Share

6. Anakku atau Bukan

Langit sore menampilkan awan jingga, angin mengalir ringan menerpa rambut Hana ketika berbalik pergi meninggalkan dirinya. Wanita yang masih ada di dalam hati itu akan pergi kepada suaminya, tidak akan pergi bisa dia gapai sekalipun mencoba bersudut minta maaf.

"Lebaran nanti aku cuma pingin bakar ayam bareng kakak. Trus main kembang api."

Ungkapnya dulu, lebaran pertama yang mereka lalui. Rizal mengusap pucuk kepala Hana dengan lebut, mencondongkan tubuhnya menyeimbangkan wajah mereka. Lalu tersenyum.

"Aku akan membelikan kamu baju lebaran."

"Nggak usahlah, Kak. Mending uangnya disimpen atau nggak buat beli makanan."

"Itu udah aku siapin, pokoknya aku ingin membelikan baju lebaran buat kamu. Hijab yang cantik dan mukena."

"Mukena kayak seperangkat alat shalat aja. Hahaha."

Kalimat yang disangka candaan oleh Hana itu ternyata Rizal sungguh memberikan seperangkat alat shalat. Suatu hari nanti dia ingin menghalalkan Hana menjadi istri. Itu yang ada di pikiran Rizal.

Lebaran yang mereka lalui bersama 5 tahun lalu sangat berkesan, Hana ke masjid memakai mukena putih yang dia belikan. Baju baru berupa gamis berwarna merah muda yang cantik. Suatu hari dia ingin memakaikan hijab kepada Hana setelah menjadi istrinya.

Ntah bagaimana ceritanya dia menyerah mencari Hana setelah sukses, terlalu sulit sampai berpikir Hana tidak di Lampung lagi. Dia menyesal berhenti mencari dan ternyata Hana sudah menjadi milik orang lain.

"Ayah," panggil anak kecil itu. Menarik celana Afrizal.

"Namamu siapa?"

Pria itu berjongkok, menyeimbangkan tubuh dengan tinggi si balita.

"Elil," jawabnya sembari tersenyum. Sangat cantik mirip dengan Hana.

"Sekarang Om belum tahu kamu anaknya Om atau bukan, jadi jangan panggil Ayah. Nanti orang salah paham."

Wajah anak itu terlihat sedih, matanya berkaca-kaca. Sangat berbeda dengan wajah ceria ketika pertama kali mereka bertemu. Suasana menjadi hening dan rasa bersalah menyusup kedalam hatinya.

Mungkin, anak ini sudah menganggapnya ayah dan memang sangat ingin bertemu seperti perkataan Hana.

"Ayah benci Elil, ya?"

Pertanyaan itu membuat Rizal semakin merasa bersalah, disusul air mata balita yang mengalir. Menetes di bajunya yang kusut.

"Nggak, nggak gitu. Yaudahlah, panggil Ayah juga nggak papa. Ayo sekarang ikut Om, eh Ayah."

Mereka berjalan meninggalkan area mushola, membawa tas ransel milik Cheril ke kantor WterSun Group. Rizal harus mengambil tas kantor dan mengirim pesan ke Yuno tidak bisa menunggu hasil keputusan rapat.

Di kantor, suasana nampak berbeda. Banyak orang yang berbisik melihat Sekretaris pribadi Presdir membawa seorang balita.

Wajah Cheril tampak kagum melihat kemegahan gedung kantor, matanya melihat sekeliling sebelum mereka masuk ke dalam lift.

Mereka berpapasan dengan Marsha. Wanita cantik dengan pipi sedikit tembem itu melihat Rizal dengan terkejut.

"Adik manis ini siapa?"

Cheril menolak dipegang Marsha, malah bergelayut di kaki Rizal. Ketakutan. Sementara pria itu bingung mengatakan siapa Cheril.

"Ayah, Elil akut."

Mendengar itu Marsha tampak terkejut. "Eh, Ayah?"

"Maaf, kami harus pulang sekarang."

Pria itu berjalan melewati Marsha tanpa menjelaskan apapun. Segera mengambil barang-barangnya dengan cepat dan mengirim pesan ke Yuno. Mengeluarkan kunci mobilnya dan menggendong Cheril supaya lebih cepat meninggalkan kantor. Tidak tahan dengan bisakan orang.

"Mobil Ayah bagus." Anak itu menempelkan tangannya di kaca ketika Rizal memakaikan sabuk pengaman.

"Kamu sudah makan belum?"

Cheril menggeleng, tidak ada waktu untuk memberi anak ini makan. Rumah sakit akan segera tutup, jadi Rizal hanya mengeluarkan roti dari tasnya. Membukakan bungkus dan diberikan kepada Cheril.

"Makan ini dulu, nanti aku kasih makan yang bener."

Melihat roti diulurkan kepadanya, membuat mata bocah itu bersinar seperti tidak pernah makan roti sebelumnya. Dia duga anak itu sangat lapar.

"Asih Ayah." Roti segera diambil dan dimakan dengan lahap. Selainya sampai belepotan di bibir.

Rizal hanya menggelengkan kepala dan menghidupkan mesin mobil, segera ke rumah sakit untuk tes DNA. Dia harus tahu apakah anak ini hasil kesalahannya atau bukan.

Jika terbukti Cheril adalah anaknya, maka dosanya sangat besar karena meninggalkan mereka. Tidak bisa dibayangkan betapa menderitanya Hana menanggung semuanya sendirian selama ini.

Tapi, jika bukan. Berarti Hana telah menipunya. Untuk apa? Apa karena sekarang dia sudah sukses maka akan dimanfaatkan? Rizal tidak akan pernah memaafkan orang yang mempermainkan dirinya. Sekalipun itu Hana.

"Ayo turun," ucapnya ketika mobil berhenti di parkiran rumah sakit.

"Ayah, minum."

Dia tidak punya minum. "Nanti aku belikan minum."

Pintu mobil dibuka, mengeluarkan Cheril dari sana dan menggendong ke dalam. Mengelap bibir bocah itu yang belepotan.

"Elil suka digendong Ayah."

Bocah itu melingkarkan tangannya di leher Rizal. Tidak paham bahwa Rizal masih meragukannya. Belum mengakui bahwa Cheril putri. Wajah balita itu bersinar bahagia padahal hanya dia gendong.

Dalam hati Rizal masih berkata bahwa dia tidak mungkin berzina, mencium Hana saja tidak pernah. Dia begitu menjaga diri meskipun dekat. Sekalipun dalam pengaruh alkohol, tidak mungkin hilang kendali sepenuhnya. Apa mungkin Hana menjebaknya?

Segala proses dilakukan, perawat berkata bahwa hasil akan diketahui tiga minggu lagi. Rizal menggebrak meja, meminta hasil tes lebih cepat berapapun biayanya.

"Pokoknya saya minta secepatnya!"

"Tapi--"

"Anda bilang ke direktur atau saya hentikan pendanaan pada rumah sakit ini?" Ancamnya.

Urusan donatur adalah kuasanya, dia bebas memberikan donasi ke beberapa rumah sakit, panti asuhan dan panti jompo. Yuno sama sekali tidak mengurusi hal tersebut.

"Ayah malah ma Elil?" tanya bocah itu ketakutan.

Padahal tadi ketika darahnya diambil, bocah itu tidak mengeluh sedikitpun, hanya memejamkan mata seperti perkataan suster.

"Nggak, kamu jangan nangis. Malu sama orang." Rizal menurunkan oktaf nadanya lebih lembut.

Balita itu terlanjur mengeluarkan air mata, sesenggukan menahan tangis.

"Baiklah, Pak. Seminggu lagi insyaallah hasil tes sudah bisa keluar. Kami akan bekerja lebih cepat karena WterSun Group donatur terbesar rumah sakit ini."

Rizal berdiri, menggandeng Cheril yang menangis keluar dari ruangan tanpa berkata terima kasih. Wajahnya masam.

Anak itu masih sesenggukan ketika menuju KFC. Mereka harus makan sebelum magrib. Namun jika Cheril terus menangis seperti ini, Rizal ragu membawanya ke sana. Pasti menjadi pusat perhatian apalagi tempat ini tidak jauh dari kantor.

"Jangan nangis dong, kamu mau aku beliin apa?"

Rizal berjongkok, menyeimbangkan tubuh mereka, tepat di parkiran.

"Ayah jang ukul Elil."

"Aku tidak mungkin memukulmu."

Mendengar itu Cheril mengusap air matanya dengan tangan, dia masih sesenggukan. Padahal dia hanya menggebrak meja, tidak memukul orang. Sikap Cheril seperti anak yang sering mendapat pukulan.

"Janji?"

"Janji," jawab Rizal mengulurkan jari kelingkingnya. Disambut Cheril yang masih sesenggukan.

Kali ini Rizal berubah pikiran, dia harus memberikan makanan bergizi kepada anak kecil. Bukan makanan cepat saji.

Mereka kembali ke mobil, bersiap pulang ke rumah. Lebih baik memesan delivery. Lewat ponsel Rizal memesan beberapa menu, memilih steak sapi dan tumis sayur campur. Terlihat di gambar ada brokoli, udang dan lainnya. Setahunya itu cocok untuk gizi anak.

"Kamu kurus sekali, di rumahmu biasa makan apa?" tanya Rizal. Dia mulai menghidupkan mobil.

"Elil nggak punya lumah."

"Om Alik itu siapa?"

"Ayahnya dede."

Aneh, seharusnya Cheril memanggil ayah angkatnya bapak atau ayah atau papa. Bukan malah Om. Dan lagi menumpang? Tidak ada dalam keluarga kalimat menumpang meskipun mereka bukan kandung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mbak Lina
Cheril udah ketemu papa tapi papa masih ragu... tapi papa dak jahat kok
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status