Langit memegang kendali setir, perasaannya kembali mempertanyakan apakah sudah benar tindakannya menawarkan Hana pada Rezky. Jika memang Rezky serius dengan keinginannya itu, maka otomatis Syaina akan menjadi anak sambung Rezky. Dan Hana, mantan istrinya akan menajdi istri sah Rezky. Sahabatnya sendiri.
Ah gila! Aku sudah gila menawarkan Hana untuk Rezky. Tapi, tadi itu aku cuma mau menyindirnya, kenapa Rezky justru serius dengan sindiranku itu? Sial!
Dia kembali bergumam seorang diri. Entah apa yang dirasa hatinya, tapi sungguh membuatnya merasa tak nyaman.
Keluar dari jalan menuju cafe, Langit membelokkan setir menuju jalan utama karena langsung akan balik ke Jakarta siang itu juga. Namun, sosok yang menari-nari di pikiran sedari tadi kembali terlihat.
Langit kembali mendapati Hana dan sang anak sedang berhenti di salah satu toko sepeda. Sontak lelaki itu memberhentikan laju mobil. Kemudian setelah keterkejutannya sirna, ia mencari tempat berhenti yang lebih dekat.
Jemari Langit meraih kacamata hitam dan memakai topi untuk sedikit menjaga diri dari diketahui Hana. Duduk dengan sedikit deg-degan, entah kenapa perasaannya begitu kacau melihat wanita itu.
Jemarinya kini sedikit menurunkan kaca mobil, seperti ada rasa tak puas jika hanya melihat tapi tidak tahu apa yang dibicarakan Hana.
"Yang ini berapa Pak?"
Hana menawar sebuah sepeda mini.
"Tujuh ratus ribu, Bu."
"Kalau yang ini?"
"Itu lima ratus ribu."
"Kita ambil yang ini saja ya, Nak," ucapnya pada Syaina, tapi bocah itu menggeleng.
"Uang Mama belum cukup untuk beli sepeda yang Syaina mau, Sayang. Saat ini Mama sedang ngumpulin uang untuk biaya pengobatan Syaina selanjutnya. Jadi kita ambil yang ini aja ya, Nak."
Syaina tetap menggeleng, dari kejauhan Langit terus memerhatikan. Entah kenapa hatinya seolah tak sanggup menyaksikan pemandangan itu. Namun, ada sedikit amarah jika mengingat Hana pergi tanpa sedikitpun memberitahu kemana kepergiannya tersebut.
Jika saja Langit tahu Hana menetap dimana, tentu dia tidak akan lepas tanggung jawab begitu saja akan hidup Syaina. Bagaimanapun ia tak mencintai Hana, tapi Syaina tetaplah darah dagingnya.
"Pak, uang saya cuma ada lima ratus ribu, dua ratus ribu lagi boleh nggak saya tukar sama ponsel saya yang ini."
Langit tak lagi dapat bertahan, kakinya tergerak untuk turun.
"Wah, ponsel segini cuma laku seratus ribu, Bu. Kalau nggak punya uang pas, baiknya Ibu ambil saja yang itu. Saya juga bekerja begini nyari rejekinya tipis Bu. Mohon maaf ya saya tidak bisa membantu Ibu."
"Berapa kekurangannya?"
Wajah Hana seketika tertoleh mendengar suara itu. Suara lelaki yang berhasil merobek gendang telinganya.
"Mas Langit?"
Tak hanya pandangan Hana yang membelalak, Syaina pun demikian.
"Papa?"
Langit menatap putri kecilnya.
"Hallo, Nak."
"Papa ... Syaina kangen sama Papa."
Syaina memeluk tubuh Langit, seketika tubuh lelaki itu seperti mengalir sesuatu yang tak dapat ia gambarkan. Seperti merindukan sesuatu dan akhirnya bisa didapatkan. Begitu yang ia rasakan ketika tubuh Syaina jatuh dalam dadanya yang bidang.
Sementara di sisi mereka, Hana hanya bisa terdiam. Melihat pemandangan di hadapan, entah bahagia atau sakit. Entahlah, satu sisi ia bahagia karena Syaina akhirnya bisa bertemu ayahnya. Namun, sisi lain ia tetap membawa sebuah penyesalan atas apa yang terjadi diantara mereka dahulu.
"Kamu mau sepeda yang ini?" tanya Langit menunjuk sepeda seharga tujuh ratus ribu.
"Iya, Pa. Tapi Mama nggak punya cukup uang untuk membeli yang ini. Mama punya uang untuk beli yang itu. Tapi Syaina nggak suka."
Langit menatap Hana yang sejurus kemudian membuang pandangan.
"Yaudah biar Papa yang belikan. Kamu ambil yang mana yang kamu sukai."
"Yey asyik."
Syaina terlihat begitu bahagia, ia langsung memilih sepeda kesukaannya. Setelah itu Langit menuju kasir untuk membayar sepeda tersebut.
"Pa, Papa mau 'kan ngajarin aku dayung sepeda ini?"
Untuk kesekian kali ucapan Syaina berhasil membuat kalbu Langit bergemuruh.
"Iya, nanti jika ada waktu Papa bakalan ngajarin Syaina naik sepeda," jawab sang lelaki seraya menatap wajah Hana kembali.
"Yaudah Nak, ayo kita pulang. Udah mendung, keburu hujan nanti," potong Hana yang merasa risih.
Syaina tak bergerak, ia masih berdiri di tempatnya.
"Aku mau peluk Papa sekali lagi, Ma."
Langit tersenyum lalu ia merangkul sang anak. Kembali menatap Hana seolah ingin memberitahu betapa menyesalnya ia karena Hana pergi tanpa kabar selama ini.
"Papa kenapa sih nggak pernah jenguk aku?"
"Papa minta maaf ya Nak karena sempat mengabaikan kamu. Tapi mulai sekarang Papa bakalan rutin jengukin kamu."
"Mas minta alamat rumah kalian di sini," ucap Langit kemudian pada Hana.
Jujur Hana tak ingin jujur, tapi mengingat Syaina sangat butuh lelaki itu di sisinya. Dia tidak bisa lagi berbohong.
"Sepuluh meter dari sini, sebelah kiri jalan ada sebuah gang kecil. Sepuluh meter masuk ke dalam dari gang itu ada rumah bercat kuning. Di situ kami tinggal," ucap Hana tanpa menatap lawan bicaranya.
Langit hanya bisa menghela napas. Sangat paham jika mantan istrinya tersebut masih memendam amarah akan perceraian yang terjadi setahun yang lalu.
"Syaina, jadi anak baik ya Sayang. Jangan bandel dan selalu dengarin kata Mama."
Syaina mengangguk.
"Besok bisa ketemu Papa lagi nggak?"
Langit tersenyum lalu mengusap pucuk kepala sang anak.
"Tentu bisa, besok Papa akan jengukin kamu lagi kemari."
Syaina kembali memeluk sang papa. Rasa rindunya sudah lama ia bendung, begitu bertemu rasanya tak ingin berpisah.
Saat memeluk, pandangan bocah itu tertuju pada pakaian sang ayah yang tiba-tiba berubah menjadi warna merah. Ia mengusap hidung.
"Papa, baju Papa berdarah."
Langit melepas pelukan lalu begitu terhenyak saat mendapati Syaina mimisan.
"Kamu kenapa, Nak?"
Hana segera mengeluarkan sapu tangan lalu mengusap hidung sang anak.
"Kamu harus istirahat, Syaina. Ayo kita pulang."
Hana menggendong buah hatinya lalu mendudukkan di kursi belakang sepeda motor. Langit yang memang seorang dokter sedikit cemas dengan keadaan sang anak.
"Hana, katakan Syaina kenapa?"
Dia mencoba menghentikan gerakan mantan istrinya.
"Dokter mendiagnosa Syaina terkena Leukimia."
"Apa?"
Langit tercengang, sementara di hadapan, Hana dan Syaina sudah perlahan menjauh.
"Leukimia?"
Langit membuang napas berat, hatinya seketika sakit. Perasaan itu teralihkan saat tiba-tiba ponsel di dalam saku berdering.
Langit melirik siapa yang sudah menelpon.
Syarlina.
Lelaki itu lekas mengangkat panggilan tersebut.
"Hallo, Sayang. Kamu dimana, Mas?"
"Masih di Puwokerto."
"Katanya sudah selesai pelatihan, masih belum balik juga?"
"Mas ada janji sama teman lama di sini."
"Oh, tapi pulang malam ini 'kan?"
"Iya."
"Yaudah aku tunggu Mas pulang ya, fitting baju pengantinnya kita cancel nanti malam aja."
Langit menghela napas berat.
"Iya."
"Love you Mas."
"Love you."
Langit menutup telpon. Semenjak sah berpisah dari Hana sepuluh bulan yang lalu, dia memang sudah membulatkan tekad untuk menemukan kembali cintanya yang hilang. Syarlina.
Sebuah keberuntungan, ternyata wanita itu juga baru bercerai dari suami pertamanya. Dia memiliki seorang anak lelaki bernama Raihan.
Membina kembali hubungan bersama wanita yang sempat ia tinggalkan demi memenuhi permintaan kedua orang tua menikahi Hana. Ia pikir hidupnya akan begitu bahagia. Nyatanya, Langit masih merasa hampa.
Kenapa?
Dia sendiri bahkan tak paham apa yang diinginkan hatinya.
Dan hari ini, pertemuan kembali dengan Hana yang tiga tahun lamanya menetap di hati, entah kenapa menimbulkan rasa yang berbeda dengan apa yang selama ini dia jalani bersama Syarlina.
Langit menarik napas.
Dia tak boleh pergi sebelum berhasil menemukan dimana tempat tinggal Hana. Terlebih setelah bertemu Syaina, jika memang benar anak tersebut kini sedang berjuang melawan penyakit, Langit akan ada untuk mendampingi.
Lelaki itu kembali menaiki mobil, sebelum kehilangan jejak Langit harus bisa mengekor di belakang sepeda motor Hana untuk memastikan kebenaran ucapan wanita itu.
***
Bersambung
Terima kasih sudah membaca, jangan lupa subsrcribe, like, koment dan share.
Utamakan baca Al-Quran.
Hana sampai di depan rumah, ia sejenak mengabaikan seseorang yang ikut mengantarkan sepeda mini yang sudah dibeli Langit untuk Syaina.Masih dengan perasaan khawatir, ia bergegas memasuki rumah dan menidurkan buah hatinya di atas ranjang. Lanjut mengambilkan air hangat untuk membersihkan lubang hidung Syaina."Ma, Syaina kalau keluar darah terus dari hidung. Nantinya bakalan meninggal, ya?"Hana terhenyak, sekuat tenaga menahan cairan yang memaksa keluar dari pelupuk mata."Mama selalu berdoa sama Allah supaya Syaina sembuh dan panjang umurnya.""Kira-kira Allah bakalan ngabulin nggak, Ma?""In Syaa Allah dikabulin Sayang. Karena doa orang tua untuk anaknya tidak ada halangan apapun, akan selalu sampai pada Allah."Hana menahan sesak di dada. Semakin lama menjalani, semakin lemah pula pertahannya. Semenjak awal sang buah hati didiagnosa bronchitis, entah sudah berapa kali jarum suntik keluar masuk tubuhnya. Entah berapa kali rontgen dan USG yang dilakukan.Hingga diagnosa kedua muncul
Langit telah selesai membersihkan diri, bukannya keluar untuk menemui Lina, ia justru merebahkan diri di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar seraya kembali mengenang pertemuan tadi dengan Hana dan juga Syaina.Pertama kali yang terlihat di sana adalah wajah cantik anaknya. Ia merasa nyaman saat tangan-tangan mungil itu memeluk erat.Satu tahun terlalui, rumah ini terasa begitu sepi. Sebab sebelumnya ia sering mendengar celoteh Syaina meski jarang menggendong apalagi sampai mencium. Sebegitu jauhkah ia dari darah dagingnya sendiri?Sejenak kemudian, ingatan Langit terlempar pada sebuah kata, Leukimia.Ya Allah ...Langit mengusap wajahnya kasar. Bagaimana mungkin anakku menderita leukimia?Ia menghela napas berat. Tak paham kenapa hatinya terasa begitu sakit dan kecewa mendapati kenyataan pahit tersebut. Langit kembali mencoba menyimpan wajah Syaina hingga sesosok yang lain mampir begitu saja. Hana.Penampilan wanita itu kini banyak berubah, jilbab yang sudah lebih lebar dengan
Hana sejenak terdiam, dua netra memandang tak percaya."Perkenalkan nama saya Syarlina."Wanita itu mengulurkan tangannya yang tampak begitu mulus dan indah."Saya Hana.""Em, saya pernah dengar Mas Langit menyebut namamu. Dulu, saat pertama kali kami bertemu. Tepatnya setelah kalian bercerai. Sebenarnya saya sudah ingin bertemu denganmu semenjak dahulu. Tapi ...."Dia menarik napas."Ah, syukurlah bisa juga bertemu denganmu saat ini, di detik-detik pernikahanku dengan Mas Langit akan diadakan."Hana menarik napas berat. Menatap Lina saat wanita itu menyerahkan sebuah undangan berwarna keemasan.Hana mencoba melirik cover depan dan bisa membaca dua buah nama yang bersanding dengan tulisan diukir begitu indah.Syarlina Hermawan dan Langit Gagah Perkasa.Jadi mereka akan segera menikah?Hana membatin. Meski semenjak pertama kali mengangkat kaki dari Kota Jakarta ia sudah sangat mempersiapkan diri akan kenyataan ini. Tapi, entah kenapa saat sudah benar-benar dihadapkan pada kenyataan, ha
Hana tak dapat duduk berlama, ingatan akan masa lalu ia simpan rapi kembali. Lalu langkahnya tertarik lebih jauh menuju rumah sakit. Pasti Mas Rezky sudah lama menungguku.*Lima belas menit perjalanan, wanita itu sampai di tempat tujuan. Sepanjang kaki melangkah lisan terus mengucap kalimat kebesaran dan kasih sayang Allah. Diantara kalimat suci tersebut, tak juga reda dari ucapan, kalimat permohonan agar Allah bermurah hati menyembuhkan buah hatinya.Wanita itu sampai di depan ruangan Rezky. Ia mengetuk pintu."Siapa?""Saya Mas, Hana.""Masuk, Han."Hana mengangguk, dia masuk dan duduk di hadapan Rezky."Apa Mas sudah lama menungguku?"Hana bertanya segan, bagaimana tidak. Saat itu adalah waktunya istirahat, semua dokter terlihat sudah meninggalkan ruangan poli mereka masing-masing. Kecuali Rezky."Sedikit lama. Bukankah kita janjiannya pagi?""Iya Mas, maaf. Tadi saya tidak diijinkan keluar sebelum mengerjakan beberapa pekerjaan.""Sudah mulai bekerja? Syaina bagaimana?""Saya su
Jika aku diberi kesempatan hidup sekali lagi, satu hal yang tak ingin kusia-siakan yaitu kesempatan untuk mencintaimu.*"Apa maksud ucapanmu, Mas?"Lina menatap dengan wajah memerah. Ia seakan sudah bisa membaca arah ucapan Langit. "Lin, aku salah karena berpikir kau lah cinta sejatiku. Tapi nyatanya, hidupku tak berarti semenjak Hana dan anakku pergi. Aku tak pernah menemukan bahagia yang aku cari ketika bersamamu. Aku minta maaf, Lin.""Kamu sudah tidak waras, Mas? Kamu pikir aku mainan, seenaknya saja kau dekati dan kau tinggalkan begitu saja? Kau lupa siapa yang datang padaku lebih dulu?""Iya, aku memang datang padamu. Tapi kau yang mengundang.""Kau mau menuduhku, Mas?""Aku tidak menuduh, memang kenyataannya seperti itu. Kau 'kan yang menyuruh Andre mengundangku ke rumahmu hari itu? Hari dimana aku menceraikan istriku?"Lina terdiam."Setelahnya berapa kali aku ragu untuk mengurus perceraianku ke pengadilan, tapi kamu! Kamu yang terus membujukku hingga aku semakin terlena dan
Langit mendapati kebisuan, Rezky tak langsung menjawab pertanyaannya."Rez, Kami masih di sana?""Hm, iya. Kamu mau aku menjawab dengan jujur?""Tentu.""Baik aku akan katakan yang sebenarnya. Sebenarnya aku sudah lama mengenal istrimu, kami satu SMA. Aku menyukainya sudah semenjak dahulu, tapi kamu tahu 'kan aku bukan tipe yang mudah menyatakan cinta. Hingga kami berpisah saat kelulusan SMA. Aku masih belum juga berani bicara tentang perasaanku. Satu bulan yang lalu, aku sangat terkejut, saat dia datang membawa seorang anak untuk berobat. Lang, Syaina anakmu adalah pasienku."Langit benar-benar terhenyak, ini adalah sebuah berita yang berhasil membuat degup jantungnya riuh berdetak."Lang, apa kamu keberatan jika suatu saat aku melamar mantan istrimu menjadi istriku?"Pertanyaan itu membuat jantung Langit tersentak kuat. Dia tak dapat berkata, terlalu berat rasanya mengikhlaskan sesuatu yang masih begitu ingin dimiliki. Sang lelaki menarik napas dalam. Ia tak mungkin menahan siapapu
Hana mencoba tersenyum untuk menetralisir kegugupan, lalu membuka suara."Ini serius?""Jawab saja dulu."Rezky kembali menjawab dengan jawaban yang sama tiap kali Hana melempar pertanyaan."Jika memang pertanyaan yang di sana itu benar adanya, dari hati Mas Rezky yang terdalam, saya akan menjawab dengan serius."Rezky tampak menatap Hana."Saya belum bisa menerima lamaran siapapun untuk saat ini, Mas."Suasana seketika tegang. Rezky menarik napas."Jika tidak untuk saat ini?""Maksud, Mas?""Saya tidak memaksa agar kamu memberi jawabannya hari ini. Tapi besok, satu minggu ke depan, satu bulan atau bahkan satu tahun? Apa kamu sudah akan punya jawaban atas pertanyaan ini?"Hana tercenung sejenak, ia tak percaya jika Rezky terlihat begitu serius dengan lamarannya. Bahkan ia bersedia menunggu untuk setahun."Kenapa harus saya? Saya ini seorang janda, sementara Mas menikah saja belum. Mas Rezky punya karir yang bagus, wajah yang rupawan, sebaiknya Mas melamar seseorang dari kalangan Mas s
Hana tersenyum menatap pemberian dari lelaki di hadapannya, sebuah pemandangan yang membuat Langit di kejauhan sana seolah kehilangan kekuatan untuk bertahan.Terlebih saat tangan mantan istrinya itu terulur untuk mengambil cincin yang diberikan Rezky. Ah, bukan itu saja yang membuat hati Langit semakin teriris, Syaina, buah hatinya bersorak bahagia melihat pemandangan itu. Bocah tersebut bahkan kini sudah berada dalam gendongan sahabat lamanya tersebut.Semua sudah berakhir, apakah ini pertanda agar aku mengubur rapat keingian untuk rujuk?"Papa ...."Suara panggilan Syaina membuyarkan pikiran Langit. Ia terhenyak, dan kembali dari alam khayalan.Bocah itu berlari ke arah sang ayah. "Sayang, kamu mau kemana?"Tanpa menggubris panggilan sang ibu, Syaina terus berlari keluar pagar lalu jatuh di dalam dada bidang papanya. Langit memeluk putrinya erat."Papa kemana aja? Syaina kangen."Jemari mungil Syaina yang menempel di punggung Langit membuat lelaki itu kembali merasa bergetar."Maa