Share

Chapter 6 -tamu di malam hari

"Bagaimana rasanya bibir milik seorang Aiden Faeyza huh? Kau tau, kau adalah satu-satunya wanita yang di perlakukan oleh Aiden istimewa." Savana yang tadinya menghiraukan ucapan Megan- sepupunya, memfokuskan sebentar saat mendengar kata istimewa.

Benarkah?

Isi kepalanya semakin penuh dengan dukungan bahwa pria itu menyukainya. "Aku tak peduli." Bohong, jelas Savana berbohong.

Mega berdecak kesal, "kau ingin melupakan Arka bukan?" Savana mengangguk kecil. "Mulai dari Aiden, lihat pria itu. Buat dia sejatuh mungkin ke dalam pesonama mu." Megan sangat mengebu menghasut Savana.

"Tidak, aku tak ingin memanfaatkan orang lain demi kepuasan ku." Benar ia tak akan melakukan itu, tapi ia ingin mencobanya. Tapi bukan memanfaatkannya. Melainkan mencoba untuk menerimannya.

Mungkin ia akan melupakan Arka, si mantan yang berhasil mengobrak-abrik hidupnya... juga hatinya.

"Dasar wanita bodoh! Pantas saja sahabat mu dengan mudah menikung tunangan mu!" Megan kesal karena Savana mengabaikan sarannya.

"Bisa diam sebentar?" Tatapan dingin dan wajah datar milik Savana berhasil membuat mulut Megan mengatup rapat.

"Umm... bagaimana nanti kita makan malam bersama?" Megan bertanya dengan takut-takut.

Savana mendengus malas, "Delio? Sudah ku katakan aku tak akan pulang!" Kesal Savana.

Delio adalah nama ayahnya. Sudah setahun lebih ia tak pulang ke rumah. Jelas ada alasannya, Savana tidak menyukai Anggun- ibu tirinya.

"Ayolah... hari ini saja..." mohon Megan dengan memelas. Sayang sekali tawaran pamannya yang selalu membuat dia tergiur. Kali ini jika ia berhasil membawa Savana pulang, pamannya akan membelika mobil porsche merah incarannya.

"Tidak! Tidak akan pernah!" Tekan Savana. Lalu ia merampas kasar tas slempangnya dan beranjak pergi.

"Hei! Kau belum membayar!" Pekik Megan, tapi ia tak peduli. Anggap saja itu balasannya karena telah membuat mood Savana semakin buruk.

*****

"Hiks..." isakan kecil keluar dari bibir tipis milik Savana.

Kali ini penyebabnya nyeri haid di perutnya yang sangat menyiksa. Pantas saja mood-nya hari ini berantakan. 

Keadaannya kali ini sangat memprihatinkan, rambut yang berantakan dan stelan baju yang masih sama seperti pagi tadi. Tadi sepulang dari sturbuck ia ketiduran, dan bangun-bangun tubuhnya remuk dengan sakit perut yang luar biasa. Sejak bangun Savana hanya menangis dengan posisi telungkup.

Sungguh menyedihkan ketika sakit ia hanya bisa diam sembari menunggu agak mendingan. Ia tak percaya lagi teman apalagi sahabat. Bahkan sepupunya saja yang paling deket jadi mata-mata ayahnya.

Jadi... siapa yang harus Savana percaya?

Drrrrttttt....

Ponsel di sakunya bergetar. Savana meronggohnya dan langsung menggeser icon hijau tanpa melihat siapa yang menelpon.

"Hallo..." ucap Savana dengan parau. Suaranya serak karena terlalu lama menangis.

'Kau baik-baik saja?' Suara bass khas pria menguar di telinga Savana. Mungkin pria itu Ben, ia sedang malas berfikir siapa pemilik suara pria yang menelponnya.

"...tidak, aku tidak baik-baik saja... hiks..." perutnya kembali terasa di remas, peduli setan siapa yang menelponnya ia langsung menutup panggilannya dan melempar ponselnya entah kemana.

"Arghhh... kenapa sakit sekali!" Pekik Savana sembari berguling-guling di kasurnya.

Ting! Nong!

Ting! Nong!

"Fuck! Siapa yang bertamu malam-malam begini!" Umpat Savana kesal.

Ting! Nong!

Ting! Nong!

Suara bell kembali berbunyi. Savana menghela nafas kasar. Ia beringsut kepinggiran kasur dan berusaha bangkit secara perlahan. Berhasil, dengan tangan kanan meremas perutnya Savana berjalan ke arah pintu apartemennya untuk membuka kuncinya.

Kalo orang itu Ben, Savana bersumpah akan memukulnya habis-habissan.

Cklek!

Di luar nalar.

Orang itu Aiden, dengan stelan jas berantakan dan wajah khawatir.

"Ba-bagaimana kau tau apartemen ku?" Aiden tak menjawabnya, ia hanya memandangi Savana dengan lekat.

Grep!

Aiden menariknya kedalam pelukannya. Menyimpan dagunya di bahu Savana. "Aku sangat menghkhawatirkan mu." Badan Savana menegang seketika, saat mendengar suara deep pria itu tepat di telinganya.

Savana hanya diam, tak membalas. 

Bahkan hebatnya Savana melupakan nyeri haid-nya. 

Tapi ini semua salah. Savana mendorong kencang dada Aiden reflek. "Ma-maaf. Itu tadi- sedikit aneh." Keadaan menjadi canggung seketika. Terlihat jelas wajah Aiden yang merasa tak enak dan Savana yang merasa bersalah.

"Ah... saya tadi berada di dekat sini dan menelpon mu untuk makan malam bersama- tapi jawaban mu-- membuat saya khawatir." Aiden berusaha menjelaskan keadaan yang canggung ini.

Jelas khawatir, suara parau dan langsung bilang sedang tak baik-baik saja. Siapapun yang mendengarnya pasti menerka-nerka hal buruk.

Sebentar. Yang menelpon Savana bukan Ben, "kau menelpon ku?" Aiden mengangguk pelan. Savana menepuk dahinya pelan, kepalanya berusaha mencerna apa yang terjadi.

"Baiklah. Kau ingin minum apa? Anggap saja rasa terimakasih ku karena telah mengkhawatirkan ku." Savana membuka lebar pintu apartemennya mempersilahkah'kan Aiden masuk.

"Baiklah jika kau memaksa." Aiden tersenyum kecil dan masuk melewati Savana.

Dasar pria tukang modus. Padahal Savana hanya berbasa-basi.

Aiden sudah duduk tenang di sofa yang ada di ruang tamu. Dengan bermalas-malasan Savana beranjak ke dapur yang menyatu dengan ruang tamu. 

"Oh ya, bukannya kau sedang sakit?" Tanya Aiden.

"Penyakit setiap bulan. Biasa." Aiden terdiam sebentar saat mendengar pernyataan Savana yang sedikit berbelit.

"Menstruasi?" Savana memutar bola matanya malas.

"Harus sejelas itu?" Kesalnya, itu kan privasi seorang wanita.

"Hanya minuman ini yang ada. Jika tak suka tak usah kau minum." Savana menaruh segelas susu putih tanpa rasa. Terserah mau di minum atau tidak.

"Aku akan meminumnya." Savana mengangkat alisnya menantang. Ia ingin tau pria ini bisa sampai sejauh mana.

Aiden meraih gelas yang berisi susu malt itu, lalu ia meminumnya dengan mata yang terus menatap Savana. Aiden benar-benar menghabiskannya dalam satu tenggakan.

"Manis." Ucap Aiden dengan senyum mengejek. Seolah ia membuktikkan bisa melawan wanita di hadapnnya.

"Ck! Kau tidak pulang?" Jelas itu usiran secara halus.

"Megusir ku hm?" Aiden bertanya dengan mengangkat sebelas alisnya, wajahnya benar-benar berhadapan dengan Savana.

Savana mengerjapkan matanya guna menyadarkan keterpesonaannya, pahatan tuhan begitu sempurna di hadapannya. Sudah pasti pria di depannya itu penggoda ulung.

"Terpesona hm?"

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status