Share

Kakak Iparku Mencintaiku
Kakak Iparku Mencintaiku
Penulis: EYN

Bab 1 - Temani Aku Tidur

Semalam Lillian menunggu suaminya pulang, tapi yang ditunggu tak kunjung datang. Jangankan datang, memberi kabar pun tidak. Ponsel laki - laki itu tidak aktif. Seharian Lillian memeriksa aplikasi percakapan antara dirinya dan Ernest, tapi tidak ada tanda - tanda suaminya berusaha menghubungi. Halaman percakapan pribadinya kosong, dan di daftar panggilan tak terjawab juga tidak tertera nama Ernest.

Mengingat semua itu, Lillian jadi tidak selera menyelesaikan pesanan design yang sedang dikerjakannya. Mendadak saja dia jadi lesu. Pekerjaan design favorite-nya, kini tidak lagi menarik.

Lillian duduk di lantai dan memandang layar laptop dengan tatapan kosong. Ini bukan pertama kalinya kelakuan Ernest seperti ini. Kian hari kian menjadi. Dia sering hilang dan muncul sesuka hati, bahkan hingga berhari - hari menghilang tanpa kabar.

Mencoba menenangkan diri, Lillian berdiri lalu mengambil botol anggur koleksi Ernest dari lemari kaca. Dia menuangnya ke gelas kaca dan meminumnya dalam sekali teguk.

Ting!

Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Lillian dengan antusias segera menyambar benda pipih itu dan membaca.

"Hai, sudah tidur?"

Bahunya luruh. Bukan Ernest. "Belum." Dia menjawab pesan seadanya.

"Jam segini?"

"Yes."

"Sudah makan malam?"

Lillian termenung. Andai saja yang menanyakan ini adalah Ernest, tentu hatinya akan melayang. Deringan nada panggil ponsel mengagetkan lamunannya. Harvey!

Sebelum Lillian sempat menyapa, suara Harvey sudah terdengar dari seberang sana. "Aku di depan." 

"Hah? Tunggu."

Secara otomatis Lillian berlari ke pintu dan membukanya. Dia melihat Harvey ada di depan pintu sambil tersenyum padanya. "Hai," sapanya sambil mengangkat kantong - kantong makanan di tangannya lalu menggoyangkannya di depan Lillian. "Aku tak sanggup menghabiskan semua ini. Bantu aku menghabiskannya."

Lillian menggelengkan kepala. "Kalau tak sanggup menghabiskan, kenapa membeli sebanyak itu?"

Harvey tak menjawab. Dia berjalan masuk menuju ke bar dapur rumah adik iparnya, lalu meletakkan barang - barang bawaannya ke atas meja. Makanan demi makanan dikeluarkan satu per satu dari kotak dan dipindahkan ke piring saji.

Lillian menatap ke arah Harvey yang ternyata juga menoleh kepadanya. "Aku tahu kamu belum makan malam. Ayo, makan!" perintahnya.

Masih sambil menatap Harvey, Lillian melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa kamu sedang ada masalah, Harvey?"

Ini bukan pertama kalinya mereka makan bersama tanpa Ernest. Lelaki ini tinggal di perumahan yang sama dengan Lillian, hanya selisih beberapa nomer. Jika laki - laki itu memiliki masalah atau sebaliknya Lillian sedang banyak pikiran, maka keduanya akan saling bertamu, makan, minum atau sekedar ngobrol.

Hubungan mereka sangat unik. Keluarga mereka punya hubungan yang sangat dekat, demikian pula dengan Harvey, Lillian dan Ernest. Namun Harvey lebih serius menata masa depan dibanding dengan Ernest. Hari - hari Harvey yang sibuk, membuka kesempatan bagi Ernest untuk mengambil hati Lillian lalu melamarnya.

Harvey mengangkat bahunya. "Bukannya kamu yang sedang ada masalah, Lily?"

"Aku? Tidak!" bantah Lillian, berusaha menutupi fakta kalau dirinya sedang gelisah karena Ernest menghilang tanpa kabar.

Harvey bersedekap, meniru gaya Lillian. "Lalu kenapa ada wine disitu?" Matanya melirik meja kecil di dekat lemari kaca.

"Terserah kamu saja." Lillian menjawab dengan tak acuh. Sebenarnya, dia ingin bercerita tentang perubahan Ernest. Tapi Lillian tahu kalau kakak iparnya itu selalu berada di pihaknya. Salah - salah Ernest bisa habis dihajar oleh Harvey.

Di sisi lain, Lillian juga tahu kalau dia butuh teman untuk minum bersama dan menghilangkan pikiran negatif yang muncul tentang Ernest. Dan dari dulu hingga saat ini, Harvey masih tetap pilihan yang terbaik. Laki - laki yang berusia enam tahun di atasnya itu selalu berhasil membuat perasaannya lebih baik.

"Buka mulutmu!" perintah Harvey kembali terdengar. Sepotong dark cokelat sudah berada tepat di depan mulut Lillian.

"Aku bisa --... hmpf...." Lillian merasakan sesuatu yang padat dijejalkan ke dalam mulutnya saat hendak memprotes Harvey kalau dirinya bukan anak kecil lagi, tidak perlu disuapi.

"Makan!" perintah Harvey tak bisa dibantah.

Lillian melotot. Tapi tak urung, mulutnya mengunyah, rasa pahit cokelat bercampur manisnya wine yang ada di tengah cokelat merupakan kombinasi yang memanjakan lidah, membuat perasaannya terasa lebih baik.

"Belajarlah dari pengalaman. Pilih laki - laki yang bisa memberimu segalanya. Jangan menikah hanya karena cinta. Itu hanya perasaan sesaat." ucap Harvey memecahkan keheningan.

Lillian menghentikan kunyahannya, membiarkan cokelat meleleh dengan sendirinya di mulut. Dia menatap Harvey dengan sorot yang tak terbaca.

"Cari tahu apa yang dilakukan oleh suamimu diluar sana. Pastikan dirimu selalu baik - baik saja." lanjut Harvey lagi.

"Aku tidak pernah mendengar gosip atau berita tidak benar tentang Ernest diluar sana." tolak Lillian dengan nada tak yakin.

Harvey meletakkan pasta dan daging merah ke atas sebuah piring lalu menyodorkannya pada Lillian. "Kamu tahu kalau dia dari dulu hanyalah seorang pengacau. Sayangnya, para wanita selalu tergila - gila pada wajah tampan dan sikapnya yang ramah."

Kenyataan yang diucapkan oleh Harvey membuat Lillian kesal. Dia marah. Andai saja waktu bisa diputar kembali, tentu dia ingin mengulang semuanya. Keluarganya dan juga Harvey sudah melarang dirinya menerima lamaran Ernest. Ya, Harvey benar. Dia menikah hanya karena terlalu cinta pada Ernest.

Malu bercampur marah, Lillian menghabiskan semua makanan yang disodorkan oleh Harvey sebagai pelampiasan. Sialnya, makanan enak dan cokelat tak berhasil membuat Lillian tenang. Masih dalam mode uring - uringan, dia mendorong piring kosongnya dan mengangkat kedua tangannya. "Sepertinya kamu berhasil menakutiku, Harvey."

"Aku hanya berkata jujur, Lili. Berbohong bukan kebiasaanku. Aku mengatakan ini karena aku mengenal siapa adikku dan aku tidak ingin kamu terpuruk suatu hari nanti."

Lillian tidak bisa menahan kekesalannya. Sungguh, dia butuh teman. Tapi tampaknya kali ini Harvey tidak berniat membuatnya lebih baik. Pikiran buruk kembali menyerangnya, Lillian frustasi dan berjalan menuju ke meja kaca tempat dimana wine-nya berada.

"Aku butuh minum," serunya sembari menuangkan minuman dan menenggaknya hingga tandas.

"Wow! Wow! Kamu benar - benar ada masalah rupanya," ujar Harvey dengan wajah serius. Meski sebenarnya dia tahu kalau mobil Ernest tidak ada di rumah berhari - hari. Itulah alasan sebenarnya kenapa dirinya mampir, untuk menghibur adik ipar kesayangannya. Tapi mulut lancang ini sedang tidak ingin berkata manis soal Ernest.

"Aku rasa kamu benar, Har. Ernest sudah tidak mencintaiku lagi."

"Ernest tidak pernah mencintai siapa pun. Yang dia cintai hanya dirinya sendiri," sahut Harvey kemudian. Dia benar - benar marah setiap kali membahas kelakuan Ernest yang seringkali menyakiti Lillian, wanita yang sudah dijaganya sejak kecil.

Lillian duduk di kursi dan kembali meminum minumannya. Hatinya terasa sakit. Tidak ada satu orang pun yang terlalu sibuk hanya untuk sekedar memberi kabar, kecuali dirimu bukan prioritasnya lagi. Pemikiran seperti itulah yang membuat Lillian kian sedih.

"Aku mengerti perasaanmu." Harvey ikut duduk di kursi, memutar kursi Lillian hingga menghadap kepadanya. "Sekarang katakan padaku. Apa yang kamu ingin aku lakukan terhadap laki - laki sialan itu?" tanyanya untuk memastikan. Lillian selalu marah padanya setiap kali dia menghajar Ernest.

"Aku tidak tahu."

"Sayang, masalah kalian tidak akan selesai kalau kamu sendiri tak tahu apa yang kamu inginkan."

"Masalahnya, aku tidak siap menghadapi kenyataan saat menemukan bukti. Aku harus bagaimana? Menceraikan Ernest?"

"Kan aku sudah pernah bilang kalau aku akan selalu ada untukmu," ucap Harvey dengan nada lebih lembut.

Lillian memutar bola matanya, lalu dia meneguk anggurnya lagi dan lagi.

Harvey mengamati teman kecilnya itu lekat - lekat. Dia tampak kacau, tapi tetap saja tak mengurangi daya tariknya. Bagi Harvey, Lillian adalah wanita tercantik yang pernah dia lihat. Bahkan mantan istrinya yang fashionable dan pintar berdandan pun tidak bisa mengalahkan. Sial, dirinya tidak minum tapi malah mabuk oleh pesona Lillian.

"Kamu tahu, Har? Setidaknya dalam rumah tangga, dirimu lebih beruntung dariku," celoteh Lillian, mulai meracau.

Harvey tertawa ironi. "Istriku pergi dengan pria lain. Kamu bilang aku lebih beruntung?"

"Setidaknya kamu bebas bersama wanita mana pun tanpa rasa bersalah."

"Semua itu adalah keputusan, Lili. Kamu juga berhak bahagia kalau lelakimu terbukti berkhianat."

Kalimat terakhir Harvey terasa sangat menyakitkan, Lillian mengambil botol kedua dan meminumnya tanpa jeda. Harvey menahan tangan Lillian saat hendak menuangkannya sekali lagi. "Hey! Hey! Sudah cukup."

"Aku benar - benar butuh minum, Harvey."

"Kamu butuh tidur, Sayang." ucap Harvey lembut tapi tegas. Dia menggendong tubuh wanita itu dan membawanya ke tempat tidur. "Wajahmu merah karena mabuk," gumamnya sambil mengedarkan pandangan untuk mencari remote AC. 

Tapi saat Harvey hendak berdiri, Lillian menarik tangannya kuat - kuat hingga kakak iparnya itu jatuh di atas tubuhnya. "Temani aku tidur seperti dulu setiap kali aku merasa sedih."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status