Sejak bang Arman mengizinkan aku ke tokonya, setiap hari aku ke sana bersama bang Arman. Bang Arman menjadikan aku kasir di tokonya yang ada di blok A. Aku pelajari sedikit demi sedikit pekerjaanku sebagai kasir. Aku harus mengenal produk dan harga yang dijual. Juga kode-kode harga yang hanya diketahui oleh bang Arman. Aku juga belajar, bagaimana mencatat penjualan hari ini dan juga laba kotor yang kami peroleh serta merekapnya saat akan tutup toko. Dengan cepat aku bisa menguasainya karena dulu aku pernah bekerja di toko pakaian di kota kelahiranku.
Seorang gadis berpakaian seragam SMA datang ke tokoku. Ia langsung berjalan menuju meja tempat aku duduk. Matanya terbelalak saat melihatku. Ia diam membeku.Aku menatap heran padanya. Aku mencoba tersenyum meskipun terasa canggung dan aneh. Aku bertanya-tanya, siapa gadis ini? Kenapa dia bisa lancang memasuki area kasir tanpa sungkan sedikit pun.Gadis itu hanya menatapku tanpa berniat membalas senyumanku. Aku menoleh pada Rindi. Rindi mengerti maksudku."Lis, ini kak Yuni. Dia.....""Pegawai baru, ya?!" potong gadis itu sambil menatap sinis padaku.Aku terperangah menatapnya. Gadis ini terlihat begitu sombong."Bukan!" bantah Rindi merasa tidak enak hati padaku. "Ini kak Yuni. Kak Yuni ini istri papamu," ucap Rindi memperkenalkan aku.Aku terkejut saat Rindi mengatakan jika gadis sombong di depanku ini ternyata anak bang Arman, yang berarti anak tiriku.Ya, Allah! Melihat sikapnya yang seperti ini, apa mungkin dia mau menerimaku sebagai ibu sambungnya?Mata gadis itu membelalak memandangku. Ia memindai tubuhku dari atas hingga bawah. Aku merasa jengah diperlakukan seperti itu. Namun aku mencoba maklum. Gadis ini masih muda, mungkin berat baginya menerima orang baru di kehidupan ayahnya.Untuk menutupi kekakuan di antara kami, aku berinisiatif mengulurkan tangan untuk mengajaknya salaman. Walau seharusnya dia lah yang mesti menyalamiku, karena aku adalah ibu sambungnya.Tanganku seakan melayang di udara. Gadis itu mengacuhkannya dan menatap sinis padaku meskipun aku sudah memberinya senyuman ramah. Perlahan, aku menurunkan kembali tanganku."Mana papa?" Gadis itu bertanya pada Rindi dan mengabaikan aku.Rindi menatap padaku dan padanya secara bergantian. Ia merasa tidak nyaman karena perlakuan gadis itu padaku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya agar ia tidak memikirkan aku."Ada di toko blok F," jawab Rindi."O," kata gadis itu. Ia berkeliling mengitari toko. Aku kembali ke mejaku dan mengamatinya dari jauh. Sedangkan Rindi mengabaikannya. Gadis itu mengambil sebuah kardigan berwarna toska. Ia mematut-matutnya ke cermin yang ada di sudut toko. Senyum terkembang di bibirnya."Cantik nggak, kak?" tanyanya pada Rindi.Rindi melihat sekilas. "Cantik," jawabnya singkat.Gadis itu tersenyum. "Bungkus, kak!" perintahnya pada Rindi. Rindi mengambil kardigan itu dan membungkusnya ke dalam kantong plastik khusus yang dicetak dengan nama toko.Gadis itu kembali melihat-lihat lagi barang yang ada di toko. Cukup lama ia berkeliling, tapi ia tidak lagi menemukan barang yang sesuai dengan seleranya."Mana bungkusan tadi, kak? Aku pulang saja, ah! Nggak ada yang cantik lagi," ujarnya.Rindi menyerahkan bungkusan itu padanya. Gadis itu langsung pergi tanpa mengatakan apapun. Bahkan ucapan terima kasih kepada Rindi pun tidak.Aku tercengang melihatnya. Aku bingung bagaimana mencatat barang yang diambil gadis itu dengan gratis. Apa aku mencatatnya di bagian penjualan, ataukah tidak perlu mencatatnya? Agar nanti sore aku tidak bingung saat menghitung uang penjualan hari ini. Karena sudah tentu uang yang diterima berkurang dibandingkan barang yang laku terjual."Kak, nanti ditandai saja di barang yang diambil Elisa itu. Pas toko tutup, kakak kurangi penjualan dengan harga barang yang diambilnya," jelas Rindi seakan mengerti dengan kebingunganku.Aku bernafas lega. "Terima kasih, Rin! Untung ada kamu, kalau tidak bisa bingung aku menjelaskannya pada bang Arman," ucapku."Tidak apa, kak. Dia itu memang biasa ke sini buat ambil barang. Apalagi kalau dia tahu ada barang baru. Sudah bisa dipastikan dia datang bersama ibunya," imbuh Rindi."Ibunya? berarti mantan istri bang Arman?" tanyaku ragu.Rindi mengangguk. "Iya, kak. Ibunya nggak kalah sombong dari dia!" ucap Rindi yang kemudian segera menutup mulutnya dengan tangan. Rindi menatapku jengah, sepertinya ia merasa keceplosan berbicara tentang mantan istri bang Arman denganku.Aku tertawa melihat Rindi yang salah tingkah. Melihatku tertawa, Rindi pun terkekeh."Memangnya bang Arman tidak keberatan mereka mengambil barang tanpa seizinnya?" tanyaku."Sebenarnya keberatan, kak. Tapi mau bagaimana lagi. Bang Arman itu lembek kalau sudah berurusan dengan anak dan mantan istrinya itu. Apalagi kalau mantan istrinya sudah menggunakan air mata buaya, bang Arman langsung terdiam dan mati kutu!" cerita Rindi.Aku menghela nafas. Terus terang, aku sedikit takut setelah mendengar cerita Rindi tentang anak dan mantan istri bang Arman. Jika bang Arman bersikap selunak itu, tentulah ia tidak bisa membelaku bila suatu saat aku terlibat konflik dengan mereka. Aku bergidik ngeri. Mudah-mudahan, mereka mengabaikanku. Aku betul-betul tidak mau berurusan dengan mereka, harapku."Kalau tidak salah, bang Arman punya dua anak ya, Rin? Satunya lagi bagaimana?" tanyaku penasaran. Memang selama kami kenalan, bang Arman tidak pernah menceritakan tentang anak-anaknya. Aku bahkan tahu jika anak bang Arman dari istrinya terdahulu itu dua dari Paman Surya."Kalau yang satunya baik, kak. Nggak sombong kayak adik dan ibunya. Namanya Ridho, dia kuliah tahun pertama sekarang. Tapi dia jarang kesini. Palingan dia baru ke sini kalau di suruh papanya untuk membantu saat toko sangat ramai," jelas Rindi.Aku sedikit lega mendengarnya. Setidaknya hanya ada dua orang yang mungkin akan berkonflik denganku. Namun harapan semoga mereka mau menerimaku dengan lapang dada.Mama tiba-tiba meneleponku dan memintaku melakukan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku. Aku memang tidak senang ketika mendengar ibu tiriku itu sedang mengandung anak papaku. Tapi aku juga tidak ingin menyakitinya. Aku cuma ingin hidup damai. Masalahku sudah sangat berat yang terkadang membuatku ingin pergi dari dunia ini. Tapi desakan mama membuatku seakan terdoktrin untuk melakukan itu. Mama bilang masalah harta warisan atau apapun itu, aku sungguh tidak peduli. Tapi ucapan mama adalah perintah bagiku. Aku tidak mau mama terus memakiku. Aku berpapasan dengan Tante Yuni. Kami terdiam kaku sejenak. Kemudian Tante Yuni tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan senyum kaku. "Apa kabar, Elisa!" sapa Tante Yuni padaku. "Baik," jawabku singkat lalu kembali ke kamarku. Aku bisa melihat sekilas raut kekecewaan di wajah Tante Yuni. Aku bisa apa? Aku tidak bisa akrab dengannya karena dia itu ibu tiriku. Bangun tidur, aku mendengar suara ribut dan juga tawa. Sepertinya sangat rama
Aku menatap nanar pada semua orang yang memandangku. Mereka menatapku dengan tatapan menyudutkan ku. Wajahku sudah memerah. Laki-laki asing ini begitu kurang ajar. Seenaknya saja dia ikut campur dengan urusanku bersama si Yuni ini. Bukan salahku jika wanita tua itu pingsan. Dia yang terlalu berlebihan. Sudah tahu tua, masih saja sok melawan. Seharusnya para benalu ini kembali ke kampung halamannya. Tidak mau menjadi tatapan orang-orang di kompleks perumahan kumuh ini, aku memutuskan pergi. Hatiku puas karena berhasil menyakiti maduku itu. Aku tetap menganggapnya madu meskipun aku sudah lama bercerai dari bang Arman. Wanita itu sudah membuat kesempatan aku untuk kembali pada bang Arman hilang. Aku mendengar kabar jika bang Arman berhasil membujuk wanita itu kembali bersamanya. Ini membuatku marah. Dan aku semakin marah ketika mengetahui jika wanita kampung itu sedang hamil anak bang Arman. Ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus melakukan sesuatu agar mereka cepat bercerai. Sebenarny
Aku mengejap-ngejapkan mataku begitu sinar putih itu menerpaku, saat aku membuka mata. Aku melihat ruang yang serba putih dan beraroma obat. Aku tahu, sekarang aku sedang berbaring di rumah sakit. "Yun!" Aku menoleh pada suara yang memanggilku. Ibu menatapku dengan wajah cemasnya. Ia menggenggam erat tanganku. "Ibu...?" Aku berucap lemah. "Bagaimana keadaan kamu, nak?" tanya ibu. "Aku tidak tahu, Bu! Tenagaku seakan..terkuras habis," jawabku. "Aduh, Yun! Kamu buat jantung ibu seakan copot. Ibu sudah bilang berkali-kali agar kamu istirahat saja. Tapi kamu keras kepala! Hamil muda malah ikut bantu di warung!" omel ibu. "Jadi ibu tahu kalau Yuni sedang hamil?" Suara bang Arman membuat kami tersentak kaget. Ia menatap ibu dengan pandangan kecewa. Ia juga menatapku dengan pandangan yang sama. "Kenapa kalian tidak memberitahu aku?"Ibu dan aku saling pandang. "Jawab, Yun! Kenapa kamu merahasiakannya pada Abang?" tuntut bang Arman. "Karena Yuni ingin bercerai dari kamu, Man!" jawab
Kehamilanku membuatku susah bergerak. Aku sering kali muntah dan merasa lemas. Padahal aku sudah meminum obat yang mengurangi muntah. Warung lebih sering dikelola ibu, kadang di bantu oleh Yudi dan Rindi. Tubuhku sangat lemas, sehingga aku tidak ikut keluar membantu ibu berjualan. Aku duduk di depan kamarku, yang menghadap langsung ke warung.Jantungku berdetak cepat, ketika melihat bang Arman datang. Seperti biasa ia memesan makanannya. Ibu melayani dengan wajah masam. Aku melihat bang Arman celingukan. Matanya menemukan sosokku yang duduk di depan jendela. Ia tersenyum ketika kami bertatapan. Aku buang muka. Aku mendadak gugup ketika bang Arman datang menghampiriku. Aku segera berdiri dan berjalan ke ranjangku. Aku berbaring dan berharap bang Arman tidak ke sini. "Yun!"Aku terperanjat kaget ketika bang Arman sudah berdiri di depan jendelaku dan memanggilku. Aku pura-pura tidak dengar dan mengabaikannya. "Kamu kenapa tidak membantu ibu jaga warung, Yun? Apa kamu sakit?" tanya b
Aku masih dalam diam ku. Sesungguhnya aku tidak pernah berpikir untuk cerai dan menjadi jadi. Tapi, pernikahan yang kujalani dengan bang Arman juga tidak membuat aku bahagia. "Yun! Apa yang kamu pikirkan lagi? Untuk apa kamu pertahankan laki-laki seperti Arman?!" Ibu menatapku dengan kesal. Begitulah ibu. Jika ibu merasa keputusannya tepat, dia akan terus mendesak ku untuk menjalankannya. Sama halnya saat beliau memaksaku untuk menerima pinangan bang Arman dulu. "Bu, aku tidak tahu, Bu. Aku masih belum siap jadi janda.""Jadi janda bukan suatu aib, Yun. Yang paling penting kebahagiaan kamu. Menikah dengan Arman hanya akan membuat kamu sengsara. Karena Arman masih terikat sama anak dan mantan istrinya. Kamu akan terus dibuat makan hati oleh mereka. Jadi, lepaskan saja Arman itu. Siapa tahu besok kamu dapat jodoh yang lebih baik," bujuk ibuku gencar.Aku kembali terdiam. "Yun!" Ibu menggenggam erat tanganku. "Ibu sedih melihat hidupmu sekarang. Rasanya hati ibu remuk ketika melihat m
Aku menunggu dengan gelisah. Aku sangat cemas hingga air mataku mengalir keluar. Seorang perawat datang menemui ku. "Apa mbak anaknya Bu Yanti?" tanyanya. "Iya, saya!" jawabku cepat. "Bu Yanti sudah stabil kondisinya, mbak. Dokter menyarankan agar Bu Yanti dirawat inap saja sambil melihat perkembangan kondisi kesehatannya. Kami langsung rujuk ke dokter jantung saja ya, mbak," jelas perawat itu padaku."Iy, suster! Lakukan yang terbaik saja buat ibuku," ujarku. "Kalau begitu, silakan di urus administrasinya, mbak!" "Baik, sus!" Aku bergegas ke ruang administrasi rumah sakit. ***Ibu sudah dibawa ke ruang rawat inap. Wajahnya yang tertidur terlihat begitu tenang. Aku meraih tangan ibu dan menggenggamnya kuat. Aku sangat lega karena ibu bisa melewati serangan jantungnya. Jika terjadi apa-apa pada ibu, mungkin aku bisa ikut mati bersamanya. Aku tidak pernah membayangkan akan kehilangan ibuku. Tubuhku masih gemetar ketika mengingat kejadian saat ibu tiba-tiba terkulai lemas.Drrrt..