"Ada apa dengan mobilmu?" tanya Sanjaya. Pagi ini, ia sedang menunjukkan wajah tak bersahabat. Ia jelas mengikuti saran istrinya yang terlihat muram sejak kemarin di puncak.
"Kecelakaan, Pa." jawab Daniel jujur.
Sanjaya tersenyum kecut, "Bagaimana bisa kecelakaan? Kalian berdua bertengkar sewaktu perjalanan!?"
Sanjaya menatap Andina yang menunduk di sebelah Daniel.
"Andina, Daniel tidak pernah mengalami kecelakaan sekalipun ia membawa mobil sport miliknya. Sekarang jelaskan kepada papa bagaimana kronologinya?"
'Papa.' Andina masih mempertahankan mimik wajahnya. Ia gugup. Jantungnya bahkan berdetak tidak stabil seperti nilai dollar yang naik-turun. Ia tidak mampu berbohong dengan Sanjaya ataupun Sarasvati, tapi laki-laki di sampingnya, laki-laki yang menunjukkan sikap pengecut sekaligus takut. Membuat Andina tidak tega untuk mengatakan yang sesungguhnya. Ia juga enggan membenarkan fakta jika kekasihnya memang manusia yang mempunyai kurang akal
Keesokan paginya setelah sarapan pagi bersama. Sanjaya meminta Daniel dan Andina ke ruang kerjanya. Pria satu anak itu berdiri di depan rak buku pajangan miliknya, sengaja tidak duduk di kursi kebesarannya karena ia tahu pembicaraan mereka bukan tentang bisnis keluarga. Sanjaya melipat kedua tangannya, raut wajahnya benar-benar menunjukkan sikap antagonis. "Apa kamu udah memutuskan pilihanmu, Dan?" tanya Sarasvati. Ibu satu anak ini juga memainkan perannya sebagai antagonis. Daniel mengangguk tegas lalu tersenyum, "Sudah. Aku akan keluar dari rumah ini setelah kami menikah. Benar kan, Dina?" tanya Daniel, ia menoleh, menatap Andina yang menunjukkan sikap netral. Tidak menderita, tidak merana, tidak marah, atau bahkan menangis. Andina hanya tersenyum dan mengangguk. Sarasvati tersenyum puas, seolah apa yang ia sampaikan kepada Andina kemarin benar-benar gadis itu serap dengan baik. "Ta
Ditelantarkannya gemerlap kota Jakarta di sepanjang jalur kereta api dari stasiun Gambir menuju stasiun Tugu Yogyakarta.Daniel dan Andina termenung selama perjalanan yang tak kurang dari delapan jam tersebut. Dua-duanya sama-sama berkutat dengan pikiran sendiri-sendiri.Andina resmi menjadi istri Daniel. Begitu juga Daniel yang resmi menjadi rakyat biasa.Ditinggalkannya kemewahan yang selama ini menjadi garis takdirnya. Ia kini hanya menjadi laki-laki biasa. Laki-laki pengangguran yang harus menafkahi istrinya. Entah bagaimana caranya, pikiran Daniel sedang terlalu rumit untuk mencari solusinya. Otaknya sedang tidak bekerja dengan baik, otaknya hanya diisi dengan hal-hal mesum yang harusnya dilakukan pengantin baru, di hari pertama resmi menjadi sepasang suami-istri."Harusnya malam ini adalah malam pertama kita, Dina. Tapi kita justru menghabiskan waktu di kereta." ujar Daniel dengan nada penuh kecewa. Ia merengut. Beruntunglah mereka menggunakan
Andina menghela nafas panjang sambil memandangi suaminya. Tak sepatah kata pun terucap. Namun, ia tahu, mereka sama-sama merasakan manis dan pahitnya secara bersamaan. Begitu besarnya perubahan yang terjadi. Betapa getir rasanya, namun juga betapa ia merasakan begitu dekat dengannya sekarang ini. "Maafkan aku, Mas, Maaf. Tapi, yang datang dan pergi akan membuatmu lebih mengerti, dan semoga ini menjadi perjalanan menuju pendewasaan diri untukmu." Andina mengelus pipi Daniel yang masih memejamkan matanya di atas ranjang. Terlihat betapa kusut wajah suaminya, betapa menyedihkannya wajah Daniel. Ia pasti begitu mendamba malam pertama. Begitu ingin menikmati malam-malam indah pengantin baru. Tapi bukankah Daniel pernah merasakannya sebelumnya. Merasakan bagaimana malam pertama yang ia lakukan bersama Aurelie. Andina mengikat rambutnya tinggi-tinggi sebelum berjongkok untuk membuka kopernya. Ia mengambil beberapa potong baju ganti untukn
"Rammmmmpok!!!" seru Andina kesal saat Daniel melepas bibirnya. Bibirnya tak lagi perawan, bibirnya sudah dilumat begitu lama oleh suaminya sendiri. "Sstttt..." Daniel mengusap bibir Andina yang basah dan terlihat lebih merah dari biasanya. "Kamu rampok tahu! Kamu udah ngrampok bibirku!" seru Andina lagi, ia berontak dipelukan Daniel yang masih memeluknya erat. "Tapi kamu suka, Dina. Kamu tadi membalas ciumanku. Ya, walaupun masih belum profesional!" ledek Daniel. Kepalanya menunduk untuk melihat wajah Andina yang tersipu malu. Andina menyembunyikan wajahnya di ketiak Daniel. Ia bersembunyi dari tatapan Daniel yang akan menciderai perangainya. Daniel menyeringai lebar, istrinya sudah masuk dalam perangkapnya. Dan, ia akan memperjelas bahwa hari-hari berikutnya ia akan meminta Andina untuk memberinya kecupan mesra, kecupan-kecupan yang akan menjadi jembatan penghubung antar kedua hatinya. "Thankyou, b
Pernahkah kamu merasakan konsentrasimu terenggut begitu saja hanya karena ciuman pertama. Itulah yang dirasakan oleh Andina sekarang.Wajahnya benar-benar tersipu malu karena Daniel terus saja menggodanya dengan hal-hal yang mereka lakukan di kamar hotel hingga pukul tujuh malam. Melakukan praktek-praktek absurd yang membuat keduanya sama-sama memiliki kartu as.Andina memandang suaminya dengan intens sebelum melangkah menuju pintu, "Jadi jalan-jalan gak?" ujarnya sambil menutup wajahnya dengan masker. Ia bermaksud untuk menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah. Seperti ia sudah tak mempunyai alasan lagi untuk tersenyum yang sedaritadi mengembang dengan sempurna.Daniel mengangguk, ia pun mengambil masker dan topi untuk menutupi sebagian wajahnya. Ia takut jika nanti akan ada orang akan mengenalinya."Besok kita check out, Dina." ujar Daniel ketika keduanya sudah keluar dari lobi hotel.Andina mengangguk, "Iya... Setelah ini kit
Daniel menyeringai bodoh ketika ia terbangun dari mimpi indahnya. Bagaimana tidak indah mimpinya, seorang gadis galak yang ia gilai menemaninya tidur di ranjang untuk pertama kalinya. Bahkan gadis itu masih terjaga disampingnya. Mengulum senyum sembari memainkan hpnya."Selamat pagi, cantik.""Pagi mas."Daniel tersenyum senang, ia memiringkan posisi tidurnya untuk menghadap wajah Andina. Tangannya merengkuh perut Andina dengan manja.Andina mengerjap dan melihat Daniel.Tubuhnya terasa tidak nyaman dan Daniel menyadarinya."Ada yang gak nyaman?" tanya Daniel.Andina mengangguk dan tersipu saat Daniel membelai lembut pipinya."Apa katakan?"Andina menyeringai, "Aku bahkan tidak berani memejamkan mataku, sayang. Aku takut kamu meraba dan menggagahi tubuhku sebelum aku benar-benar yakin akan perasaanku." batin Andina lalu menyandarkan tubuhnya ke kepala tempat tidur.
Siapa sangka kalau isi kontrakan tersebut masih kosong melompong dari perlengkapan rumah tangga. Sama sekali tidak terlihat adanya kasur, tempat duduk, kompor dan perlengkapan lainnya.Andina menghempaskan tubuhnya diatas lantai, ia duduk sembari meluruskan kakinya. Matanya melirik kearah Daniel yang mengendarakan pandangannya secara liar di seluruh penjuru isi ruangan. Ia tahu suaminya pasti tidak menyangka jika kontrakan tersebut belum juga tersedia perlengkapannya."Kontrakan satu tahun tujuh juta, tapi sama sekali gak ada apa-apanya, cuma air PDAM doang." gumam Daniel."Wajar kan? Coba kita ngontrak di Jakarta? Dapetnya hanya kost-kostan 3x3 meter. Tidak nyaman, dan itu pasti..." Andina menghela nafas, "Ini lumayan murah mas."Daniel mengangguk pasrah, dengan wajah ragu ia mendekati Andina dan duduk disebelahnya."Bersih! Kata ibu kontrakan udah di pel kemarin setelah tahu akan ada yang mau kontrak." ujar Andina.
Daniel memandangi tubuh Andina dengan muka ngeri. Istrinya hanya memakai celana kolor pendek dan kaos oblong. Ia terus memandangi lekuk tubuh Andina bagian belakang yang amat menggiurkan baginya."Gue heran, istri gue gak punya capek apa ya? Dari tadi pagi sampe jam segini masih sibuk berbenah. Mana kalau ditanya jawabannya bikin tensi naik." batin Daniel. Ia yang sudah menjadi kuli panggul sejak dari pasar tadi memilih untuk merebahkan diri di atas karpet murahan yang sengaja Andina beli untuk mengganti sofa."Keras banget sih, buset dah. Ini pasti balasan atas doa istri gue yang gak gue bantuin!" gumam Daniel seraya menunda merebahkan diri di atas karpet, ia memilih merenggangkan otot-ototnya yang pegal dan mendekati Andina."Dina, udah. Besok lagi aja beres-beresnya! Sekarang mandi dulu, nanti kita harus ke rumah pak RT untuk laporan warga baru."Andina hanya berdehem, ia masih asyik menata piring-piring baru yang baru saja sele