Aku merindukan Cheril, tangan kecilnya selalu menghapus air mataku. Padahal baru beberapa hari berpisah, kerinduan sudah menumpuk seperti ini. Sedang apa anak itu? Apakah bahagia bersama ayahnya? Lipatan baju bocah itu aku taruh di lemari, pakaian lusuh bekas Zila. Apakah Kak Afrizal memberikan baju baru untuk Cheril? Aku sangat penasaran kabar mereka. "Kalau udah lipetin baju cepat beresin dapur, ibu sudah selesai makan." Perintah Mas Malik. Aku segera menutup pintu lemari, berjalan cepat mendekat ke Mas Malik. Pria itu sedang membersihkan gigi dengan lidi. Tadi aku membuat opor ayam. "Mas dapat SMS dari Cheril nggak?" "Untuk apa anak itu SMS?""Aku ngasih nomor Mas kalau seumpama ayahnya Cheril tidak menerima anak itu dan minta dijemput." "Jadi kamu nunggu SMS dari mantan?" "Nggaklah, Mas. Lagian yang pegang Hp kan Mas. Bukan aku." Sikap cemburunya tidak berdasar. Walaupun itu tanda bahwa dia mencintaiku, tapi terkadang membuat sebal. Seakan mencari kesalahan supaya bisa mar
Cengkraman tangannya masih sangat kuat, tidak berbelas kasih sedikitpun kepada istrinya yang sedang hamil. Aku merintih kesakitan, mataku berkaca-kaca. Kadang aku bertanya dalam hati, meskipun tidak ada cinta apakah ada kasih darinya untukku? Maksudku, selain pada bayi kita. Bohong jika aku berkata tidak butuh cinta darinya. Semua istri ingin dicintai suaminya. Mendapatkan kasih sayang yang pantas bukan sikap cuek dan kasar setiap hari. Semua istri pasti menginginkan hal itu."Iya, aku pindah." Cengkraman tanganku dilepaskan, napas Mas Malik memburu. Menahan emosi. Bersyukur dia tidak menampar seperti biasanya. Sejak kehamilan masuk ke usia tujuh bulan, aku merasa dia lebih berhati-hati dalam memperlakukan diriku. Untuk anak kita, bukan istrinya. Ibu mertua tersenyum sinis sebelum berbalik, mereka pergi. Tak habis pikir kenapa aku mau tetap berharap bahwa hubungan keluarga ini akan membaik. Belum lahir saja anakku sudah mendapatkan perlakuan tak adil. Malam harinya aku membereskan
Di halaman rumah keluarga Bagaskara banyak pengawal berjaga, tidak menyapa Rizal yang duduk di tangga teras ditemani angin malam. Matanya melihat ke langit. Awan hitam di antara bulan yang hampir hilang. Sebentar lagi memasuki bulan suci ramadhan. Sejak dibawa oleh Husna dan Yuno, tangisan Cheril tetap tidak berhenti. Dia merengek minta dipulangkan ke ibunya. Terlihat jelas bahwa bocah itu kecewa pada Rizal, tidak mengharapkan bersama lagi seperti sebelumnya. Husna mengusir Rizal keluar supaya Cheril mau berhenti menangis. Masih ditenangkan dan Rizal menunggu di luar rumah selama berjam-jam. Tidak berani masuk meskipun ingin membawa Cheril pulang ke apartemen. "Bang," panggil Yuno. Pria yang sudah dia anggap adik itu mendekat, duduk di sampingnya. Ikut merasakan angin malam. "Gimana Cheril?" "Dia udah tidur bareng Husna. Biarin malam ini dia nginep di sini." Rizal mengembuskan napas berat, kepalanya menunduk. Melihat lantai di antara dua kakinya. Dia sangat menyesal. "Suer, ak
Ingatan tentang Om Malik yang selalu marah dan ketus ketika dia tidak membereskan rumah. Mungkin Ayah juga seperti itu. Dia ingat ketika minta bando ke Ayah, seperti perkataan ibu dan Om Anton. Tidak boleh merepotkan ayah, nanti ayah tidak menerima dia.Mereka baru bertemu, seharusnya ia tidak minta apapun, bisa bersama Ayah selama sebulan kedepan saja seharusnya dia sudah bersyukur. Jadi, sebenarnya sikap ketus ayahnya kemarin karena dia merepotkan? Pasti karena dia minta bando. Cheril merasa bersalah. Dia harus maaf kepada ayahnya dan tidak akan mengulangi lagi. Apakah jika seperti itu ayahnya akan menerima dia?"Elil mau Ayah." Meskipun kemarin meronta ingin pulang ke ibu, tapi rasa rindunya ke ayah masih begitu besar. Sebenarnya belum ingin berpisah. Apalagi jika pulang tidak tahu kapan lagi bisa bertemu ayah. Dia berjanji akan lebih rajin bersih-bersih dan tidak akan merepotkan. Juga tidak akan minta bando yang mirip punya Zila. Supaya ayah mau menerimanya.Kalau sampai Ayah me
Bagai cahaya yang menyinari dunianya, pelukan hangat dari ayah. Permintaan maafnya, serta bando yang diberikan. Semuanya terasa menghapus rasa sedih dan kecewa. Harapan untuk menghabiskan waktu bersama sampai ramadhan kembali bersinar. Cheril senang dan sekarang memberikan senyum terbaiknya untuk Ayah. "Ayo pulang," ucap Rizal. Cheril mengangguk, bocah itu menoleh ke belakang. Ada Husna yang mengamati mereka. Melihat dengan rasa terharu, lalu memberikan senyum. "Makasih sudah menemani Cheril." Kata Rizal. "Asih Tante.""Sama-sama, kalian hati-hati di jalan."Husna melambaikan tangan, ia ikut terharu melihat ayah dan anak itu mengungkapkan isi hatinya. Rizal mengangkat Cheril, menggendong bocah itu keluar rumah dengan tangan kanan. Sementara tangan kirinya memegang tote bag putih berisi bando. Semalaman tidak tidur, mencari toko yang buka bahkan membangunkan kenalannya. Mencari bando yang diinginkan Cheril, supaya anak itu mau memaafkannya. Tidak disangka malah Cheril yang duluan
Bubur ayam ditambah, tidak terlalu banyak. Mungkin takut tidak habis. Cheril segera makan lagi, menghabiskan bubur ayam dengan lahap.Bi Sarah sudah selesai makan dan membersihkan kulkas sembari menunggu Cheril selesai. Mengeluarkan buah yang sudah tidak segar. Biasa dibungkus untuk dibawa pulang dan mengganti dengan buah baru. Setelah Cheril selesai makan dia mandi, diberikan baju bagus yang dibeli di mall kemarin. Bajunya dari Lampung benar-benar dibuang. "Ayah Non tidak membelikan mainan apapun, ya?" tanya Bi Sarah. Dia mencari sesuatu yang bisa digunakan Cheril untuk bermain. Rambut Cheril sudah disisir, sekarang memakai bando cantik yang ayahnya belikan. Dia memang tidak pernah bermain, jadi tidak tahu harus main apa. "Nonton TV." Kata Cheril.Sewaktu disuruh menunggu Rizal menyuruhnya nonton TV, dia juga suka nonton kartun. Di rumah Om Malik Cheril selalu mencuri kesempatan lihat kartun setiap Zila datang. "Nonton TV terus nggak baik, bentar Bibi carikan mainan."Bi Sarah k
Angin berembus menerbangkan helain rambutku, Mas Malik meminjam mobil kakak iparnya. Kami menuju ke Menggala, kabupaten Tulang Bawang rumah bibi dan pamanku. Besok adalah hari pertama puasa, mau ziarah ke makan orang tuaku sekaligus nenek kakek Mas Malik. Kampung halaman Mas Malik dari pihak Ayah ada di Tulang Bawang. Keluarga Mas Malik kenal dekat dengan paman dan bibi karena orang tua mereka pernah satu sekolah. Lalu memperkenalkan kami, menjodohkan kami yang katanya cocok. "Kenapa ibu nggak mau ikut, Mas?" tanyaku. "Jaga rumah." Mata Mas Malik fokus melihat ke jalan, sebenarnya dia punya motor. Biasanya kami ke Menggala atau ke daerah lain berboncengan. Namun hari ini dia bersikeras untuk meminjam mobil. Katanya takut kandunganku yang sudah memasuki usia ke sembilan kenapa-napa. Perhatiannya terkadang membuatku luluh, berpikir mungkin masih ada kebaikan dan rasa sayang darinya. Melunturkan sikap kasar yang selama ini telah menyakiti perasaanku. "Kalau Bapak, lebaran tahun ini
Sesampainya di rumah paman dan bibi, Mas Malik langsung disambut, garis bawahi bahwa yang disambut hanyalah Mas Malik. Bukan diriku. "Assalamualaikum." Sapaku dan Mas Malik berbarengan."Waalaikumsalam.""Harusnya kemarin kita ke sini, tapi karena repot baru bisa sekarang." Ungkap Mas Malik. Padahal kemarin ketika aku ajak ke sini dia bilang malas berangkat malam saja, biar tidak perlu menginap katanya. Sore ke makam dan langsung pulang. Jadi kami berangkat tengah malam. Dan di sini hanya siang hari. Ibu mertua juga mengomel kalau sampai kami menginap, katanya lebih baik berangkat malam dari pada menginap di rumah orang. "Kami nunggu dari pagi, Bibi sudah masakin gule kambing." Bibi sangat antusias dan senang. Paman dan bibi memiliki dua anak, semuanya kerja di Jakarta. Mereka masih muda dan belum menikah. Bilqis bekerja sebagai SPG dan Nazir sebagai satpam. Pulang ke Lampung hanya saat lebaran. "Makasih, Bik." Kami masuk dan makan siang bersama, shalat dzuhur lalu Mas Malik ng