Langit sore menampilkan awan jingga, angin mengalir ringan menerpa rambut Hana ketika berbalik pergi meninggalkan dirinya. Wanita yang masih ada di dalam hati itu akan pergi kepada suaminya, tidak akan pergi bisa dia gapai sekalipun mencoba bersudut minta maaf.
"Lebaran nanti aku cuma pingin bakar ayam bareng kakak. Trus main kembang api."Ungkapnya dulu, lebaran pertama yang mereka lalui. Rizal mengusap pucuk kepala Hana dengan lebut, mencondongkan tubuhnya menyeimbangkan wajah mereka. Lalu tersenyum."Aku akan membelikan kamu baju lebaran.""Nggak usahlah, Kak. Mending uangnya disimpen atau nggak buat beli makanan.""Itu udah aku siapin, pokoknya aku ingin membelikan baju lebaran buat kamu. Hijab yang cantik dan mukena.""Mukena kayak seperangkat alat shalat aja. Hahaha."Kalimat yang disangka candaan oleh Hana itu ternyata Rizal sungguh memberikan seperangkat alat shalat. Suatu hari nanti dia ingin menghalalkan Hana menjadi istri. Itu yang ada di pikiran Rizal.Lebaran yang mereka lalui bersama 5 tahun lalu sangat berkesan, Hana ke masjid memakai mukena putih yang dia belikan. Baju baru berupa gamis berwarna merah muda yang cantik. Suatu hari dia ingin memakaikan hijab kepada Hana setelah menjadi istrinya.Ntah bagaimana ceritanya dia menyerah mencari Hana setelah sukses, terlalu sulit sampai berpikir Hana tidak di Lampung lagi. Dia menyesal berhenti mencari dan ternyata Hana sudah menjadi milik orang lain."Ayah," panggil anak kecil itu. Menarik celana Afrizal."Namamu siapa?"Pria itu berjongkok, menyeimbangkan tubuh dengan tinggi si balita."Elil," jawabnya sembari tersenyum. Sangat cantik mirip dengan Hana."Sekarang Om belum tahu kamu anaknya Om atau bukan, jadi jangan panggil Ayah. Nanti orang salah paham."Wajah anak itu terlihat sedih, matanya berkaca-kaca. Sangat berbeda dengan wajah ceria ketika pertama kali mereka bertemu. Suasana menjadi hening dan rasa bersalah menyusup kedalam hatinya.Mungkin, anak ini sudah menganggapnya ayah dan memang sangat ingin bertemu seperti perkataan Hana."Ayah benci Elil, ya?"Pertanyaan itu membuat Rizal semakin merasa bersalah, disusul air mata balita yang mengalir. Menetes di bajunya yang kusut."Nggak, nggak gitu. Yaudahlah, panggil Ayah juga nggak papa. Ayo sekarang ikut Om, eh Ayah."Mereka berjalan meninggalkan area mushola, membawa tas ransel milik Cheril ke kantor WterSun Group. Rizal harus mengambil tas kantor dan mengirim pesan ke Yuno tidak bisa menunggu hasil keputusan rapat.Di kantor, suasana nampak berbeda. Banyak orang yang berbisik melihat Sekretaris pribadi Presdir membawa seorang balita.Wajah Cheril tampak kagum melihat kemegahan gedung kantor, matanya melihat sekeliling sebelum mereka masuk ke dalam lift.Mereka berpapasan dengan Marsha. Wanita cantik dengan pipi sedikit tembem itu melihat Rizal dengan terkejut."Adik manis ini siapa?"Cheril menolak dipegang Marsha, malah bergelayut di kaki Rizal. Ketakutan. Sementara pria itu bingung mengatakan siapa Cheril."Ayah, Elil akut."Mendengar itu Marsha tampak terkejut. "Eh, Ayah?""Maaf, kami harus pulang sekarang."Pria itu berjalan melewati Marsha tanpa menjelaskan apapun. Segera mengambil barang-barangnya dengan cepat dan mengirim pesan ke Yuno. Mengeluarkan kunci mobilnya dan menggendong Cheril supaya lebih cepat meninggalkan kantor. Tidak tahan dengan bisakan orang."Mobil Ayah bagus." Anak itu menempelkan tangannya di kaca ketika Rizal memakaikan sabuk pengaman."Kamu sudah makan belum?"Cheril menggeleng, tidak ada waktu untuk memberi anak ini makan. Rumah sakit akan segera tutup, jadi Rizal hanya mengeluarkan roti dari tasnya. Membukakan bungkus dan diberikan kepada Cheril."Makan ini dulu, nanti aku kasih makan yang bener."Melihat roti diulurkan kepadanya, membuat mata bocah itu bersinar seperti tidak pernah makan roti sebelumnya. Dia duga anak itu sangat lapar."Asih Ayah." Roti segera diambil dan dimakan dengan lahap. Selainya sampai belepotan di bibir.Rizal hanya menggelengkan kepala dan menghidupkan mesin mobil, segera ke rumah sakit untuk tes DNA. Dia harus tahu apakah anak ini hasil kesalahannya atau bukan.Jika terbukti Cheril adalah anaknya, maka dosanya sangat besar karena meninggalkan mereka. Tidak bisa dibayangkan betapa menderitanya Hana menanggung semuanya sendirian selama ini.Tapi, jika bukan. Berarti Hana telah menipunya. Untuk apa? Apa karena sekarang dia sudah sukses maka akan dimanfaatkan? Rizal tidak akan pernah memaafkan orang yang mempermainkan dirinya. Sekalipun itu Hana."Ayo turun," ucapnya ketika mobil berhenti di parkiran rumah sakit."Ayah, minum."Dia tidak punya minum. "Nanti aku belikan minum."Pintu mobil dibuka, mengeluarkan Cheril dari sana dan menggendong ke dalam. Mengelap bibir bocah itu yang belepotan."Elil suka digendong Ayah."Bocah itu melingkarkan tangannya di leher Rizal. Tidak paham bahwa Rizal masih meragukannya. Belum mengakui bahwa Cheril putri. Wajah balita itu bersinar bahagia padahal hanya dia gendong.Dalam hati Rizal masih berkata bahwa dia tidak mungkin berzina, mencium Hana saja tidak pernah. Dia begitu menjaga diri meskipun dekat. Sekalipun dalam pengaruh alkohol, tidak mungkin hilang kendali sepenuhnya. Apa mungkin Hana menjebaknya?Segala proses dilakukan, perawat berkata bahwa hasil akan diketahui tiga minggu lagi. Rizal menggebrak meja, meminta hasil tes lebih cepat berapapun biayanya."Pokoknya saya minta secepatnya!""Tapi--""Anda bilang ke direktur atau saya hentikan pendanaan pada rumah sakit ini?" Ancamnya.Urusan donatur adalah kuasanya, dia bebas memberikan donasi ke beberapa rumah sakit, panti asuhan dan panti jompo. Yuno sama sekali tidak mengurusi hal tersebut."Ayah malah ma Elil?" tanya bocah itu ketakutan.Padahal tadi ketika darahnya diambil, bocah itu tidak mengeluh sedikitpun, hanya memejamkan mata seperti perkataan suster."Nggak, kamu jangan nangis. Malu sama orang." Rizal menurunkan oktaf nadanya lebih lembut.Balita itu terlanjur mengeluarkan air mata, sesenggukan menahan tangis."Baiklah, Pak. Seminggu lagi insyaallah hasil tes sudah bisa keluar. Kami akan bekerja lebih cepat karena WterSun Group donatur terbesar rumah sakit ini."Rizal berdiri, menggandeng Cheril yang menangis keluar dari ruangan tanpa berkata terima kasih. Wajahnya masam.Anak itu masih sesenggukan ketika menuju KFC. Mereka harus makan sebelum magrib. Namun jika Cheril terus menangis seperti ini, Rizal ragu membawanya ke sana. Pasti menjadi pusat perhatian apalagi tempat ini tidak jauh dari kantor."Jangan nangis dong, kamu mau aku beliin apa?"Rizal berjongkok, menyeimbangkan tubuh mereka, tepat di parkiran."Ayah jang ukul Elil.""Aku tidak mungkin memukulmu."Mendengar itu Cheril mengusap air matanya dengan tangan, dia masih sesenggukan. Padahal dia hanya menggebrak meja, tidak memukul orang. Sikap Cheril seperti anak yang sering mendapat pukulan."Janji?""Janji," jawab Rizal mengulurkan jari kelingkingnya. Disambut Cheril yang masih sesenggukan.Kali ini Rizal berubah pikiran, dia harus memberikan makanan bergizi kepada anak kecil. Bukan makanan cepat saji.Mereka kembali ke mobil, bersiap pulang ke rumah. Lebih baik memesan delivery. Lewat ponsel Rizal memesan beberapa menu, memilih steak sapi dan tumis sayur campur. Terlihat di gambar ada brokoli, udang dan lainnya. Setahunya itu cocok untuk gizi anak."Kamu kurus sekali, di rumahmu biasa makan apa?" tanya Rizal. Dia mulai menghidupkan mobil."Elil nggak punya lumah.""Om Alik itu siapa?""Ayahnya dede."Aneh, seharusnya Cheril memanggil ayah angkatnya bapak atau ayah atau papa. Bukan malah Om. Dan lagi menumpang? Tidak ada dalam keluarga kalimat menumpang meskipun mereka bukan kandung.Hembusan angin menerpa wajahku, desirannya lembut dan ringan. Rasa dingin menyerang dari samping, aku merekatkan jaket. Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Setelah muatan pisang diturunkan dan mendapat bayaran, kami pulang ke Lampung. Lampu Jakarta menyala terang seolah aktifitas terus berjalan meskipun tengah malam. Ingatanku terus tertuju pada kejadian tadi sore, Kak Afrizal tidak mengenaliku. Mungkin, dia memang sudah melupakan aku. Dada ini terasa nyeri, hampir 5 tahun berlalu sejak terakhir bertemu. Dia juga sudah sukses, pasti banyak wanita yang mendekati. Jadi untuk apa mengingat orang sepertiku? Tentu saja dia lupa. Bodohnya aku berharap dia masih ingat kenangan kita. "Cheril sudah ketemu Ayahnya, Han?" "Udah, Bang.""Apa ayahnya nerima dia?"Aku tidak tahu apakah Kak Afrizal akan menerima Cheril atau tidak, kalau pria itu belum berubah maka Cheril akan tetap diperlukan dengan baik. Jika tidak... bagaimana? "Aku cuma bisa berdoa, semoga ayahnya nerima Cheril setidak
Kapal sudah di depan mata, tanpa Cheril di sisiku rasanya sangat hening dan kosong. Padahal, dulu aku tidak menginginkan anak itu ada di dunia. Menyalahkan Tuhan, kenapa aku malah diberi anak yang tidak diinginkan?Akibat hamil dan tidak ingin menggugurkan kandungan, aku keluar dari kampus. Sepenuhnya bekerja untuk tabungan melahirkan. Paman dan bibi marah habis-habisan, menamparku dengan keras. Mengataiku pelacur dan anak tidak berguna. Aku menanggung semuanya tanpa menyebutkan nama Kak Afrizal sedikitpun. Percuma, kalau tahu diperkosa pun tidak ada guna. Malah menjadi aib bayiku. "Kamu istirahat saja di dalam, biar Abang yang bayarin." Bang Anton orang yang pengertian, tahu aku sangat lelah dengan kehamilan besar. Menyuruh istirahat di dalam dengan nyaman. Ada karpet dengan bantal di sana meski berbayar. "Nggak papa, Bang. Aku di luar saja." Padahal hanya 15 ribu, sebenarnya uangku masih utuh 20 ribu. Niatnya untuk membelikan Bang Anton rokok. Aku sudah menumpang tanpa membelik
Wajah balita itu tampak berbinar melihat makanan yang Rizal hidangkan. Duduk di kursi meja makan dengan kaki yang terus bergerak. Senyuman merekah setiap Rizal membuka bungkusan dan menaruh di piring. Sendok dan garpu sudah berada di tangan Cheril, cuci tangan pun juga sudah. Perutnya yang lapar semakin berselera karena mencium aroma enak dari daging. Sesekali Cheril melirik ayahnya, orang yang sangat dia rindukan. Ia jadi ingat rasa iri setiap melihat Zila digendong ayahnya. "Kamu itu aib keluarga, dasar anak haram." Ucap Ayah Zila saat menggendong Zila menuju motor. Sampai sekarang Cheril tidak tahu apa arti kata anak haram. Semua anggota keluarga Malik menjuluki dirinya anak haram dan pembawa sial. "Cila, anak halam itu apa? Nenek, om Alik, ibumu cama ayahmu ilang Elil anak halam." Cheril bertanya sembari mengelap meja, sebisanya asal tidak berdebu kata ibu. Sementara Zila mainan boneka Barbie sembari duduk di sofa. "Anak halam itu nggak punya ayah, nggak pelnah digendong Ay
Jarum jam terus berdetak, sekarang sudah pukul setengah delapan malam. Cheril sudah tidak kuat makan lagi. Buah anggur itu disingkirkan, tinggal separuh. "Elil kenyang, Yah.""Kalau kenyang ya sudah, jangan dimakan lagi. Tunggu setengah jam habis itu mandi." TV dinyalakan, di putar channel Donal bebek. Cheril menonton TV dengan antusias, duduk si sofa yang empuk dengan lampu menyala terang. Sementara itu Rizal pergi ke ruang kerja, mengecek email dari Yuno hasil dari rapat di Singapura. Harus segera diproses. Dari pintu yang tidak ditutup, Cheril berdiri. Tidak berani meminta meski sudah hampir jam sembilan malam. Dia mengantuk, ingin tidur. Tapi badannya lengket dan belum mandi."Yah...." Anak itu memanggil dengan lirih.Rizal menoleh ke jam dinding, tidak sadar sudah malam. Terbiasa hidup sendiri dia lupa bahwa sekarang ada Cheril yang harus diurus. "Ya ampun, lupa." Berkas yang berserakan di meja ditinggal, dia beranjak menghampiri bocah yang matanya sudah mengantuk tersebut.
Rapat berjalan normal, tidak ada yang aneh. Rizal mencatat hal penting selama rapat. Proyek pembangunan apartemen di daerah Bekasi, Yuno jelaskan dengan rinci. Lalu melimpahkan tugas ke beberapa orang mumpuni yang bisa menjalankan dengan baik. Hari itu semua berjalan lancar, mereka istirahat untuk shalat jumat. Berkali-kali Rizal melihat ke ponselnya. Penyelidikan tentang Hana dan Cheril belum juga ada hasil. Katanya, Dimas sedang berusaha. Minimal hari senin besok datanya akan lengkap. Setelah shalat jumat, Rizal berjalan beriringan dengan Yuno menuju kantor. Di belakang dan depan ada beberapa pengawal, penjagaan Presdir WterSun Group sangatlah ketat. "Kudenger ibumu minta dijenguk?" tanya Yuno, dia mengancingkan kemejanya. Langit cerah dengan awan putih, udara panas menyengat mereka rasakan ketika sedang berjalan. Menambah volume keringat membasahi kemeja."Aku tidak akan datang. Membiayai rumah sakit dan menjamin hidupnya itu sudah cukup."Seorang ibu yang meninggalkannya ketik
Pekerjaan menumpuk dan harus lembur, ada rasa tidak nyaman di hati Rizal. Pikiran yang terus berkecamuk di benak. Hana dan Cheril. Rasa cemburunya hingga membuat hati nurani memudar. Andai Hana datang tanpa status memiliki suami, mungkin ia akan menerima Hana sekalipun wanita itu sudah memiliki dua anak. Tidak peduli siapa ayah dari anak-anak Hana. Pukul satu malam Rizal pulang ke rumah, membuka kamar Cheril. Terlihat bocah kecil itu tidur dengan ditemani Bi Sarah yang menginap. Perlahan Rizal menutup pintu kembali, kepalanya bersender di sana. Memejamkan mata, mengingat bahwa dia tidak memiliki orang tua sejak kecil. Tidak tahu arti dari keluarga. Tiba-tiba ada anak kecil yang terus memanggilnya ayah, bagaimana dia tidak terkejut? Wajar jika berpikir bahwa semua ini hanya tipuan. Lebih menyakitkan lagi yang menipu adalah Hana, wanita yang dia cintai.Pagi harinya dia berangkat ke kantor lagi, wajah Cheril tampak sedih. Dia tahu bocah itu sangat ingin diperhatikan olehnya. "Elil
"Kami akan membeli sepatu," ucap Rizal. Mengelus punggung Cheril yang memeluknya. Bocah itu terang-terangan tidak menyukai Marsha. "Aku temenin, yuk. Aku tahu banyak soal fashion." Marsha tersenyum. Rizal mengangguk dan berjalan menuju toko, kali ini mereka bertiga memilih sepatu. Wajah Cheril cerah kembali setelah mendapat sepatu baru berwarna merah muda yang cantik. Dipilihkan langsung oleh Rizal.Bocah itu senang bukan karena sepatunya, melainkan wajah tersenyum Rizal ketika memakaikan sepatu baru. Hal yang sering dia lihat ketika ayahnya Zila menjemput. Mamakaikan sepatu lalu menggendong, sekarang dia juga merasakan hal yang sama. "Elil suka, Yah." Senyumannya lebar. Berhambur memeluk Rizal. Dia menyukai momen ini, keinginannya tercapai. "Sekarang kan sudah ada sepatu, kamu jalan sendiri jangan minta gendong." Rizal melapaskan pelukan Cheril. Membuat wajah bocah itu sedih kembali."Ayah nggak suka gendong Elil?" tanyanya."Bukan gitu, tapi capek dari tadi gendong terus. Janga
Cheril bingung dengan sikap ayahnya yang tiba-tiba berubah, belanjaan sudah didapatkan. Mereka berkeliling mencari hal lain. Ada bando cantik berwarna merah muda. Memakai ikat rambut dan bandok bagus adalah keinginannya, dia mendongak ke atas. Rizal tampak sibuk memakaikan ponsel sembari berjalan. "Yah, ngin itu." Cheril menarik ujung baju Rizal. Mencoba mendapatkan perhatian Rizal. "Apa?" Arah telunjuk Cheril menunjuk toko pernak-pernik, ada bando cantik dan segala ikat rambut di sana. Mirip punya Zila yang selalu dipamerkan padanya. Akan sangat menyenangkan jika Cheril bisa memilikinya juga. "Nanti aja beli itu, sekarang temui teman Om dulu."Bukan ayah tapi Om, Rizal menarik tangan Cheril menjauh dari toko itu, segera menghampiri Yuno dan Husna yang sudah menunggu. Mereka naik eskalator, menuju lantai 7. Sekali lagi Cheril melihat bando yang tidak jadi dibeli, dia menurut mengikuti Rizal membawanya naik. Tak apa, katanya nanti beli itu. Dia percaya ayahnya tidak akan berbohon