Share

Bab 7 Aku vs mantan istri

"Dek, apa benar kamu bertengkar dengan mamanya Elisa?" tanya bang Arman saat kami dalam perjalanan pulang.

"Sebenarnya bukan bertengkar, bang. Aku hanya menuruti keinginan Abang untuk menjaga harta kita dari orang yang ingin menjarahnya," ucapku. "Apa Abang marah?" tanyaku cemas.

Bang Arman tertawa lepas. "Kenapa harus marah, dek? Yang kamu lakukan itu sudah betul. Abang yakin dia tidak akan berani datang lagi ke toko kita," ucap bang Arman masih sambil tertawa. "Abang bangga padamu, dek!"

Aku tersenyum senang. Alhamdulillah, bang Arman senang dengan tindakan aku tadi siang. Jika sudah begini, aku akan semakin percaya diri menghadapi mantan istri bang Arman.

***

"Dek, hari ini kita tidak ke toko. Kakak sepupu Abang ada acara nikahan. Anaknya yang paling besar sudah dilamar. Kita kesana pagi ini," kata bang Arman ketika kami baru selesai sarapan.

"Sekarang hari pestanya, bang?" tanyaku sambil menumpuk piring kotor.

"Bukan. Hari ini masak-masak dulu. Tidak banyak masak-masaknya, dek! Paling buat cemilan dan sayur tambahan. Untuk makanan berat, mereka pakai jasa catering di rumah makan," jelas bang Arman.

"Jadi kapan acara akadnya, bang?"

"Acara akadnya besok, sekalian resepsi."

"O, gitu. Jadi tokonya tutup, bang?" tanyaku.

"Tidak. Kan ada Rindi sama Anton. Kalau di blok F, masih ada Maya dan Haris," jelas bang Arman.

"Kalau gitu, aku siap-siap dulu ya, bang. Kita berangkat sekarang, kan?"

"Iya. Abang panaskan mobil dulu."

"Kita pakai mobil sekarang, bang?" aku bertanya takjub. Sejak kami menikah, bang Arman belum pernah sekalipun mengajakku jalan-jalan dengan mobil. Karena kesibukan kami, kami bahkan belum sempat bulan madu seperti yang dijanjikan bang Arman sebelumnya padaku.

"Iya, dek. Siapa tahu ada yang bisa kita bantu. Kalau dengan mobil lebih leluasa membantunya," jelas bang Arman.

Aku kemudian ke kamar buat berganti pakaian.

***

Kurang lebih empat puluh lima menit, kami sudah sampai di rumah kakak sepupu bang Arman. Disana sudah banyak orang yang datang. Mereka semua kerabat bang Arman dan juga tetangga sekitar.

Aku mencoba bersikap ramah dengan menebarkan senyum. Banyak diantara mereka membalas senyumanku. Aku lega, keluarga bang Arman ternyata ramah dan mau menerimaku.

"Assalamualaikum," sapaku.

"Waalaikumsalam," para ibu dan orang tua yang ada di situ membalas salamku.

"Ini istri baru Arman ya?" tanya seorang ibu berperawakan gemuk padaku. Ia tersenyum ramah padaku.

"Iya, Bu!" sahutku.

"Bagaimana Wak, istriku cantik, kan?" puji bang Arman di depan keluarganya.

Aku tersipu malu.

"Iya. Pandai si Arman cari istri. Istri yang sebelumnya juga cantik." Ibu berkerudung hijau ikut memberi komentar. Namun komentar itu membuat senyum di wajah bang Arman menghilang. Aku pun menjadi tidak nyaman.

"O, iya, Man! Mantan istri kamu ada di sini. Dia datang bersama Elisa dan Ridho," beritahu seorang ibu lainnya.

Wajah bang Arman menegang seketika. Ia memilih untuk berpamitan dari hadapan ibu-ibu itu. Para ibu diam dan saling pandang. Aku sendiri merasa mulai tidak nyaman. Belum hilang rasa tidak nyaman itu, orang yang membuatku tidak nyaman tahu-tahu sudah datang dan langsung bergabung dengan ibu-ibu. Ia bersikap sok akrab dan menyalami mereka satu persatu. Semua ditanya kabarnya. Lagaknya sudah seperti calon wakil rakyat yang sedang kampanye. Ia sengaja melewatkan ku dan justru menyalami ibu yang berdiri di sampingku.

Aku menghela nafas berat. Rasanya ingin menghilang dari situasi canggung ini.

"Wah, sudah lama tidak ketemu ya, Hani!" sapa seorang ibu pada mantan istri bang Arman. Saat itulah aku baru tahu kalau nama wanita itu Hani.

"Maklum, Bu. Belakangan ini saya memang sibuk bisnis. Usaha toko kelontong saya lumayan maju. Alhamdulillah, saya bisa mengumpulkan uang untuk membeli perhiasan ini," Hani memperlihatkan kalung dan gelang emas yang di pakainya.

Para ibu menatap kagum pada perhiasannya. Tatapan iri terpancar di wajah mereka.

"Enak ya, Ni. Justru setelah bercerai dari Arman, rezekimu mengalir deras," puji seorang ibu.

Hani tersenyum bangga. "Ah, ibu. Bisa saja!" Ia pura-pura merendah.

"Hani, kamu kenal tidak, siapa yang berdiri di sampingmu itu?" seorang ibu yang lain bertanya pada Hani.

Aku terkesiap. Mereka sedang menyinggungku sekarang. Hani menatap sinis padaku.

"Tidak tahu ya, Bu. Apa dia ini asisten rumah tangga baru punya Kak Ida? itu lho, yang dibawa dari kampung." Hani sengaja menekankan pada kata "asisten rumah tangga". Ia sengaja melakukan itu untuk mempermalukan aku.

Aku terdiam. Aku bingung, bagaimana harus menanggapi sikapnya. Aku tidak mau membuat keributan di rumah orang lain. Apalagi saudara sepupu suamiku sendiri. Aku tidak mau hal ini akan mengganggu kenyamanan keluarga yang ada di sini. Aku memutuskan untuk pura-pura tidak mendengar ucapan pedas Hani.

Aku berjalan ke dapur dan meninggalkan Hani yang sudah bersiap membicarakan kejelekanku di hadapan para ibu itu.

Aku memilih membantu para ibu yang lebih tua mengupas bawang. Mereka terlihat lebih ramah dan sederhana. Kami langsung cepat akrab dan bisa bercanda sambil mengerjakan pekerjaan dapur itu.

"Alhamdulillah, si Arman menikahi kamu, Yun. Mantan istrinya yang dulu, mana mau menginjakkan kakinya di dapur. Datang ke sini, kerjaannya kalau tidak pamer ya sibuk menjelek-jelekkan orang lain," ucap wanita tua yang ternyata adik ibu mertuaku. Ia menyuruhku memanggilnya 'etek'.

"Yun, tadi kamu bertemu dengannya di luar?" tanya etek dengan berbisik.

"Iya, tek," jawabku sambil mengaduk kacang tanah yang sedang di goreng.

"Apa dia menyinggungmu?"

Aku hanya tersenyum untuk menjawab pertanyaan etek.

"Ah, pastilah dia begitu. Sama orang yang tak dikenal saja, dia sudah seperti ulat bulu. Meresahkan umat. Apalagi sama istri mantannya. Pastilah sudah kebakaran jenggot dia sekarang. Itu salah dia sendiri. Sudah di beri hidup enak, nyaman. Eh, malah selingkuh sama anak muda." ucap etek semangat. "Betul kan, Dar?" tanya etek pada wanita sebayanya yang duduk di sampingnya.

"Iya, Nur. Kau sudah mengatakannya hingga ratusan kali. Sudah mau berasap telingaku mendengarnya," ucap perempuan tua yang dipanggil Dar oleh etek.

Etek tertawa terkikik. "Biar hafal kau nanti. Biar kau tidak salah memilih istri untuk anakmu nanti. Jangan pula kau pilih yang kayak ulat bulu. Pilih seperti menantuku ini, si Yuni!"

Mendengar pujian etek membuat aku tersipu. "Ah, etek ini senangnya memuji, ya!"

"Bukan memuji, Yun. Kenyataan ini!" tukas etek dengan wajah serius yang terlihat lucu bagiku. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status