Hari ini aku ingin menguasai Mas Fahmi. Sejak pulang dari rumah sakit, sampai menjelang zuhur ,aku sengaja tidak tidur. Padahal aku mengantuk sekali, karena minum obat. Takutnya nanti kalau aku tidur, ia malah pergi.
"Bu, aku mau pergi dulu ya? Sebentar saja," kata Mas Fahmi ketika kami sampai di rumah.
"Pergi kemana?" tanyaku penuh selidik.
"Ada urusan sebentar."
"Urusan apa?"
"Urusan kantor."
"Mas kan sudah izin nggak masuk kerja, kok masih sibuk ngurusin urusan kantor? Apa tidak ada orang lain yang bisa mengerjakan pekerjaan Mas?" tanyaku dengan kesal.
"Sebentar saja."
"Aku ikut."
"Kamu kan masih sakit."
"Kalau tahu aku sakit, ya tungguin aku di rumah. Tahu istrinya sakit kok malah mau keluyuran."
"Bukan keluyuran, tapi ada urusan."
"Pokoknya kalau Mas pergi, aku ikut. Titik."
Mak Fahmi terdiam, mukanya tampak kesal sekali. Ia sibuk mengutak-atik hpnya. Aku tahu kalau ia sebenarnya ingin marah denganku. Berhubung aku sedang sakit, jadi ia hanya diam saja.
"Kenapa sih, Mas, dari tadi kelihatannya gelisah terus. Seperti nggak ikhlas menemani aku," ucapku.
"Siapa yang nggak ikhlas, aku ikhlas kok."
"Tapi kok dari tadi cemberut terus. Apa sih yang Mas pikirkan? Memikirkan pekerjaan? Sudah ada orang yang mengerjakannya. Kulihat kok akhir-akhir ini Mas agak berbeda. Tidak lagi perhatian denganku, apalagi dengan anak-anak. Selalu sibuk dengan hp, seperti tidak bisa lepas dari hp. Ada apa sih di hp itu?" cecarku dengan kesal.
"Nggak ada apa-apa kok. Cari hiburan di hp, nonton video dan baca berita," kilah Mas Fahmi.
"Semoga mimpiku waktu aku pingsan tadi nggak jadi kenyataan ya Mas."
"Itu kan cuma mimpi."
"Kalau sampai Mas menikah lagi, aku laporkan ke BKD, biar Mas dipecat."
"Ih kok kejam sekali sih. Kalau dipecat nanti dapat uang darimana?" sahut Mas Fahmi.
"Wah, jadi Mas berniat menikah lagi ya?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi.
"Apaan sih, Bu. Tadi kan aku bilang kalau dipecat dapat uangnya dari mana? Kan nggak punya gaji lagi."
"Makanya, nggak usah macam-macam. Tugas kita membesarkan anak dan mendampingi mereka sampai mereka mandiri."
"Lagian siapa yang mau menikah lagi?" kilah Mas Fahmi.
"Kayak tetangga kita itu Mas, yang punya usaha air isi ulang."
"Siapa? Roni itu ya?" sahut Mas Fahmi.
"Iya, Roni itu kan dulu PNS. Dia menikah dengan istrinya yang sekarang, tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Ternyata ketahuan istri tuanya. Apalagi istri mudanya itu sering upload foto-foto mereka berdua. Mengambil suami orang kok malah dipamerkan. Istri tua melaporkan Roni ke BKD. Prosesnya cukup lama, akhirnya Roni dipecat dari PNS."
"Sadis sekali istri tuanya ya?" gumam Mas Fahmi.
"Kalau aku diposisi istri tua, aku akan melakukan hal yang sama."
Mas Fahmi kaget dan gugup. Aku hanya tersenyum.
"Aku percaya kok, kalau Mas nggak seperti itu. Mas itu tipe setia dan sayang sama keluarga." Aku berusaha memuji dia. Padahal, kepercayaanku padanya sudah mulai luntur. Semenjak aku mendengar Mas Fahmi mengancam Arya.
Mas Fahmi diam, kemudian masuk ke kamar. Aku tetap di ruang keluarga, menonton televisi sambil tiduran.
Setelah agak lama aku di ruang keluarga, aku berjalan menuju ke kamar. Kulihat mas Fahmi tertidur dengan hp masih di tangannya. Aku tidak berani mau mengambil hp itu. Aku kembali lagi ke ruang keluarga.
Hpku bergetar, kulihat sebuah panggilan dari Mbak Hani.
"Assalamualaikum, Mbak."
"Waalaikumsalam Hanum, kamu dimana?" tanya Mbak Hani.
"Di rumah, Mbak. Ada apa?" tanyaku.
"Nggak kerja?" tanya Mbak Hani.
"Enggak, Mbak. Sedang nggak enak badan."
"Ooo, sudah ke dokter?"
"Sudah, tadi diantar Mas Fahmi."
"Memangnya dia nggak kerja?" tanyaku.
"Enggak Mbak, tadi sudah izin dengan atasannya."
"Istirahat saja ya? Biar cepat sembuh."
"Iya, Mbak."
"Sudah, ya? Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Mbak Hani memang perhatian denganku. Kami tiga bersaudara, aku merupakan anak bungsu. Kakak pertamaku, Mas Hanif, tinggal di kecamatan sebelah. Tidak begitu jauh dengan rumah orangtuaku. Memiliki tiga orang anak.
"Assalamualaikum." Seseorang mengucapkan salam.
Aku terkejut, ternyata aku tertidur di sofa.
"Waalaikumsalam." Suara Arya menjawab salam.
"Kamu sudah pulang, Arya?" tanyaku.
"Sudah, Bu. Tadi Arya pulang, ibu tidur disini," jawab Arya.
Arya menuju ke ruang tamu dan membuka pintu. Kemudian masuk ke ruang keluarga lagi.
"Siapa tamunya?" tanyaku.
"Uti." Arya langsung masuk ke kamar.
"Oh, Ibu, Mbak Hani," sapaku.
"Kamu sakit apa, Hanum?" tanya Ibu yang masuk ke ruang keluarga bersama Mbak Hani. Ibu dan Mbak Hani duduk di sofa.
"Vertigo, Bu. Tadi sudah berobat kok."
"Eh, Uti, Bude," sapa Adiva sambil salim pada Ibu dan Mbak Hani.
"Sudah lama kamu pulang?" tanyaku pada Adiva.
"Sudah dari tadi, Bu. Ibu tertidur di sofa waktu kami pulang," jawab Adiva. Adiva segera masuk ke dalam. Aku ngobrol-ngobrol dengan Ibu dan Mbak Hani.
"Ini teh nya Uti, Bude," kata Adiva yang masuk ke ruangan sambil membawa tiga gelas teh.
"O, iya, terima kasih ya?" jawab Mbak Hani.
"Di meja itu ada kue yang Ibu beli tadi, tolong ambil dan bawa kesini ya?" pintaku pada Adiva.
"Iya, Bu," sahut Adiva sambil berjalan menuju meja yang aku tunjuk.
"Ini, Bu?" kata Adiva.
"Iya, ini ada kue kesukaanmu. Ambil saja," tawarku pada Adiva. Adiva pun mengambil kue kesukaannya.
"Ayah masih tidur, Dek?" tanyaku pada Adiva.
"Ayah tadi pergi," jawab Adiva.
"Kemana?" tanyaku lagi.
"Nggak tahu, Bu. Cuma bilang mau pergi, gitu aja."
Aku kecewa mendengar jawaban Adiva. Menyesal aku, kenapa aku tadi tertidur. Pasti Mas Fahmi sedang bertemu dengan seseorang. Aku harus memikirkan cara yang lain untuk menyelidikinya.
"Hani pergi sebentar ya, Bu? Nanti Hani jemput lagi," pamit Mbak Hani.
"Mau kemana?" tanya Ibu.
"Ada urusan sebentar," jawab Mbak Hani. Kemudian Mbak Hani pergi.
"Gimana urusan Mbak Hani dan Mas Kevin, Bu? Apa memang benar-benar mau berpisah? Aku kok kasihan dengan Nadya, pasti ia sedih sekali," kataku pada Ibu, ketika Mbak Hani sudah pergi.
"Ah, entahlah. Ibu dan Bapak juga pusing memikirkan Hani. Ibu kok curiga dengan mbakmu itu."
"Curiga kenapa?" tanyaku penasaran.
"Ibu lihat, kok sepertinya ia nggak sedih kalau suaminya selingkuh. Di rumah kerjanya cuma main hp saja. Kadangkala telponan sampai lama sekali. Kalau Ibu bertanya tentang Kevin dan Nadya, sepertinya ia enggan menjawabnya. Bukannya Ibu nggak suka ia tinggal di rumah. Maksud Ibu, selesaikan dulu masalah mereka. Setiap Ibu minta Hani untuk menelpon Kevin, dan menyuruhnya datang kesini untuk menyelesaikan masalah. Selalu Hani marah. Katanya Ibu nggak sayang sama Hani dan memihak Kevin." Ibu menarik nafas panjang.
"Maksud Bapak dan Ibu itu kan baik. Menyelesaikan masalah supaya tidak berlarut-larut. Tapi penilaian Hani terhadap Bapak dan Ibu lain. Bingung Ibu. Bapakmu juga sering berkata seperti ini pada Ibu. Ibu takutnya malah Hani yang bermasalah."
"Begini saja, Bu. Coba Bapak atau Ibu menelpon Mas Kevin. Menanyakan apa yang terjadi atau meminta Mas Kevin kesini untuk menyelesaikan masalah," usulku.
"Ya nanti Ibu bicarakan dengan Bapak. Nggak enak juga dilihat tetangga, kok Hani lama di rumah tapi tidak bersama suami dan anaknya. Kamu tahu sendiri kan bagaimana tetangga itu? Pasti mengorek info karena penasaran."
Aku mengangguk.
"Maaf ya, kok Ibu malah curhat sama kamu, padahal kamu sedang sakit," kata Ibu lagi.
"Nggak apa-apa kok, Bu. Kapan pun Ibu butuh teman untuk berbicara, ingat ya Bu, ada Hanum yang selalu ada untuk Ibu."
"Terima kasih, ya? Semoga kamu segera sehat."
"Amin."
Kami ngobrol-ngobrol berbagai macam hal. Tapi aku tidak berani menceritakan tentang Mas Fahmi, takut menambah beban pikiran Ibu.
Tiba-tiba Mbak Hani datang, kemudian disusul Mas Fahmi.
"Kok bisa barengan?" tanyaku.
"Aku baru saja sampai, terus suamimu juga pulang," sahut Mbak Hani.
"Ibu, sudah lama disini?" tanya Mas Fahmi.
"Dari tadi, kesini sama Hani malah ditinggal pergi sama Hani. Ayo Han, kita pulang. Kasihan bapakmu di rumah sendirian." Ibu mengajak Mbak Hani pulang.
"Iya, Bu."
"Kamu istirahat, nggak usah kerja dulu kalau belum sehat. Ibu pulang ya?" pamit Ibu.
Aku mengangguk.
"Arya, Adiva, Uti dan Bude mau pulang," seruku memanggil anak-anak.
Arya dan Adiva keluar dari kamarnya dan mereka salim sama Ibu dan Mbak Hani.
"Bu, apa Bude Hani mau bercerai? Kasihan Mbak Nadya kalau sampai orang tuanya bercerai," kata Adiva ketika Ibu dan Mbak Hani sudah pulang.
"Ibu nggak tahu, Dek. Mudah-mudahan mereka tidak berpisah," jawabku.
"Kok Bude Hani nggak pulang ke rumahnya? Apa nggak kasihan sama Mbak Nadya?" tanya Adiva lagi.
"Dek, Bude Hani dan Pakde Kevin sedang ada masalah. Mereka berpisah sementara untuk saling introspeksi."
"Kok, Mbak Nadya nggak ikut tinggal sama Bude Hani?"
"Mbak Nadya kan harus sekolah."
"Oh iya, ya."
Kulihat Arya dan Mas Fahmi dari tadi hanya diam saja.
***
"Dari mana tadi, Mas?" tanyaku, ketika aku dan Mas Fahmi ada di kamar.
"Ada urusan sedikit," jawab Mas Fahmi, "masih pusing nggak?"
Mas Fahmi mengalihkan pembicaraan.
"Sudah mulai berkurang, urusan apa?" tanyaku lagi.
"Hanya urusan kerjaan kok. Kalau belum sehat, besok nggak usah kerja dulu. Istirahat, biar cepat sehat."
Seharusnya aku bahagia mendapat perhatian dari Mas Fahmi. Tapi nyatanya tidak. Aku selalu curiga dengannya. Ada yang disembunyikan Mas Fahmi. Aku masih penasaran dengan apa yang terjadi antara Arya dan Mas Fahmi. Susah sekali mengorek informasi dari Arya. O ya, kenapa tidak aku tanyakan pada Adiva saja, ya? Siapa tahu ia malah memiliki informasi penting. Aku tersenyum.
"Kenapa, Bu kok senyum-senyum sendiri?" tanya Mas Fahmi.
"Enggak apa-apa, kok," jawabku.
Lihat saja Mas, aku akan mencari tahu tentangmu.
Kondisi kesehatan Mbak Hani sudah mulai membaik, Mbak Hani juga sangat menerapkan gaya hidup yang sehat. Tentu saja kami semua bahagia mendengarnya. Mbak Hani juga memiliki semangat yang tinggi untuk sehat. Ia ingin menjadi Mama yang baik untuk Nadya.Arya dan Nadya juga sudah mulai kuliah di kampus yang sama tapi beda fakultas. Aku meminta Arya untuk menjaga Nadya. Ternyata benar dugaan Mbak Hani, Mas Kevin tidak mau membiayai Nadya kuliah. Dengan berbagai macam alasan. Untung saja Mbak Hani sudah menyiapkan semuanya.Untuk Arya, aku juga patut bersyukur. Mas Fahmi membantu biaya masuk kuliah. Arya juga bercerita kalau Yang Kung beberapa kali mentransfer uang untuk biaya hidup bulanan. Padahal kalau mereka tidak mau membantu biaya kuliah, Mas Ray juga sudah menyiapkannya. Hubungan kami dengan keluarga Mas Fahmi juga sangat baik. Beberapa kali aku mengajak Mas Ray ke rumah orang tua Mas Fahmi. Alhamdulillah mereka menerima kami dengan baik.Kehamilanku sendiri sudah memasuki bulan ke
"Mas, ada fans berat tuh," kataku pada Mas Ray."Boleh Mas samperin dia?""Boleh, siapa takut." Kami pun berjalan menuju ke arah dokter Vanya yang sedang berbincang dengan dokter Ismail dan seseorang."Gandengan terus," ledek seseorang yg tidak aku kenal."Iya, dong. Truk aja gandengan, masa kita enggak." Mas Ray berkata sambil tertawa. Dokter Ismail dan orang itu tertawa, sedangkan dokter Vanya hanya terdiam saja."Selamat ya Ray, bentar lagi punya bayi?" kata dokter Ismail. "Terimakasih dokter.""Cepet bener hamilnya, jangan-jangan sudah…." Dokter Vanya menggantung ucapannya."Hush nggak boleh ngomong gitu," potong dokter Ismail."Biarlah dokter, hanya kami berdua dan Allah yang tahu. Kami menikah sudah tiga bulan dan istri saya hamil dua bulan." Mas Ray menjelaskan.Kami pun berpamitan pada dokter Ismail.Sampai dirumah sudah ada Mama sama Papa yang duduk di ruang keluarga. Adiva sedang menghidangkan minuman."Diminum Opa, Oma," kata Adiva."Terima kasih ya sayang," jawab Mama.
"Baru saja Hani mau manggil Bapak dan Ibu, nggak tahunya sudah keluar," kata Mbak Hani."Anak-anak kemana, Mbak?" tanyaku pada Mbak Hani."Tadi katanya mau keluar sebentar, entah kemana.""Naik apa?" tanyaku lagi."Jalan kaki."Kami semua berkumpul di ruang keluarga. Menikmati makanan buatan Mbak Hani dan bercerita tentang berbagai hal."Hani, kamu semangat ya, ikuti semua anjuran dokter. Ibu akan selalu mendukungmu," kata Ibu dengan tersenyum."Iya, Bu. Hani senang melihat Ibu bisa tersenyum lagi. Tadi Hani sempat merasa kalau Hani yang membuat Ibu bersedih. Senyum Ibu membuat Hani menjadi bersemangat." Mbak Hani menimpali."Kami semua disini mendukungmu. Selain berusaha jangan lupa juga berdoa dengan yang di atas. Semua terjadi karena izin dari Allah," kata Bapak."Iya, Pak. Hani terharu. Terima kasih untuk semua doa dan dukungannya. Hani sangat semangat untuk sembuh, demi Nadya, keluarga kita dan tentu saja demi Hani sendiri," kata Mbak Hani."Mbak, kami semua ada untuk Mbak Hani,"
Ceklek! Pintu pun dibuka."Ada apa Pa?" tanya Lea. Adiva pun memegang tanganku.Aku nggak tahu apa yang diucapkan Mas Ray pada anak-anak. Aku tidak bisa fokus. Aku tetap menangis, tiba-tiba pandanganku menjadi gelap. Yang kuingat hanyalah suara Adiva memanggilku."Ibu," panggil Adiva, ketika aku membuka mata. Mas Ray dan anak-anak ada di dekatku. Aku masih mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Aku pun menangis ketika mampu mengingat lagi apa yang terjadi."Ayo ke rumah Bapak," ajakku pada Mas Ray.Mas Ray menggelengkan kepalanya. Aku mencoba beranjak dari tidurku, tapi kepalaku sangat sakit. "Kenapa, Bu?" tanya Arya."Pusing.""Aku mau ke rumah Bapak. Arya, antar Ibu ke rumah Akung," kataku dengan kesal karena Mas Ray tidak menuruti permintaanku.Kulihat Arya seperti kebingungan, mungkin dia ingin mengantarku, tapi takut pada Mas Ray.Mas Ray menatap tajam padaku, aku segera memalingkan wajahku. "Sayang, lihat Mas."Aku masih kesal dengannya."Lihatlah Ibu kalian kalau mer
Aku mengajak Mbak Hani ke kamar Ibu untuk melihat kondisi Ibu. Kulihat Mas Ray baru saja selesai memeriksa tekanan darah Ibu. "Bagaimana Ibu, Mas?" tanyaku pada Mas Ray."Ibu hanya shock saja, semua butuh proses. Sepertinya Ibu belum bisa menerima sebuah kenyataan. Tekanan darah agak naik sedikit. Apa Ibu punya penyakit hipertensi?" tanya Mas Ray."Enggak ada," jawab Bapak."Kita tunggu sebentar lagi, mudah-mudahan segera siuman," kata Mas Ray. Aku dan Mbak Hani duduk di tepi tempat tidur."Maafkan Hani, Bu." Mbak Hani masih saja menangis."Semua bukan salahmu, Hani? Ibu hanya butuh waktu untuk menerima semua ini," kata Bapak membesarkan hati Mbak Hani.Kami semua hanya terdiam, tak berapa lama Ibu membuka matanya. Ibu tampak bingung melihat kami semua disini."Apa aku sudah mati? Kenapa semuanya berkumpul disini?" tanya Ibu."Ibu masih hidup, dan harus tetap sehat, karena Bapak masih sangat membutuhkan Ibu." Bapak menjawab sambil tersenyum."Apa yang terjadi?" tanya Ibu."Ibu hanya
Bapak dan Ibu sangat terkejut mendengar kata-kata Mbak Hani. Kemudian Ibu menangis lagi. Suasana menjadi penuh haru. Hanya Bapak yang tidak menangis, tapi aku yakin kalau Bapak menahan air matanya supaya tidak jatuh. "Pernah? Berarti sekarang sudah sembuh?" tanya Ibu lagi, masih dengan air mata yang mengalir di pipinya."Sudah operasi pengangkatan, Bu. Hani survivor kanker." Mbak Hani berkata sambil meneteskan air mata.Ibu semakin keras menangisnya."Oalah Hani, kenapa kamu nggak cerita sama Bapak dan Ibu? Pak, lihatlah anak kita, menderita seorang diri. Orang tua macam apa kita, membiarkan anak sakit dan kita tidak mendampinginya." Ibu berkata sambil menangis. Aku jadi ikut menangis. Mbak Hani mendekati Ibu dan memeluknya. Mbak Hani memegang tangan Ibu dan menariknya untuk ditempelkan ke bagian dada Mbak Hani yang sebelah kiri. Ibu tampak terkejut. "Ini yang dioperasi?" tanya Ibu.Mbak Hani mengangguk pelan."Maafkan Hani, Bu. Hani hanya tidak mau merepotkan Ibu, makanya Hani mel