Share

Karena Kita Orang Miskin
Karena Kita Orang Miskin
Author: Aisyah Nur Permata

Bab 1

Karena Kita Orang Miskin

Aku berlari ke rumah mertua. Menggedor pintunya dengan tergesa-gesa seraya mengucap salam berkali-kali.

"Ada apa, sih, Ratna?" tanya ibu mertuaku setelah membuka pintu.

"Ratna boleh pinjam uang sepuluh ribu rupiah, Bu?"

"Buat apa, Rat? Kayaknya kamu buru-buru banget."

"Buat ... beli obatnya Rindi, Bu. Demam dia." Hanya itu yang bisa kuberikan sebagai alasan. Bukannya berniat berbohong, uang itu sebenarnya akan kubelikan sate untuk putri bungsuku. Sate itulah yang menjadi obatnya.

Benar adanya anak bungsuku sedang demam. Sudah tiga hari ini suhu tubuhnya meningkat. Sudah berbagai obat kuberikan, tetapi belum juga sakitnya sembuh. Sampai akhirnya aku mengetahui penyebab sakitnya puteriku.

"Rindi ... makan dulu, ya, Nak. Biar cepat sembuh." Aku mencoba membujuknya. Sejak sakit, Rindi memang susah sekali untuk makan. Dia selalu menolak makanan yang kusuapkan. Terpaksa, hanyalah teh manis yang masuk dalam perutnya untuk mengganjal lapar.

"Rindi pengen makan sate katanya, Bu." Bunga, si tengah menyahut dari teras rumah kami.

Saat mendengar itu, kulihat Rindi menunduk.

"Bener, Sayang?" tanyaku yang langsung dijawab anggukan pelan oleh Rindi.

"Rindi sejak kapan pingin makan satenya?" Aku bertanya lagi.

"Kemarin itu, Bu. Sebelum sakit." Lagi, Bunga yang menjawab tanyaku. Sementara Rindi lagi-lagi hanya mengangguk seolah mengiyakan apa yang dibilang kakaknya.

Kuraba saku, celana yang kukenakan, berharap ada selembar uang yang terselip. Sayangnya, saku celanaku kosong. Begitu juga dengan sisipan pakaian di lemari yang kuperiksa. Nihil, tidak ada satu rupiah pun aku miliki.

Sudah hampir seminggu ini kami--aku dan ketiga putriku--makan hanya berlauk sepapan tempe berharga dua ribu rupiah. Untungnya, persediaan beras jatah kami masih ada. Juga sedikit minyak goreng--yang sudah berkali-kali digunakan. Jadi, kami masih bisa makan walau dengan menu sederhana.

Gajiku sebagai buruh cuci di rumah Bu Lurah, harusnya sudah dibayarkan dua hari yang lalu. Nyatanya, sampai hari ini, upah sebesar seratus ribu rupiah untuk satu minggu cuci setrika di rumah itu, belum juga dibayarkan. Entah beliau lupa atau apa. Aku juga tak berani menagih. Sungkan.

Mas Dadang yang bekerja merantau ke pulau seberang pun belum mengirimkan uang sejak dua bulan lalu. Jangankan uang, suaranya pun sangat jarang kudengar lewat sambungan telepon. Terakhir kali kami berkomunikasi hampir dua minggu yang lalu saat dirinya mengabarkan upahnya sebagai kuli bangunan yang belum juga dibayarkan.

Bingung, tak tahu harus bagaimana, aku memutuskan berlari ke rumah ibu mertua yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah kami. Tujuanku tidak lain adalah untuk meminjam uang sepuluh ribu rupiah. Harga seporsi sate ayam yang dijual di kedai ujung kampung ini.

Cukup lama menunggu, ibu mertuaku akhirnya keluar  dan menyerahkan selembar uang sebesar nominal yang tadi kusebutkan.

"Ini ... bener buat obat, kan, Ratna?"

"I-iya, Bu." Gelagapan aku menjawabnya. Takut kalau akhirnya ibu mertuaku tahu bahwa uang itu bukan untuk membeli obat dalam arti sesungguhnya.

Setelah menerima uang itu dan mengucap terima kasih, aku pamit dari rumah ibu mertua. Lalu, berjalan kembali ke rumah. Aku tidak langsung menuju warung sate yang letaknya tak jauh dari rumah mertuaku, biar tak dicurigai.

Sesampai di rumah, kuperintahkan Kasih--si sulung--untuk membelikan seporsi sate di satu-satunya kedai yang menjual sate di kampung ini.

Selang satu jam berlalu, Kasih datang dengan mata merah. Tak kulihat kantong plastik berisi bungkusan sate yang harusnya dibawa serta. Malah, anak gadisku itu langsung berlari ke belakangku saat terdengar suara yang familiar dari depan rumah.

"Ratna!" Itu suara ibu mertuaku.

Aku segera keluar dan menyambut beliau.

"Ada apa, Bu? Mari, masuk dulu ...."

"Nggak usah! Kamu ternyata minjem duit buat nyuruh anak beli sate, ya?"

Tak bisa menjawab, aku memilih menunjuk dan mengangguk pelan.

"Kamu itu, udah tau susah. Malah manjain anak aja kerjaannya. Bikin malu! Bilangnya pinjem uang buat obat anak. Taunya buat beli sate. Saya aja nggak makan sate. Kamu sok-sokan makan sate."

Aku hanya bisa diam menanggapi nasehat yang terdengar seperti cibiran itu. Sakit sebenarnya mendengar itu. Tetapi, lebih baik aku diam. Bicara pun pastinya percuma. Yang ada malah akan semakin dicibir.

"Makanya, kalau miskin, jangan kebanyakan gaya!" Itu kata-kata terakhir yang kudengar dari mulut ibu mertuaku sebelum beliau meninggalkan rumah kami tanpa pamit.

Aku masuk ke dalam sambil menahan sesak di dada. Sakit sekali mendengar kata-kata tadi. Padahal, aku hanya meminjam uang dengan nominal yang tidak besar. Tetapi, kata-kata yang kudapat sakitnya terlalu besar.

Di dalam, Kasih bercerita bahwa dia bertemu dengan nenek yang juga ingin membeli sate untuk Kalina--sepupunya, cucu mertuaku juga. Kasih yang polos, menceritakan tujuan. Menurut penuturan Kasih, neneknya langsung mengambil uang di tangan dan menyuruh Kasih untuk pulang karena uang itu adalah uang neneknya.

"Emang bener ya, Bu, itu uang nenek?" tanya Kasih di sela tangisnya.

Aku hanya bisa mengangguk lemah. Sakit, sedih tak terkira rasanya. Ingin menumpahkannya lewat tangisan, tapi kutahan. Aku tak boleh lemah di depan anak-anak.

Hening tercipta cukup lama setelah itu. Aku yakin, anak-anakku pasti sedih karena ini. Rencana makan malam dengan lauk sate gagal. Apalagi Rindi yang terlihat antusias saat tadi aku menyuruh kakaknya pergi membeli sate.

Maafkan Ibu, ya, Nak....

"Bu... kenapa ya, kalina beliin sate, tapi kita nggak boleh beli sate?" tanya Rindi pelan.

"Karena kita orang miskin," jawab Bunga.

Jawaban yang terasa menyakitkan walau benar adanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status