Home / Rumah Tangga / Kami Tanpa Kamu / 5. Tidak Tahu Apapun, Sungguh!

Share

5. Tidak Tahu Apapun, Sungguh!

Author: Ka Umay
last update Last Updated: 2022-12-20 14:21:15

Pintu lift terbuka, Rizal dan karyawan lain keluar menuju lobby. Gedung WterSun Group sangat tinggi dan luas, megah dari depan. Suatu kebanggaan bisa menjadi bagian dari WterSun Group. Dulu, Rizal ingin menjadi karyawan karena harus menjaga Yuno seperti janjinya. Tak disangka sekarang dia sangat bangga memiliki tanda pengenal karyawan WterSun Group yang tercantel di leher.

Fotonya terpajang dengan senyum merekah, foto yang tidak dia ganti sejak berumur 22 tahun. Dari mulai karyawan magang, lalu menjadi karyawan tetap, setelah Yuno lulus S2 dan menjadi direktur di bagian WterSun food. Afrizal langsung menjadi sekretaris pribadi.

Satu tahun kemudian Yuno menjadi presiden direktur, jabatannya pun ikut naik. Selalu di samping Yuno dan mengatasi semua masalah bersama. Terkadang juga menjadi juru bicara mewakili Yuno.

"Husna, ngapain ke sini?" Gumamnya.

Di ujung sana, dia melihat istri Yuno. Orang yang dia hormati setelah Yuno. Beberapa waktu lalu terjadi kecelakaan hingga mengakibatkan Husna keguguran. Luka Yuno kehilangan anak juga menjadi lukanya.

"Maaf Nyonya, Tuan Yuno sedang rapat di Singapur. Satu jam lagi baru kembali, apakah Nyonya mau menunggu di ruangannya?"

Rizal bertanya dengan penuh hormat, di sini banyak karyawan yang mengawasi. Meski hubungan mereka bertiga di luar WterSun Group adalah sahabat. Tetap saja harus formal ketika di kantor dan di depan orang lain.

"Sudah ashar, temani aku shalat, yuk."

Yuno memang tidak salah memilih istri, Husna sangat cantik dan berbudi baik. Wanita berhijab itu mengajaknya shalat.

Di depan kantor ada mushola, tidak lebar tapi cukup terawat dan bersih. Yuno yang mendanai pembangunannya satu tahun lalu supaya pegawai WterSun Group bisa shalat di sana dengan leluasa. Dia yang memberi saran itu.

"Kalau aku menjadi imammu nanti Yuno marah." Bisiknya.

Mendengar ucapannya, Husna tertawa. Dia mengibaskan tangan ke depan.

"Baiklah, Nyonya. Saya akan menemani anda. Mari." Rizal mengulurkan tangan ke depan. Mempersilakan.

Husna berjalan di depannya, diikuti beberapa pengawal. Pengawalan nyonya WterSun Group semakin ketat sejak keguguran. Mereka berjalan kaki menyebrang jalan menuju mushola.

"Hati-hati," ucap Rizal menjaga Husna menyebrang.

Sesampainya di mushola, pengawal perempuan membantu Husna wudhu. Tangannya masih sakit akibat kecelakaan kemarin. Rizal menjadi imam. Shalat dibagi dua kloter.

Selesai shalat Husna mengijinkan pengawal shalat juga, bersedia menunggu di depan mushola. Samping beduk. Ditemani olehnya. Bercerita banyak hal tentang masa kecil di Lampung.

"Sebentar lagi bulan puasa, ini lebaran pertamamu bareng dan keluarga Bagaskara."

"Lebaran pertama setelah menikah. Kapan kamu nikah?" tanya Husna.

"Hahaha belum nemu yang cocok."

"Aku denger dari Yuno katanya Marsha suka sama kamu."

"Ntah, dia terlalu ambisius aku tidak suka wanita kayak gitu."

"Trus kamu carinya yang kayak apa? Kalau ada kenalanku yang cocok nanti aku kenalin, biar lebaran kamu punya gandengan."

"Makasih deh makasih, tapi nggak perlu. Lebaranku pasti juga gitu-gitu aja. Nggak terlalu penting."

Tiba-tiba seorang perempuan dengan anak kecil datang, menghampiri mereka dengan wajah lelah.

"Ayah!" Anak kecil itu berlari ke Rizal, memeluk kakinya.

"Kamu siapa? Kenapa manggil saya Ayah?"

Ada wanita yang bersama anak kecil itu. Melepas sandal dan menghampiri mereka. Memakai daster bunga dan sepertinya sedang hamil tua.

"Kakak lupa sama aku?" tanya wanita itu kepada Rizal.

"Siapa ya?"

"Ya ampun, aku adik kelas kakak di UNILA. Lima tahun lalu tepat acara wisuda Kakak nginep di kosan ku. Masak lupa."

Jantung Rizal seakan berhenti berdetak melihat gadis yang dia rindukan selama ini. Wajahnya tidak ceria seperti dulu, jauh berbeda sampai dia tidak mengenalinya terlebih sedang hamil besar.

Memang tidak mungkin bagi wanita berumur 24 tahun masih single. Melihat kenyataan itu membuat dadanya terasa nyeri.

"Oh ya Hana? Ada apa tiba-tiba ke sini?"

Mulutnya terasa bodoh, seharusnya menanyakan kabar atau basa-basi. Malah bertanya langsung seperti tidak pernah dekat. Dalam hati pria berjas hitam itu merutuki dirinya sendiri.

"Huh, aku cari Kakak dari bertahun-tahun lalu. Akhirnya ketemu juga. Itu anakmu, sebentar lagi aku akan melahirkan jadi susah mengurus Cheril."

Anak? Mata Rizal melihat ke bawah. Balita perempuan itu tersenyum padanya. Memang sangat mirip. Tapi bagaimana bisa dia memiliki anak jika tidak pernah membuatnya?

Sementara itu pandangan Husna melirik tajam dan merendahkan, tidak hanya Husna namun juga semua pengawal yang ada di sana.

"Ini nggak seperti yang Nyonya pikirkan." Rizal mencoba membela diri.

Tidak ada yang percaya dengan ucapannya, tatapan penuh sumpah serapah masih mereka berikan.

"Kalau Kakak nggak percaya Cheril anak Kakak, tes aja DNA. Aku cuma nitip beberapa bulan aja kok selama melahirkan. Suamiku udah nunggu di mobil, barang-barang Cheril juga udah aku bawa semua dari Lampung."

"Tunggu tunggu ... aku memang pernah menginap di kosanmu karena tidak sengaja minum alkohol. Tapi kamu nggak bilang kalau kita gituan."

Saat itu dia memang mabuk akibat salah minum, temannya menjahili akibat dia mendapat predikat tertinggi nilai IPK dan menjadi mahasiswa paling unggul.

Dia tahu bahwa Hana menolongnya dan membawa ke kosan, merawatnya dengan baik sampai sadar. Tidak mungkin dia hilang kendali sampai berzina. Terlebih Hana tidak menolak, hal itu sangat mustahil.

"Iyalah, orang Kakak pagi-pagi langsung pergi."

"Elil kangen Ayah." Anak itu menggelayut di kakinya.

Pengawal yang tadi shalat sudah keluar, Husna menepuk bahu Afrizal. Memandang ke bawah kepada anak perempuan imut berusia sekitar 3 atau 4 tahun. Lalu beralih ke tersenyum kepada Hana.

"Ck ck ck. Aku duluan, permisi." Ucap Husna.

"Ini sungguh tidak seperti yang anda bayangkan, Nyonya." Teriak Rizal.

Husna tidak peduli, pergi menuruni anak tangga dan memakai sepatu. Bersama pengawal keluar dari area mushola.

Tas ransel ditaruh Hana, melihat ke arah pria yang tidak mengakui anaknya.

"Aku sungguh hanya akan menitipkan sampai melahirkan, kalau Kakak tidak mau mengakui Cheril sebagai anak. Tolong jaga dia sebagai anak dari teman Kakak di masa lalu sampai lebaran nanti.

"Cheril sangat merindukan ayahnya, hanya lebaran ini. Tolong habiskan waktu bersama Cheril. Setelah itu kalau Kakak tidak ingin melihat kami lagi. Aku siap tidak akan muncul sedikitpun di hadapan kakak lagi."

"Bukan gitu, Hana. Kalau memang Cheril anakku. Kenapa kamu tidak memberitahu dari dulu? Kamu tahu sifatku, aku pasti akan bertanggung jawab."

Air mata Hana menetes begitu saja, wajahnya melihat ke samping. Menghapus air matanya yang jatuh tiba-tiba. Padahal dari tadi dia terlihat sangat kuat.

Lalu kedua tangannya memegang telinga Cheril, menutup supaya anak itu tidak mendengar percakapan mereka.

"Aku sudah mencoba mencari Kakak, tapi Jakarta itu luas. Aku tidak punya biaya untuk mencari pria yang memperkosaku lalu pergi begitu saja."

Ungkapan Hana membuatnya sangat terkejut, dia sungguh tidak bisa mengingat apa yang terjadi malam itu. Tidak menyangka sedikitpun bahwa dia telah menghamili Hana dan memiliki anak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mbak Lina
............ sedih.... banget
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kami Tanpa Kamu    105. Tamat

    Wajah pria di hadapanku banyak berubah, tak ada sorot arogan seperti dulu. Tatapan merendahkan pun menghilang ntah ke mana. Aku ingat pakaian yang dia kenakan hari ini, dipakai untuk menikahiku 9 tahun yang lalu. Warnanya sudah sedikit memudar. "Tolong jangan libatkan Ramaniya, aku akan menerima segala kemarahanmu," ujar Mas Malik. Aku melihat betapa Mas Malik menyayangi Ramaniya, dari dulu memang ia peduli dengan anaknya. Selalu semangat setiap USG. Mas Malik membenciku, tapi tidak dengan Ramaniya. Dia memperlakukan Ramaniya selayaknya anak yang sangat berharga. "Aku akan membawa Ramaniya ke lantai atas, di sana ada Husna." Kak Afrizal mengangkat Ramaniya ke dalam gendongan, membawa anak itu menjauh dari kami. Aku tak menyangka sedikitpun Kak Afrizal mengkhianatiku seperti ini. Padahal berulang kali aku bilang tidak akan memberitahu Ramaniya tentang Mas Malik. Ternyata di belakang, Kak Afrizal malah berkomplot dengan Mas Malik, tatapanku tajam melihat Kak Afrizal naik tangga. "J

  • Kami Tanpa Kamu    104. Kenyataan Ramaniya

    Mata Ramaniya melihat tangga, menunggu Rizal yang tak kunjung kembali. Matanya beralih ke pesanan Rizal yang sudah mulai dingin."Ayahku ke mana ya, kok lama banget?" tanya Ramaniya, terlihat gelisah karena ayahnya tak kunjung kembali. "Mungkin dia lagi ngomongin kerjaan, nanti juga balik." "Ayah nggak pernah ninggalin Niya lama kayak gini." Anak itu terlihat khawatir.Dari kecil Rizal memperlakukan Ramaniya dengan baik, tentu menerima orang baru sebagai ayah adalah hal yang sulit. Dulu, Cheril juga sangat ingin diperlakukan baik olehnya. Tapi tak pernah sekalipun ia berbaik hati menerima Cheril. Saat Cheril bertemu ayah kandungnya, ia langsung lengket karena sebelumnya tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah. Jauh berbeda dengan Ramaniya yang sejak kecil dilimpahi kasih sayang seorang ayah yang luar biasa seperti Rizal. "Mas Malik?" Mendengar panggilan itu Malik langsung menoleh, ada Hana yang menatapnya terkejut. Sementara Hana tak menyangka bertemu Malik di sini, ia h

  • Kami Tanpa Kamu    103. Bando Nia

    Mereka berjalan beriringan menuju restoran Husna yang terletak tak jauh dari sana, ingin rasanya digandeng oleh Ramaniya sama seperti Rizal. Tapi apa daya, sekarang yang Ramaniya tahu Rizal ayahnya, bukan dia. Malik menjadi sangat serakah saat bertemu Ramaniya, padahal dia tahu bahwa ia tidak boleh minta lebih. Rizal mengizinkannya bertemu Ramaniya saja, seharusnya dia sudah bersyukur. Sesampainya di sana, mereka segera memesan. Ramaniya terlihat santai tanpa curiga apapun, tertawa bersama Rizal ketika mengingat adiknya suka ayam goreng dan berniat membawakan untuk oleh-oleh. "Dek Harzan juga suka yang ada kriuknya," kata Ramaniya. "Siapa Harzan?" tanya Malik. Rizal segera menjawab, "anak ketigaku. Adiknya Cheril dan Ramaniya." Ah, ternyata Rizal dan Hana sudah punya anak lagi. Dari cara Rizal memperkenalkan, sepertinya tidak membedakan antara Ramaniya dan kedua anak kandungnya. Namun tetap saja, dia ingin Ramaniya diakui anak olehnya. Menyebut Ramaniya sebagai putrinya adalah

  • Kami Tanpa Kamu    102. Bertemu Nia

    Hari kamis Malik pergi ke kantor damkar, bertemu teman lama. Ia menggunakan koneksi dan predikat jasa untuk kembali ke tim. "Usiaku memang nggak semuda dulu, tapi aku masih sangat kuat, wali kota saja mengakui kemampuanku. Jadi tolong pertimbangan aku kembali ke tim." Kepala kantor yang dulu satu tim dengannya itu terlihat berpikir. Melihat dari kaki sampai kepala Malik, badan Malik tinggi besar, cocok jadi pemadam kebakaran, hanya saja usianya yang jadi masalah. "Kami memang membutuhkan orang, biar kami diskusikan dulu." "Aku tunggu kabar baiknya," kata Malik bersemangat."Iya, sudah lama nggak ketemu kita ngobrol di dalam."Malik mengangguk, dia berjalan melewati mobil pemadam kebakaran, dulu dia sangat bersemangat ketika menyelamatkan orang, dia peduli dengan orang lain dan sangat ramah. Ntah apa yang membuatnya menjadi jahat, mungkin karena keinginannya punya anak tidak terwujud, lalu Ratih sering marah-marah, ibu terus menuntut uang belanja lebih dan beberapa faktor lainnya.

  • Kami Tanpa Kamu    101. Rumah Malik

    Rumah yang dulu diisi dengan keceriaan sudah lama ditinggalkan, rumput ilalang memenuhi halaman, atapnya sudah banyak yang bocor, catnya dimakan usia, gerbangnya berkarat. Malik melangkahkan kaki ke teras, sangat kotor. Dulu dia memakai sepatu di sini, Cheril akan berlari mendekat. Anak itu menggelayut ingin digendong, tapi ia malah mendorongnya menjauh sembari mengucapkan kalimat kasar. Delapan tahun, waktu yang sangat lama untuknya, tapi bagi Hana dan Cheril mungkin baru kemarin, luka yang ia torehkan pada keduanya tidak mudah dihapus oleh waktu. "Seharusnya dulu aku memperlakukan kalian dengan baik," gumam Malik. Dia melangkah masuk, membuka pintu. Tikus berkeliaran disertai kecoa. Pasti butuh waktu lama untuk memperbaiki semua ini. Belum lagi rumah Tara dan Ihsan yang juga menjadi tanggung jawabnya. Setelah menemui Ramaniya, Malik berniat membawa ibu dan Zila, keluarganya kembali ke Bandar Lampung. Tapi sebelum itu ia harus memiliki pekerjaan dan membereskan rumah ini dulu. T

  • Kami Tanpa Kamu    100. Nazir

    Setelah menikah dengan Kak Afrizal, kehidupanku berubah drastis, aku menjadi ibu sosialita, berkumpul dengan istri teman kantornya Kak Afrizal, arisan bersama wali murid teman sekolahnya Cheril dan aku juga kuliah online hingga memiliki pengetahuan yang sama seperti mereka. Aku tidak pernah lagi kesusahan uang dan dipermalukan seperti saat di Lampung, aku juga tidak pernah berhubungan dengan keluarga Bibi lagi. Hingga, sekarang ada Nazir di depanku, sepupu ku, anaknya Bibi yang bekerja di Jakarta dan aku abaikan selama beberapa tahun ini. "Kalau punya suami kaya, seharusnya kamu bisa bantu aku naik pangkat. Bukannya menikmati semua kemewahan sendirian, kamu sangat tidak tahu tidak tahu terima kasih." Nazir menyeringai, aku memutar bola mata jengah. Memangnya satpam bisa naik pangkat menjadi apa? Polisi? Heran. Terlebih dia juga tidak bekerja di WterSun Group. Lebih heran lagi dia bisa menemukan keberadaanku, ternyata dia pindah bekerja tak jauh dari restoran milik Husna. Aku tida

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status