共有

3. Rasa Yang Berbeda

作者: Wahyuni SST
last update 最終更新日: 2023-02-07 02:28:23

Langit memegang kendali setir, perasaannya kembali mempertanyakan apakah sudah benar tindakannya menawarkan Hana pada Rezky. Jika memang Rezky serius dengan keinginannya itu, maka otomatis Syaina akan menjadi anak sambung Rezky. Dan Hana, mantan istrinya akan menajdi istri sah Rezky. Sahabatnya sendiri.

Ah gila! Aku sudah gila menawarkan Hana untuk Rezky. Tapi, tadi itu aku cuma mau menyindirnya, kenapa Rezky justru serius dengan sindiranku itu? Sial!

Dia kembali bergumam seorang diri. Entah apa yang dirasa hatinya, tapi sungguh membuatnya merasa tak nyaman.

Keluar dari jalan menuju cafe, Langit membelokkan setir menuju jalan utama karena langsung akan balik ke Jakarta siang itu juga. Namun, sosok yang menari-nari di pikiran sedari tadi kembali terlihat. 

Langit kembali mendapati Hana dan sang anak sedang berhenti di salah satu toko sepeda. Sontak lelaki itu memberhentikan laju mobil. Kemudian setelah keterkejutannya sirna, ia mencari tempat berhenti yang lebih dekat.

Jemari Langit meraih kacamata hitam dan memakai topi untuk sedikit menjaga diri dari diketahui Hana. Duduk dengan sedikit deg-degan, entah kenapa perasaannya begitu kacau melihat wanita itu.

Jemarinya kini sedikit menurunkan kaca mobil, seperti ada rasa tak puas jika hanya melihat tapi tidak tahu apa yang dibicarakan Hana.

"Yang ini berapa Pak?"

Hana menawar sebuah sepeda mini.

"Tujuh ratus ribu, Bu."

"Kalau yang ini?"

"Itu lima ratus ribu."

"Kita ambil yang ini saja ya, Nak," ucapnya pada Syaina, tapi bocah itu menggeleng.

"Uang Mama belum cukup untuk beli sepeda yang Syaina mau, Sayang. Saat ini Mama sedang ngumpulin uang untuk biaya pengobatan Syaina selanjutnya. Jadi kita ambil yang ini aja ya, Nak."

Syaina tetap menggeleng, dari kejauhan Langit terus memerhatikan. Entah kenapa hatinya seolah tak sanggup menyaksikan pemandangan itu. Namun, ada sedikit amarah jika mengingat Hana pergi tanpa sedikitpun memberitahu kemana kepergiannya tersebut. 

Jika saja Langit tahu Hana menetap dimana, tentu dia tidak akan lepas tanggung jawab begitu saja akan hidup Syaina. Bagaimanapun ia tak mencintai Hana, tapi Syaina tetaplah darah dagingnya.

"Pak, uang saya cuma ada lima ratus ribu, dua ratus ribu lagi boleh nggak saya tukar sama ponsel saya yang ini."

Langit tak lagi dapat bertahan, kakinya tergerak untuk turun.

"Wah, ponsel segini cuma laku seratus ribu, Bu. Kalau nggak punya uang pas, baiknya Ibu ambil saja yang itu. Saya juga bekerja begini nyari rejekinya tipis Bu. Mohon maaf ya saya tidak bisa membantu Ibu."

"Berapa kekurangannya?"

Wajah Hana seketika tertoleh mendengar suara itu. Suara lelaki yang berhasil merobek gendang telinganya.

"Mas Langit?"

Tak hanya pandangan Hana yang membelalak, Syaina pun demikian.

"Papa?"

Langit menatap putri kecilnya.

"Hallo, Nak."

"Papa ... Syaina kangen sama Papa."

Syaina memeluk tubuh Langit, seketika tubuh lelaki itu seperti mengalir sesuatu yang tak dapat ia gambarkan. Seperti merindukan sesuatu dan akhirnya bisa didapatkan. Begitu yang ia rasakan ketika tubuh Syaina jatuh dalam dadanya yang bidang.

Sementara di sisi mereka, Hana hanya bisa terdiam. Melihat pemandangan di hadapan, entah bahagia atau sakit. Entahlah, satu sisi ia bahagia karena Syaina akhirnya bisa bertemu ayahnya. Namun, sisi lain ia tetap membawa sebuah penyesalan atas apa yang terjadi diantara mereka dahulu.

"Kamu mau sepeda yang ini?" tanya Langit menunjuk sepeda seharga tujuh ratus ribu.

"Iya, Pa. Tapi Mama nggak punya cukup uang untuk membeli yang ini. Mama punya uang untuk beli yang itu. Tapi Syaina nggak suka."

Langit menatap Hana yang sejurus kemudian membuang pandangan.

"Yaudah biar Papa yang belikan. Kamu ambil yang mana yang kamu sukai."

"Yey asyik."

Syaina terlihat begitu bahagia, ia langsung memilih sepeda kesukaannya. Setelah itu Langit menuju kasir untuk membayar sepeda tersebut.

"Pa, Papa mau 'kan ngajarin aku dayung sepeda ini?"

Untuk kesekian kali ucapan Syaina berhasil membuat kalbu Langit bergemuruh.

"Iya, nanti jika ada waktu Papa bakalan ngajarin Syaina naik sepeda," jawab sang lelaki seraya menatap wajah Hana kembali.

"Yaudah Nak, ayo kita pulang. Udah mendung, keburu hujan nanti," potong Hana yang merasa risih.

Syaina tak bergerak, ia masih berdiri di tempatnya.

"Aku mau peluk Papa sekali lagi, Ma."

Langit tersenyum lalu ia merangkul sang anak. Kembali menatap Hana seolah ingin memberitahu betapa menyesalnya ia karena Hana pergi tanpa kabar selama ini.

"Papa kenapa sih nggak pernah jenguk aku?"

"Papa minta maaf ya Nak karena sempat mengabaikan kamu. Tapi mulai sekarang Papa bakalan rutin jengukin kamu."

"Mas minta alamat rumah kalian di sini," ucap Langit kemudian pada Hana. 

Jujur Hana tak ingin jujur, tapi mengingat Syaina sangat butuh lelaki itu di sisinya. Dia tidak bisa lagi berbohong.

"Sepuluh meter dari sini, sebelah kiri jalan ada sebuah gang kecil. Sepuluh meter masuk ke dalam dari gang itu ada rumah bercat kuning. Di situ kami tinggal," ucap Hana tanpa menatap lawan bicaranya.

Langit hanya bisa menghela napas. Sangat paham jika mantan istrinya tersebut masih memendam amarah akan perceraian yang terjadi setahun yang lalu.

"Syaina, jadi anak baik ya Sayang. Jangan bandel dan selalu dengarin kata Mama."

Syaina mengangguk.

"Besok bisa ketemu Papa lagi nggak?"

Langit tersenyum lalu mengusap pucuk kepala sang anak.

"Tentu bisa, besok Papa akan jengukin kamu lagi kemari."

Syaina kembali memeluk sang papa. Rasa rindunya sudah lama ia bendung, begitu bertemu rasanya tak ingin berpisah.

Saat memeluk, pandangan bocah itu tertuju pada pakaian sang ayah yang tiba-tiba berubah menjadi warna merah. Ia mengusap hidung. 

"Papa, baju Papa berdarah."

Langit melepas pelukan lalu begitu terhenyak saat mendapati Syaina mimisan.

"Kamu kenapa, Nak?"

Hana segera mengeluarkan sapu tangan lalu mengusap hidung sang anak.

"Kamu harus istirahat, Syaina. Ayo kita pulang."

Hana menggendong buah hatinya lalu mendudukkan di kursi belakang sepeda motor. Langit yang memang seorang dokter sedikit cemas dengan keadaan sang anak.

"Hana, katakan Syaina kenapa?"

Dia mencoba menghentikan gerakan mantan istrinya.

"Dokter mendiagnosa Syaina terkena Leukimia."

"Apa?"

Langit tercengang, sementara di hadapan, Hana dan Syaina sudah perlahan menjauh.

"Leukimia?"

Langit membuang napas berat, hatinya seketika sakit. Perasaan itu teralihkan saat tiba-tiba ponsel di dalam saku berdering.

Langit melirik siapa yang sudah menelpon.

Syarlina.

Lelaki itu lekas mengangkat panggilan tersebut.

"Hallo, Sayang. Kamu dimana, Mas?"

"Masih di Puwokerto."

"Katanya sudah selesai pelatihan, masih belum balik juga?"

"Mas ada janji sama teman lama di sini."

"Oh, tapi pulang malam ini 'kan?"

"Iya."

"Yaudah aku tunggu Mas pulang ya, fitting baju pengantinnya kita cancel nanti malam aja."

Langit menghela napas berat.

"Iya."

"Love you Mas."

"Love you."

Langit menutup telpon. Semenjak sah berpisah dari Hana sepuluh bulan yang lalu, dia memang sudah membulatkan tekad untuk menemukan kembali cintanya yang hilang. Syarlina.

Sebuah keberuntungan, ternyata wanita itu juga baru bercerai dari suami pertamanya. Dia memiliki seorang anak lelaki bernama Raihan.

Membina kembali hubungan bersama wanita yang sempat ia tinggalkan demi memenuhi permintaan kedua orang tua menikahi Hana. Ia pikir hidupnya akan begitu bahagia. Nyatanya, Langit masih merasa hampa.

Kenapa?

Dia sendiri bahkan tak paham apa yang diinginkan hatinya.

Dan hari ini, pertemuan kembali dengan Hana yang tiga tahun lamanya menetap di hati, entah kenapa menimbulkan rasa yang berbeda dengan apa yang selama ini dia jalani bersama Syarlina.

Langit menarik napas. 

Dia tak boleh pergi sebelum berhasil menemukan dimana tempat tinggal Hana. Terlebih setelah bertemu Syaina, jika memang benar anak tersebut kini sedang berjuang melawan penyakit, Langit akan ada untuk mendampingi.

Lelaki itu kembali menaiki mobil, sebelum kehilangan jejak Langit harus bisa mengekor di belakang sepeda motor Hana untuk memastikan kebenaran ucapan wanita itu.

***

Bersambung

Terima kasih sudah membaca, jangan lupa subsrcribe, like, koment dan share.

Utamakan baca Al-Quran.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード
コメント (6)
goodnovel comment avatar
siti fauziah
wah langit menjadakan mantan istrinya demi janda lain yg punya anak sedang anaknya???
goodnovel comment avatar
Susi Munsiah
sebenarnya sdh ada rasa cinta tapi gak sadar
goodnovel comment avatar
Yanyan
baru pertama baca langsung berlinangan air mata
すべてのコメントを表示

最新チャプター

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   90. Pelajaran Hidup Terbaik

    Satpam yang melihat gambar CCTV yang menunjukkan Kamil, ibunya serta seorang wanita menarik paksa tangan ibunda Rian tampak begitu terhenyak. Lelaki itu segera masuk ke dalam rumah untuk mengecek keadaan.Pintu kamar terbuka, menampakkan kondisi ibunda Rian yang sangat menyedihkan. Wanita itu tergeletak di atas ranjang dengan keadaan lemah. "Ibu, Ibu kenapa, Bu?"Pak Yanto segera membantu ibunda Rian untuk bisa duduk."Kamil dan Ibunya telah membuat saya seperti ini, Pak. Tolong telpon polisi. Mereka ingin menguasai rumah ini.""Ba-baik, Bu."Pak Yanto segera menelpon polisi sementara ibunda Rian menelpon anaknya sendiri. "Hallo, Ma."Suara ibunda Rian terdengar bergetar. Membuat sang anak di seberang sana menjadi khawatir."Rian.""Iya, Ma.""Maafkan Mama Rian. Melani dan keluarganya tak sebaik yang Mama pikirkan. Mereka telah membuat masalah di rumah kita.""Masalah apa, Ma? Mama baik-baik aja 'kan?""Iya, Mama baik-baik saja. Kamil dan Ibunya, mereka ingin menghancurkan keluarga

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   89. Penyesalan Ibunda Rian

    "Sedang apa kau di sini? Apa yang mau kau lakukan pada istriku? Kau menggodanya?" teriak Kamil lantang.Tak menunggu penjelasanku, dia yang tak sabaran segera melayangkan sebuah bogem ke wajah ini hingga aku tersungkur ke lantai."Mas, sudah jangan bertengkar. Mas Rian kemari karena aku yang minta. Dia ingin membenarkan channel televisi yang rusak.""Aku nggak percaya, pasti kamu diancam 'kan sama dia? Sudah ngaku aja, kalau iya dia sudah melakukan hal tidak senonoh sama kamu, kita bawa dia langsung ke kantor polisi.""Nggak Mas, Mas Rian tidak melakukan apapun padaku."Kamil masih diluar kendali, ia terus ingin menghajarku. Syukurlah Ika menahannya. Tak menunggu lama, aku segera turun ke bawah. Tidak mungkin membela diri disaat dia sedang berapi-api dan kondisikupun sangat tidak stabil. Akhirnya dengan pertolongan Ika, aku lepas dari amukan Kamil.Sampai di gundakan terakhir tangga, tampak lah di hadapan. Mama tengah berdiri dan menatap penuh tanya ke arah diri ini."Mama sudah baika

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   88. Siapa Wanita Itu?

    "Itu Dokter Anita bukan, Mas?" tanyaku penasaran, melihat gaya berpakaian serta cadar yang menutupi wajahnya mirip sekali dengan salah satu dokter yang dikabarkan sedang proses hijrah. "Nggak tahu, tadi sewaktu Mas buka pintu kita udah sempat tatap-tatapan tapi kemudian dia seperti enggan masuk ke rumah ini. Kamil berusaha membujuk tapi wanita itu tetap ingin pergi." "Jika benaran itu dokter Anita, jadi suami yang udah buat dia hijrah itu Mas Kamil? Tapi kenapa aku merasa nggak mungkin ya Mas?" "Sepertinya bukan Anita, mungkin orang lain yang hanya mirip saja dengannya. Apalagi kalau sudah bercadar kebanyakan wajah hampir mirip-mirip begitu. Apa mungkin karena hanya kelihatan mata doank? Ah sudahlah jika mereka tak mau masuk biarkan saja. Ayo kita masuk, Yank." Mas Rian mengajakku masuk dan kembali ke ruang makan. "Siapa Rian?" tanya mama mertua yang sudah menyelesaikan makan malamnya. "Kamil sama istrinya." "Lo, mereka sudah pulang? Kenapa tidak masuk?" tanya Bu Mel kelihatan

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   87. Keputusan Ibu Mertua

    "Rumah? Kamu kalau minta sesuatu itu yang wajar."Suara Mas Rian terdengar sedikit meninggi."Kau kalau bicara yang sopan, aku ini Abangmu.""Sudah, sudah. Rian, jangan lagi berdebat. Begini Nak Kamil dan Ibunda, ini adalah rumah yang sudah kami tempat semenjak dahulu, semenjak pertama kali saya dan Mas Arya menikah. Jadi rumah ini punya banyak sejarah yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Mengenai hak waris, sesuai aturan semua harta peninggalan almarhum akan dikumpulkan menjadi satu lalu barulah dibagi sesuai dengan aturan pembagian hak waris menurut Islam.""Oke, saya mengerti maksud Mbak tersebut. Tapi maksud anak saya mengharap rumah ini, karena sebagai anak kandung Mas Arya, dia tak pernah mendapatkan apa yang seharusnya juga dia dapatkan seperti Rian. Tinggal di rumah mewah, disekolahkan sampai menjadi dokter, mau kemana-mana dengan mobil mewah. Padahal Kamil dan Rian statusnya sama, sama-sama anak kandung. Jadi coba Mbak bayangkan, wajar tidak jika kini Kamil menginginkan

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   86. Hak Waris (Season 2)

    Hari ini adalah hari paling membahagiakan, setelah tiga bulan menanti akhirnya benih yang telah bertumbuh di dalam rahim kini terlihat jelas jenis kelaminnya."Gimana Mira, laki-laki atau perempuan?" tanyaku antusias. Mas Rian hanya tersenyum, baginya perempuan atau lelaki tak masalah yang penting sehat dan lahir dengan selamat. Tapi tidak dengan diri ini, semenjak awal dinyatakan positif hamil, aku sudah mengidam-idamkan anak perempuan. Supaya Lita punya teman bermain."Masya Allah ...."Mira tersenyum menatapku. "Seperti keinginanmu Sya, perempuan," ucapnya semangat yang kusambut dengan senyum bahagia. Mas Rian ikut semang dan merangkul bahu ini."Perkembangannya gimana, Dek? Sehat 'kan?" tanya Mas Rian yang lebih mengkhawatirkan kondisi fisik bayi kami. Tersebab sudah bertahun-tahun dia mendapati kemoterapi dan sangat takut akan rusaknya gen-gen yang seharusnya menjadi pembentuk bayi kami.Awalnya Mas Rian memang melarangku hamil, dia bahkan meminta agar aku memakai spiral. Tapi a

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   85. Bahagiakan Aku

    Tangis haru mewarnai pemakaman papa pagi ini. Mama masih tak stabil, sebentar pingsan, nanti sadarkan diri kembali. Begitulah semenjak semalam. Namun, tiga jam ini keadaannya sudah lebih membaik. Lebih tiga jam sudah ia sadarkan diri.Walaupun begitu, aku tetap tak bisa mengantar jenazah Papa untuk terakhir kalinya. Sebab tak mungkin meninggalkan Mama yang tak stabil seorang diri di rumah. Meski keinginan sedemikian besar, tapi kucoba mengikhlaskan dan menyerahkan pemakaman papa sepenuhnya pada Mas Rian dan adik semata wayang, Biantara Atha Arif.Kurang lebih dua jam, semua kembali ke rumah. Arif kini mendekati Mama dan memeluk wanita itu sejenak, postur tinggi serta bentuk tubuh dan wajah yang mewarisi Papa sepenuhnya, membuatku seolah melihat papalah yang kini tengah memeluk Mama."Sudah selesai pemakaiannya?" tanya Mama dengan suara serak. "Udah, Ma.""Sekarang Papa kalian sudah sendiri, biasanya semua Mama yang ngurus. Sekarang Papa kalian gimana? Dia pasti merasa sedih."Mama ke

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status