Share

Bucin

"Dek, Kak Arya suka cerita apa sama kamu?" tanyaku pada Adiva.

Aku sengaja ke kamar Adiva, alasanku ingin menemaninya belajar.

"Cerita apa, Bu?" tanya Adiva.

"Apa sih yang suka kalian bicarakan berdua?" sahutku lagi.

"Cerita tentang lagu, film juga tentang teman sekolah. Juga sering bercerita tentang masa depan."

"Pernah nggak cerita tentang Ayah atau Ibu?"

"Pernah."

"Cerita apa?" 

"Ayah yang suka marah-marah."

"Terus?"

"Ayah yang selalu sibuk, nggak ada waktu untuk kami lagi. Kalau di rumah sibuk main hp."

"Memangnya Ayah sekarang seperti itu, ya?" tanyaku penasaran.

"Iya. Sekarang Ayah sudah jarang mengajak kita makan diluar. Jarang ngobrol juga. Terlalu sibuk atau pura-pura sibuk ya, Bu?"

"Kok kamu ngomongnya kayak gitu?"

"Habis Ayah memang seperti itu sekarang."

"Menurutmu, hubungan Ayah dan Mas Arya gimana?"

"Entahlah Bu. Kayaknya sekarang Mas Arya sering sekali dimarahi oleh Ayah. Padahal hanya masalah sepele. Ayah sekarang sensi, kayak perempuan saja."

Ternyata bukan aku saja yang merasakan perubahan pada Mas Fahmi. Anak-anak juga merasakannya. 

Keluargaku merupakan keluarga yang bahagia. Kami sangat dekat dengan anak-anak. Anak-anak pun sangat patuh kepada kami. Mereka hampir tidak pernah membuat masalah yang besar. Nilai-nilai mereka juga memuaskan. Tapi aku tidak pernah memasang target, bahwa anak-anak harus jadi ranking kelas. Nilai mereka diatas standar saja sudah membuatku sangat bahagia. Mereka juga mau membantu pekerjaan rumah. Jadi kami tidak memerlukan ART.

Tapi sepertinya semua ini akan menjadi kenangan. Karena sang kepala keluarga, Mas Fahmi sudah mulai menjadi asing bagi kami. Bukan lagi sebagai ayah yang penyayang tapi sekarang sering marah hanya masalah sepele.

Semoga ini hanya kerikil kecil dalam keluargaku. Yang nantinya kami mampu berjalan diatas kerikil itu, untuk menuju ke jalan yang mulus yaitu kebahagiaan.

"Kok Ibu malah melamun? Ibu mikirin apa? Jangan terlalu serius berpikirnya, Bu. Nanti malah kambuh vertigo Ibu," kata Adiva mengagetkanku. Aku gelagapan sendiri.

"Enggak, kok. Hanya memikirkan kalian, ternyata kalian sekarang sudah mulai dewasa. Nanti kalau sudah kuliah, rumah ini menjadi sepi, hanya ada Ayah dan Ibu saja," jawabku.

Adiva mendekat dan memelukku.

"Ibu, walaupun nantinya kami jauh, tapi hati kami tetap bersama Ibu. Atau nanti Adiva kuliah disini saja?" sahut Adiva.

"Eh jangan, kuliah di tempat yang kamu inginkan. Walaupun kalian mati jauh dari Ibu, kalian tetap anak-anak Ibu."

Aku sangat terharu. Gadis kecilku sudah mulai remaja dan ternyata bisa berpikir dewasa. Waktu terasa cepat sekali berlalu.

"Ngapain pakai pelukan segala?" celetuk Arya yang muncul di kamar Adiva.

"Biasa, Kak, Ibu suka baperan, hihi…." jawab Adiva.

"Ibu sangat bahagia dan bangga memiliki kalian. Semoga kalian nanti sukses dengan kehidupan kalian masing-masing," kataku pada Arya dan Adiva.

"Amin, doa Ibu yang akan mengantarkan kesuksesan pada kami nantinya. Arya juga bangga memiliki Ibu." Kata-kata Arya membuatku terharu.

"Terus, Kak Arya nggak bangga ya memiliki Ayah," goda Adiva.

"Ish kamu ini," kata Arya sambil pura-pura mau menjitak kepala Adiva.

"Bu, lihat tuh, Kak Arya nakal," adu Adiva padaku.

"Kalian harus tetap akur seperti ini ya? Sampai dewasa nanti, meskipun Ayah dan Ibu sudah tidak ada," kataku.

"Ibu kok ngomong seperti ini sih? Arya jadi sedih," ucap Arya.

"Umur manusia tidak ada yang tahu. Ibu hanya mengingatkan, bahwa kalian itu bersaudara sampai kapanpun. Jadi harus selalu rukun."

"Iya, Bu."

Terdengar suara mobil masuk ke halaman rumah. Pasti itu Mas Fahmi.

"Ayah sudah pulang, Ibu mau menemui Ayah dulu," ucapku pada Arya dan Adiva.

Aku segera keluar dari kamar Adiva. Benar dugaanku, Mas Fahmi baru pulang dari kantor. Wajahnya tampak sangat lelah.

"Sudah pulang, Mas?" tanyaku basa-basi.

"Iya," jawab Mas Fahmi sambil berjalan masuk ke kamar. Segera aku buatkan teh untuk menyegarkan tubuhnya yang letih.

"Mas, sudah aku buatkan teh," kataku pada Mas Fahmi di kamar. Mas Fahmi sedang mengganti bajunya.

"Iya, makasih. Aku mau mandi dulu, biar segar," kata Mas Fahmi sambil melangkah masuk ke kamar mandi. Kebetulan kamar yang aku tempati ada kamar mandi di dalamnya.

Drtt...drtt

Suara hp Mas Fahmi berbunyi, sebuah panggilan masuk dari Pak Yanuar.

"Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam ketika menerima panggilan telepon itu.

Mas Fahmi memang memperbolehkanku mengangkat panggilan di hpnya. Aku mau menerima panggilan telepon, jika aku kenal dengan orangnya.

"Waalaikumsalam, eh Bu Fahmi. Pak Fahminya ada?" jawab Pak Yanuar.

"Ada, Pak. Sedang mandi, baru pulang dari kantor."

"Baru pulang? Bukannya Pak Fahmi sudah pulang dari jam dua tadi?"

Deg! Jantungku berdetak tidak karuan mendengar ucapan Pak Yanuar. Bagaimana bisa pulang jam dua tadi? Kalau memang Mas Fahmi pulang jam dua, setidaknya jam setengah tiga atau jam tiga sudah sampai di rumah. Lha ini sampai di rumah sudah jam lima lewat. Kemana ya Mas Fahmi? Jangan-jangan… aku segera menepiskan pikiran buruk tentang Mas Fahmi.

"Oh, mungkin ada kerjaan diluar yang harus dilakukan, Pak."

"Oh, mungkin juga. Nanti Pak Fahmi suruh menelpon saya ya Bu?"

"Iya, Pak. Nanti saya sampai."

Pak Yanuar menutup panggilan.

"Siapa yang menelpon, Bu?" tanya Mas Fahmi yang baru keluar dari kamar mandi.

"Oh, Pak Yanuar. Mas disuruh menelponnya," ucapku.

"Ya Nanti, aku mau pakai baju dulu."

Aku masih bertanya-tanya dalam hati, kemana mas Fahmi pergi, ya? Semakin hari kok Mas Fahmi semakin mencurigakan. Atau aku yang terlalu berlebihan, terlalu paranoid, ketakutan akan terjadi sesuatu yang mengancam rumah tanggaku? 

Berpikir yang jernih, Hanum. Selidik apa yang sesungguhnya terjadi, kamu pasti bisa. Aku menyemangati diriku sendiri.

***

Selesai makan malam dan beres-beres meja makan, anak-anak sudah masuk ke kamarnya masing-masing. Kulihat Mas Fahmi duduk di ruang keluarga dan sangat asyik dengan hpnya. Hingga ia tidak menyadari kalau aku sudah ada di depannya.

"Ehem," aku sengaja berdehem.

Mas Fahmi kaget dan wajahnya tampak pucat seperti orang yang sedang kepergok.

"Segitunya melihat hp, sampai nggak tahu kalau aku ada di depan mata," ucapku sambil duduk di sampingnya.

"Eh, Ibu ngagetin saja," ucap Mas Fahmi menutupi kegugupannya. Ia segera menutup hpnya.

"Ada apa sih di hp itu?" tanyaku lagi.

"Nggak ada apa-apa, kamu itu kok terlalu curiga sih? Apa kamu pikir aku selingkuh, gitu?" ketus Mas Fahmi menjawab pertanyaanku.

Aku kaget sekali mendengar ucapan Mas Fahmi yang seperti membentak. Ya Allah, aku kan hanya bertanya saja. Kok dia seperti itu? Benar kata Adiva kalau Mas Fahmi sekarang sensi.

Aku segera beranjak dari duduk dan berjalan menuju ke kamar Adiva. Ternyata ia tidak ada dikamarnya. Aku menuju ke kamar Arya. Kulihat pintu kamarnya sedikit terbuka dan terlihat Adiva tiduran di kasur. Aku segera masuk.

"Boleh Ibu masuk?" tanyaku.

"Boleh dong, Bu," sahut Arya.

"Ngapain kamu disini, Dek? Sudah belajar?" tanyaku pada Adiva.

"Sudah, Bu. Tadi siang sudah ngerjain tugas. Bosan di kamar. Mau gangguin Kak Arya saja," jawab Adiva sambil cengengesan.

Arya langsung menjawil pipi Adiva. 

"Ih, gemes sama pipi kamu, Dek," kata Arya menggoda Adiva.

"Kak Arya ngapain sih, jawil-jawil pipiku. Nanti pipiku lecet," balas Adiva.

"Halah, lebay," cibir Arya.

Kelakuan mereka berdua menjadi pelipur laraku, disaat Ayah mereka mengabaikan ku. Semoga aku selalu sehat, bisa mendampingi dan mengantarkan mereka sampai sukses.

"Ibu kenapa? Kok kelihatannya sedih?" tanya Adiva.

"Ah enggak kok. Siapa yang sedih? Ibu terharu melihat ulah kalian. Sering bercanda membuat Ibu tertawa," kataku menutupi kesedihanku. 

Andai kalian tahu, Nak, hati Ibu sedang terluka. Tapi lebih baik kalian tidak tahu dan aku pun tidak boleh menampakkan kesedihanku di hadapan mereka.

Kami bercerita banyak hal. Tertawa dan bercanda bersama mereka membuatku lupa akan kesedihanku. 

"Ibu mau ke kamar, sudah mengantuk," pamitku pada mereka.

Aku berjalan menuju ke pintu, tapi tidak segera pergi. Aku berusaha menguping pembicaraan mereka.

"Kak, kok Ibu akhir-akhir ini sering melamun ya? Sejak Ibu pingsan waktu itu, aku sering melihat Ibu termenung. Sepertinya Ibu sedang banyak masalah. Walaupun Ibu berusaha menutupinya, tapi aku lihat Ibu menyimpan kesedihan," kata Adiva. Aku meneteskan air mata.

"Mungkin memang banyak yang dipikirkan sama Ibu. Masalah kerjaan di kantor atau masalah lain. Kita doakan saja semoga Ibu selalu sehat dan bahagia," ucap Arya. Ternyata Arya sudah dewasa dalam berpikir.

Aku tak sanggup lagi mendengar obrolan mereka. Aku segera berjalan menuju ke kamar. Sayup-sayup aku dengar Mas Fahmi sedang berbicara di depan rumah. Aku mengintip dari balik horden di ruang tamu. Ternyata sedang ngobrol dengan Pak Malik, tetangga depan rumah. 

Aku segera masuk ke kamar dan merebahkan diri di tempat tidur. Mencoba memejamkan mata, tapi masih terngiang-ngiang ucapan anak-anak. Ternyata mereka sudah dewasa, sudah bisa mengamati dan menganalisa apa yang terjadi pada ibunya. 

Kudengar langkah kaki masuk ke dalam kamar. Aku memejamkan mata, pura-pura tidur. Mas Fahmi merebahkan tubuhnya di sebelahku. Kemudian memelukku dari belakang. Sambil menc'um tengkuk, membuatku berdebar-debar.

"Maafkan aku," bisiknya di telingaku. Hatiku langsung meleleh mendengar ucapannya. Memang benar kalau aku terlalu bucin pada Mas Fahmi. Aku benar-benar takut kehilangan dia. Semoga apa yang aku takutkan akhir-akhir ini, tidak pernah menjadi kenyataan.

Mas Fahmi masih memelukku, pelukan yang sangat nyaman. Sepertinya ia tertidur dan rasa kantuk mulai menyerangku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
punya anak laki2lemah dan pengecut punya suami ngatai istrinya lugu,bodoh dan bucin. dan ternyata si suami benar klu istrinya begitu. ksdi wajar diselingkuhi suami.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status