertuliskan kutipan Qianru.“Kalau kau tak bisa bicara, maka dengarkan.Dan kalau kau tak bisa menulis, maka hidupkan.”“Namanya An Ji,” kata biarawan. “Kami memberinya nama itu karena ia lahir saat langit terbuka hujan, tapi dia tidak menangis.”Qianru mendekat perlahan. Anak itu menatapnya.“Apa kamu tahu siapa aku?” t

  • Kaisar Tunduk Padaku   Bab 14 : Api Tak Membakar Kebenaran

    Dua hari setelah pengumuman Kaisar, suasana istana tampak tenang—terlalu tenang.Tapi di balik dinding marmer dan ukiran emas, arah kekuasaan telah bergeser, dan semua yang pernah merasa aman… kini panik dalam diam.⸻Zhou Shixuan berdiri di ruang rahasia di belakang Aula Dokumentasi, dikelilingi oleh belasan gulungan surat. Semua bersimbol lambang Keluarga Li.“Ini bukan surat,” katanya pada kasim bayangannya. “Ini bahan bakar. Dan kita akan bakar semuanya. Malam ini.”“Kalau rakyat tahu?”“Rakyat tak tahu yang dibakar. Mereka hanya tahu yang tersisa.”⸻Sore itu, satu madrasah di barat istana terbakar.Kecil. Tidak memakan korban. Tapi seluruh tulisan Qianru yang disalin para murid… lenyap.Tak lama setelah itu, buku-buku kecil dan kutipan dari Qianru mulai disita.Tidak ada perintah resmi.Tidak ada surat kekaisaran.Tapi para penjaga mulai menyita dan membakar kertas—tanpa tanya.Bai Heng datang ke paviliun Qianru, wajahnya tegang.“Mereka mulai membakar,” katanya. “Bukan hanya su

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status