Share

Bab 5

AKU LELAH

TITIK LELAH

PART 5

“Abah kecewa dengan kalian!” ucap Abah dengan nada suara yang memang terdengar sangat kecewa. Semua menunduk. 

Abah memang jarang marah, tapi sekali marah mengerikan. Membuat lawan seolah tak kuasa menatapnya. 

“Maafkan saya, Bah!” ucap Mas Budi. Aku melirik ke arah Abah. Bibirnya terlihat menyungging tipis.

“Maaf? Apa kesalahanmu meminta maaf?” tanya Abah. Entah apa maksud Abah. Ruangan ini terasa mencekam.

Aku melirik ke arah Mas Budi, ia nampak nyengir dan seolah bingung. Sepuluh jemarinya terlihat saling menautkan.

“Kenapa diam? Yang namanya meminta maaf, jelas memiliki kesalahan. Apa kesalahanmu? Apa permintaan maafmu itu hanya cari muka?” tanya Abah, dengan nada suara yang sangat terdengar berwibawa di telingaku.

Aku melirik lagi ke arah Mas Budi, ia nampak semakin nyegir. 

“Bah, anaknya minta maaf, kok, di persulit,” ucap Mbak Luna. Hemm ... sebagai status menantu, menurutku dia cukup berani. Aku melirik ke Abah lagi. Senyum tipisnya menyungging lagi.

“Dipersulit? Masa’ seperti itu mempersulit? Bukannya Budi yang mempersulit? Apa susahnya menjawab apa kesalahan dia? Apa memang tak mengakui kesalahan dia?” balas Abah. Mbak Luna terlihat sedikit memainkan bibirnya.

“Kalian itukan anak sekolah. Mana mungkin Abah bagi-bagi warisan. Orang Abah masih hidup!” ucap Abah. Aku lihat sorot matanya, mengedarkan pandangan tajam, ke semua yang ada di sini.

“Kami masih memiliki sedikit harta saja, kalian tak peduli dengan kami. Nggak bayangin kalau kami ini memang kere,” ucap Emak.

Jleb.

Ucapan Emak terasa menembus jantung. Menampar keras menurutku. Entah kalau bagi yang lain.

“Betul yang di bilang Emak kalian. Abah sengaja mengirim surat kepada kalian semua dengan perihal warisan, agar Abah tahu, bagaimana sifat kalian. Hemmm ... ternyata datang semua tanpa terkecuali. Dan kamu Bima, sebelum tahu kami bagi-bagi warisan, kamu nggak mau ke sini mengantar anak istrimu. Giliran di telpon Luna, secepat kilat sampai ke sini. Malu Abah melihat sikap lelakimu itu!” ucap Abah. 

Aku melirik ke arah Mas Bima, ia terlihat menyeka dahinya. Ia masih menunduk, mungkin ia malu. 

“Maaf, Bah!” hanya itu jawaban Mas Bima.

“Apa kesalahanmu?” tanya Abah balik. Mas Bima terlihat nyengir. 

“Minta maaf itu nampaknya gampang sekali, ya! Tapi saat di tanya apa kesalahannya, berat sekali mengakui,” ucap Abah. 

Lagi, ucapan Abah memang terasa menembus jantung. Tapi, memang benar kata Abah. Banyak orang yang mau minta maaf, tapi seolah susah mengakui kesalahannya. Kalau aku bilang, hanya kata maaf di bibir, tapi sebenarnya hati tak mengakui kalau ia bersalah. Kasarnya ngomong hanya untuk pantes-pantes saja. 

“Sudahlah! Abah putuskan, tak akan Abah bagi warisan! Yang bisa menerima sedikit harta ini adalah kalian yang mau merawat Abah dan Emak, hingga nyawa kami kembali ke Sang Pencipta. Nggak peduli anak ataupun cucu. Bahkan orang lain sekalipun. Yang mau merawat Abah dan Emak, dialah yang berhak,” ucap Abah. 

Seketika bibir ini tersenyum, lega! Setidaknya menurutku keputusan Abah telah tepat. Karena dari sini, aku pun jadi tahu bagaimana anak dan menantu Abah.

Abah terlihat beranjak dari duduknya. Kemudian berlalu menuju ke teras depan.

“Budi! Bima! Emak kecewa sama kalian! Sampai Abah mengakhiri, kalian tak mau mengakui kesalahan!” ucap Emak, kemudian juga ikut berdiri. Mengikuti langkah Abah. 

“Ish ... bisa-bisanya Abah ngeprank kita. Orang tua macam apa itu!” ucap Mbak Luna lirih. 

“heh, Mbak! Intropeksi diri! Kamu itu yang menantu macam apa? Mertua sakit nggak mau tahu. Mertua bagi warisan, garcep! Enak saja nyalahin Abah!” balas Lastri.

“Kasihan, ya! Udah datang ke sini, bawa oleh-oleh buanyak, sok manis juga, ternyata Abah hanya ngeprank. Aku lega, sih. Karena aku juga tak mau, Abah bagi warisannya sekarang. Kalau di bagi sekarang, bisa-bisa menjauhi Abah dan Emak semua!” balasku, sengaja menyindir. Bagi yang merasa tersindir.

“Apa maksudmu? Kamu menyindirku?” tanya Mas Bima.

“Iya, kamu menyindirku juga?” tanya Mas Budi juga.

“Eh, kalian merasa? Baguslah! Jadi tak perlu menjelaskan!” balasku. Raut wajah Mas Bima terlihat memerah. Kudekatkan bibir ini di telinga lelaki yang masih bergelar suamiku itu.

“Katanya rumah orang tuaku reot. Tapi, mau datang ke sini karena dengar bagi warisan. Ngarep juga rumah reot ini? Eh, walau rumah Abah reot, tapi lokasi tanah Abah ini memang strategis, ya! Laku mahal kalau di jual!” bisikku.

Mas Bima mendelikan mata. Aku tersenyum menjatuhkan. Tak mungkin ia akan berteriak kasar, seperti yang ia lakukan di rumah. Karena di sini ada semua saudaraku. 

Ya, selama ini aku selalu menutupi kesalahannya. Jadi ia selalu nampak manis di mata semua saudaraku. 

“Mbak Ratih! Aku juga lega, Abah nggak jadi bagi warisan. Karena tadi ada yang udah ngarep dapat warisan paling banyak. Karena merasa suaminya anak laki-laki Abah satu-satunya. Ha ha ha,” ledek Lastri, kemudian menggelegarkan tawa.

“Nah, iya, Tri ... kasihan, ya! Mudah-mudahan saja nggak gila, ha ha ha,” balasku juga ikut tertawa lepas. Karena aku memang sangat puas. Karena memang sudah berniat tak akan kembali ke rumah Mas Bima, makanya sesukaku juga aku berkata. Tak takut kena semprot sampai rumah.

Ya, selama ini hanya hawa takut yang aku rasakan. Takut kalau aku melakukan sedikit kesalahan, dan di maki sama Mas Bima ketika sampai rumah. Karena ada salah atau pun tidak, aku tetap salah di mata lelaki ini. 

“Kita pulang sajalah, Mas! Panas aku di sini! Apa juga yang mau di tunggu lama-lama. Nggak jadi bagi warisan ini,” ucap Mbak Luna.

“Iya,” balas Mas Budi. Entahlah, ramuan apa yang di berikan Mbak Luna ke Mas Budi. Sehingga Mas Budi nurut seperti itu.

“Hemm ... yang takut keluar dari rok istrinya!” sindir Lastri.

“Lastri! Jaga ucapanmu!” sungut Mas Budi.

“Loh, emang aku ngomongin kamu? Orang aku ngomong sama suamiku, kok,” balas Lastri. Merasa tak berdosa. 

“Sudahlah, Mas! Nggak penting ngeladeni mereka. Rezky! Ayo kita pulang!” terika mbak Luna. 

“Kok, pulang? Aku masih kangen sama adik Azkia!” balas Rezki, yang mana memang Rezki terlihat sangat sayang dengan adik sepupunya itu. 

“Kapan-kapan main lagi! Kita pulang!” balas Mbak Luna.

“Hemmm ....” balas Rezki yang seolah berat untuk pulang. Dengan langkah terlihat tak bersemangat ia mendekati orang tuanya.

************

Semua sudah pulang. Tinggal aku dan Mas Bima. Mas Bima memang ngajak pulang, tapi aku memang tak mau.

“Terakhir kalinya aku memintamu pulang! Jangan ngarep aku akan memintamu lagi!” ucap Mas Bima.

“Mau terakhir kali atupun nggak, aku sudah memutuskan tetap tak mau pulang! Aku tak akan menjilat ludahku sendiri! Lagian aku keluar dari rumahmu, hanya bawa uang dua ratus ribukan? Tak bawa apa-apa. Apa mau aku kembalikan uang dua ratus ribu itu?” balasku. Raut wajahnya nampak tak suka.

“Owh, jadi kamu menentangku sekarang?” tanya Mas Budi. Kami berada di dalam kamar. Saling bersahutan dengan suara lirih.

“Iya. Kita buktikan saja! Aku keluar dari rumah yang sama-sama kita bangun, karena sadar diri itu tanahnya dari orang tuamu, hanya dengan warisan dua ratus ribu darimu, dan kamu menguasai semua yang kita punya selama menikah, kira-kira siapa yang bisa bangkit! Justru siapa yang terpuruk! Kali ini aku yang menantangmu!” ucapku.

“Jelas akulah! Kamu bisa apa? Paling nikah sama om-om tajir, yang bisa membuat kaya!” ucap Mas Bima, yang terasa sangat merendahkan. Sebenarnya hati ini bergemuruh hebat. Tapi, aku tetap berusaha menguasai diri ini. 

“Iyakah? Bisa jadi kamu yang menikahi tante-tante girang banyak duitnya!” ledekku. 

“Jangan coba-coba mengancamku!” ucap Mas Bima.

“Kenapa? Takut?” balasku.

“Tak ada kata takut! Karena bagiku, kamu sudah tak penting. Apalagi sudah berani ngelawanku!” balasnya.

“Syukurlah, kalau aku sudah tak penting. Karena kamu memang perlu di lawan! Terlalu lama aku memendam rasa sakit hati, setiap mendengar ucapanmu, yang tak punya hati itu!” ucapku. 

“Terserah!” balasnya.

“Terserah juga!" balasku. Yang mana dia memutuskan untuk keluar dari kamar ini. Aku pun juga ikut mengikuti. 

“Bima, Abah mau bicara!” panggil Abah, yang mana aku lihat Abah duduk di kursi ruang tamu. Mungkin Abah mendengar gemuruh lirih kami saat di kamar. Tapi entahlah.

Mas Bima nampak menghentikan langkah. Aku lihat ia menghela napas panjang kemudian melangkah mendekati Abah.

Apa yang akan Abah bicarakan?

*********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status