Share

162. Dia Bukan Siapa-siapa

Penulis: Henny Djayadi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-23 09:56:48

Sementara itu di tempat lain, tepatnya di kediaman keluarga Lukito yang bergaya klasik dan begitu megah, pagi itu berjalan dengan tenang. Setelah menikmati makan pagi bersama, Danu Lukito mengajak Evita untuk berdiskusi sejenak.

Di ruang kerja yang dipenuhi rak-rak buku tebal dan peta-peta proyek, Danu Lukito duduk di balik mejanya dengan tatap mata yang tajam. Begitulah dia mendidik putrinya untuk menjadi penerusnya. Di depannya, Evita duduk tenang menyerahkan map laporan proyek.

“Bagaimana perkembangan proyek Semarang?” tanya Danu sambil membuka satu berkas.

“Semua berjalan lancar, Pi,” jawab Evita pelan tapi mantap. “Perizinan sudah selesai, kontraktor sudah mulai mobilisasi alat berat, dan laporan mingguan juga sudah saya kirim via email.”

Danu mengangguk puas. “Bagus. Setelah proyek ini stabil, Papi harap pertunanganmu dengan Rama segera digelar. Seperti yang pernah Widya janjikan waktu itu.”

Evita terdiam. Matanya menghindari tatapan ayahnya. Ia mengepalkan tangan dengan erat-er
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Al Ghazali
lanjut terus kk, ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    163. Kangen

    Langit Jakarta pagi itu cerah, sinar matahari menyusup masuk lewat kaca-kaca tinggi di gedung kantor pusat Narendra Group. Dari lantai bawah hingga lantai atas, suasana kantor terasa lebih hidup dari biasanya. Ada bisik-bisik kecil, senyum yang tersembunyi di balik meja, dan tatapan penuh penasaran yang saling bertukar ketika sosok Rama Narendra memasuki lobi utama.Dengan setelan jas abu gelap yang membingkai tubuh tegapnya, Rama melangkah tenang namun penuh percaya diri. Senyum tipis terukir di wajahnya. Ia menebarkan aura optimisme yang segera menjalar di antara para karyawan. Beberapa staf perempuan membetulkan rambut mereka dengan gugup, beberapa yang lain hanya menunduk memberi hormat ketika Rama lewat.“Pak Rama kelihatan beda ya hari ini?” bisik seorang staf ke temannya.“Iya… kayak lagi jatuh cinta,” sahut yang lain tertawa pelan.Langkah Rama tak terburu-buru, namun pasti. Ia menyapa beberapa kepala divisi dengan anggukan hangat, menyalami sekilas manajer yang lewat, lalu me

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    162. Dia Bukan Siapa-siapa

    Sementara itu di tempat lain, tepatnya di kediaman keluarga Lukito yang bergaya klasik dan begitu megah, pagi itu berjalan dengan tenang. Setelah menikmati makan pagi bersama, Danu Lukito mengajak Evita untuk berdiskusi sejenak.Di ruang kerja yang dipenuhi rak-rak buku tebal dan peta-peta proyek, Danu Lukito duduk di balik mejanya dengan tatap mata yang tajam. Begitulah dia mendidik putrinya untuk menjadi penerusnya. Di depannya, Evita duduk tenang menyerahkan map laporan proyek.“Bagaimana perkembangan proyek Semarang?” tanya Danu sambil membuka satu berkas.“Semua berjalan lancar, Pi,” jawab Evita pelan tapi mantap. “Perizinan sudah selesai, kontraktor sudah mulai mobilisasi alat berat, dan laporan mingguan juga sudah saya kirim via email.”Danu mengangguk puas. “Bagus. Setelah proyek ini stabil, Papi harap pertunanganmu dengan Rama segera digelar. Seperti yang pernah Widya janjikan waktu itu.”Evita terdiam. Matanya menghindari tatapan ayahnya. Ia mengepalkan tangan dengan erat-er

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    161. Keluarga Bahagia

    Pagi itu cerah. Sinar matahari menari lembut di antara tirai jendela dapur, menciptakan bayang-bayang hangat yang menyelimuti ruang makan apartemen. Meskipun Rama sempat meminta mereka untuk memesan makanan atau makan di luar, tetapi Cinta tetap berinisiatif menyiapkan sarapan pagi untuk anak dan suaminya.Bukan sekadar sarapan biasa, tapi hidangan yang sederhana namun elegan, roti panggang mentega dengan telur mata sapi yang dimasak setengah matang, jus jeruk segar, serta potongan buah stroberi dan kiwi yang disusun cantik, serta secangkir kopi hitam untuk Rama.Di tengah kesibukannya di dapur, Cinta dikejutkan oleh lengan hangat yang melingkar dari belakang. Rama memeluknya erat, dagunya bertumpu di pundak Cinta, lalu mencium tengkuknya dengan lembut."Aromanya lebih bikin lapar daripada menu hotel bintang lima," bisik Rama sambil tersenyum.Cinta hanya menggeleng sambil tersenyum malu. "Katanya mau pesan makanan saja?""Ralat. Ternyata dapet chef spesial di rumah," jawab Rama sebel

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    160. Momen Indah

    “Aku suka aroma tubuhmu.” Suara Rama menggema serak di sepanjang leher Cinta, memancing desahan lembut keluar dari bibir istrinya.Rama menindih dan menekan tubuh Cinta di atas ranjang, pria itu terasa berat di atas tubuh Cinta. Kulit lembab mereka saling menggesek dalam bara. Napas Rama berderu kasar dan mendesak di sepanjang rahang serta leher Cintaa ketika mulut pria itu meninggalkan isapan-isapan kecil di atas kulit di sana.Sementara Cinta berbaring terengah-engah di bawah tubuh Rama yang sama polos dengan dirinya. Aroma keharuman yang maskulin bercampur dengn peluh memancar dari tubuh Rama. Mengundang desiran hasrat bergulung kental di seluruh pembuluh darah Cinta.Napas Cinta semakin terengah-engah, Gempuran Rama membuatnya semakin tak berdaya, sudah dua kali pelepasan tapi Rama masih meminta lebih, seolah tidak ada esok malam lagi.Cinta merintih, menengadahkan kepala ke atas, sementara pinggul wanita itu terus bergerak karena dorongan yang diberikan Rama padanya. Napas mereka

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    159. Malam Pertama

    Malam itu, angin bertiup lembut dari balkon lantai atas apartemen mewah milik Rama. Kota berkelip di kejauhan, lampu-lampu seperti bintang yang jatuh ke bumi. Pintu otomatis terbuka saat mereka masuk, disambut kehangatan interior modern yang elegan—kayu, marmer, dan cahaya temaram yang menenangkan.Chiara langsung berlari ke ruang tengah, matanya berbinar, mengelilingi sofa empuk, rak buku, dan televisi besar.“Wah! Ini seperti rumah di mimpi aku!” seru Chiara dengan sangat girang. “Dulu aku juga pernah tinggal di apartemen kayak gini, waktu sama Papa Kevin.”Ucapan itu membuat langkah Cinta terhenti. Ia menunduk pelan, menahan napas yang tercekat. Di tengah harapan untuk memulai hidup baru, nama itu menyeruak seperti duri dalam ingatannya. Kenangan lama yang pahit—yang ingin ia lupakan, namun masih membekas di hati.Rama menoleh ke arah Cinta, menangkap perubahan wajahnya. Tapi ia tetap tenang, tidak menunjukkan keberatan. Ia tersenyum kecil, mendekati Chiara yang kini sudah duduk di

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    158. Perpisahan

    Di salah satu sudut kafe yang tenang, Rama menatap layar ponsel dengan ragu sejenak sebelum akhirnya menekan tombol panggil. Beberapa detik kemudian, suara Dion terdengar di seberang.“Halo, Bos?”“Dion,” suara Rama terdengar tegas tapi lelah. “Aku butuh kamu segera kembali ke Jakarta.”“Sekarang, Bos? Ada apa?” tanya Dion, sedikit terkejut.“Papaku belum sepenuhnya pulih. Sementara aku harus bolak-balik antara kantor dan pengobatan Chiara. Perusahaan butuh orang yang bisa kupercaya, dan itu kamu.”Menyebut nama Chiara, tentu tidak bisa lepas dari Cinta. Dion yakin Cinta lah yang menjadi alasan utamanya. Namanya pengantin baru yang masih anget-angetnya, tentu Rama tidak ingin kehilangan momen kebersamaan yang akan mengantar ke puncak kenikmatan.Dion berdiri di dekat jendela hotelnya, memandangi langit yang mulai menguning, mata terpejam sejenak, mencoba menimbang. Belum lama ini ia merasa baru mulai menemukan ritme hidup yang baru, jauh dari hiruk-pikuk dunia korporat, dan lebih deka

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    157. Tidak Semua Bisa Kita Kendalikan

    Begitu mobil berhenti di pelataran rumah, Widya langsung membuka pintu dan melangkah cepat menuju pintu masuk. Wajahnya masih mengeras, amarah masih menyala di dadanya. Namun begitu membuka pintu utama, ia disambut dengan suara berat dan ketus dari ruang tengah.“Suami lagi sakit, bukannya di rumah malah klayapan.” Suara Arman membuat langkahnya terhenti sejenak.Widya memejamkan mata sejenak, lalu menoleh ke arah suaminya yang sedang duduk di sofa dengan selimut menutupi kakinya. Wajah Arman pucat, tapi matanya tajam menatap ke arahnya.“Aku keluar bukan untuk bersenang-senang, Mas,” jawab Widya cepat. “Aku sedang memperjuangkan masa depan keluarga kita. Nama baik keluarga Narendra!”Arman terkekeh, getir. “Nama baik?” tanyanya. “Nama baik itu juga bisa dijaga dengan diam, Wid. Bukan dengan terus bicara ke mana-mana. Bukan dengan mempermalukan perempuan yang sudah Rama pilih sendiri.”Widya mendengus kesal dan melangkah melewatinya, hendak menuju ruang kerjanya. Tapi suara Arman kemb

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    156. Perempuan Terbaik

    Rama memandangi Cinta yang masih menunduk, menahan air mata yang mengalir diam-diam. Ia menggenggam tangan perempuan itu lebih erat, lalu mengusap lembut punggung tangannya dengan ibu jari, memberikan ketenangan.“Cinta,” ucap Rama lirih, “kita harus bersabar.”Cinta menatapnya, matanya masih berkaca-kaca.“Masalah seperti ini tidak akan selesai dalam sehari atau dua hari,” lanjut Rama. “Mama tidak akan langsung berubah pikiran. Tapi kita akan hadapi semua ini bersama. Sekarang… kita ini keluarga. Kamu, aku, Chiara.”Kata-kata itu membuat Cinta kembali menunduk, kali ini bukan karena sedih, tapi karena hatinya dipenuhi haru. Ia sudah terlalu lama merasa sendiri, terlalu lama berjuang sendiri. Kini, ada seseorang yang berdiri di sisinya, menggenggam tangannya, dan berkata bahwa mereka adalah satu keluarga.“Maaf kalau tadi aku ragu,” ucap Cinta lirih. “Aku hanya takut... aku takut kamu menyesal memilih aku.”Rama menggeleng. “Aku tidak pernah menyesal. Bahkan kalau harus kehilangan sem

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    155. Bukan Orang Kaya Baru

    Ancaman yang dilontarkan Widya mengambang di udara, menyesakkan dada semua yang mendengarnya. Bahkan para pelanggan kafe kini hanya berani melirik diam-diam, menyadari bahwa mereka sedang menyaksikan sebuah drama keluarga kelas atas, dan mungkin terlalu dalam untuk dipahami.Evita berdiri di samping Widya, canggung. Tangan perempuan muda itu perlahan menyentuh lengan calon mertuanya.“Tante...,” ucap Evita dengan suara lembut, mencoba menenangkan, “sebaiknya kita pergi dari sini. Ini tempat umum. Semua orang melihat kita.”Widya masih menatap Rama dengan tatapan kecewa dan marah, namun Evita melanjutkan, lebih lembut, “Kita bisa bicarakan ini di rumah. Dengan tenang. Mungkin... mungkin kita bisa mencari jalan tengah.”Perlahan, suara Evita seperti meredakan api, meski belum memadamkannya. Widya mengalihkan tatapan ke Evita, dan dalam sekejap terlihat sorot kebimbangan. Ada gengsi yang terluka, harga diri yang tercabik, dan cinta seorang ibu yang sedang menabrak tembok kokoh pembangkan

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status