Untuk sementara Yudi tinggal bersamaku dan bang Arman sampai dia mendapatkan tempat kos di sekitar lokasi Tanah Abang. Besoknya, Yudi langsung bekerja di toko yang ada di blok A sebagai pengganti Anton. Sementara itu, aku tetap di rumah untuk menemani ibu. Bang Anton sendiri yang memintaku untuk menemani ibu sampai beliau kembali ke kampung. Aku sangat senang mendengarnya. Aku bisa melepas kerinduanku sepuasnya dengan ibu. Lagi pula aku sedikit lega karena sudah ada Yudi di toko. "Yun, ibu lihat Arman sangat baik padamu. Ibu merasa sangat lega, Yun!" ucap ibu di kala kami memasak untuk makan malam buat bang Arman. Aku tertegun. Iya, bang Arman memang baik. Tapi bang Arman tidak tegas jika itu menyangkut anaknya. Dia sering berlaku tidak adil padaku. Namun kalimat itu aku simpan dalam hati. Aku tersenyum menanggapi perkataan ibu. "Beberapa hari yang lalu, ibu sering melihatmu dalam mimpi. Kamu berjalan pelan menemui ibu. Ibu bisa melihat air matamu. Ibu memanggilmu. Namun kamu cum
Aku tidak terima keluargaku dianggap hanya menghabiskan uang bang Arman. Wajahku tegang. Aku harus mengatakan perihal ini pada bang Arman. Elisa tidak juga kapok sejak dia memfitnahku, sekarang dia malah menghina keluargaku. "Kak?" Yudi menatapku dengan rasa tidak enak hati. "Kak, jangan ceritakan masalah ini pada bang Arman, ya!" pinta Yudi. Aku menoleh padanya. "Kenapa, Yud? Bukankah Elisa sudah menghina kamu?" "Aku tidak mau bang Arman tersinggung. Aku juga tidak mau merusak hubungan kakak dengan bang Arman," ucap Yudi. Kata-kata Yudi membuatku terharu. Aku menundukkan wajahku, menyesali dengan ketidakberdayaan aku. Aku masih ingat, bagaimana bang Arman lebih mempercayai Elisa ketimbang aku saat gadis remaja itu memfitnahku. Aku juga tidak yakin, jika ia akan mempercayaiku kali ini. Aku menangis dalam diam. Yudi terkejut mendengar suara isakku yang pelan. Ia berjongkok di depanku dan meraih tanganku. "Kak! Maafkan aku, kak! Seharusnya aku tidak mengatakan hal ini pada kakak.
"Hani!" gumamku nyaris tanpa suara. Mantan istri suamiku itu berjalan menghampiriku. Wajahnya memandang sinis padaku dan ibu. Ibu terperangah melihatnya. "Aku pikir kamu cuma membawa adikmu saja ke sini. Tidak tahunya kamu juga bawa ibumu!" katanya dengan nada mengejek. "Enak, ya! Punya suami kaya. Bisa jalan-jalan, bawa ibu dari kampung pula!" Ia berbicara sambil menarik salah satu sisi bibirnya untuk menunjukkan jika ia merendahkan kami. "Aku tahu, kamu menikah dengan Arman karena berharap bisa hidup enak, kan? Seperti sekarang ini. Jalan-jalan bersama ibumu untuk menghabiskan uang ayah anakku! Dasar wanita gatal! Sukanya sama suami orang!" Ia menghinaku dengan kata-kata kejam.Wajah ibu terlihat keruh. "Siapa dia, Yun?" bisik ibu padaku. "Mantan istri bang Arman, Bu," jawabku. Ibuku terdiam dan tidak berkata apapun lagi. Ia memilih mengabaikannya. Aku juga mengikuti cara ibuku. "Hei! Diajak bicara malah diam!" Hani mulai gusar. Ia berjalan mendekati lesehan tempat kami duduk.
Sepanjang perjalanan pulang ibu hanya diam. Ia tidak banyak bicara sejak kejadian di rumah makan Sunda tadi. Wajahnya tampak di tekuk. Bang Arman berkali-kali mengajaknya bicara, namun ibu hanya menanggapi dengan 'iya' dan 'tidak' saja. Aku menjadi tidak enak hati dengan bang Arman karena sikap ibu. Tapi aku paham kenapa ibu bersikap seperti itu. Wajahnya terlihat marah, entah pada siapa. Entah pada bang Arman atau padaku. Begitu sampai di rumah, ibu langsung masuk ke kamar. Bang Arman menatap padaku. Aku hanya menghela nafas. "Dek, apa ibu marah sama Abang?" tanyanya merasa bersalah. "Tidak tahu, bang. Mungkin ibu hanya kecewa saja," ucapku.Wajah bang Arman tegang dan rahangnya mengeras. "Memang perempuan itu tidak pernah bosan merecoki hidupku," gumamnya geram. Bang Arman menoleh padaku. "Dek, sampaikan maaf Abang pada ibu, ya. Abang merasa tidak enak hati sama ibu," ujarnya khawatir. "Iya, bang," jawabku. Aku hendak berlalu dari hadapan bang Arman untuk menemui ibu di kamar.
Aku menghela nafas berat. Aku tatap wajah penuh kekhawatiran ibu. "Bu, aku dengan bang Arman belum lama menikah. Masak kami harus berpisah karena orang lain?" tanyaku lembut. Aku tahu ibu berkata begitu karena rasa sayangnya padaku. Ibu tertegun. Ia kemudian menunduk. Lalu menangis lagi. "Maafkan ibu, Yun! Maafkan ibu, nak! Ibu.... Astaghfirullah alazim. Ya, Allah mengapa hamba sampai melupakan-Mu!" Ibu tergugu. "Iya, Bu. Ada Allah bersama kita. Berserah dirilah pada-Nya, Bu!" bujukku. Ibu mengangguk di sela Isak tangisnya. Tok! Tok! Tok!Aku dan ibu mendengar suara ketukan dari pintu kamar. Tidak lama, kami melihat bang Arman menyembulkan wajahnya dari balik pintu. Raut wajah bang Arman terlihat cemas dan khawatir. "Maaf, Bu! Apa boleh aku masuk?" ijinnya pada ibu. Ibu hanya mengangguk. Bang Arman pun duduk di samping ibu, di sisi yang lainnya. Ia meraih tangan ibu. "Ada apa, Bu? Sejak pulang dari Taman Mini tadi, ibu terlihat lesu. Apa ibu sakit?" tanyanya perhatian. "Ti
"Assalamualaikum! Assalamualaikum!" Aku berjalan cepat ke depan ketika mendengar suara bang Arman mengucapkan salam. Aku heran, tumben bang Arman mengucapkan salam sekencang itu hingga berulang kali. "Abang dari ma....na?" Suaraku langsung hilang ketika menyadari siapa yang di bawa bang Arman bersamanya. Bang Arman tersenyum padaku. Sedangkan tubuhku terasa menegang menatap sosok di depanku. Dia bersikap cuek seakan tidak terusik olehku. "Ayo, salim pada ibumu!" perintah bang Arman pada kedua anaknya itu. Ya, tiba-tiba saja tanpa memberitahuku, bang Arman membawa kedua anaknya ke rumahku. Aku sudah pernah bertemu Elisa, dan ini pertama kalinya aku bertemu Ridho, anak bang Arman yang paling tua. Ridho langsung berjalan menghampiriku dan langsung mencium punggung tanganku. Ia masih tersenyum padaku meskipun terlihat kaku dan dipaksakan. Sedangkan Elisa, melengos melihatku. Ia mengabaikan permintaan papanya. Ia mendaratkan bokongnya ke sofa kemudian asyik dengan ponselnya. Mata ba
Namaku Hani. Aku mantan istri bang Arman. Kami bercerai atas gugatan bang Arman. Aku sudah berusaha membujuknya untuk tidak menceraikan aku. Tapi seperti biasa bang Arman selalu keras kepala. Aku akui, aku salah. Aku mengkhianati cintanya dengan pria yang lebih muda. Tapi itu aku lakukan karena aku jenuh dengan sikap bang Arman. Bang Arman selalu ingin menang sendiri. Segala keputusan selalu dia yang buat. Suaraku tidak dianggap olehnya. Ia menganggap aku perempuan tidak memiliki kemampuan apapun dan bisanya hanya menghabiskan uangnya saja. semua tuduhannya itu membuatku gelap mata. Baiklah, jika dia menganggap aku begitu. Sekalian saja aku habiskan uangnya.Aku sering hang out dengan teman-temanku. Dan di saat itulah, aku mengenal laki-laki yang bernama Vino. Usianya lima tahun di bawahku. Dia punya istri yang sibuk bekerja sehingga membuat dia kesepian. Sejak itu kami saling berbagi cerita hingga kebablasan menjadi cinta.Selama setahun, aku bisa menyembunyikan hubunganku dengan V
"Terserah anak-anak, bang. Kalau mereka bersedia ikut Abang, ya silakan. Kalau tidak, Abang tidak bisa memaksa mereka," ucapku penuh keyakinan. Bang Arman tampak termangu. Aku tersenyum miring melihatnya. Aku yakin seratus persen jika anak-anakku akan menolak permintaan konyol papanya."Ya, sudah. Kamu panggilkan mereka sekarang. Mereka ada di rumah, kan?" perintah bang Arman.Aku menggerutu dalam hati. Dia yang perlu, kenapa bukan dia saja yang panggil, sungutku. Pertama, aku ke kamar anak perempuanku, Elisa. Aku mengintip di kamarnya. Dia terlihat sedang teleponan dengan seseorang sambil tidur-tiduran. Wajahnya tampak ceria sekali. Aku menduga dia pasti sedang teleponan dengan pacarnya. Entah pacar yang mana, aku tidak tahu. Aku memang tidak pernah mencampuri masalah pribadi anak-anakku. Menurutku mereka sudah cukup dewasa, sehingga aku membebaskan mereka melakukan apapun yang mereka inginkan. "Lisa!" panggilku seraya masuk ke kamar. Elisa terkejut. Wajahnya pucat pasi. Ia seger