Share

3. “Do You Love Her?”

Flashback.

Satu bulan yang lalu.

Seorang wanita berlari tergesa-gesa setelah turun dari pesawat yang baru saja dia tumpangi. Dia menggenggam erat ponsel dan tangan kirinya menarik koper, sesekali mencoba menghubungi nomor seseorang sambil berjalan lurus. Wajahnya tampak tak sabar ingin segera sampai ke tempat tujuan setelah melewati perjalanan panjang dari Bali ke Jakarta.

“Kenapa tidak bisa dihubungi, ya?” gumam wanita itu saat panggilan itu dijawab oleh suara mbak-mbak operator.

Wanita itu tak mau menyerah, berkali-kali menghubungi nomor yang dituju, walaupun sama sekali tak ada jawaban. Terlalu sibuk dengan ponsel hingga tidak sengaja menabrak tubuh lelaki berbadan besar dan ponselnya terjatuh begitu saja.

“Maaf ... maaf, aku tidak sengaja,” ucapnya kikuk, segera memungut ponsel.

“Kalau jalan hati-hati, Kak. Keadaan lagi ramai begini jangan main ponsel sambil jalan. Bahaya,” peringat lelaki itu dengan nada dingin.

Wanita itu mendongak menatap wajah lelaki. Begitu juga dengan lelaki itu. Keduanya bahkan sama sekali tidak mengedipkan mata. Ada apa? Sepertinya mereka berdua saling mengenali satu sama lain.

“Kamu?” Lelaki itu mencoba mengingat-ingat siapa wanita di depannya. Tak asing baginya.

“Maaf, kamu siapa?” tanya wanita itu. “Sepertinya kamu tak asing di mataku. Pernah melihat sebelumnya, tapi di mana, ya ....?”

Keduanya dibuat bertanya-tanya. Terlalu lama tak bertemu sehingga ada bagian memori kecil yang terlupakan, walaupun terlupakan, hati kecil mereka tak bisa membohongi. Wanita itu tak asing di mata lelaki itu, begitu sebaliknya.

“Mbak Misella?”

Wanita yang dipanggil Misella tersentak saat dipanggil seorang supir taksi. “Ya, saya sendiri.”

“Mari, Mbak. Mobil taksi ada di sebelah sana. Biarkan saya yang membawa koper, Mbak,” ujar supir taksi dengan ramah.

Misella mempersilahkan dan mengikuti langkah super taksi dari belakang tanpa mengalihkan pandangan kepada lelaki tadi. Sementara lelaki tadi bergumam sendiri menyebut nama Misella berkali-kali. Barang kali ingat, tapi sama sekali tak ingat.

Sekitar setengah jam melewati jalanan metropolitan, akhirnya Misella sampai juga. Dia turun dari taksi disambut oleh kakaknya yang sudah menunggu di sana. Astaga. Terlalu lama tidak bertemu, kedua kakak beradik itu saling berpelukan melepas rindu. Rindu yang cukup lama tertahan.

“Misella. Ya ampun.”

Sang kakak geleng-geleng kepala, senyuman mengembang bahagia.

“Sudah lama Kakak nggak liat kamu. Akhirnya kamu kembali.”

Mereka berdua berpelukan hangat dan beberapa detik saling melepaskan pelukan, memandang satu sama lain.

Misella nyengir menunjukan deretan gigi yang putih. “Tambah cantik aja kamu, Kak,” pujinya pada kakak bernama Bella. “Oh, ya. Kangen-kangennya ditunda dulu, ya. Dilanjut di rumah aja. Aku mau ke suatu tempat.” Misella menyerahkan koper pada Bella. “Titip, ya, Kak.”

Bella menerima koper milik Misella dengan ekspresi kebingungan. “Lho? Kamu mau kemana?”

Tanpa menjawab pertanyaan kakaknya, Misella sudah berlari masuk ke dalam taksi lagi dan melambaikan tangan. Bella berdiri menatap taksi yang ditumpangi oleh Misella semakin menjauh.

Sampai di tempat tujuannya. Mata sipitnya berseri ketika melihat gedung yang menjulang tinggi di matanya. Misella berlari dengan semangat dan perasaan bahagia.

Rumah sakit Havanna adalah tujuannya.

Akhirnya dia kembali setelah bertahun-tahun menghilang dari kehidupan orang terdekat di kota Jakarta. Ya. Dia memilih pergi ke Bali tanpa ada orang yang mengetahui.

Tanpa berhenti berlari untuk sekedar menghela napas, Misella menyusuri lorong-lorong rumah sakit dan berhenti pada salah satu ruangan. Senyumannya sama sekali tak pudar dari bibirnya dan memutar kenop pintu.

***

Fahmi segera bergegas membereskan dokumen pasien lalu ditata rapi pada tempatnya. Lantas lelaki itu menyambar jaket kesayangannya dan berjalan menuju pintu untuk pulang. Dalam hatinya tak sabar untuk bertemu istinya di rumah. Jadi ingin cepat-cepat pulang.

Saat lima langkah menuju pintu, tiba-tiba kenop pintu terputar oleh seseorang hingga seiring pintu terbuka lebar. Di sana, seorang wanita berparas cantik berdiri dengan semburat senyuman amat lebar.

Fahmi terpaku di tempat, mematung, dan membeku tidak bergerak. Fahmi mengerjapkan sepasang mata sekali. Tidak perlu lama Indra penglihatannya sudah melihat jelas wajah tak asing membuat hatinya bergetar hebat. Rasa keterkejutan tak bisa disembunyikan lagi atas kehadirannya secara tak terduga.

“K-ka-kamu ...?” gagap Fahmi.

Bibir Fahmi ikut bergetar sembari menatap wanita itu dengan intens.

Hening. Mendadak senyap. Hanya terdengar suara jarum jam yang terus bergerak sesuai porosnya . Bahkan Fahmi tak bisa untuk bernapas, kadar oksigen seakan lenyap, dan hanya menyisakan rasa sesak di dada.

“Iya, sayang. Ini aku ....”

Deg! Jantung Fahmi berdetak keras sekali. Suara itu. Suara yang sudah bertahun-tahun tak didengar, layaknya pedang yang menyayat relung hati Fahmi. Wanita cinta pertama Fahmi dan sekaligus mantan calon pengantin.

Ya, dulu wanita itu membatalkan pernikahan dan membuat Fahmi mental breakdown.

“Misella?”

Misella mengangguk dan merentangkan tangannya dengan perasaan haru. Lelaki yang selama ini tak dilihat olehnya, akhirnya bisa bertemu lagi.

“Aku kembali karena kamu,” ucapnya.

Jantung Fahmi lagi-lagi bergetar lagi, bukan karena kebahagiaan, namun kemarahan memercik dari lubuk hatinya. Kenapa dia datang di saat telah menikahi Alia? Ini yang ditakutkan oleh Fahmi. Ketakutan itu semakin menjadi dan nyata sudah di depan matanya.

“Kenapa kamu datang?”

Pertanyaan itu menohok relung batin Misella.

“Kamu nggak mengharapkan aku kembali?” tanya Misella dengan suara lirih.

Dia sudah tak mampu menahan bendungan air mata, menunduk, dan menangis terisak. “Aku tunangan kamu, Fahmi. Wanita yang akan kamu jadikan Ibu untuk anak-anakmu. Kamu lupa?”

“Aku tak pernah melupakanmu.”

Misella mengangkat kepalanya. Ada sedikit perasaan lega mendengar penuturan dari Fahmi, setidaknya masih ada harapan.

“Aku juga tidak lupa kamu membatalkan pernikahan kita,” lanjut Fahmi lalu menghembuskan napas gusar.

Misella menangis dihadapan Fahmi.

“Maaf ... aku telat meninggalkanmu dan membatalkan rencana pernikahan kita. Aku pergi ada alasannya. Aku pamit mengirimkan surel padamu. Apa kamu tidak membaca?”

Fahmi mencoba mengingat, seingat dia tak pernah mendapatkan email dari Misella.

“Tidak, Sel. Aku sama sekali tidak membaca pesan. Hari itu, aku sangat frustasi dan hampir bunuh diri saat mencoba menghubungimu, namun tidak ada kabar olehmu.”

Misella menggeleng tak percaya. Selama ini dirinya selalu mengirimkan pesan email dan tidak pernah mendapatkan balasan apapun.

"Demi Tuhan. Aku selalu mengirimkan pesan padamu.”

Fahmi rasa ucapan Misella hanya omong kosong mengingat dirinya tak pernah mendapatkan surel dari wanita itu.

“Lalu kenapa kamu kembali dengan waktu yang sangat lama?” tanyanya.

“Aku ....” Misella menjeda ucapannya. “Aku mempunyai gangguan mental. Aku terkena skizofrenia,” lanjutnya.

Fahmi terkejut. Sangat terkejut. Hingga menelan saliva. Pasalnya Misella adalah dokter psikiater, namun mempunyai gangguan mental.

Misella tertawa hambar.

“Kamu pasti berpikir, seorang dokter jiwa tapi mempunyai gangguan mental. Sejujurnya aku sangat malu untuk mengakui itu. Aku tidak bisa membayangkan jika aku harus menghadapi sendiri tanpa dokter ahli yang lain. Jadi aku memutuskan untuk pergi. Aku dirawat inap di salah satu rumah sakit di Bali. Aku berjuang untuk diriku sendiri di sana,” jelasnya. “Aku tidak pernah ada niatan untuk meninggalkanmu. Aku kembali karena kamu. Aku sangat mencintaimu, Fahmi.”

Fahmi menepis tangan Misella yang berusaha untuk menyentuhnya. Tidak bisa dipungkiri, ada perasaan iba.

“Maaf, Misella. Kamu terlambat. Aku sudah menikah dengan wanita lain.”

Dheg! Seperti ada tusukan tombak yang menancap di dada Misella, lalu ditarik paksa dan ditancap kembali. Misella bungkam, matanya begitu terasa panas setelah mendengar perkataan Fahmi begitu menyakitkan di telinga. Misella dibuat saja rasa sakit yang mendadak kembali menyerang.

“Are you kidding me?”

Berulang kali Misella menggeleng kepala seakan tidak mampu menerima kenyataan bahwa lelaki yang selama ini cintai ternyata sudah menjadi milik wanita lain.

“Tidak, Sel. Aku serius. Aku telah menikah,” balas Fahmi dengan nada serius.

Kaki Misella melemas seketika, jarinya bergetar hebat. Dia tidak mampu lagi untuk berdiri. Tubuhnya merosot dan terduduk lemas di lantai. Sangat berharap ini semua mimpi buruknya, namun seribu sayang ini adalah kenyataan bukan ilusi semata dari serpihan mimpi-mimpi buruknya.

“Do you love her?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ageng Pamungkas
keren abis
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status