Hari ini Adiva tidak masuk sekolah, ia masih agak demam. Pagi hari aku sudah menyiapkan sarapan untuk keluarga. Bagaimanapun juga ini merupakan kewajibanku sebagai seorang istri dan ibu.Sebelum berangkat ke kantor, kulihat Mas Fahmi sempat melihat Adiva di kamarnya. Tampak Mas Fahmi keluar dari kamar Adiva dengan wajah yang manyun. Seperti sedang kesal. Tapi kesal sama siapa? Masa kesal sama Adiva. Adiva kan kesayangan Mas Fahmi.Aku segera ke kamar Adiva."Masih pusing, Dek?" tanyaku."Iya, Bu.""Nanti makan bubur, ya? Tadi Ibu sudah masak bubur."Adiva mengangguk. Aku keluar dari kamar Adiva untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Drtt...drtt hpku berbunyi, sebuah panggilan dari Opik."Assalamualaikum, Opik," sapaku."Waalaikumsalam. Gimana keadaan Adiva?" tanya Opik."Masih pusing katanya," jawabku."Ternyata Adiva terkena tifus.""Terus obat yang kemarin diminum lagi atau ganti?" "Dilanjutkan saja, nanti aku tambahi lagi obatnya. Aku kirim lewat kurir ya? Petunjuk pemakaian sudah
"Apa maksud kamu Hanum? Kapan Hani bertemu dengan Rizal?" tanya Ibu dengan penasaran."Lihat, Mbak Hani. Bapak dan Ibu belum tahu kalau Mbak Hani bertemu dengan Kak Rizal. Berarti aku tidak pernah mengadu pada Bapak. Beberapa malam yang lalu, Mas Fahmi mengajak aku dan anak-anak makan malam di restoran. Disana kami bertemu dengan Mbak Hani dan Kak Rizal," kataku."Oh, jadi kamu bohong ya malam itu? Ibu pernah mendengar selentingan kalau Hani pergi berdua dengan laki-laki di mall. Tapi bukan bersama dengan Kevin. Berarti itu kamu dengan Rizal ya?" cecar Ibu.Mbak Hani terdiam, ia merasa terpojok."Nggak usah didengarkan omongan orang, Bu. Kita makan juga nggak minta sama mereka," sahut Mbak Hani."Iya, kamu bisa ngomong seperti itu, karena kamu tidak pernah bergabung dengan ibu-ibu disini. Kalau Ibu kan banyak kegiatan, jadi sering bertemu dengan banyak orang," jawab Ibu dengan kesal."Memang ibu-ibu kalau berkumpul bisanya ngomongin orang," ketus Mbak Hani menjawab."Memang, apalagi n
"Hani untuk apa uang sebanyak itu?" tanya Bapak."Untuk keperluanku, Pak.""Sebanyak itu? Memangnya Kevin tidak memberimu uang?" tanya Bapak lagi."Tapi hanya cukup untuk keperluan dan kebutuhan rumah saja. Aku juga ingin senang-senang.""Untuk berkumpul dengan teman-teman sosialitanya. Jalan-jalan dan beli barang-barang mahal, seperti tas, sepatu, jam tangan, pakaian." Aku membacakan pesan dari Mas Kevin.Semua melihat ke arahku. Mbak Hani tampak sangat geram."Tuh, Fahmi lihat kelakuan istrimu. Mencampuri urusanku dan selingkuh dengan suamiku. Ceraikan saja dia!" teriak Mbak Hani.Semua kaget melihat kearah Mbak Hani. "Oh, Mbak Hani meminta Mas Fahmi menceraikanku? Mas mau menceraikanku?" kataku pada Mas Fahmi.Mas Fahmi langsung menggelengkan kepala, mungkin karena ada Bapak dan Ibu. "Mbak Hani keluar dari kerja karena masalah uang. Supaya tidak dituntut pihak perusahaan, terpaksa Mas Kevin mengeluarkan uang." Aku mengeluarkan semua fakta yang kuketahui.Semua kaget mendengar uc
Adiva diam, kulihat Arya menunduk dan Mas Fahmi pura-pura tidak melihatku. "Ada yang bisa menjelaskan? Sebenarnya ada apa? Kalian mengetahui sesuatu, tapi tidak mau menceritakan pada Ibu?" kataku dengan sangat emosi."Arya, kalau kamu sayang sama Ibu, cepat ceritakan apa yang terjadi." Aku menatap Arya, Arya semakin menunduk."Adiva, apa yang sebenarnya terjadi? Ceritakan, Nak? Apa kamu takut dengan Ayah? Jangan takut, Ibu akan melindungi kalian, walaupun nyawa sebagai taruhannya." Aku mulai menangis."Ibu, maafkan Arya. Bukannya Arya takut pada Ayah dan tidak menyayangi Ibu. Arya sangat menyayangi dan menghormati Ayah dan Ibu. Arya hanya ingin keluarga kita seperti dulu lagi, tidak ada pertengkaran dan keributan. Ayah yang selalu mengayomi kami, selalu mengajak kami bercerita, bercanda dan jalan-jalan. Ayah yang selalu membela kami kalau Ibu mulai uring-uringan. Bahkan Arya nanti kalau dewasa ingin seperti Ayah, karena Arya benar-benar mengidolakan Ayah. Bagi Arya, Ayah itu sosok ya
"Kok belum sarapan?" tanyaku pada Arya yang muncul di kamar Adiva."Nanti saja, Bu. Bu, maafkan Arya yang menyembunyikan semua ini. Arya sangat menyayangi Ibu, Arya takut melukai hati Ibu," kata Arya sambil menunduk."Kalian nggak bersalah. Betul kata kamu Arya, Ibu terlalu mencintai ayahmu. Dibutakan oleh cinta," ucapku pelan. Kemudian aku menghapus air mataku."Kalau kita diusir dari rumah ini, kita akan kemana, Bu?" tanya Adiva yang membuatku semakin sedih."Siapa yang akan mengusir kita?" tanyaku lagi."Ayah kan mau menikah dengan Bude Hani, terus mereka tinggal disini. Pasti Bude Hani akan mengusir kita," ucap Adiva pelan."Kalian nggak usah mikir sampai kesitu. Itu nanti Ibu yang memikirkannya," kataku dengan tegas."Terus kalau Ayah tidak mau membiayai kita lagi, bagaimana, Bu?" tanya Arya."Kalian nggak usah mikirin biaya. Pikirkan saja sekolah kalian, siapa tahu nanti kuliah bisa mendapatkan beasiswa. Kita tunjukkan pada semua orang, bahwa kita bisa berprestasi walaupun Ayah
Mas." Aku memanggilnya.Ia tetap menatap ke arah lemari pakaian dan mencari pakaian."Sudahlah, aku capek. Aku tidak mau berdebat denganmu." Mas Fahmi berkata sambil memakai pakaiannya."Tidak ada yang mengajak Mas berdebat. Percuma saja, karena Mas pasti merasa paling benar. Sedangkan aku hanya perempuan bodoh, yang beruntung dapat menikah dengan Fahmi Airlangga bin Rahman Hakim."Mas Fahmi mendelik ke arahku, sepertinya tidak suka dengan ucapanku."Mana ponselku," tanya Mas Fahmi dengan suara yang emosi."Nggak usah ngurusin ponsel.""Hei…." Belum sempat Mas Fahmi menyelesaikan ucapannya, aku segera memotongnya."Jangan berteriak, ada Ayah dan Ibu. Sana temui mereka," kataku sambil keluar dari kamar. Aku berjalan menuju ke dapur untuk membuatkan minuman. Terdengar gelak tawa Arya dan eyangnya. Segera aku selesaikan membuat minum dan menghidangkan di meja. Ternyata Mas Fahmi sudah bergabung dengan mereka. Aku melihat kalau ada kecanggungan antara Mas Fahmi dan Arya. Semoga saja Ayah
Aku tak mampu berkata lagi. Hatiku terasa sangat perih, kecewa, sedih, sakit hati, semua menjadi satu."Kapan Mas pertama kali mulai berhubungan dengan Mbak Hani?" tanyaku dengan sedikit emosi."Waktu itu dia datang kesini, Ibu sedang keluar bersama Arya. Jadi kami ngobrol-ngobrol bersama Adiva. Terus Adiva ditelpon sama temannya, ia menyingkir, sesudah itu nggak gabung ngobrol dengan kami. Habis itu Ibu dan Arya pulang. Besoknya waktu Mas di kantor, Mbak Hani mengirim pesan. Mengucapkan terima kasih karena sudah mendengarkan ceritanya. Dari situlah ia rajin mengirim pesan atau menelpon.""Mana ada kucing menolak diberi ikan asin, ya kan Mas? Mbak Hani itu orangnya agresif, kalau suka dengan laki-laki nggak akan diam saja. Akan mencari cara untuk mendapatkan laki-laki itu. Bahkan dulu ia pernah menyatakan cinta duluan pada laki-laki."Mas Fahmi hanya diam saja."Mas, kalau memang tidak ada kepentingan apa-apa, ngapain Mas selalu meladeni Mbak Hani. Mbak Hani itu dalam posisi sendirian
"Assalamualaikum," suara seseorang mengucapkan salam.Aku yang sedang duduk di ruang keluarga segera berdiri."Waalaikumsalam," aku menjawab salam dan membuka pintu depan."Ibu, kok nggak bilang kalau mau kesini? Ayo masuk, Bu," kataku pada ibuku."Kok, sepi?" tanya Ibu."Anak-anak sedang pergi dengan ayahnya. Ibu sama siapa?" "Sendirian. Bapak ke sawah, Hani nggak tahu pergi kemana.Aku mengajak Ibu duduk di ruang keluarga, aku hidangkan makanan dan minum putih. Ibuku penderita diabetes, jadi mengurangi makan manis. Alhamdulillah sehat, sudah dua puluh tahun lebih hidup berdampingan dengan diabetes."Bu, apa Mbak Hani benar-benar mau bercerai dengan Mas Kevin ya?" tanyaku pada Ibu."Iya, tapi Kevin tidak mau menceraikannya. Sepertinya Kevin sengaja menggantung status Hani. Ibu benar-benar pusing dengan kelakuan Hani. Mau diusir dari rumah, tapi anak sendiri? Tidak diusir bikin stress. Ibu jadi malu mau keluar ngumpul-ngumpul dengan tetangga. Takut mereka nanya macam-macam tentang Ha