Share

Bab 4

Bab 4

"Mbak, aku ini ada salah apa, sih, sama kamu?" sungutku, perempuan berbadan semox itu terlihat masih mengutak atik gawainya. Aku tak ingin ia menelpon Mas Bima. Bisa hancur semuanya. Memang lah ipar satu ini suka sekali cari gara-gara denganku.

"Nggak ada salah, sih ... karena aku kan kakak ipar yang baik, jadi selalu memaafkanmu, walau kamu tak meminta maaf, padahal kamu selalu membuat kesalahan, karena ketemu kamu saja itu sudah salah," ucapnya santai tapi membuat hati dan otak ini terasa mendidih.

Kutarik napas ini kuat-kuat, kulepaskan perlahan. Mengatur emosi yang sudan naik ke ubun-ubun. Terasa ingin aku jambak-jambak rambut smootingnya itu. Dan ingin aku maki ia kasar-kasar.

"Emmm, nomor Bima masih yang ujungnya 78 nggak, ya?" tanyanya semakin membuat panasnya hati ini terasa ingin meledak.

"Mbak, kalau aku ke sini, tanpa bersama Mas Bima, apa urusannya denganmu? Kalau Mas Bima nggak ikut kesini, itu artinya dia lagi sibuk! Banyak kerjaan!" ucapku asal, masih terus mengontrol amarah.

"Masa', sih, say? Kok, aku nggak percaya, ya? Kamu suka bohong, sih ... jadi aku nggak gampang percaya!" balasnya. Semakin membuat napas ini memburu.

"Assalamualaikum!" terdengar suara salam. Segera aku menoleh ke arah salam itu. "Waalaikum salam."

"Mbak Ratih ....!" teriak Lastri. Anak bungsu Abah dan Emak. Ia langsung berhambur memelukku. Seolah pelukan rindu yang aku aku rasakan.

"Lastri! Apa kabar?" tanyaku masih erat ia memelukku.

"Makin cantik dong!" balas Lastri. Aku mengulas senyum kemudian melepas pelan pelukan kami.

"Duh ... aku mau meluk kakak ipar juga dosa nggak, sih?" ledek Miko. Suami Lastri.

"Hemmm ...." lirik Lastri, membuat Miko garuk-garuk kepala. Kemudian ia berjabat tangan denganku dan Mbak Luna.

"Eh, Mbak Luna! Apa kabar? Masih waras kan?" tanya Lastri yang juga memeluk Mbak Luna. Lastri memang seperti itu, lebih ceplas ceplos di banding aku.

"Seperti yang kamu lihat! Makin sukses lah ... dan makin di sayang oleh masmu!" jawab Mbak Luna tak mau kalah.

"Owwh ... iyakah? Syukur kalau gitu," jawab Lastri kemudian duduk di kursi dan diikuti suaminya.

"Kalian ini, berdua terus ... emang nggak bosen? Cuma kalian looo yang belum punya anak!" ucap Mbak Luna. Selalu itu yang ia bahas jika bersama Lastri. Karena memang di situ kelemahan Lastri.

Ya, Mbak Luna memang suka membahas yang menjurus ke kelemahan orang.

"Emm, Mbak Luna tadi ke sini nggak lupa bawa obatnya kan? Udah di minum belum obatnya?" balas Lastri. Aku ingin ketawa rasanya. Karena melihat raut wajah Mbak Luna, yang seketika merasa muram.

"Eh, Abah sama Emak mana?" tanya Miko, seolah ingin mengalihkan pembicaraan. Karena aku juga tahu, pembahasan anak, bagi yang belum punya anak itu masalah sensitif.

"Ke makam Mbah!" jawabku singkat.

"Owh ...."

"Sabar dong, Ko ... emmm, gitu tak sabarnya yang mau dapat warisan dari Mertua. Ha ha ha," ledek Mbak Luna. Pokokny apapun yang keluar dari mulut Mbak Luna memang bikin darah tinggi. Entahlah, nasib kami mendapatkan ipar modelan begini. Tapi nyatanya Mas Budi cinta mati sama ini orang.

"Emm, kayaknya yang nggak sabar Mbak Luna, deh ... iyakan?" balas Lastri. Mbak Luna terlihat mencebikan mulutnya.

"Eh, kalian jangan macam-macam sama aku, bentar lagi hidupku akan lebih sukses di banding kalian-kalian  Karena tentu saja Mas Budi akan mendapatkab warisan lebih banyak di banding kalian, ha ha ha," sahut Mbak Luna. Sungguh cewek ini benar-benar tak punya malu. Mungkin urat malu sudah ia gadaikan. Eh,

"Tuh, kan, obatnya belum di minum! Minum obat dulu sana, Mbak! Biar nggak oleng!" ledek Lastri masih dengan nada santai. Tapi, memang seperti itu menghadapi Mbak Luna. Karena kalau lawannya ngegas ia tambah suka. Karena memang itu yang ia cari.

Mbak Luna seketika mencebikan mulutnya.

"Eh, Mas Bima mana? Apa ia ikut ke makam?" tanya Miko.

"Nggak, Ko! Mas Bima nggak bisa ikut, lagi banyak urusan!" jawabku asal. Miko terlihat manggut-manggut.

"Eh, iya ... hampiiir saja lupa. Aku kan tadi mau nelpon Bima. Makasih, Miko, udah kamu ingetin!" ucap Mbak Luna, yang membuat hati ini mendidih lagi.

Mbak Luna terlihat beranjak dan berlalu menuju ke teras depan. Aku lihat Miko nampak bingung.

"Ada apa, Mbak?" tanya Miko padaku. Kuhela napas panjang, kemudian menggeleng. Terserahlah, lagian model Mbak Luna kayak gini, nggak bisa di tekan. Semakin nggak di perbolehkan dia akan semakin maksa dan kepo maksimal.

Kalau pun Mas Bima datang, setidaknya aku sudah ceritakan semua ke Abah dan Emak. Pasti mereka mikir saat mau mengambil keputusan. Kalau Mas Bima memang datang.

<span;>**************

Abah, Emak dan Mas Budi baru saja pulang dari makam. Mbak Luna juga baru saja mematikan gawainya. Ia memang menghubungi Mas Bima.

Aku hanya bisa pasrah, semoga Mas Bima tak datang ke sini. Kalau ia datang, entahlah, aku tak tahu apa yang akan terjadi.

Aku melihat Azkia dan Rezki saling bermain. Kami semua sudah berkumpul di ruang tamu. Sudah aku siapkah teh hangat dan camilan dari mereka yang membawa.

Mas Budi membawakan buah-buahan dan roti. Kalau Lastri membawa gula, kopi dan lain-lain.

Hanya aku yang datang tanpa membawa apa-apa. Karena hanya memegang uang dua ratus ribu. Untung aku datangnya duluan, jadi mereka tak tahu kalau aku hanya datang orang saja.

"Assalamualaikum," terdengar suara salam. Kami semua segera menoleh ke arah salam itu.

Benar, Mas Bima yang mengucap salam itu. Membuatku serasa sesak napas semakin menjadi.

Aku menoleh ke arah Mbak Luna. Ia terlihat menyunggingkan senyum. Seolah senyum puas yang ia lemparkan.

Kuteguk ludah ini sejenak. Berharap Abah tak jadi membagikan warisannya.

"Abah, Mas Bima kayaknya ke sini. Tadi di telpon Mbak Luna, dan Mbak Luna bilang kalau hari ini, Abah mau bagi-bagi warisan." ucapku tadi kepada Abah. Yang jelas tanpa sepengetahuan Mbak Luna dan lainnya.

"Eh, Bim, masuk!" pinta Mas Budi. Mas Bima tampak mengangguk polos. Membuatku semakin muak. Aku lihat lelaki bermuka dua ini, membawakan banyak sekali oleh-oleh. Seolah kayak mau nyogok, agar mendapatkan banyak bagian.

Dasar! Giliran tahu Abah mau bagi-bagi warisan, banyak sekali ia membawa oleh-oleh. Biasanya juga datang dengan tangan kosong.

"Maaf, Bah, kemarin banyak sekali pekerjaan, jadi saya tak bisa mengantar Ratih, dan Ratih nggak sabar ingin ke sini, jadi dia berangkat sendiri bersama Azkia," ucap Mas Bima. Hanya alasan saja. Tak ada aku mencium punggung tangannya seperti biasanya. Karena hati ini sudah terlanjur sakit.

Abah hanya manggut-manggut saja!

"Emm, kalian semua bisa berkumpul tanpa satu pun yang absen karena tahu Abah mau bagi warisan," ucap Abah memulai.

Abah memandangi satu persatu anak dan menantunya.

"Abah kok ngomong gitu, sih? Kok gimanaaa gitu ya di dengar!" ucap Mbak Luna.

"Faktanya kan? Padahal saat Abah sakit, yang menemani Abah hanya Ratih dan Lastri. Yang lain jangankan datang menjenguk. Nelpon menanyakan kabar saja tidak," jelas Abah. Seolah menampar halus anak dan menantunya.

Mas Budi terlihat nyengir. Karena dia anak laki-laki yang di bangga-banggakan, tak datang saat Abah sakit. Terlalu nurut di bawah rok istrinya.

"Kalian tahu, sengaja Abah undang kalian ke sini, dengan surat yang berisi akan bagi warisan, itu hanya alasan saja! Karena sejatinya Abah ingin tahu, bagaimana aslinya anak-anak Abah!" ucap Abah. Cukup membuat kami semua terkejut.

Tapi, aku justru merasa legaaa ....

"Tapi, Bah! berarti Abah ingkar janji! Abah membohongi kami semua?" ucap Mbak Luna. Malah dia yang ngeyel dan seolah merasa di permainkan.

Abah terlihat mengulas senyum. Gantian aku yang yang tersenyum puas memandang Mbak Luna yang angkuh itu. Terlihat raut wajah tak suka yang ia pancarkan.

***********

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Arlin
hahaa luna.. luna.. mamam tuh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status