Share

Bab 5. Bertemu Elisa

Sejak bang Arman mengizinkan aku ke tokonya, setiap hari aku ke sana bersama bang Arman. Bang Arman menjadikan aku kasir di tokonya yang ada di blok A. Aku pelajari sedikit demi sedikit pekerjaanku sebagai kasir. Aku harus mengenal produk dan harga yang dijual. Juga kode-kode harga yang hanya diketahui oleh bang Arman. Aku juga belajar, bagaimana mencatat penjualan hari ini dan juga laba kotor yang kami peroleh serta merekapnya saat akan tutup toko. Dengan cepat aku bisa menguasainya karena dulu aku pernah bekerja di toko pakaian di kota kelahiranku.

Seorang gadis berpakaian seragam SMA datang ke tokoku. Ia langsung berjalan menuju meja tempat aku duduk. Matanya terbelalak saat melihatku. Ia diam membeku.

Aku menatap heran padanya. Aku mencoba tersenyum meskipun terasa canggung dan aneh. Aku bertanya-tanya, siapa gadis ini? Kenapa dia bisa lancang memasuki area kasir tanpa sungkan sedikit pun.

Gadis itu hanya menatapku tanpa berniat membalas senyumanku. Aku menoleh pada Rindi. Rindi mengerti maksudku.

"Lis, ini kak Yuni. Dia....."

"Pegawai baru, ya?!" potong gadis itu sambil menatap sinis padaku.

Aku terperangah menatapnya. Gadis ini terlihat begitu sombong.

"Bukan!" bantah Rindi merasa tidak enak hati padaku. "Ini kak Yuni. Kak Yuni ini istri papamu," ucap Rindi memperkenalkan aku.

Aku terkejut saat Rindi mengatakan jika gadis sombong di depanku ini ternyata anak bang Arman, yang berarti anak tiriku.

Ya, Allah! Melihat sikapnya yang seperti ini, apa mungkin dia mau menerimaku sebagai ibu sambungnya?

Mata gadis itu membelalak memandangku. Ia memindai tubuhku dari atas hingga bawah. Aku merasa jengah diperlakukan seperti itu. Namun aku mencoba maklum. Gadis ini masih muda, mungkin berat baginya menerima orang baru di kehidupan ayahnya.

Untuk menutupi kekakuan di antara kami, aku berinisiatif mengulurkan tangan untuk mengajaknya salaman. Walau seharusnya dia lah yang mesti menyalamiku, karena aku adalah ibu sambungnya.

Tanganku seakan melayang di udara. Gadis itu mengacuhkannya dan menatap sinis padaku meskipun aku sudah memberinya senyuman ramah. Perlahan, aku menurunkan kembali tanganku.

"Mana papa?" Gadis itu bertanya pada Rindi dan mengabaikan aku.

Rindi menatap padaku dan padanya secara bergantian. Ia merasa tidak nyaman karena perlakuan gadis itu padaku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya agar ia tidak memikirkan aku.

"Ada di toko blok F," jawab Rindi.

"O," kata gadis itu. Ia berkeliling mengitari toko. Aku kembali ke mejaku dan mengamatinya dari jauh. Sedangkan Rindi mengabaikannya. Gadis itu mengambil sebuah kardigan berwarna toska. Ia mematut-matutnya ke cermin yang ada di sudut toko. Senyum terkembang di bibirnya.

"Cantik nggak, kak?" tanyanya pada Rindi.

Rindi melihat sekilas. "Cantik," jawabnya singkat.

Gadis itu tersenyum. "Bungkus, kak!" perintahnya pada Rindi. Rindi mengambil kardigan itu dan membungkusnya ke dalam kantong plastik khusus yang dicetak dengan nama toko.

Gadis itu kembali melihat-lihat lagi barang yang ada di toko. Cukup lama ia berkeliling, tapi ia tidak lagi menemukan barang yang sesuai dengan seleranya.

"Mana bungkusan tadi, kak? Aku pulang saja, ah! Nggak ada yang cantik lagi," ujarnya.

Rindi menyerahkan bungkusan itu padanya. Gadis itu langsung pergi tanpa mengatakan apapun. Bahkan ucapan terima kasih kepada Rindi pun tidak.

Aku tercengang melihatnya. Aku bingung bagaimana mencatat barang yang diambil gadis itu dengan gratis. Apa aku mencatatnya di bagian penjualan, ataukah tidak perlu mencatatnya? Agar nanti sore aku tidak bingung saat menghitung uang penjualan hari ini. Karena sudah tentu uang yang diterima berkurang dibandingkan barang yang laku terjual.

"Kak, nanti ditandai saja di barang yang diambil Elisa itu. Pas toko tutup, kakak kurangi penjualan dengan harga barang yang diambilnya," jelas Rindi seakan mengerti dengan kebingunganku.

Aku bernafas lega. "Terima kasih, Rin! Untung ada kamu, kalau tidak bisa bingung aku menjelaskannya pada bang Arman," ucapku.

"Tidak apa, kak. Dia itu memang biasa ke sini buat ambil barang. Apalagi kalau dia tahu ada barang baru. Sudah bisa dipastikan dia datang bersama ibunya," imbuh Rindi.

"Ibunya? berarti mantan istri bang Arman?" tanyaku ragu.

Rindi mengangguk. "Iya, kak. Ibunya nggak kalah sombong dari dia!" ucap Rindi yang kemudian segera menutup mulutnya dengan tangan. Rindi menatapku jengah, sepertinya ia merasa keceplosan berbicara tentang mantan istri bang Arman denganku.

Aku tertawa melihat Rindi yang salah tingkah. Melihatku tertawa, Rindi pun terkekeh.

"Memangnya bang Arman tidak keberatan mereka mengambil barang tanpa seizinnya?" tanyaku.

"Sebenarnya keberatan, kak. Tapi mau bagaimana lagi. Bang Arman itu lembek kalau sudah berurusan dengan anak dan mantan istrinya itu. Apalagi kalau mantan istrinya sudah menggunakan air mata buaya, bang Arman langsung terdiam dan mati kutu!" cerita Rindi.

Aku menghela nafas. Terus terang, aku sedikit takut setelah mendengar cerita Rindi tentang anak dan mantan istri bang Arman. Jika bang Arman bersikap selunak itu, tentulah ia tidak bisa membelaku bila suatu saat aku terlibat konflik dengan mereka. Aku bergidik ngeri. Mudah-mudahan, mereka mengabaikanku. Aku betul-betul tidak mau berurusan dengan mereka, harapku.

"Kalau tidak salah, bang Arman punya dua anak ya, Rin? Satunya lagi bagaimana?" tanyaku penasaran. Memang selama kami kenalan, bang Arman tidak pernah menceritakan tentang anak-anaknya. Aku bahkan tahu jika anak bang Arman dari istrinya terdahulu itu dua dari Paman Surya.

"Kalau yang satunya baik, kak. Nggak sombong kayak adik dan ibunya. Namanya Ridho, dia kuliah tahun pertama sekarang. Tapi dia jarang kesini. Palingan dia baru ke sini kalau di suruh papanya untuk membantu saat toko sangat ramai," jelas Rindi.

Aku sedikit lega mendengarnya. Setidaknya hanya ada dua orang yang mungkin akan berkonflik denganku. Namun harapan semoga mereka mau menerimaku dengan lapang dada.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status