"Bu, aku izin mau menikah lagi. Jangan khawatir, nanti aku pasti akan bersikap adil," kata Mas Fahmi, membuatku bagai disambar petir.
"Apa salahku, Mas, sampai kamu mau menikah lagi?" sahutku dengan menangis tersedu-sedu.
"Kamu nggak salah kok. Aku yang salah, tidak bisa menahan nafsu…."
Aku menangis dengan keras, duniaku terasa runtuh.
"Bu…Ibu.…" Kudengar suara memanggilku.
Aku langsung membuka mataku, ternyata hanya mimpi. Aku langsung menangis.
"Alhamdulillah, Ibu sudah sadar. Tadi Ibu pingsan," kata Mas Fahmi.
Aku mencoba mengingat-ingat apa yang sedang terjadi. Oh, iya tadi aku bangun dari tempat tidur, tahu-tahu langsung gelap. Aku pun menangis lagi.
"Kenapa menangis? Ada apa?" tanya Mas Fahmi, seperti khawatir denganku.
"Aku mimpi, Mas mau menikah lagi." Aku berkata dengan sesenggukan. Sempat kulihat wajah Mas Fahmi tampak kaget dan pucat.
"Ah, itu kan hanya mimpi," ucap Mas Fahmi untuk menghilangkan keterkejutannya.
"Ayah, ini tehnya," kata Adiva anak keduaku sambil membawa teh.
"Ibu sudah sadar? Alhamdulillah," kata Adiva lagi. Ia menyerahkan teh pada Mas Fahmi dan kemudian memelukku.
"Ibu kenapa? Ibu sakit ya? Mana yang sakit, Bu?" cecar Adiva.
"Ibu hanya pusing kok," sahutku. Aku terharu dengan perhatian anak perempuanku ini.
"Ini tehnya diminum, Bu. Biar perutnya hangat," kata Mas Fahmi sambil menyendokkan teh padaku.
Aku meminum teh yang disodorkan Mas Fahmi.
"Diva, tolong buatkan roti bakar untuk sarapan kalian ya?" pintaku pada Adiva.
"Iya, Bu," sahut Adiva sambil berjalan keluar dari kamar.
Aku segera bangkit dari tempat tidur.
"Ibu mau kemana? Tiduran saja," kata Mas Fahmi.
"Mau mandi dan siap-siap berangkat kerja," sahutku.
"Nggak usah kerja dulu. Istirahat di rumah saja."
"Di rumah sendirian nggak enak."
Aku berjalan perlahan, tiba-tiba seperti gempa bumi. Aku langsung memegang pundak Mas Fahmi yang masih duduk di tempat tidur.
"Kenapa, Bu?" tanya Mas Fahmi.
"Rasanya muter-muter."
"Sudah dibilang tidur saja, nggak usah kemana-mana. Libur saja dulu."
"Tapi Mas temenin aku di rumah ya?" kataku pada Mas Fahmi.
Ia tampak ragu-ragu. Aku baru ingat, hari ini ia ada janji dengan seseorang di telepon tadi malam. Aku harus menggagalkan rencana mereka.
"Kalau Mas nggak mau nemenin, ya aku kerja saja. Kalau di tempat kerja, aku pingsan ada yang menolong. Kalau di rumah sendirian, mati pun nggak ada yang tahu."
Aku kesal dengan Mas Fahmi. Segera aku berjalan walaupun sempoyongan.
Brukk.
"Aduh," teriakku. Karena terlalu pusing, dan dunia terasa berputar, akhirnya aku menabrak pintu.
"Makanya hati-hati kalau berjalan." Mas Fahmi malah menyalahkanku.
"Aku sudah hati-hati. Tapi kepalaku terasa pusing dan semua terlihat berputar. Jadi nggak kelihatan kalau ada pintu." Aku berteriak kesal.
Aku memaksa berjalan lagi dengan merambat, memegang apa yang terlihat. Aku sangat kesal dengan Mas Fahmi, sepertinya ia tidak mempedulikanku. Alhasil aku terjatuh, keningku terbentur meja makan.
"Ibu, Ibu kenapa?" tanya Arya yang baru keluar dari kamar mandi.
Mas Fahmi langsung muncul di depanku.
"Ibu memang ngeyel." Mas Fahmi berkata dengan kesal.
"Arya ambil betadin dulu ya Bu. Kening Ibu berdarah," kata Arya. Arya berjalan mencari kotak P3K, kemudian muncul dihadapanku lagi dengan betadin di tangannya. Ia mengoleskan betadin itu ke keningku. Aku merasa terharu.
"Terima kasih ya, Nak?" ucapku.
"Sama-sama, Bu."
"Arya, kamu nggak usah sekolah ya? Temani ibu di rumah. Ayahmu sibuk banyak urusan, nggak bisa menemani Ibu. Kalau Ibu sendirian di rumah dengan kondisi seperti ini, kalau terjadi apa-apa, gimana." Aku memancing reaksi Mas Fahmi.
"Iya, Bu. Arya nggak sekolah nggak apa-apa. Tapi Ibu yang meminta izin sama wali kelas Arya ya, Bu," sahut Arya.
Ini kesempatanku untuk menyelidiki apa yang terjadi antara Arya dan ayahnya. Aku akan menggunakan segala taktik, biar Arya mau buka suara.
"Arya sekolah saja, biar Ayah yang menemani Ibu di rumah. Hari ini Ayah izin dari kantor dulu," kata Mas Fahmi.
Ternyata pancinganku mengena. Pasti Mas Fahmi takut rahasianya terbongkar kalau seharian aku dan Arya ada di rumah. Aku tersenyum penuh kemenangan. Berarti aku bisa menggagalkan pertemuannya dengan seseorang.
***
Arya dan Adiva sudah berangkat ke sekolah. Aku segera mandi, tapi pintu kamar mandi tidak ditutup rapat. Kata Mas Fahmi, takut kalau nanti tiba-tiba aku pingsan di kamar mandi.
"Mas, nanti jam sembilan anterin aku ke rumah sakit, ya? Mau periksa ke dokter. Tadi sudah janjian dengan Opik," pintaku pada Mas Fahmi.
Aku sedang sarapan roti panggang yang dibuat Adiva tadi. Mas Fahmi ada di depan televisi sambil memegang hpnya. Pasti ia tidak mendengar pintaku tadi, karena sangat asyik dengan gawainya. Mungkin sedang membatalkan janji dengan seseorang.
"Mas, dengar nggak?" kataku dengan setengah berteriak.
Mas Fahmi kaget.
"Iya, Sayang eh Bu?" jawab Mas Fahmi dengan spontan.
Sayang? Tumben memanggilku sayang. Jangan-jangan karena sedang berbalas pesan dengan seseorang dan memanggilnya sayang. Kemudian nggak sengaja nyeletuk sayang juga padaku.
"Lagi ngapain sih. Asyik sekali dengan hp. Istri ngomong dicuekin," ucapku dengan kesal.
"Maaf, Bu. Sedang meminta izin tidak masuk kerja. Ibu tadi ngomong apa?" tanya Mas Fahmi.
"Jam sembilan anterin aku ke rumah sakit. Tadi sudah janjian dengan Opik."
Opik adalah dokter di sebuah rumah sakit, dan ia adalah teman baikku. Namanya Olivia Putri, panggilannya Opik.
"Iya." Jawaban yang singkat, padat dan jelas. Aku tahu kalau ia kesal, karena aku paksa ia tidak masuk kerja untuk menemaniku.
***
Sampai dirumah sakit, aku segera menuju keruangan Opik. Aku biasa seperti ini, tanpa ke pendaftaran dulu. Karena semua sudah diurus asistennya Opik.
"Assalamualaikum, Opik cantik," aku mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam, Hanum. Kamu pucat sekali. Dengan siapa kamu kesini?" tanya Opik menyambutku.
"Sama Mas Fahmi," ucapku dengan nada yang kesal.
"Hei, ada apa?" tanya Opik dengan heran.
"Kenapa?" tanyaku.
"Kamu ini ditanya malah bertanya. Kamu lagi ada masalah ya?" selidik Opik.
"Ada sesuatu yang mengganjal hati dan pikiranku. Tapi masih sebatas kecurigaan saja."
"Orang ketiga?"
Aku mengangguk. Opik memang teman baikku, kalau aku ada masalah, pasti ia bisa merasakannya. Begitu juga sebaliknya.
"Sabar ya. Jangan bertindak gegabah. Kapan pun kamu siap berbicara, aku selalu siap mendengarkan."
"Terima kasih," ucapku.
"Hei, kok malah menangis. Jangan gitu lah. Nanti aku ikutan sedih."
Aku mengusap air mataku. Kemudian Opik memeriksaku dengan seksama. Tak lama kemudian, Mas Fahmi masuk ke ruangan.
"Sakit apa, istriku ini, Bu Dokter," kata Mas Fahmi menggoda Opik. Opik hanya tersenyum.
"Tekanan darahnya rendah sekali dan juga Vertigo. Makanya Hanum merasa kalau seperti berputar-putar terus. Kalau sedang berjalan terus merasa berputar-putar, harus berhenti. Takutnya nanti malah nabrak-nabrak. Seperti ini, keningnya terluka karena menabrak meja."
Mas Fahmi hanya mengangguk-angguk saja.
"Ini aku kasih obat, tapi nggak ditanggung BPJS. Cari di apotek Sehat saja, disana harga obat agak miring. Kalau kamu banyak pikiran, stress, atau migrain, biasanya vertigo akan kambuh. Vertigo bisa dicegah dengan beberapa cara, antara lain: tidur dengan posisi kepala lebih tinggi, duduk diam sejenak saat bangun tidur, gerakkan kepala secara perlahan, hindari posisi membungkuk, agar vertigo tidak kambuh. Kurangi konsumsi kafein," kata Opik dengan menjelaskan panjang lebar.
"Terima kasih, Opik."
Pulang dari rumah sakit, aku mengajak Mas Fahmi beli makanan.
"Mas beli kue dulu ya? Di toko roti Queen. Pengen beli kue sus," kataku pada Mas Fahmi.
Kulihat Mas Fahmi ogah-ogahan, aku tersenyum. Akhirnya ia menuruti keinginanku.
"Banyak sekali yang kamu beli, katanya hanya kue sus saja," kata Mas Fahmi ketika melihatku membawa nampan berisi bermacam-macam kue.
Mas Fahmi menemaniku masuk ke toko kue, takut kalau aku nanti tiba-tiba jatuh karena pusing.
"Yang makan kue kan bukan aku saja, Mas. Ini kan kue kesukaan anak-anak. Tahu dan risoles pedas ini kesukaan, Mas kan?" jawabku.
"Terserah kamu saja," sahut Mas Fahmi. Hatiku terasa sakit mendengar ucapannya. Seperti tidak ikhlas mengantarku berobat dan mampir ke toko ini.
Akhirnya kami masuk ke mobil. Tiba-tiba ada laki-laki yang aku kenal, keluar dari mobil bersama dengan perempuan cantik. Mereka bergandengan tangan sambil melangkah masuk ke dalam toko kue.
"Mas, lihat itu! Itu Pak Budi, tapi perempuan yang bersamanya itu bukan istrinya," ucapku.
"Jangan ngomong gitu, Bu. Nanti bisa timbul fitnah. Siapa tahu itu anaknya," sahut Mas Fahmi.
"Masa sama anak jalannya kayak gitu. Bergelayut manja di tangan laki-laki. Mas kalau jalan sama Adiva, mau nggak seperti itu. Aku kenal dengan istrinya dan anak-anaknya. Itu bukan anaknya."
"Sudah lah, Bu. Itu urusan mereka, nggak usah ikut campur."
Mas Fahmi segera menghidupkan mesin mobil dan mulai berjalan perlahan. Aku masih belum puas dengan jawaban Mas Fahmi.
"Pak Budi itu nggak mikir ya? Padahal ia punya anak perempuan yang sudah gadis. Bayangkan kalau melihat anak gadisnya selingkuh dengan suami orang? Pasti shock dan marah besar. Laki-laki memang suka seperti itu. Sering membiayai perempuan lain biar terlihat cantik. Istri sendiri malah diabaikan. Coba modalin istrinya, pasti bisa secantik selingkuhannya."
Mas Fahmi hanya diam saja, dengan mata fokus menyetir.
"Bu, apa nggak capek ngoceh nggak karuan gitu," celetuk Mas Fahmi.
"Kesel aja lihat laki-laki seperti itu. Semoga kena batunya," sungutku dengan kesal. Entah kenapa aku merasa kesal sekali.
Hari ini aku ingin menguasai Mas Fahmi. Sejak pulang dari rumah sakit, sampai menjelang zuhur ,aku sengaja tidak tidur. Padahal aku mengantuk sekali, karena minum obat. Takutnya nanti kalau aku tidur, ia malah pergi."Bu, aku mau pergi dulu ya? Sebentar saja," kata Mas Fahmi ketika kami sampai di rumah."Pergi kemana?" tanyaku penuh selidik."Ada urusan sebentar.""Urusan apa?""Urusan kantor.""Mas kan sudah izin nggak masuk kerja, kok masih sibuk ngurusin urusan kantor? Apa tidak ada orang lain yang bisa mengerjakan pekerjaan Mas?" tanyaku dengan kesal."Sebentar saja.""Aku ikut.""Kamu kan masih sakit.""Kalau tahu aku sakit, ya tungguin aku di rumah. Tahu istrinya sakit kok malah mau keluyuran.""Bukan keluyuran, tapi ada urusan.""Pokoknya kalau Mas pergi, aku ikut. Titik."Mak Fahmi terdiam, mukanya tampak kesal sekali. Ia sibuk mengutak-atik hpnya. Aku tahu kalau ia sebenarnya ingin marah denganku. Berhubung aku sedang sakit, jadi ia hanya diam saja."Kenapa sih, Mas, dari tad
"Dek, Kak Arya suka cerita apa sama kamu?" tanyaku pada Adiva.Aku sengaja ke kamar Adiva, alasanku ingin menemaninya belajar."Cerita apa, Bu?" tanya Adiva."Apa sih yang suka kalian bicarakan berdua?" sahutku lagi."Cerita tentang lagu, film juga tentang teman sekolah. Juga sering bercerita tentang masa depan.""Pernah nggak cerita tentang Ayah atau Ibu?""Pernah.""Cerita apa?" "Ayah yang suka marah-marah.""Terus?""Ayah yang selalu sibuk, nggak ada waktu untuk kami lagi. Kalau di rumah sibuk main hp.""Memangnya Ayah sekarang seperti itu, ya?" tanyaku penasaran."Iya. Sekarang Ayah sudah jarang mengajak kita makan diluar. Jarang ngobrol juga. Terlalu sibuk atau pura-pura sibuk ya, Bu?""Kok kamu ngomongnya kayak gitu?""Habis Ayah memang seperti itu sekarang.""Menurutmu, hubungan Ayah dan Mas Arya gimana?""Entahlah Bu. Kayaknya sekarang Mas Arya sering sekali dimarahi oleh Ayah. Padahal hanya masalah sepele. Ayah sekarang sensi, kayak perempuan saja."Ternyata bukan aku saja y
Pulang dari sekolah aku sengaja mampir ke rumah Bapak. Dengan mengendarai motor, aku mampir ke toko kue dan toko buah. Membelikan makanan dan buah kesukaan Bapak dan Ibu.Aku bekerja di sebuah TK, dibawah naungan sebuah yayasan pendidikan. Sebenarnya aku merupakan seorang sarjana pendidikan bahasa Inggris. Aku pernah mengajar di sebuah SMP swasta. Setelah aku hamil anak kedua, yaitu Adiva, aku mengundurkan diri dari SMP tersebut. Karena mengurus dua anak yang terpaut usia dua tahun sangat merepotkan. Aku tidak sanggup membagi waktu antara pekerjaan sekolah dan keluarga. Mas Fahmi mendukung keputusanku.Setelah Adiva berumur dua tahun, aku mulai bosan di rumah. Atas bantuan Opik, aku dipercaya memegang dan mengelola TK yang baru saja didirikan. Dengan kemampuan yang ada, aku berusaha semangat mengajar di TK. Arya termasuk siswa angkatan pertama di TK yang aku kelola. Aku bekerja sambil mengasuh dua anak. Untung saja pihak yayasan tidak mempermasalahkannya. Saat itu hanya ada tiga orang
Azan subuh berkumandang, aku terbangun dari mimpiku. Kulihat Mas Fahmi masih tidur di sebelahku. Segera aku bangun dan bersiap untuk menjalankan kewajiban sebagai umat muslim. Aku menyiapkan sarapan untuk seluruh keluarga. Anak-anak juga sudah bangun. Mereka melakukan aktivitas wajib, yaitu membantuku membersihkan rumah. Arya menyapu dan mengepel lantai. Adiva mencuci pakaian. Kulihat Mas Fahmi juga sudah bangun dari tidurnya. Seperti biasa, setiap pagi aku selalu menyiapkan kopi untuknya. Masih dalam kondisi diam tidak bertegur sapa, aku memberikan segelas kopi di meja. Aku melanjutkan lagi aktivitas pagi ini. Anak-anak sudah selesai melakukan tugasnya, mereka mandi bergantian. Aku pun mandi dan bersiap untuk berangkat kerja. Sarapan pagi kami lalui seperti tadi malam, tanpa ada percakapan. Benar-benar sepi dan sunyi rumah ini. "Bu, kami berangkat, ya?" pamit Adiva. "Iya, hati-hati ya?" jawabku. Arya sudah di atas motor bersiap mengantarkan Adiva sekolah, baru kemudian ia be
Kami semua menoleh ke arah yang ditunjuk Adiva."Benar, itu Bude Hani," kataku pelan. Aku shock melihat Mbak Hani ada di restoran ini, karena ia bersama dengan Kak Rizal. Kak Rizal adalah mantan kekasih Mbak Hani waktu kuliah. Mereka merupakan pasangan yang sangat serasi waktu itu, tapi aku tidak tahu mengapa mereka sampai berpisah. Mbak Hani menikah dengan Mas Kevin dan Kak Rizal menikah dengan perempuan bernama Renita. "Dengan siapa Bude Hani Itu, Bu?" tanya Adiva. "Oh, mungkin temannya." "Kok hanya berdua saja, apa nanti tidak menimbulkan fitnah? Kata Ibu, perempuan yang sudah menikah itu harus menjaga pergaulannya. Apalagi Bude Hani sedang bermasalah rumah tangganya. Nanti malah memperkeruh keadaan." Adiva tetap nyerocos saja. "Sudah, Dek. Nggak usah banyak komentar. Itu bukan urusan kita. Kamu kebanyakan nonton sinetron ikan terbang sih, makanya kamu berpikiran seperti itu." Arya yang tadi diam, akhirnya mengeluarkan pendapatnya. "Iya, benar kata Kak Arya." Mas Fahmi juga
"E...e...mungkin saja. Aku cuma menebak," jawab Mas Fahmi dengan gugup. "Kalau menurut Mas, seandainya ada perempuan bersuami dan laki-laki beristri, makan malam berdua di restoran, apakah mereka hanya teman saja? Adiva yang masih remaja saja sudah bisa berpikir kritis tentang Mbak Hani. Masa Mas yang sudah dewasa tidak bisa berpikir seperti itu? Aku bukannya tidak percaya dengan Mbak Hani. Tapi kondisi rumah tangga Mbak Hani kan sedang di ujung tanduk, nanti Mas Kevin bisa menuduh kalau Mbak Hani yang selingkuh." Aku menjelaskan panjang lebar. "Seandainya Wita seperti Mbak Hani, apa yang akan Mas lakukan?" tanyaku. "Kok merembet ke Wita?" sahut Mas Fahmi. "Aku ingin tahu pendapat Mas, kalau misalnya Mas berada di posisiku. Apa Mas akan diam saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa? Mas tahu? Kalau Mbak Hani mendoakan suamiku direbut pelakor," kataku dengan kesal. Mas Fahmi tampak terkejut. "Masa Mbak Hani berbicara seperti itu?" tanya Mas Fahmi. Aku tunjukkan chat percakapanku
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. [Sakit? Aku sehat-sehat saja. Kami dari sebelum Magrib tadi menunggu Mas Fahmi, sampai sekarang belum pulang juga.] [Oh, kata Mas Fahmi, Mbak Hanum sedang sakit, makanya nggak bisa datang. Anak-anak menunggui ibunya. Mas Fahmi sudah disini setelah Magrib tadi. Makanya aku tanya sama Mbak Hanum, sakit apa.] Apa? Berarti Mas Fahmi sudah ke rumah Ibu? Kenapa ia nggak mengajak kami? Katanya kami diundang makan ke rumah Ibu. Aku jadi kesal dengan Mas Fahmi. Ada apa sebenarnya dengan Mas Fahmi. [Ooo, ternyata Mas Fahmi mendoakan aku sakit. Padahal kami sudah menunggu, sampai anak-anak sangat kesal, ternyata Mas Fahmi sudah kesitu duluan ya? Mungkin Mas Fahmi sengaja nggak mau mengajak kami. Ya sudah, nggak apa-apa.] Wita pun tidak membalas pesanku lagi. Awas kamu, Mas. Aku menjadi sangat kesal dengan Mas Fahmi. Aku berbaring di tempat tidur, sambil bermain ponsel. Aku sangat kesal dengan Mas Fahmi. Apa maksudnya dia seperti itu? Aku
"Jadi kamu senang kalau aku dipecat?" sahut Mas Fahmi."Tentu saja aku senang! Biar Mas tahu rasa, mentang-mentang punya jabatan, malah seenaknya saja. Tidak peduli dengan keluarga!""Kamu…!" tangannya sudah mulai terangkat."Apa! Mau menamparku? Ayo tampar aku biar Mas puas!"Tangan Mas Fahmi diturunkan dan kami pun saling berdiam diri. Aku segera merebahkan tubuhku dan berusaha untuk tidur. Mata terpejam tapi pikiran mengembara kemana-mana. ***Minggu pagi suasana rumah sedang tidak bersahabat. Aku masih marah dengan Mas Fahmi. Sepertinya anak-anak juga sangat kesal dengan ayahnya. Aku tetap menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku. Karena itu merupakan tanggung jawabku sebagai seorang istri dan ibu.Selesai semuanya, aku dan anak-anak segera makan. Aku sudah tidak mempedulikan Mas Fahmi lagi. Terserah ia mau melakukan apa.Dari sarapan tadi, kulihat Adiva sangat pucat wajahnya. Mungkin ia kurang istirahat atau karena sedang sakit."Dek, masih pusing?" tanyaku pada Adiva."Enggak