Pagi pertama setelah kepulangan kami dari rumah bidan adalah pagi yang paling sunyi sekaligus penuh kehangatan. Tidak ada suara panci nasi uduk yang meletup-letup di dapur. Tidak ada suara tawar-menawar pelanggan yang menanyakan sambal tambah berapa. Hanya suara bayi mungilku, yang menangis pelan minta disusui. Aku duduk bersandar di dipan kayu di ruang tengah, selimut melilit pinggang, rambutku masih berantakan, tapi aku merasa jadi perempuan paling lengkap di dunia. Di sebelahku, Arga masih setia menjaga, menyiapkan air hangat, memijat pundakku yang kaku karena kurang tidur. Wajahnya lelah, tetapi senyumnya tak pernah hilang sejak mendengar tangisan pertama putra kami. “Bapak… liat dia deh, bibirnya mirip kamu banget,” kataku pelan sambil menatap bayi kami yang tertidur di dadaku, masih hangat dan beraroma asi. Arga tertawa kecil, menyingkap kain bedong pelan-pelan, lalu mencium kening anaknya. “Muka Bapak, tapi rambutnya mirip Ibu. Hidungnya juga, nih… mancung kaya kamu.” Aku
Tanda-tanda itu datang tepat di malam Jumat, saat hujan rintik membasahi genting kontrakan kami. Arga baru saja selesai salat Isya, aku pun sudah berbaring di kasur tipis dengan bantal disusun di kiri kanan untuk menopang pinggulku yang pegal. Aku merasa perutku menegang lebih sering, disusul rasa nyeri yang berbeda dari kontraksi palsu sebelumnya. Awalnya kupikir hanya mulas biasa, tapi semakin lama, rasa sakitnya datang bergelombang, membuatku tak bisa berbaring tenang. “Ga… sakit lagi, Ga… ini beda…” suaraku bergetar, menahan nafas panjang. Arga yang sedang menggulung sajadah langsung menghampiriku. Wajahnya tegang, tangan dingin menggenggam jemariku yang basah keringat. “Kontraksi lagi? Rutin? Udah berapa menit sekali?” tanyanya cemas, menahan suaranya agar tetap terdengar tenang. Aku hanya meringis, berusaha bicara di sela rasa sakit yang mencengkeram perut bawahku. “Sakit… lima belas menit… tadi… sekarang makin deket…” Arga langsung mengeluarkan ponsel, menelpon Si
Hari-hari menjelang persalinan terasa seperti menunggu hujan turun di musim kemarau. Aku sudah tak kuat lagi duduk lama di warung. Bu Lastri dan Siska bergantian datang menemaniku di rumah kontrakan kecil kami. Setiap pagi, suara panci nasi uduk tetap terdengar dari dapur. Arga masih setia bangun sebelum azan Subuh. Tangannya gesit menanak nasi, menggoreng tempe, menyiapkan sambal kacang — semua ia lakukan sambil sesekali mengintipku di kamar, memastikan aku tertidur nyaman. Di ruang tengah, tumpukan popok kain, baju bayi lungsuran dari Siska, dan satu keranjang berisi perlengkapan melahirkan sudah tertata rapi di pojok. Siska membantuku menatanya, menuliskan daftar apa saja yang perlu kubawa kalau tiba-tiba kontraksi lagi. “Ran, kalau nanti air ketuban pecah, langsung telepon aku atau Arga. Jangan panik, ya,” kata Siska, menepuk pahaku pelan. Aku mengangguk pelan. Di dada, degup jantungku makin cepat setiap kali membayangkan hari itu datang. Perasaan campur aduk: takut, cemas, ta
Perutku semakin besar, jalanku semakin lambat. Kadang aku tertawa sendiri saat melihat bayangan di cermin: kaki bengkak, punggung pegal, tapi di dalam perutku ada nyawa mungil yang setiap malam menendang pelan seolah mengingatkan, “Ibu, aku di sini, sabar ya…” Warung sarapan tetap buka, meski tak lagi kutangani sepenuhnya. Arga yang kini benar-benar jadi “juru masak dadakan” dibantu Bu Lastri dan beberapa tetangga. Aku hanya duduk di bangku kayu, membungkus nasi, sambil sesekali mengelus perut. “Ran, istirahat aja. Biar aku sama Bu Lastri yang kelarin,” kata Arga hampir setiap pagi. Tapi aku selalu menggeleng. “Nggak apa-apa, Ga. Aku cuma duduk kok. Kalau bengong terus malah mikir aneh-aneh.” Sebenarnya, di balik senyumku, aku cemas. Tabungan kami menipis lagi karena biaya kontrol rutin dan kebutuhan tambahan bayi. Belum lagi kontrakan akan jatuh tempo dua bulan lagi. Kadang, kalau Arga tidur pulas, aku duduk di sampingnya, menatap wajah lelahnya yang masih muda. Di situ aku ber
Kabar kehamilanku pelan-pelan menyebar di lingkungan sekitar. Tetangga datang silih berganti, menjenguk sambil membawa pisang, kacang hijau, susu ibu hamil. Beberapa ibu-ibu bahkan memberikan baju bayi bekas yang masih bagus. Arga tampak lebih sibuk dari biasanya. Selain membantu Bu Lastri di warung, dia mulai menerima kerja serabutan — jadi kurir antar barang, tukang cat pagar rumah, hingga bantu Pak RT memperbaiki saluran air. Suatu malam, Arga pulang dengan baju penuh cat dan tangan lecet. Aku yang sedang menyiapkan air hangat menatapnya iba. “Ga, kamu capek banget. Udah deh, nggak usah kerja sampe malam begini. Kamu bisa sakit.” Arga mendekat, mencium keningku. “Capek, Ran… tapi pas lihat kamu sama perut kamu, capeknya ilang. Aku kerja keras sekarang, biar nanti kamu bisa makan enak, anak kita sehat.” Aku memeluknya erat. “Aku sayang kamu, Ga. Tapi janji, kalau kamu sakit nanti malah bikin aku repot.” Dia tertawa, mengusap rambutku. “Iya, Bu. Siap laksanakan.”
Sudah hampir tiga bulan sejak pesta kecil pernikahan kami di rumah Bu Lastri. Hidupku terasa seperti mimpi yang setiap pagi harus ku yakinkan lagi: Ini nyata. Ini milikku. Ini hasil tangisku, jatuhku, dan kebangkitanku. Suatu pagi, aku bangun dengan perut yang aneh — mual, pusing, bau nasi goreng pun membuatku ingin muntah. Awalnya kupikir hanya masuk angin atau capek bekerja di warung. Tapi setelah seminggu, Arga mulai curiga. “Ran, kamu kenapa sih? Pagi-pagi udah pucat begini? Kemarin juga muntah-muntah waktu goreng tahu di warung,” katanya, suaranya campur khawatir dan geli. Aku yang sedang duduk di teras cuma mengangkat bahu. “Ya mungkin kecapekan, Ga. Atau masuk angin.” Tapi Arga mendesah, duduk di sebelahku, lalu menatapku penuh arti. “Ran… kamu sadar nggak? Kamu telat kan…” Aku menoleh cepat. Dalam hati, aku menghitung-hitung tanggal — dan dadaku mendadak berdegup lebih cepat dari motor tuanya. “Arga… jangan bikin aku seneng dulu…” Dia tertawa kecil, meski matanya berk