"Bagaimana rasanya bibir milik seorang Aiden Faeyza huh? Kau tau, kau adalah satu-satunya wanita yang di perlakukan oleh Aiden istimewa." Savana yang tadinya menghiraukan ucapan Megan- sepupunya, memfokuskan sebentar saat mendengar kata istimewa.
Benarkah?
Isi kepalanya semakin penuh dengan dukungan bahwa pria itu menyukainya. "Aku tak peduli." Bohong, jelas Savana berbohong.
Mega berdecak kesal, "kau ingin melupakan Arka bukan?" Savana mengangguk kecil. "Mulai dari Aiden, lihat pria itu. Buat dia sejatuh mungkin ke dalam pesonama mu." Megan sangat mengebu menghasut Savana.
"Tidak, aku tak ingin memanfaatkan orang lain demi kepuasan ku." Benar ia tak akan melakukan itu, tapi ia ingin mencobanya. Tapi bukan memanfaatkannya. Melainkan mencoba untuk menerimannya.
Mungkin ia akan melupakan Arka, si mantan yang berhasil mengobrak-abrik hidupnya... juga hatinya.
"Dasar wanita bodoh! Pantas saja sahabat mu dengan mudah menikung tunangan mu!" Megan kesal karena Savana mengabaikan sarannya.
"Bisa diam sebentar?" Tatapan dingin dan wajah datar milik Savana berhasil membuat mulut Megan mengatup rapat.
"Umm... bagaimana nanti kita makan malam bersama?" Megan bertanya dengan takut-takut.
Savana mendengus malas, "Delio? Sudah ku katakan aku tak akan pulang!" Kesal Savana.
Delio adalah nama ayahnya. Sudah setahun lebih ia tak pulang ke rumah. Jelas ada alasannya, Savana tidak menyukai Anggun- ibu tirinya.
"Ayolah... hari ini saja..." mohon Megan dengan memelas. Sayang sekali tawaran pamannya yang selalu membuat dia tergiur. Kali ini jika ia berhasil membawa Savana pulang, pamannya akan membelika mobil porsche merah incarannya.
"Tidak! Tidak akan pernah!" Tekan Savana. Lalu ia merampas kasar tas slempangnya dan beranjak pergi.
"Hei! Kau belum membayar!" Pekik Megan, tapi ia tak peduli. Anggap saja itu balasannya karena telah membuat mood Savana semakin buruk.
*****
"Hiks..." isakan kecil keluar dari bibir tipis milik Savana.
Kali ini penyebabnya nyeri haid di perutnya yang sangat menyiksa. Pantas saja mood-nya hari ini berantakan.
Keadaannya kali ini sangat memprihatinkan, rambut yang berantakan dan stelan baju yang masih sama seperti pagi tadi. Tadi sepulang dari sturbuck ia ketiduran, dan bangun-bangun tubuhnya remuk dengan sakit perut yang luar biasa. Sejak bangun Savana hanya menangis dengan posisi telungkup.
Sungguh menyedihkan ketika sakit ia hanya bisa diam sembari menunggu agak mendingan. Ia tak percaya lagi teman apalagi sahabat. Bahkan sepupunya saja yang paling deket jadi mata-mata ayahnya.
Jadi... siapa yang harus Savana percaya?
Drrrrttttt....
Ponsel di sakunya bergetar. Savana meronggohnya dan langsung menggeser icon hijau tanpa melihat siapa yang menelpon.
"Hallo..." ucap Savana dengan parau. Suaranya serak karena terlalu lama menangis.
'Kau baik-baik saja?' Suara bass khas pria menguar di telinga Savana. Mungkin pria itu Ben, ia sedang malas berfikir siapa pemilik suara pria yang menelponnya.
"...tidak, aku tidak baik-baik saja... hiks..." perutnya kembali terasa di remas, peduli setan siapa yang menelponnya ia langsung menutup panggilannya dan melempar ponselnya entah kemana.
"Arghhh... kenapa sakit sekali!" Pekik Savana sembari berguling-guling di kasurnya.
Ting! Nong!
Ting! Nong!
"Fuck! Siapa yang bertamu malam-malam begini!" Umpat Savana kesal.
Ting! Nong!
Ting! Nong!
Suara bell kembali berbunyi. Savana menghela nafas kasar. Ia beringsut kepinggiran kasur dan berusaha bangkit secara perlahan. Berhasil, dengan tangan kanan meremas perutnya Savana berjalan ke arah pintu apartemennya untuk membuka kuncinya.
Kalo orang itu Ben, Savana bersumpah akan memukulnya habis-habissan.
Cklek!
Di luar nalar.
Orang itu Aiden, dengan stelan jas berantakan dan wajah khawatir.
"Ba-bagaimana kau tau apartemen ku?" Aiden tak menjawabnya, ia hanya memandangi Savana dengan lekat.
Grep!
Aiden menariknya kedalam pelukannya. Menyimpan dagunya di bahu Savana. "Aku sangat menghkhawatirkan mu." Badan Savana menegang seketika, saat mendengar suara deep pria itu tepat di telinganya.
Savana hanya diam, tak membalas.
Bahkan hebatnya Savana melupakan nyeri haid-nya.
Tapi ini semua salah. Savana mendorong kencang dada Aiden reflek. "Ma-maaf. Itu tadi- sedikit aneh." Keadaan menjadi canggung seketika. Terlihat jelas wajah Aiden yang merasa tak enak dan Savana yang merasa bersalah.
"Ah... saya tadi berada di dekat sini dan menelpon mu untuk makan malam bersama- tapi jawaban mu-- membuat saya khawatir." Aiden berusaha menjelaskan keadaan yang canggung ini.
Jelas khawatir, suara parau dan langsung bilang sedang tak baik-baik saja. Siapapun yang mendengarnya pasti menerka-nerka hal buruk.
Sebentar. Yang menelpon Savana bukan Ben, "kau menelpon ku?" Aiden mengangguk pelan. Savana menepuk dahinya pelan, kepalanya berusaha mencerna apa yang terjadi.
"Baiklah. Kau ingin minum apa? Anggap saja rasa terimakasih ku karena telah mengkhawatirkan ku." Savana membuka lebar pintu apartemennya mempersilahkah'kan Aiden masuk.
"Baiklah jika kau memaksa." Aiden tersenyum kecil dan masuk melewati Savana.
Dasar pria tukang modus. Padahal Savana hanya berbasa-basi.
Aiden sudah duduk tenang di sofa yang ada di ruang tamu. Dengan bermalas-malasan Savana beranjak ke dapur yang menyatu dengan ruang tamu.
"Oh ya, bukannya kau sedang sakit?" Tanya Aiden.
"Penyakit setiap bulan. Biasa." Aiden terdiam sebentar saat mendengar pernyataan Savana yang sedikit berbelit.
"Menstruasi?" Savana memutar bola matanya malas.
"Harus sejelas itu?" Kesalnya, itu kan privasi seorang wanita.
"Hanya minuman ini yang ada. Jika tak suka tak usah kau minum." Savana menaruh segelas susu putih tanpa rasa. Terserah mau di minum atau tidak.
"Aku akan meminumnya." Savana mengangkat alisnya menantang. Ia ingin tau pria ini bisa sampai sejauh mana.
Aiden meraih gelas yang berisi susu malt itu, lalu ia meminumnya dengan mata yang terus menatap Savana. Aiden benar-benar menghabiskannya dalam satu tenggakan.
"Manis." Ucap Aiden dengan senyum mengejek. Seolah ia membuktikkan bisa melawan wanita di hadapnnya.
"Ck! Kau tidak pulang?" Jelas itu usiran secara halus.
"Megusir ku hm?" Aiden bertanya dengan mengangkat sebelas alisnya, wajahnya benar-benar berhadapan dengan Savana.
Savana mengerjapkan matanya guna menyadarkan keterpesonaannya, pahatan tuhan begitu sempurna di hadapannya. Sudah pasti pria di depannya itu penggoda ulung.
"Terpesona hm?"
*****"Kau tak mau menurutinya huh? Ini permintaan anak mu kalo kau lupa!" Sentak Jenni, merenggut kesal ke arah Arka.Pria yang berstatus suaminya itu menghela nafas kasar, kepalanya rasanya ingin pecah seharian di rumah meladeni wanita hamil ini. Niat ingin menghindari wartawan, eh... ternyata di rumah lebih membuatnya pusing."Mau apa?" Tanya Arka pada akhirnya ia akan menuruti wanita hamil ini agar diam.Jenni mendengus kecil, pria di depannya ini tetap tidak bisa bersikap sewajarnya. Irit bicara dan bermuka datar. "Ck! Aku tadi melihat di televisi anak kecil tengah memakan ice cream." Meskipun masih kesal tapi Jenni tetap mengutarakan keinginannya."Lalu?" Ucapan Jenni terlalu berbelit Arka kurang menangkap maksudnya."Aku ingin menyentuh pipi gembul anak itu!!" Pekik Jenni dengan rengekan. Arka melongo di tempat."K-kau tak ingin ice creamnya saja?" Tawar Arka. Ayolah... anak kecil yang Jenni maksud itu seorang artis cilik yang sekarang tengah berlibur di Jepang. Kenapa ia tau? Jela
Setelah menerima telfon dari Aiden yang bertanya tentang ia bekerja, lalu setelah Savana menjawab 'iya' pria itu langsung mematikkan sambungannya. Awalnya Savana menggerutu kesal karena Aiden hanya berbasa-basi dan tak bertanya banyak hal seperti biasa.Tepat setelah Savana selesai mengatai Aiden Ben masuk dengan senyum menggodanya."Ekhem! Perjanjian dengan klien kali ini termasuk strategi si pria untuk bisa terus dekat dengan si wanita ya." Ucap Ben seolah dia tengah bercerita.Savana mengernyit mendengar itu. "Maksud mu apa? Jika tidak penting kau tau pintu keluar dimana kan?" Sungguh mood Savana sedang kesal gara-gara telfon sialan dari Aiden.Pria itu telah membawanya terbang dengan harapan tinggi, dan menjatuhkannya dengan harapan palsu.Menyebalkan.Bukannya takut mendengar usiran penuh penekanan dari Savana, Ben malah terus berjalan mendekat dengan senyum mengejek. Setelah itu ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan ponselnya tepat di wajah Savana.Di ponsel Ben Savana melih
Savana duduk di sofa yang ada di ruangan Aiden. Badannya bersandar di sandaran sofa. Emosinya masih belum stabil, nafas Savana masih memburu. Ia kesal, ia ingin marah. "Maafkan Diana, dia memang aku suruh untuk tidak membiarkan orang sembarangan masuk ke ruangan ku." Ujar Aiden. Ia tau wanita di depannya ini tengah kesal. Emosi Savana perlahan luruh. Kenapa barusan ia marah seperti layaknya seorang kekasih yang ingin di bujuk. Apa yang dia lakukan barusan! Savana menegakkan badannya. Dan duduk dengan benar, "Tidak. Itu salah ku. Ah ya, aku kesini membawa ini." Savana menyodorkan dokumen biru yang memerlukan tanda tangan pria itu. "Sebentar," sebelum mengambil dokumen yang Savana sodorkan, Aiden beranjak ke arah mejanya. Mungkin saja membawa pulpen. Ternyata bukan. Aiden kembali dengan Jas pria itu. "Pakai ini untuk menutupi paha mu nona." Savana menerima Jas milik Aiden. Ia sedikit salah tingkah dengan perhatian kecil Aiden. Ia kira pria itu akan mengatakan yang tidak-tidak men
Sejak dimana Savana mengantarkan dokumen biru, dan berakhir dengan mood buruk. Savana menjauhi Aiden sejak hari itu, ia harus mengantisipasi perasaannya yang berbahaya. Beruntung tidak ada yang perlu di bahas dengan pria itu. Jadi Savana menjalani hari-harinya dengan tenang. Dan sejak itu juga Aiden tak menemuinya, padahal mereka tidak janjian untuk saling jauh-jauhan. Tapi tak apa, menurut Savana itu semua adalah keberuntungan baginya. "Ben, apakah aku harus datang nanti malam?" Tanya Savana di tengah lamunannya. Ben yang tengah fokus menge- cek dokumen menoleh sekilas ke arah Savana, "ini jam kerja kalo anda lupa." Seru Ben kembali fokus dengan pekerjaannya. "Ck! Apa susahnya tinggal jawab, toh aku sendiri yang memulai!" Begini nih yang Savana kesal mengenai kesepakatan tentang teman dan kerja. Ia tak bisa leluasa berbicara santai dengan Ben. "Saya banyak pekerjaan nona, dan saya tak ada waktu untuk menemani galau- mu." Seru Ben, setelah itu ia keluar meninggalkan Savana yang
"Ambil saja nona." Savana menyerahkan dress yang Jenni inginkan dengan sedikit kasar. "And... saya bukan sahabat mu, atau teman mu atau apapun itu. So? Jangan sok dekat ya." Ucap Savana tenang, tangannya merapikan dress wanita itu yang sedikit kusut. Bahkan Ben yang notabenenya seorang pria beringsut takut melihat sikap tenang Savana, yang berkali-kali lipat lebih menakutkan daripada wanita itu meneriakinya dengn raut wajah marah. Jenni tersenyum kecil, "uhh... aku menyukai Savana yang sekarang." Setelah mengatakan itu ia beranjak pergi dengan dress pilihan Savana. "Saya memilih yang ini! Bungkuskan cepat!" Ujar Savana dingin, wajahnya datar tanpa exspresi, ia memilih dress yang pertama di rekomendasikan oleh karyawati. Ekor mata Savana tak lepas dari pergerakan Jenni yang tengah membayar hingga keluar dari butik tantenya. "Ahrggghhhhh... WANITA ITU!! Kenapa harus bertemu disini." Pekik Savana kesal yang di akhiri lirihan frustasi. Kalo sudah begini Ben tidak takut lagi, ia mende
Dengan anggun Savana berjalan melewati tangga menuju pintu utama. Tangannya di apit Ben sejak di parkiran tadi. Suara flash kamera dan juga lampu lighting berhasil ia lewati dengan dagu terangkat dan kepercayaan dirinya. "Aku tidak menyesal menjadi teman gandeng mu." Bisik Ben di sela-sela derap langkah mereka. Savana hanya memutar bola matanya malas, pasalnya Ben lah yang membuatnya malu selama berjalan di area media. Pria itu terus tebar pesona dengan gaya yang berlebihan. Sungguh Savana ingin mendorong pria itu agar menjauh tadi, tapi ia urungkan demi image ia sendiri. Publik sudah tau Ben itu teman dekat Savana jadi mereka tidak kaget lagi. Ckrek! Ckrek! Ckrek! Suara flash di belakangnya lebib heboh di banding saat ia lewat tadi. Sontak Ben dan Savana menoleh kebelakang. "Timing yang pas sekali bukan?" Kekeh Savana, sedangkan Ben yang di sebelahnya sudah bermuka masam. "Ck! Ayolah perut ku sudah meronta berteriak meminta asupan!" Seru Ben sedikit merengek. Karena ia tahu
Savana menerima uluran itu, "Savana Valerie. Salam kenal." Menampilkan senyum simpul ke arah pria yang bernama Rayn itu. "Ah ya, hampir lupa!" Savana menepuk kepalanya pelan, lalu melirik meja yang tadi ia incar, "karena semua meja hampir penuh, saya dan teman saya ingin bergabung dengan kalian apa boleh?" Tanya Savana dengan nada baik-baik. Karena ia tak ber- exspetasi juga akan bertemu dengan orang-orang di masalalunya. Mata Savana melirik satu-satu mereka berempat, terakhir Savana sedikit mengunci tatapan Arka yang sulit di artikan. Begitu pun Arka, dia juga sudah menjadi masalalu Savana. Savana memutuskan kontak matanya dengan pria itu lalu tersenyum lebar ke mereka semua, "boleh kan?" Serunya sekali lagi. "Boleh saja nona Valerie." Hanya Rayn yang menjawab dengan raut wajah cerah. Irene sedikit menyikut perut suaminya, "mm... apa ya? Seperti ada yang kurang." Irene sedikit mengangkat genggaman suaminya, lalu matanya menatap lengan Savana yang memang kosong. Semua itu tak lu
"Ekhem! Maaf, kau siapanya sahabat ku ya?" Tanya Jenni di tengah-tengah perdebatan Rayn dan Aiden. Savana mengerjapkan matanya, spechless dengan yang Jenni pertanyakan. Sebegitu susah kah untuk diam dan tidak mencampuri urusannya. Jujur saja Savana benar-benar sudah muak dengan wajah tak berdosanya. "Aku bertanya!" Sentak Jenni karena orang-orang di depannya hanya diam. "Diam! Dan tak usah banyak tingkah." Desis Arka yang tengah menahan diri untuk tidak emosi. Ia kesal dengan Jenni yang banyak tanya, dia juga kesal dengan pria yang terus menempel terhadap Savana. Savana tak menghiraukannya ia lebih tertarik terhadap makanan yang ada di meja. "Ekhem! Ekhem! Kakak ipar, dia bertanya!!" Seru Irene tepat di sebrang Savana. Sebenarnya ia juga sama penasarannya ah bukan dia saja, semuanya penasaran tentang status mereka. "Boleh aku kasih tau?" Savana mengangkat alisnya bingung saat Aiden bertanya seperti itu. Aiden terus menatap dalam Savana, ia berharap wanita di depannya ini mau bek