"Hana?"
Langit membantin tapi gerak tubuhnya seperti tersentak.
"Ada apa, Dok?" tanya Rezky.
"Lho kok Dok. Panggil nama aja la, seperti biasa."
Langit berusaha sebiasa mungkin meski dadanya sedikit bergemuruh.
"Oke oke. Sorry."
"Kita bicara di sana, yuk," ajak Langit seraya menuntun sahabat lamanya menuju tempat lain. Ia dengan cepat membalikkan tubuh agar kehadirannya tidak diketahui Hana yang kini sudah selesai mengambil obat dan berjalan ke arah mereka meski pandangan tertuju ke bawah.
"Gimana kalau ke cafe aja, nyari tempat nongkrong? Udah lama 'kan nggak ketemu, sekalian nostalgia lah. Gimana?"
"Boleh. Udah nggak ada lagi jam dinas?" tanya Langit memastikan.
"Udah selesai."
"Oke ayo."
Langit dan Rezky keluar dari rumah sakit itu, sebelum menaiki mobil dua netra sang lelaki masih memerhati satu sosok yang kini menaiki sepeda motor. Setelah setahun lamanya, kini ia kembali dapat melihatnya. Dia yang pernah singgah di hati, tapi tidak untuk menetap.
Langit memejamkan mata, ia kemudian menatap bocah kecil yang didudukkan mantan istrinya di kursi belakang motor.
Hatinya seperti tertusuk melihat pemandangan itu. Bagaimanapun, Syaina adalah darah dagingnya, meski ada tanpa didasari rasa cinta.
Langit menarik napas, sebenarnya ia masih sangat penasaran dimana sang mantan istri beserta anaknya kini menetap. Tapi klaksok yang dibunyikan Rezky membuat Langit harus menahan diri untuk saat ini. Membiarkan wanita yang pernah mengisi hidupnya selama tiga tahun itu pergi begitu saja. Tapi ia berjanji akan kembali ke kota ini untuk mencaritahu semuanya.
*
Mereka duduk di sebuah Cafe di kawasan Pasar Pereng Sokanegara, sengaja memilih tempat itu karena sekaligus ingin menonton pertandingan sepakbola. Hobby yang sudah mengakar di dalam diri semenjak masih duduk di kelas satu taman kanak-kanak.
"Bagaimana karir di kota ini? Bagus?" tanya Langit mengawali.
"Alhamdulillah, lebih baik dari sebelumnya."
Rezky terdiam sejenak.
"Maaf aku sedikit tak percaya dengan kabar yang beredar di grup. Benar kamu dan istrimu bercerai?"
Langit tersenyum miring.
"Menurutmu apa gosip itu benar?"
"Aku berharap tidak, tapi siapa tahu kamu masih berharap bisa bersama Syarlina."
Langit kembali tersenyum.
"Aku dan Syarlina sudah bertunangan," jawabnya datar.
"Jadi benar berita itu?"
Rezky benar-benar tak menyangka.
"Kasihan istrimu, walau aku tak pernah melihatnya tapi kenapa rasa-rasa ini tak adil baginya ya?"
"Jika kamu kasihan, kenapa tak kamu jadikan saja dia istrimu?"
"You are kidding?"
"No, I'm serious. Dia wanita baik, hanya saja bukan jodohku. Soal sentuh menyentuh, aku hanya menyentuhnya sekali, itupun karena pengaruh obat yang salah kugunakan."
Rezky tertawa terbahak.
"Aku benar-benar tidak bisa percaya, kukira kisah seperti ini hanya ada dalam dunia novel. Nyatanya, ada di hidup sahabatku sendiri?"
Langit hanya bergeming.
"Oke, mana foto mantan istrimu."
Langit kini justru mendelik, padahal dia hanya bercanda tapi kenapa Rezky justru ingin melihat foto Hana?
"Kau serius?" tanyanya memastikan.
"Serius, Lang. Masih simpan nggak fotonya? Biar aku seleksi terlebih dahulu."
Ragu, tapi Langit mengeluarkan jua sebuah foto yang masih tersimpan di dompetnya.
"Hahaha ...."
.
Rezky kembali tertawa.
"Katamu kalian sudah bercerai, kenapa masih menyimpan fotonya?"
Ternyata yang ia bayangkan tak sesuai kenyataan. Tadinya Rezky hanya bercanda hanya untuk membuktikan bahwa Langit tak lagi menyimpan foto mantan istrinya. Tapi yang terjadi?
"Aku hanya menyimpan selembar, sebagai kenang-kenangan."
"Aku nggak percaya. Tebakanku kau mencintainya, seharusnya jangan bercerai."
"Tebakanmu salah. Aku tidak bisa mencintainya."
"Foto ini buktinya."
"Sudah kubilang itu hanya sebagai kenangan."
"Banyak mengelak kamu. Dasar dokter aneh."
"Siapa yang aneh, bukannya kamu yang aneh. Berapa umurmu sekarang?"
"Tiga puluh lima."
"Tiga puluh lima, mapan, dan tampan. Tapi tak jua menikah. Jangan-jangan kau penyuka sesama jenis."
Rezky kembali tertawa hingga beberapa perempuan di sekeliling mereka menoleh karena terkejut.
"Suaramu membuat wanita-wanita itu menoleh."
Rezky menahan tawa, lalu memandang ke sekeliling. Seorang wanita tampak tersenyum padanya.
"Kau selalu bisa membuatku tertawa. Ada gunanya juga kita berteman."
Langit hanya tersenyum dan memberikan foto di tangannya. Sementara itu, Rezky yang sudah berhasil menatap rupa wanita yang ada di foto tersebut seketika tampak tercengang.
"Kenapa? Kau langsung jatuh cinta?"
Rezky menarik napas berat. Ingatannya terlempar pada percakapan tadi pagi bersama salah satu pasien anak yang ia tangani. Syaina?
Jadi Hana adalah mantan istri Langit? batin Rezky berkata.
Lelaki itu membuang napas berat, entah kenapa tiba-tiba ia merasa marah dan kesal pada sahabatnya sendiri.
"Apa dari pernikahan kalian, kau punya seorang anak?"
Kali ini Langit mengangguk lemah.
"Apa kamu tidak menyayanginya?"
"Kenapa bertanya seperti itu?"
"Aku hanya penasaran, kenapa kamu tega menceraikan istrimu jika memang dia sudah memberi seorang anak?"
"Aku tidak bisa mencintainya? Bahkan setelah tiga tahun bersama. Cintaku hanya untuk Syarlina."
Rezky membuang napas dalam.
"Kupikir itu hanya ambisi. Kenapa tak berpikir dengan matang?"
"Sudah cukup kupikirkan. Hasilnya sama. Tak ada cinta di hatiku untuknya."
"Lalu, apa sekarang kamu bahagia dengan apa yang kamu pilih saat ini?"
"Entahlah, aku lupa cara bahagia."
Mereka terdiam beberapa waktu.
"Lang, bukan aku ingin menghakimimu. Tapi bagaimana jika anakmu saat ini sedang sakit dan dia selalu bertanya kenapa kamu tidak pernah menjenguknya?"
"Aku yakin dia pasti akan segera mendapat ayah baru."
"Tapi kamu ayah kandungnya."
"Rez, kau kenapa?"
Langit mulai tak suka dengan serangan yang ditujukan Rezky.
"Hah?"
Rezky terhenyak, dia sadar telah banyak sekali melempar pertanyaan.
"Maaf, sebagai dokter anak aku hanya prihatin jika kedua orang tua seorang bocah itu bercerai."
"Sebagai dokter, kamu cukup memikirkan bagaimana mereka sembuh jika mereka sakit. Tak perlu berpikir yang lain."
Resky tersenyum pahit. Tapi tiba-tiba sesuatu tertanam dalam sanubarinya, ia ingin memperistri Raihana dan akan menjadi ayah sambung yang baik untuk Syaina.
"Kembali ke pokok pembicaraan, bagaimana apa kamu tertantang untuk menjadikan mantan istriku sebagai istrimu?"
Rezky mengangkat pundak.
"Jika pun suatu saat aku akan menikahinya, tentu bukan karena tantanganmu. Tapi karena aku mencintainya."
Langit terhenyak, cinta? Ia merasa tersentil.
"Semoga saja hal itu terjadi, Hana berhak dicintai."
"Apa kamu tahu dimana dia saat ini?" tanya Rezky memastikan.
"Dia ada di kota ini."
"Dimana?"
"Aku belum tahu, tapi akan segera mencari tahu," jawab Langit tenang.
"Biar aku yang mencari tahu. Kamu tidak perlu repot-repot. Oya, karena sekarang dia adalah incaranku, kuharap kamu bisa sportif dengan tidak lagi menggarapnya kembali."
Langit terkekeh.
"Tidak akan pernah."
"Oke, aku pegang kata-katamu."
***
Bersambung.
Terima kasih sudah membaca
Jangan lupa Subsrcribe, like dan koment. Utamakan baca Al-Quran
Langit memegang kendali setir, perasaannya kembali mempertanyakan apakah sudah benar tindakannya menawarkan Hana pada Rezky. Jika memang Rezky serius dengan keinginannya itu, maka otomatis Syaina akan menjadi anak sambung Rezky. Dan Hana, mantan istrinya akan menajdi istri sah Rezky. Sahabatnya sendiri.Ah gila! Aku sudah gila menawarkan Hana untuk Rezky. Tapi, tadi itu aku cuma mau menyindirnya, kenapa Rezky justru serius dengan sindiranku itu? Sial!Dia kembali bergumam seorang diri. Entah apa yang dirasa hatinya, tapi sungguh membuatnya merasa tak nyaman.Keluar dari jalan menuju cafe, Langit membelokkan setir menuju jalan utama karena langsung akan balik ke Jakarta siang itu juga. Namun, sosok yang menari-nari di pikiran sedari tadi kembali terlihat. Langit kembali mendapati Hana dan sang anak sedang berhenti di salah satu toko sepeda. Sontak lelaki itu memberhentikan laju mobil. Kemudian setelah keterkejutannya sirna, ia mencari tempat berhenti yang lebih dekat.Jemari Langit me
Hana sampai di depan rumah, ia sejenak mengabaikan seseorang yang ikut mengantarkan sepeda mini yang sudah dibeli Langit untuk Syaina.Masih dengan perasaan khawatir, ia bergegas memasuki rumah dan menidurkan buah hatinya di atas ranjang. Lanjut mengambilkan air hangat untuk membersihkan lubang hidung Syaina."Ma, Syaina kalau keluar darah terus dari hidung. Nantinya bakalan meninggal, ya?"Hana terhenyak, sekuat tenaga menahan cairan yang memaksa keluar dari pelupuk mata."Mama selalu berdoa sama Allah supaya Syaina sembuh dan panjang umurnya.""Kira-kira Allah bakalan ngabulin nggak, Ma?""In Syaa Allah dikabulin Sayang. Karena doa orang tua untuk anaknya tidak ada halangan apapun, akan selalu sampai pada Allah."Hana menahan sesak di dada. Semakin lama menjalani, semakin lemah pula pertahannya. Semenjak awal sang buah hati didiagnosa bronchitis, entah sudah berapa kali jarum suntik keluar masuk tubuhnya. Entah berapa kali rontgen dan USG yang dilakukan.Hingga diagnosa kedua muncul
Langit telah selesai membersihkan diri, bukannya keluar untuk menemui Lina, ia justru merebahkan diri di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar seraya kembali mengenang pertemuan tadi dengan Hana dan juga Syaina.Pertama kali yang terlihat di sana adalah wajah cantik anaknya. Ia merasa nyaman saat tangan-tangan mungil itu memeluk erat.Satu tahun terlalui, rumah ini terasa begitu sepi. Sebab sebelumnya ia sering mendengar celoteh Syaina meski jarang menggendong apalagi sampai mencium. Sebegitu jauhkah ia dari darah dagingnya sendiri?Sejenak kemudian, ingatan Langit terlempar pada sebuah kata, Leukimia.Ya Allah ...Langit mengusap wajahnya kasar. Bagaimana mungkin anakku menderita leukimia?Ia menghela napas berat. Tak paham kenapa hatinya terasa begitu sakit dan kecewa mendapati kenyataan pahit tersebut. Langit kembali mencoba menyimpan wajah Syaina hingga sesosok yang lain mampir begitu saja. Hana.Penampilan wanita itu kini banyak berubah, jilbab yang sudah lebih lebar dengan
Hana sejenak terdiam, dua netra memandang tak percaya."Perkenalkan nama saya Syarlina."Wanita itu mengulurkan tangannya yang tampak begitu mulus dan indah."Saya Hana.""Em, saya pernah dengar Mas Langit menyebut namamu. Dulu, saat pertama kali kami bertemu. Tepatnya setelah kalian bercerai. Sebenarnya saya sudah ingin bertemu denganmu semenjak dahulu. Tapi ...."Dia menarik napas."Ah, syukurlah bisa juga bertemu denganmu saat ini, di detik-detik pernikahanku dengan Mas Langit akan diadakan."Hana menarik napas berat. Menatap Lina saat wanita itu menyerahkan sebuah undangan berwarna keemasan.Hana mencoba melirik cover depan dan bisa membaca dua buah nama yang bersanding dengan tulisan diukir begitu indah.Syarlina Hermawan dan Langit Gagah Perkasa.Jadi mereka akan segera menikah?Hana membatin. Meski semenjak pertama kali mengangkat kaki dari Kota Jakarta ia sudah sangat mempersiapkan diri akan kenyataan ini. Tapi, entah kenapa saat sudah benar-benar dihadapkan pada kenyataan, ha
Hana tak dapat duduk berlama, ingatan akan masa lalu ia simpan rapi kembali. Lalu langkahnya tertarik lebih jauh menuju rumah sakit. Pasti Mas Rezky sudah lama menungguku.*Lima belas menit perjalanan, wanita itu sampai di tempat tujuan. Sepanjang kaki melangkah lisan terus mengucap kalimat kebesaran dan kasih sayang Allah. Diantara kalimat suci tersebut, tak juga reda dari ucapan, kalimat permohonan agar Allah bermurah hati menyembuhkan buah hatinya.Wanita itu sampai di depan ruangan Rezky. Ia mengetuk pintu."Siapa?""Saya Mas, Hana.""Masuk, Han."Hana mengangguk, dia masuk dan duduk di hadapan Rezky."Apa Mas sudah lama menungguku?"Hana bertanya segan, bagaimana tidak. Saat itu adalah waktunya istirahat, semua dokter terlihat sudah meninggalkan ruangan poli mereka masing-masing. Kecuali Rezky."Sedikit lama. Bukankah kita janjiannya pagi?""Iya Mas, maaf. Tadi saya tidak diijinkan keluar sebelum mengerjakan beberapa pekerjaan.""Sudah mulai bekerja? Syaina bagaimana?""Saya su
Jika aku diberi kesempatan hidup sekali lagi, satu hal yang tak ingin kusia-siakan yaitu kesempatan untuk mencintaimu.*"Apa maksud ucapanmu, Mas?"Lina menatap dengan wajah memerah. Ia seakan sudah bisa membaca arah ucapan Langit. "Lin, aku salah karena berpikir kau lah cinta sejatiku. Tapi nyatanya, hidupku tak berarti semenjak Hana dan anakku pergi. Aku tak pernah menemukan bahagia yang aku cari ketika bersamamu. Aku minta maaf, Lin.""Kamu sudah tidak waras, Mas? Kamu pikir aku mainan, seenaknya saja kau dekati dan kau tinggalkan begitu saja? Kau lupa siapa yang datang padaku lebih dulu?""Iya, aku memang datang padamu. Tapi kau yang mengundang.""Kau mau menuduhku, Mas?""Aku tidak menuduh, memang kenyataannya seperti itu. Kau 'kan yang menyuruh Andre mengundangku ke rumahmu hari itu? Hari dimana aku menceraikan istriku?"Lina terdiam."Setelahnya berapa kali aku ragu untuk mengurus perceraianku ke pengadilan, tapi kamu! Kamu yang terus membujukku hingga aku semakin terlena dan
Langit mendapati kebisuan, Rezky tak langsung menjawab pertanyaannya."Rez, Kami masih di sana?""Hm, iya. Kamu mau aku menjawab dengan jujur?""Tentu.""Baik aku akan katakan yang sebenarnya. Sebenarnya aku sudah lama mengenal istrimu, kami satu SMA. Aku menyukainya sudah semenjak dahulu, tapi kamu tahu 'kan aku bukan tipe yang mudah menyatakan cinta. Hingga kami berpisah saat kelulusan SMA. Aku masih belum juga berani bicara tentang perasaanku. Satu bulan yang lalu, aku sangat terkejut, saat dia datang membawa seorang anak untuk berobat. Lang, Syaina anakmu adalah pasienku."Langit benar-benar terhenyak, ini adalah sebuah berita yang berhasil membuat degup jantungnya riuh berdetak."Lang, apa kamu keberatan jika suatu saat aku melamar mantan istrimu menjadi istriku?"Pertanyaan itu membuat jantung Langit tersentak kuat. Dia tak dapat berkata, terlalu berat rasanya mengikhlaskan sesuatu yang masih begitu ingin dimiliki. Sang lelaki menarik napas dalam. Ia tak mungkin menahan siapapu
Hana mencoba tersenyum untuk menetralisir kegugupan, lalu membuka suara."Ini serius?""Jawab saja dulu."Rezky kembali menjawab dengan jawaban yang sama tiap kali Hana melempar pertanyaan."Jika memang pertanyaan yang di sana itu benar adanya, dari hati Mas Rezky yang terdalam, saya akan menjawab dengan serius."Rezky tampak menatap Hana."Saya belum bisa menerima lamaran siapapun untuk saat ini, Mas."Suasana seketika tegang. Rezky menarik napas."Jika tidak untuk saat ini?""Maksud, Mas?""Saya tidak memaksa agar kamu memberi jawabannya hari ini. Tapi besok, satu minggu ke depan, satu bulan atau bahkan satu tahun? Apa kamu sudah akan punya jawaban atas pertanyaan ini?"Hana tercenung sejenak, ia tak percaya jika Rezky terlihat begitu serius dengan lamarannya. Bahkan ia bersedia menunggu untuk setahun."Kenapa harus saya? Saya ini seorang janda, sementara Mas menikah saja belum. Mas Rezky punya karir yang bagus, wajah yang rupawan, sebaiknya Mas melamar seseorang dari kalangan Mas s