Hembusan angin menerpa wajahku, desirannya lembut dan ringan. Rasa dingin menyerang dari samping, aku merekatkan jaket. Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Setelah muatan pisang diturunkan dan mendapat bayaran, kami pulang ke Lampung.
Lampu Jakarta menyala terang seolah aktifitas terus berjalan meskipun tengah malam. Ingatanku terus tertuju pada kejadian tadi sore, Kak Afrizal tidak mengenaliku. Mungkin, dia memang sudah melupakan aku.Dada ini terasa nyeri, hampir 5 tahun berlalu sejak terakhir bertemu. Dia juga sudah sukses, pasti banyak wanita yang mendekati. Jadi untuk apa mengingat orang sepertiku? Tentu saja dia lupa. Bodohnya aku berharap dia masih ingat kenangan kita."Cheril sudah ketemu Ayahnya, Han?""Udah, Bang.""Apa ayahnya nerima dia?"Aku tidak tahu apakah Kak Afrizal akan menerima Cheril atau tidak, kalau pria itu belum berubah maka Cheril akan tetap diperlukan dengan baik. Jika tidak... bagaimana?"Aku cuma bisa berdoa, semoga ayahnya nerima Cheril setidaknya sampai lebaran.""Pria yang udah ninggalin kamu pas hamil, tidak yakin bisa menerima anak itu. Apalagi Jakarta keras, bisa jadi Cheril malah ditelantarkan."Tadi, aku memasukkan nomor telpon Mas Malik di ransel Cheril. Tertulis di sana jika Kak Afrizal tidak mau menerima Cheril maka aku minta menelpon nomor itu, biar aku jemput Cheril dari pada terlantar di Jakarta."Insyaallah nggak, Bang. Aku kasih nomor Mas Malik kalau dia tidak mau menerima Cheril. Nanti biar aku jemput Cheril lagi.""Kamu ini hamil besar, wara-wiri ke Jakarta emang nggak takut kandunganmu kenapa-napa?""Takut sih, Bang. Tapi mau gimana lagi."Benar, mau bagaimana? Aku sendirian menghadapi segalanya. Tidak ada yang menolong sekalipun sudah bersuami. Dari dulu memang seperti ini.Andai orang tuaku masih hidup, apakah semua akan lebih baik? Ah, aku jadi meratapi nasib lagi. Padahal selama ini sudah mencoba tidak mengingat mereka."Walaupun Abang saudaranya Malik, tapi paham kalau dia bukan orang baik. Kamu hati-hati aja.""Makasih, Bang."Aku tahu Mas Malik bukan orang baik, gelagat jahatnya terlihat sejak aku hamil. Dia mengikatku lewat kehamilan ini dan menunjukkan sifat aslinya. Padahal dulu sebelum menikah Mas Malik menunjukkan kasih sayang kepada Cheril, membuatku berpikir bahwa ada harapan Cheril disayangi seorang ayah.Meski ragu, aku tetap menerima lamaran Mas Malik. Apalagi Paman dan Bibi mendorongku supaya menerima lamarannya. Katanya tidak ada pria di dunia ini yang mau menerimaku yang punya anak di luar nikah."Apakah Cheril sekarang sudah tidur nyenyak dengan ayahnya?" gumamku sembari melihat ke samping.Mobil masih melanju di jalan tol, sudah melewati Jakarta dan masuk ke daerah Banten.Padahal baru beberapa jam berpisah, aku sudah merindukan Cheril, anak dengan senyum indah itu selalu menggandeng tanganku. Terlihat kuat menemani setiap penderitaan yang kami lalui.Ingatanku kembali ke beberapa tahun yang lalu, saat ciuman Kak Afrizal pertama kali dilayangkan. Badan besar dengan tenaga yang kuat. Sekeras apapun mencoba melawan aku tidak sanggup menandinginya."Aku mohon, jangan.... "Aku berusaha melindungi bajuku yang hendak dia robek. Satu hal yang paling aku takuti saat itu, yakni membencinya. Orang yang aku cintai dengan sepenuh hati dan kuanggap bisa melindungi. Merampas hal paling berharga yang aku jaga."Kenapa, apa kamu tidak menyukaiku?" tanyanya sembari mengunci pergelangan tanganku ke atas. Membiarkan kancing bajuku lepas."Aku tidak ingin membencimu, Kak. Tolong jangan seperti ini. Aku tidak memiliki apapun selain kehormatan sebagai wanita. Tolong jangan rebut itu dariku."Aku menangis kencang, mencoba melawan namun percuma. Dia tidak mendengarkan sama sekali. Setan sudah menguasainya, mengambil kehormatanku dengan paksa sampai terasa sangat sakit. Tidak hanya rasa sakit fisik akibat perbuatannya tapi juga sakit hati. Perasaanku sangat terluka melebihi apapun.Setelah apa yang dia lakukan, aku merasa sangat trauma. Mengunci diri di dalam kamar mandi selama berjam-jam. Tubuhku kotor, semuanya kotor, tidak pantas wanita sepertiku hidup di dunia. Tidak ada yang kumiliki lagi."Kamu tidak tahu sama sekali seberapa sakitnya aku."Sekali lagi aku melihat ke lampu-lampu, perumahan di Banten dekat dengan labuhan. Ingatan masih menerawang ke masa suram itu.Aku menyalahkan diri sendiri, kenapa membawa Kak Afrizal ke kosan? Kenapa aku tidak kuat menghentikan perbuatannya? Kenapa semua terjadi padaku? Bahkan aku sempat menyalahkan Tuhan yang tidak pernah memberikan kebahagiaan.Saat itu aku sempat depresi, merasa semuanya kotor, bahkan jika tidak dihentikan oleh Diandra maka rambutku sudah habis aku potong. Bersyukur ada Diandra yang menemani hingga aku tidak sampai bunuh diri.Beberapa waktu berlalu, Kak Afrizal pergi ke Jakarta. Mungkin dia melarikan diri. Tak apa, aku juga belum sanggup bertemu dia lagi.Namun malangnya, satu bulan kemudian aku merasa mual dan pusing. Diandra menyarankan untuk mencoba tespek. Tanganku bergetar menguji alat pipih panjang itu di kamar mandi.Dua garis merah yang tampak jelas membuat tubuhku lemas, benda itu jatuh ke lantai. Kebingungan melanda, jantung berdebar kencang. Umurku masih 18 tahun dan bisa kuliah dengan susah payah.Aku menangis dalam keheningan, tidak tahu harus berbuat apa. Hamil tanpa suami, cemooh orang-orang. Saat itu aku hanya menyalahkan Kak Afrizal yang meninggalkan diriku dalam keadaan sulit. Tuhan sangat tidak adil hingga terus memberikan penderitaan bertubi-tubi."Gugurkan saja, aku pinjami uang." Usul Diandra.Aku hanya bisa menangis, tidak tahu harus bagaimana. Dalam pelukan Diandra, meluapkan segala rasa. Di dalam perutku sudah ada nyawa, anaknya Kak Afrizal. Bagaimana bisa aku membunuhnya?"Tolong bantu nyari Kak Afrizal." Aku mengusap air mataku yang terus mengalir deras.Dibantu Diandra, kami mencari dengan bertanya ke semua orang. Mencari nomor yang bisa dihubungi. Tapi sikap Kak Afrizal yang tertutup ditambah tidak memiliki teman membuat semuanya sangat sulit. Hanya satu yang aku tahu, bahwa dia ingin sekali kuliah S2 dan bekerja di Jakarta.Tapi, Jakarta itu luas. Aku tidak ada biaya untuk menelusuri jejak Kak Afrizal di Jakarta."Sudahlah, gugurkan saja. Aku ada dua juta. Kamu pakai dulu nggak papa, bisa diganti kalau keadaanmu lebih baik." Diandra masih mengusulkan hal yang sama.Aku pernah kehilangan keluarga, diabaikan Paman dan Bibi. Aku satu-satunya keluarga bayi ini setelah ditinggal ayahnya, Kak Afrizal. Apakah aku tega membuang dia dan tidak memberi kesempatan hidup?"Aku nggak bisa, aku nggak tega. Bunuh bayi itu dosa. Aku takut."Aku menangis kencang sembari jongkok."Terus kamu mau putus kuliah? Mau jadi apa kamu nanti? Sudah hamil di luar nikah dan miskin kayak gini."Perkataan Diandra membuatku semakin kencang menangis, dari dulu hidupku memang sulit. Tidak pernah bahagia. Bayi ini memang salah satu dari sekian kesulitan. Mungkin, sekeras apapun aku mencoba keluar dari penderitaan memang tidak akan pernah berhasil."Aku akan putus kuliah dan merawat anak ini."Keputusan yang membuat hidupku semakin berantakan. Diandra berbalik. Aku bisa melihat dia menghapus air matanya.Kapal sudah di depan mata, tanpa Cheril di sisiku rasanya sangat hening dan kosong. Padahal, dulu aku tidak menginginkan anak itu ada di dunia. Menyalahkan Tuhan, kenapa aku malah diberi anak yang tidak diinginkan?Akibat hamil dan tidak ingin menggugurkan kandungan, aku keluar dari kampus. Sepenuhnya bekerja untuk tabungan melahirkan. Paman dan bibi marah habis-habisan, menamparku dengan keras. Mengataiku pelacur dan anak tidak berguna. Aku menanggung semuanya tanpa menyebutkan nama Kak Afrizal sedikitpun. Percuma, kalau tahu diperkosa pun tidak ada guna. Malah menjadi aib bayiku. "Kamu istirahat saja di dalam, biar Abang yang bayarin." Bang Anton orang yang pengertian, tahu aku sangat lelah dengan kehamilan besar. Menyuruh istirahat di dalam dengan nyaman. Ada karpet dengan bantal di sana meski berbayar. "Nggak papa, Bang. Aku di luar saja." Padahal hanya 15 ribu, sebenarnya uangku masih utuh 20 ribu. Niatnya untuk membelikan Bang Anton rokok. Aku sudah menumpang tanpa membelik
Wajah balita itu tampak berbinar melihat makanan yang Rizal hidangkan. Duduk di kursi meja makan dengan kaki yang terus bergerak. Senyuman merekah setiap Rizal membuka bungkusan dan menaruh di piring. Sendok dan garpu sudah berada di tangan Cheril, cuci tangan pun juga sudah. Perutnya yang lapar semakin berselera karena mencium aroma enak dari daging. Sesekali Cheril melirik ayahnya, orang yang sangat dia rindukan. Ia jadi ingat rasa iri setiap melihat Zila digendong ayahnya. "Kamu itu aib keluarga, dasar anak haram." Ucap Ayah Zila saat menggendong Zila menuju motor. Sampai sekarang Cheril tidak tahu apa arti kata anak haram. Semua anggota keluarga Malik menjuluki dirinya anak haram dan pembawa sial. "Cila, anak halam itu apa? Nenek, om Alik, ibumu cama ayahmu ilang Elil anak halam." Cheril bertanya sembari mengelap meja, sebisanya asal tidak berdebu kata ibu. Sementara Zila mainan boneka Barbie sembari duduk di sofa. "Anak halam itu nggak punya ayah, nggak pelnah digendong Ay
Jarum jam terus berdetak, sekarang sudah pukul setengah delapan malam. Cheril sudah tidak kuat makan lagi. Buah anggur itu disingkirkan, tinggal separuh. "Elil kenyang, Yah.""Kalau kenyang ya sudah, jangan dimakan lagi. Tunggu setengah jam habis itu mandi." TV dinyalakan, di putar channel Donal bebek. Cheril menonton TV dengan antusias, duduk si sofa yang empuk dengan lampu menyala terang. Sementara itu Rizal pergi ke ruang kerja, mengecek email dari Yuno hasil dari rapat di Singapura. Harus segera diproses. Dari pintu yang tidak ditutup, Cheril berdiri. Tidak berani meminta meski sudah hampir jam sembilan malam. Dia mengantuk, ingin tidur. Tapi badannya lengket dan belum mandi."Yah...." Anak itu memanggil dengan lirih.Rizal menoleh ke jam dinding, tidak sadar sudah malam. Terbiasa hidup sendiri dia lupa bahwa sekarang ada Cheril yang harus diurus. "Ya ampun, lupa." Berkas yang berserakan di meja ditinggal, dia beranjak menghampiri bocah yang matanya sudah mengantuk tersebut.
Rapat berjalan normal, tidak ada yang aneh. Rizal mencatat hal penting selama rapat. Proyek pembangunan apartemen di daerah Bekasi, Yuno jelaskan dengan rinci. Lalu melimpahkan tugas ke beberapa orang mumpuni yang bisa menjalankan dengan baik. Hari itu semua berjalan lancar, mereka istirahat untuk shalat jumat. Berkali-kali Rizal melihat ke ponselnya. Penyelidikan tentang Hana dan Cheril belum juga ada hasil. Katanya, Dimas sedang berusaha. Minimal hari senin besok datanya akan lengkap. Setelah shalat jumat, Rizal berjalan beriringan dengan Yuno menuju kantor. Di belakang dan depan ada beberapa pengawal, penjagaan Presdir WterSun Group sangatlah ketat. "Kudenger ibumu minta dijenguk?" tanya Yuno, dia mengancingkan kemejanya. Langit cerah dengan awan putih, udara panas menyengat mereka rasakan ketika sedang berjalan. Menambah volume keringat membasahi kemeja."Aku tidak akan datang. Membiayai rumah sakit dan menjamin hidupnya itu sudah cukup."Seorang ibu yang meninggalkannya ketik
Pekerjaan menumpuk dan harus lembur, ada rasa tidak nyaman di hati Rizal. Pikiran yang terus berkecamuk di benak. Hana dan Cheril. Rasa cemburunya hingga membuat hati nurani memudar. Andai Hana datang tanpa status memiliki suami, mungkin ia akan menerima Hana sekalipun wanita itu sudah memiliki dua anak. Tidak peduli siapa ayah dari anak-anak Hana. Pukul satu malam Rizal pulang ke rumah, membuka kamar Cheril. Terlihat bocah kecil itu tidur dengan ditemani Bi Sarah yang menginap. Perlahan Rizal menutup pintu kembali, kepalanya bersender di sana. Memejamkan mata, mengingat bahwa dia tidak memiliki orang tua sejak kecil. Tidak tahu arti dari keluarga. Tiba-tiba ada anak kecil yang terus memanggilnya ayah, bagaimana dia tidak terkejut? Wajar jika berpikir bahwa semua ini hanya tipuan. Lebih menyakitkan lagi yang menipu adalah Hana, wanita yang dia cintai.Pagi harinya dia berangkat ke kantor lagi, wajah Cheril tampak sedih. Dia tahu bocah itu sangat ingin diperhatikan olehnya. "Elil
"Kami akan membeli sepatu," ucap Rizal. Mengelus punggung Cheril yang memeluknya. Bocah itu terang-terangan tidak menyukai Marsha. "Aku temenin, yuk. Aku tahu banyak soal fashion." Marsha tersenyum. Rizal mengangguk dan berjalan menuju toko, kali ini mereka bertiga memilih sepatu. Wajah Cheril cerah kembali setelah mendapat sepatu baru berwarna merah muda yang cantik. Dipilihkan langsung oleh Rizal.Bocah itu senang bukan karena sepatunya, melainkan wajah tersenyum Rizal ketika memakaikan sepatu baru. Hal yang sering dia lihat ketika ayahnya Zila menjemput. Mamakaikan sepatu lalu menggendong, sekarang dia juga merasakan hal yang sama. "Elil suka, Yah." Senyumannya lebar. Berhambur memeluk Rizal. Dia menyukai momen ini, keinginannya tercapai. "Sekarang kan sudah ada sepatu, kamu jalan sendiri jangan minta gendong." Rizal melapaskan pelukan Cheril. Membuat wajah bocah itu sedih kembali."Ayah nggak suka gendong Elil?" tanyanya."Bukan gitu, tapi capek dari tadi gendong terus. Janga
Cheril bingung dengan sikap ayahnya yang tiba-tiba berubah, belanjaan sudah didapatkan. Mereka berkeliling mencari hal lain. Ada bando cantik berwarna merah muda. Memakai ikat rambut dan bandok bagus adalah keinginannya, dia mendongak ke atas. Rizal tampak sibuk memakaikan ponsel sembari berjalan. "Yah, ngin itu." Cheril menarik ujung baju Rizal. Mencoba mendapatkan perhatian Rizal. "Apa?" Arah telunjuk Cheril menunjuk toko pernak-pernik, ada bando cantik dan segala ikat rambut di sana. Mirip punya Zila yang selalu dipamerkan padanya. Akan sangat menyenangkan jika Cheril bisa memilikinya juga. "Nanti aja beli itu, sekarang temui teman Om dulu."Bukan ayah tapi Om, Rizal menarik tangan Cheril menjauh dari toko itu, segera menghampiri Yuno dan Husna yang sudah menunggu. Mereka naik eskalator, menuju lantai 7. Sekali lagi Cheril melihat bando yang tidak jadi dibeli, dia menurut mengikuti Rizal membawanya naik. Tak apa, katanya nanti beli itu. Dia percaya ayahnya tidak akan berbohon
Aku merindukan Cheril, tangan kecilnya selalu menghapus air mataku. Padahal baru beberapa hari berpisah, kerinduan sudah menumpuk seperti ini. Sedang apa anak itu? Apakah bahagia bersama ayahnya? Lipatan baju bocah itu aku taruh di lemari, pakaian lusuh bekas Zila. Apakah Kak Afrizal memberikan baju baru untuk Cheril? Aku sangat penasaran kabar mereka. "Kalau udah lipetin baju cepat beresin dapur, ibu sudah selesai makan." Perintah Mas Malik. Aku segera menutup pintu lemari, berjalan cepat mendekat ke Mas Malik. Pria itu sedang membersihkan gigi dengan lidi. Tadi aku membuat opor ayam. "Mas dapat SMS dari Cheril nggak?" "Untuk apa anak itu SMS?""Aku ngasih nomor Mas kalau seumpama ayahnya Cheril tidak menerima anak itu dan minta dijemput." "Jadi kamu nunggu SMS dari mantan?" "Nggaklah, Mas. Lagian yang pegang Hp kan Mas. Bukan aku." Sikap cemburunya tidak berdasar. Walaupun itu tanda bahwa dia mencintaiku, tapi terkadang membuat sebal. Seakan mencari kesalahan supaya bisa mar