Semalam Lillian menunggu suaminya pulang, tapi yang ditunggu tak kunjung datang. Jangankan datang, memberi kabar pun tidak. Ponsel laki - laki itu tidak aktif. Seharian Lillian memeriksa aplikasi percakapan antara dirinya dan Ernest, tapi tidak ada tanda - tanda suaminya berusaha menghubungi. Halaman percakapan pribadinya kosong, dan di daftar panggilan tak terjawab juga tidak tertera nama Ernest.
Mengingat semua itu, Lillian jadi tidak selera menyelesaikan pesanan design yang sedang dikerjakannya. Mendadak saja dia jadi lesu. Pekerjaan design favorite-nya, kini tidak lagi menarik.
Lillian duduk di lantai dan memandang layar laptop dengan tatapan kosong. Ini bukan pertama kalinya kelakuan Ernest seperti ini. Kian hari kian menjadi. Dia sering hilang dan muncul sesuka hati, bahkan hingga berhari - hari menghilang tanpa kabar.
Mencoba menenangkan diri, Lillian berdiri lalu mengambil botol anggur koleksi Ernest dari lemari kaca. Dia menuangnya ke gelas kaca dan meminumnya dalam sekali teguk.
Ting!
Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Lillian dengan antusias segera menyambar benda pipih itu dan membaca.
"Hai, sudah tidur?"
Bahunya luruh. Bukan Ernest. "Belum." Dia menjawab pesan seadanya.
"Jam segini?"
"Yes."
"Sudah makan malam?"
Lillian termenung. Andai saja yang menanyakan ini adalah Ernest, tentu hatinya akan melayang. Deringan nada panggil ponsel mengagetkan lamunannya. Harvey!
Sebelum Lillian sempat menyapa, suara Harvey sudah terdengar dari seberang sana. "Aku di depan."
"Hah? Tunggu."
Secara otomatis Lillian berlari ke pintu dan membukanya. Dia melihat Harvey ada di depan pintu sambil tersenyum padanya. "Hai," sapanya sambil mengangkat kantong - kantong makanan di tangannya lalu menggoyangkannya di depan Lillian. "Aku tak sanggup menghabiskan semua ini. Bantu aku menghabiskannya."
Lillian menggelengkan kepala. "Kalau tak sanggup menghabiskan, kenapa membeli sebanyak itu?"
Harvey tak menjawab. Dia berjalan masuk menuju ke bar dapur rumah adik iparnya, lalu meletakkan barang - barang bawaannya ke atas meja. Makanan demi makanan dikeluarkan satu per satu dari kotak dan dipindahkan ke piring saji.
Lillian menatap ke arah Harvey yang ternyata juga menoleh kepadanya. "Aku tahu kamu belum makan malam. Ayo, makan!" perintahnya.
Masih sambil menatap Harvey, Lillian melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa kamu sedang ada masalah, Harvey?"
Ini bukan pertama kalinya mereka makan bersama tanpa Ernest. Lelaki ini tinggal di perumahan yang sama dengan Lillian, hanya selisih beberapa nomer. Jika laki - laki itu memiliki masalah atau sebaliknya Lillian sedang banyak pikiran, maka keduanya akan saling bertamu, makan, minum atau sekedar ngobrol.
Hubungan mereka sangat unik. Keluarga mereka punya hubungan yang sangat dekat, demikian pula dengan Harvey, Lillian dan Ernest. Namun Harvey lebih serius menata masa depan dibanding dengan Ernest. Hari - hari Harvey yang sibuk, membuka kesempatan bagi Ernest untuk mengambil hati Lillian lalu melamarnya.
Harvey mengangkat bahunya. "Bukannya kamu yang sedang ada masalah, Lily?"
"Aku? Tidak!" bantah Lillian, berusaha menutupi fakta kalau dirinya sedang gelisah karena Ernest menghilang tanpa kabar.
Harvey bersedekap, meniru gaya Lillian. "Lalu kenapa ada wine disitu?" Matanya melirik meja kecil di dekat lemari kaca.
"Terserah kamu saja." Lillian menjawab dengan tak acuh. Sebenarnya, dia ingin bercerita tentang perubahan Ernest. Tapi Lillian tahu kalau kakak iparnya itu selalu berada di pihaknya. Salah - salah Ernest bisa habis dihajar oleh Harvey.
Di sisi lain, Lillian juga tahu kalau dia butuh teman untuk minum bersama dan menghilangkan pikiran negatif yang muncul tentang Ernest. Dan dari dulu hingga saat ini, Harvey masih tetap pilihan yang terbaik. Laki - laki yang berusia enam tahun di atasnya itu selalu berhasil membuat perasaannya lebih baik.
"Buka mulutmu!" perintah Harvey kembali terdengar. Sepotong dark cokelat sudah berada tepat di depan mulut Lillian.
"Aku bisa --... hmpf...." Lillian merasakan sesuatu yang padat dijejalkan ke dalam mulutnya saat hendak memprotes Harvey kalau dirinya bukan anak kecil lagi, tidak perlu disuapi.
"Makan!" perintah Harvey tak bisa dibantah.
Lillian melotot. Tapi tak urung, mulutnya mengunyah, rasa pahit cokelat bercampur manisnya wine yang ada di tengah cokelat merupakan kombinasi yang memanjakan lidah, membuat perasaannya terasa lebih baik.
"Belajarlah dari pengalaman. Pilih laki - laki yang bisa memberimu segalanya. Jangan menikah hanya karena cinta. Itu hanya perasaan sesaat." ucap Harvey memecahkan keheningan.
Lillian menghentikan kunyahannya, membiarkan cokelat meleleh dengan sendirinya di mulut. Dia menatap Harvey dengan sorot yang tak terbaca.
"Cari tahu apa yang dilakukan oleh suamimu diluar sana. Pastikan dirimu selalu baik - baik saja." lanjut Harvey lagi.
"Aku tidak pernah mendengar gosip atau berita tidak benar tentang Ernest diluar sana." tolak Lillian dengan nada tak yakin.
Harvey meletakkan pasta dan daging merah ke atas sebuah piring lalu menyodorkannya pada Lillian. "Kamu tahu kalau dia dari dulu hanyalah seorang pengacau. Sayangnya, para wanita selalu tergila - gila pada wajah tampan dan sikapnya yang ramah."
Kenyataan yang diucapkan oleh Harvey membuat Lillian kesal. Dia marah. Andai saja waktu bisa diputar kembali, tentu dia ingin mengulang semuanya. Keluarganya dan juga Harvey sudah melarang dirinya menerima lamaran Ernest. Ya, Harvey benar. Dia menikah hanya karena terlalu cinta pada Ernest.
Malu bercampur marah, Lillian menghabiskan semua makanan yang disodorkan oleh Harvey sebagai pelampiasan. Sialnya, makanan enak dan cokelat tak berhasil membuat Lillian tenang. Masih dalam mode uring - uringan, dia mendorong piring kosongnya dan mengangkat kedua tangannya. "Sepertinya kamu berhasil menakutiku, Harvey."
"Aku hanya berkata jujur, Lili. Berbohong bukan kebiasaanku. Aku mengatakan ini karena aku mengenal siapa adikku dan aku tidak ingin kamu terpuruk suatu hari nanti."
Lillian tidak bisa menahan kekesalannya. Sungguh, dia butuh teman. Tapi tampaknya kali ini Harvey tidak berniat membuatnya lebih baik. Pikiran buruk kembali menyerangnya, Lillian frustasi dan berjalan menuju ke meja kaca tempat dimana wine-nya berada.
"Aku butuh minum," serunya sembari menuangkan minuman dan menenggaknya hingga tandas.
"Wow! Wow! Kamu benar - benar ada masalah rupanya," ujar Harvey dengan wajah serius. Meski sebenarnya dia tahu kalau mobil Ernest tidak ada di rumah berhari - hari. Itulah alasan sebenarnya kenapa dirinya mampir, untuk menghibur adik ipar kesayangannya. Tapi mulut lancang ini sedang tidak ingin berkata manis soal Ernest.
"Aku rasa kamu benar, Har. Ernest sudah tidak mencintaiku lagi."
"Ernest tidak pernah mencintai siapa pun. Yang dia cintai hanya dirinya sendiri," sahut Harvey kemudian. Dia benar - benar marah setiap kali membahas kelakuan Ernest yang seringkali menyakiti Lillian, wanita yang sudah dijaganya sejak kecil.
Lillian duduk di kursi dan kembali meminum minumannya. Hatinya terasa sakit. Tidak ada satu orang pun yang terlalu sibuk hanya untuk sekedar memberi kabar, kecuali dirimu bukan prioritasnya lagi. Pemikiran seperti itulah yang membuat Lillian kian sedih.
"Aku mengerti perasaanmu." Harvey ikut duduk di kursi, memutar kursi Lillian hingga menghadap kepadanya. "Sekarang katakan padaku. Apa yang kamu ingin aku lakukan terhadap laki - laki sialan itu?" tanyanya untuk memastikan. Lillian selalu marah padanya setiap kali dia menghajar Ernest.
"Aku tidak tahu."
"Sayang, masalah kalian tidak akan selesai kalau kamu sendiri tak tahu apa yang kamu inginkan."
"Masalahnya, aku tidak siap menghadapi kenyataan saat menemukan bukti. Aku harus bagaimana? Menceraikan Ernest?"
"Kan aku sudah pernah bilang kalau aku akan selalu ada untukmu," ucap Harvey dengan nada lebih lembut.
Lillian memutar bola matanya, lalu dia meneguk anggurnya lagi dan lagi.
Harvey mengamati teman kecilnya itu lekat - lekat. Dia tampak kacau, tapi tetap saja tak mengurangi daya tariknya. Bagi Harvey, Lillian adalah wanita tercantik yang pernah dia lihat. Bahkan mantan istrinya yang fashionable dan pintar berdandan pun tidak bisa mengalahkan. Sial, dirinya tidak minum tapi malah mabuk oleh pesona Lillian.
"Kamu tahu, Har? Setidaknya dalam rumah tangga, dirimu lebih beruntung dariku," celoteh Lillian, mulai meracau.
Harvey tertawa ironi. "Istriku pergi dengan pria lain. Kamu bilang aku lebih beruntung?"
"Setidaknya kamu bebas bersama wanita mana pun tanpa rasa bersalah."
"Semua itu adalah keputusan, Lili. Kamu juga berhak bahagia kalau lelakimu terbukti berkhianat."
Kalimat terakhir Harvey terasa sangat menyakitkan, Lillian mengambil botol kedua dan meminumnya tanpa jeda. Harvey menahan tangan Lillian saat hendak menuangkannya sekali lagi. "Hey! Hey! Sudah cukup."
"Aku benar - benar butuh minum, Harvey."
"Kamu butuh tidur, Sayang." ucap Harvey lembut tapi tegas. Dia menggendong tubuh wanita itu dan membawanya ke tempat tidur. "Wajahmu merah karena mabuk," gumamnya sambil mengedarkan pandangan untuk mencari remote AC.
Tapi saat Harvey hendak berdiri, Lillian menarik tangannya kuat - kuat hingga kakak iparnya itu jatuh di atas tubuhnya. "Temani aku tidur seperti dulu setiap kali aku merasa sedih."
Harvey terkejut. Tubuhnya seperti tersengat listrik saat dadanya yang bidang bertemu dengan tubuh bagian depan Lillian yang lembut. Posisi mereka benar - benar saling menempel, mata Harvey bertemu dengan tatapan sayu milik Lillian. "Oh, Lili. Jangan menggodaku atau kamu akan menyesal." Harvey berbisik dengan suara serak. Ketegasannya menguap entah kemana. Permintaan Lillian untuk tidur bersama membuat pikirannya tak waras. Dulu mereka memang sering tidur bersama, tapi itu dulu sekali ketika Harvey belum menyadari kalau Lillian adalah wanita yang menarik. Saat itu mereka hanya tidur, benar - benar tidur. Tidak ada seks atau apa pun. Belum berhasil mengumpulkan kewarasan, Lillian malah melingkarkan tangannya ke bahu Harvey, memaksa laki - laki itu mendekat. Lalu dengan cepat Lillian menyambar bibir Harvey dan menikmatinya dengan rakus. Harvey baru tahu kalau ternyata bibir Lillian selembut ini. Aroma wine yang tersisa, membuat pikiran laki - laki itu kian melayang. "Oh, Lili." Harvey
"Ada apa?" tanya Harvey penuh selidik.Dari sudut matanya, dia bisa merasakan perubahan sikap Lillian. Wanita itu duduk dengan tegang sambil memandang ponsel ditangannya seperti sedang menerima kabar buruk.Melihat Lillian tercenung, Harvey mengulang pertanyaannya, "Ada apa? Apa sesuatu yang buruk terjadi?"Bukannya menjawab, Lillian malah mematikan ponsel dan buru - buru memasukkan benda pipih itu ke dalam tas, lalu memeluk tasnya erat - erat. Caranya memegang seakan mencegah siapa pun menyentuh tas itu."Tidak. Tidak ada apa pun selain tugas mendadak dari atasanku yang menyebalkan," bohongnya dengan suara terbata - bata."Kamu tidak pintar berbohong, Lili," jawab Harvey dengan nada suara rendah.Lillian semakin erat memeluk tas miliknya sambil bergumam, "Aku sudah cukup dewasa untuk mengatasi masalahku sendiri, Har."Harvey menghela napas, kantor Lillian sudah terlihat di depan sana. Dia juga tak ingin merusak mood Lillian hari ini. Harvey menghentikan mobilnya tepat di depan lobby p
"Sepertinya Ernest pulang," ucap Lillian. Dagunya menunjuk kearah mobil di depan mereka.Kening Harvey berkerut. "Itu bukan mobil Ernest. Ini sudah malam, aku tak suka ada orang asing datang ke rumahmu.""Bisa saja itu mobil barunya. Dia baru saja menggunakan kartu kreditku dalam jumlah besar... --" Lillian terdiam dan menggigit lidahnya sendiri yang terlalu jujur.Harvey mengurungkan niat keluar untuk membuka pintukan pintu bagi Lillian. Laki - laki itu menutup kembali pintu mobil dan menatap tajam Lillian. "Kamu memberikan kartu kreditmu pada Ernest dan membiarkan dia berbelanja dengan sesuka hati?" tegurnya keras."Oh, ehm, Ernest yang akan membayar tagihannya. Ehm, iya. Itu pasti. Jangan berlebihan, Harvey. Kami adalah suami istri. Uangnya adalah uangku. Dan uangku adalah uangnya. Bukankan seperti itu?" cicit Lillian tanpa berani melihat kearah Harvey. Hatinya mengutuki dirinya sendiri yang selalu keceplosan di depan Harvey."Uang suami adalah uang istri. Tapi uang wanita milik wan
Harvey menekan pedal gas sekaligus rasa cemburu yang menyeruak begitu saja di dalam dada. Pikiran kalau Ernest ada di rumah bersama Lillian malam ini membuat dadanya seperti terbakar. Tapi ada sesuatu yang lebih menggelitik perasaannya. Ini bukan hanya cemburu tapi gelisah. Logikanya mengatakan mobil yang terparkir di depan rumah Lillian tadi bukanlan mobil baru. Pikiran - pikiran itu terus mengganggunya. Akhirnya Harvey hanya melewati rumahnya dan memutuskan untuk kembali ke rumah Lillian. Dia ingin memastikan Lillian baik - baik saja. Di depan rumah Lillian, Harvey memperhatikan baik - baik mobil baru yang penampilannya sama sekali tidak baru. Ada cat yang terkelupas di dekat pintu, lalu spionnya juga sedikit retak. Modelnya pun tidak seperti selera Ernest yang sudah - sudah. Yang mengherankan adalah seri mobilnya masih seri keluaran lama. Kening Harvey berkerut. Meski pun suka berfoya - foya, adiknya tidak akan sebodoh itu membeli mobil yang kondisi fisiknya yang sudah jelek sepe
Lillian mengerjapkan matanya beberapa kali. Kata - kata Harvey membuat telinganya gatal dan emosinya melonjak. Laki - laki itu terang - terangan mengatakan akan tidur dengannya padahal mereka adalah saudara ipar. Astaga!"Kamu sudah gila? Kamu seharusnya tahu kalau yang kita lakukan adalah sebuah kesalahan. Jangan pernah ingin mengulanginya lagi!" semprot Lillian tanpa bisa menyembunyikan rasa kesalnya.Harvey tersenyum lalu menyentil pelan dahi Lillian. "Hey, aku rasa bukan aku yang ingin mengulangnya tapi kamu. Aku mengatakan akan tidur bersamamu, bukan bercinta denganmu." Kalimat terakhir sengaja diucapkannya lambat - lambat dengan nada menggoda.Seketika wajah Lillian memerah, otaknya tanpa sadar mendefinisikan kata tidur dengan hal - hal yang sensual. "Oh! Yeah... ehm, maksudmu kamu akan menginap kan? Oke, silahkan." gagapnya, sambil menahan malu. Ini bukan pertama kalinya mereka tidur bersama kan? Catat baik - baik. Tidur, dan hanya tidur. Titik. Harvey tertawa kencang melihat
Sesaat Lillian termenung. Layar ponsel otomatis meredup lalu gelap sementara pemiliknya sedang termangu. Lillian benar - benar tak tahu harus bagaimana merespon pesan itu. Pikiran buruk tentang Ernest semakin merasuki pikirannya. Masalah kartu kredit dan hutang pada rentenir belum juga beres, tapi sepertinya masalah lain akan segera menyusul. Ruwet dan mumet, itulah yang dirasakan oleh Lillian saat ini.Sekali lagi ponsel Lillian bergetar. Kali ini dari Harvey yang memberitahu kalau dirinya sudah siap di lobby. Tak ingin membuat Harvey menunggu, Lillian bergegas menyambar tas tangan miliknya. Dalam sekejap, dia sudah setengah berlari menuju lift untuk turun ke lobby dengan hati yang kacauDi dalam lift, Lillian berusaha mengatur ekspresinya senatural mungkin supaya tidak membangkitkan kecurigaan Harvey. Langkahnya terhenti saat melihat Harvey menunggunya di depan lift sambil tersenyum. Matanya teduh dengan kedua tangannya terentang seperti seorang kekasih yang menanti wanitanya mengham
"Keluyuran kemana saja kamu? Apa gunanya membawa ponsel kalau susah sekali dihubungi?"Tubuh Lillian menegang saat mendengar suara seorang laki - laki, sebuah hardikan yang familiar dari seberang sana. Tanpa sadar matanya refleks menatap Harvey dengan perasaan nelangsa. Seharusnya dia yang bertanya kemana Ernest keluyuran selama ini, bukan malah dibalik seperti sekarang ini. Ernest lebih dulu menuduhnya keluyuran. Memang beberapa jam ini, Lillian tidak menyentuh ponselnya. Tapi apakah semua ini salahnya? Toh selama ini Ernest tidak pernah menghubungi Lillian. Belum sempat Lillian menjawab, perintah berikutnya sudah kembali terdengar, "Bukakan pintu untukku! Lima belas menit lagi aku sampai rumah."Akhirnya perjalanan pulang dilalui Lillian dengan perasaan yang terombang ambing. Setelah sekian lama tanpa kabar, akhirnya Ernest menelepon dengan nomer baru. Seharusnya seorang istri senang saat suaminya memberi kabar akan pulang ke rumah. Tapi pada kenyataannya, Lillian sama sekali tidak
"HENTIKAAAAN!!" pekik Lillian sekuat tenaga. Melihat wajah panik Lillian memenuhi pandangannya, Harvey menghentikan kepalan tangannya di udara. "Kalian berdua kakak beradik! Semua bisa dibicarakan baik - baik. Lihat! Ernest tidak melawan. Apa kamu ingin membunuhnya?" seru Lillian penih emosi. Dia menghampiri Ernest dan membantu laki - laki itu supaya bisa berdiri. Saat ini dia harus memilih untuk mengurus orang yang lebih membutuhkan dirinya. "Ernest, kamu tidak apa - apa?" tanya Lillian sambil menatap tajam kearah Harvey. Harvey bergeming. Dia memperhatikan setiap ekspresi yang bercampur menjadi satu di wajah Lillian. Di wajah wanita itu tidak hanya tergambar rasa panik dan cemas tapi juga marah. Rasa khawatir itu tentu saja untuk Ernest, sedangkan kemarahannya sudah jelas ditujukan kepada dirinya. "Apa kamu marah padaku, Lili?" tanya Harvey pelan. "Menurutmu?" Lillian balik bertanya, kebiasaannya saat dia marah. Dia mengangkat alisnya tinggi - tinggi. "Tapi dia sudah membuatmu