Share

7. Mempertahankan Janin

Hembusan angin menerpa wajahku, desirannya lembut dan ringan. Rasa dingin menyerang dari samping, aku merekatkan jaket. Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Setelah muatan pisang diturunkan dan mendapat bayaran, kami pulang ke Lampung.

Lampu Jakarta menyala terang seolah aktifitas terus berjalan meskipun tengah malam. Ingatanku terus tertuju pada kejadian tadi sore, Kak Afrizal tidak mengenaliku. Mungkin, dia memang sudah melupakan aku.

Dada ini terasa nyeri, hampir 5 tahun berlalu sejak terakhir bertemu. Dia juga sudah sukses, pasti banyak wanita yang mendekati. Jadi untuk apa mengingat orang sepertiku? Tentu saja dia lupa. Bodohnya aku berharap dia masih ingat kenangan kita.

"Cheril sudah ketemu Ayahnya, Han?"

"Udah, Bang."

"Apa ayahnya nerima dia?"

Aku tidak tahu apakah Kak Afrizal akan menerima Cheril atau tidak, kalau pria itu belum berubah maka Cheril akan tetap diperlukan dengan baik. Jika tidak... bagaimana?

"Aku cuma bisa berdoa, semoga ayahnya nerima Cheril setidaknya sampai lebaran."

"Pria yang udah ninggalin kamu pas hamil, tidak yakin bisa menerima anak itu. Apalagi Jakarta keras, bisa jadi Cheril malah ditelantarkan."

Tadi, aku memasukkan nomor telpon Mas Malik di ransel Cheril. Tertulis di sana jika Kak Afrizal tidak mau menerima Cheril maka aku minta menelpon nomor itu, biar aku jemput Cheril dari pada terlantar di Jakarta.

"Insyaallah nggak, Bang. Aku kasih nomor Mas Malik kalau dia tidak mau menerima Cheril. Nanti biar aku jemput Cheril lagi."

"Kamu ini hamil besar, wara-wiri ke Jakarta emang nggak takut kandunganmu kenapa-napa?"

"Takut sih, Bang. Tapi mau gimana lagi."

Benar, mau bagaimana? Aku sendirian menghadapi segalanya. Tidak ada yang menolong sekalipun sudah bersuami. Dari dulu memang seperti ini.

Andai orang tuaku masih hidup, apakah semua akan lebih baik? Ah, aku jadi meratapi nasib lagi. Padahal selama ini sudah mencoba tidak mengingat mereka.

"Walaupun Abang saudaranya Malik, tapi paham kalau dia bukan orang baik. Kamu hati-hati aja."

"Makasih, Bang."

Aku tahu Mas Malik bukan orang baik, gelagat jahatnya terlihat sejak aku hamil. Dia mengikatku lewat kehamilan ini dan menunjukkan sifat aslinya. Padahal dulu sebelum menikah Mas Malik menunjukkan kasih sayang kepada Cheril, membuatku berpikir bahwa ada harapan Cheril disayangi seorang ayah.

Meski ragu, aku tetap menerima lamaran Mas Malik. Apalagi Paman dan Bibi mendorongku supaya menerima lamarannya. Katanya tidak ada pria di dunia ini yang mau menerimaku yang punya anak di luar nikah.

"Apakah Cheril sekarang sudah tidur nyenyak dengan ayahnya?" gumamku sembari melihat ke samping.

Mobil masih melanju di jalan tol, sudah melewati Jakarta dan masuk ke daerah Banten.

Padahal baru beberapa jam berpisah, aku sudah merindukan Cheril, anak dengan senyum indah itu selalu menggandeng tanganku. Terlihat kuat menemani setiap penderitaan yang kami lalui.

Ingatanku kembali ke beberapa tahun yang lalu, saat ciuman Kak Afrizal pertama kali dilayangkan. Badan besar dengan tenaga yang kuat. Sekeras apapun mencoba melawan aku tidak sanggup menandinginya.

"Aku mohon, jangan.... "

Aku berusaha melindungi bajuku yang hendak dia robek. Satu hal yang paling aku takuti saat itu, yakni membencinya. Orang yang aku cintai dengan sepenuh hati dan kuanggap bisa melindungi. Merampas hal paling berharga yang aku jaga.

"Kenapa, apa kamu tidak menyukaiku?" tanyanya sembari mengunci pergelangan tanganku ke atas. Membiarkan kancing bajuku lepas.

"Aku tidak ingin membencimu, Kak. Tolong jangan seperti ini. Aku tidak memiliki apapun selain kehormatan sebagai wanita. Tolong jangan rebut itu dariku."

Aku menangis kencang, mencoba melawan namun percuma. Dia tidak mendengarkan sama sekali. Setan sudah menguasainya, mengambil kehormatanku dengan paksa sampai terasa sangat sakit. Tidak hanya rasa sakit fisik akibat perbuatannya tapi juga sakit hati. Perasaanku sangat terluka melebihi apapun.

Setelah apa yang dia lakukan, aku merasa sangat trauma. Mengunci diri di dalam kamar mandi selama berjam-jam. Tubuhku kotor, semuanya kotor, tidak pantas wanita sepertiku hidup di dunia. Tidak ada yang kumiliki lagi.

"Kamu tidak tahu sama sekali seberapa sakitnya aku."

Sekali lagi aku melihat ke lampu-lampu, perumahan di Banten dekat dengan labuhan. Ingatan masih menerawang ke masa suram itu.

Aku menyalahkan diri sendiri, kenapa membawa Kak Afrizal ke kosan? Kenapa aku tidak kuat menghentikan perbuatannya? Kenapa semua terjadi padaku? Bahkan aku sempat menyalahkan Tuhan yang tidak pernah memberikan kebahagiaan.

Saat itu aku sempat depresi, merasa semuanya kotor, bahkan jika tidak dihentikan oleh Diandra maka rambutku sudah habis aku potong.  Bersyukur ada Diandra yang menemani hingga aku tidak sampai bunuh diri.

Beberapa waktu berlalu, Kak Afrizal pergi ke Jakarta. Mungkin dia melarikan diri. Tak apa, aku juga belum sanggup bertemu dia lagi.

Namun malangnya, satu bulan kemudian aku merasa mual dan pusing. Diandra menyarankan untuk mencoba tespek. Tanganku bergetar menguji alat pipih panjang itu di kamar mandi.

Dua garis merah yang tampak jelas membuat tubuhku lemas, benda itu jatuh ke lantai. Kebingungan melanda, jantung berdebar kencang. Umurku masih 18 tahun dan bisa kuliah dengan susah payah.

Aku menangis dalam keheningan, tidak tahu harus berbuat apa. Hamil tanpa suami, cemooh orang-orang. Saat itu aku hanya menyalahkan Kak Afrizal yang meninggalkan diriku dalam keadaan sulit. Tuhan sangat tidak adil hingga terus memberikan penderitaan bertubi-tubi.

"Gugurkan saja, aku pinjami uang." Usul Diandra.

Aku hanya bisa menangis, tidak tahu harus bagaimana. Dalam pelukan Diandra, meluapkan segala rasa. Di dalam perutku sudah ada nyawa, anaknya Kak Afrizal. Bagaimana bisa aku membunuhnya?

"Tolong bantu nyari Kak Afrizal." Aku mengusap air mataku yang terus mengalir deras.

Dibantu Diandra, kami mencari dengan bertanya ke semua orang. Mencari nomor yang bisa dihubungi. Tapi sikap Kak Afrizal yang tertutup ditambah tidak memiliki teman membuat semuanya sangat sulit. Hanya satu yang aku tahu, bahwa dia ingin sekali kuliah S2 dan bekerja di Jakarta.

Tapi, Jakarta itu luas. Aku tidak ada biaya untuk menelusuri jejak Kak Afrizal di Jakarta.

"Sudahlah, gugurkan saja. Aku ada dua juta. Kamu pakai dulu nggak papa, bisa diganti kalau keadaanmu lebih baik." Diandra masih mengusulkan hal yang sama.

Aku pernah kehilangan keluarga, diabaikan Paman dan Bibi. Aku satu-satunya keluarga bayi ini setelah ditinggal ayahnya, Kak Afrizal. Apakah aku tega membuang dia dan tidak memberi kesempatan hidup?

"Aku nggak bisa, aku nggak tega. Bunuh bayi itu dosa. Aku takut."

Aku menangis kencang sembari jongkok.

"Terus kamu mau putus kuliah? Mau jadi apa kamu nanti? Sudah hamil di luar nikah dan miskin kayak gini."

Perkataan Diandra membuatku semakin kencang menangis, dari dulu hidupku memang sulit. Tidak pernah bahagia. Bayi ini memang salah satu dari sekian kesulitan. Mungkin, sekeras apapun aku mencoba keluar dari penderitaan memang tidak akan pernah berhasil.

"Aku akan putus kuliah dan merawat anak ini."

Keputusan yang membuat hidupku semakin berantakan. Diandra berbalik. Aku bisa melihat dia menghapus air matanya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mbak Lina
keputusan yang tepat Hana... bagaimanapun anak tidak bersalah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status