Langkah Arga terasa semakin hampa setelah keluar dari ruang rawat Alena. Hatinya tak kunjung tenang meski wajahnya tampak datar. Di balik genggaman erat tangannya, ada kegundahan yang tak bisa ia pendam sendiri lagi.Saat menuruni tangga darurat menuju basement parkiran, pikirannya kembali pada sosok yang selama ini menjadi sahabat Amara setelah dia dikhianati sahabatnya gurunya sendiri. Arga menggeser layar ponsel, membuka kontak.Lavina – Istri VikramJemarinya ragu. Tapi akhirnya ia menekan ikon panggil.Nada sambung.Satu kali.Dua kali.Tiga.Tersambung.“Hallo?” suara Lavina terdengar dari seberang, lelah dan waspada.Arga langsung bicara sebelum keberaniannya surut.“Lavina … ini aku, Arga. Aku cuma mau tanya—kamu tahu di mana Amara?”Hening sejenak.Kemudian, suara Lavina terdengar datar, bahkan dingin. “Enggak.”“Lavina … aku tahu kamu deket sama dia. Kalau dia bilang sesuatu—apa pun—tentang ke mana dia pergi, aku mohon kasih tahu aku. Aku benar-benar panik se
Sore menurun pelan bersama rasa bersalah yang kian menyesakkan dada Arga. Di tangan kirinya, selembar kertas berisi plat nomor mobil yang terekam di CCTV rumah sakit terasa seperti satu-satunya tali pengikat harapan.Tanpa banyak pikir, ia mengetik nama yang sahabatnya yang sebenarnya hubungan mereka pun tidak sedang baik-baik saja.Zeno.Pria itu bukan hanya sahabat, tetapi juga rekan seperjuangan di CitraKredit—dan orang yang dulu selalu melindungi Amara saat Arga sibuk menyakiti.Arga : Gue butuh bantuan lo. Tolong temui gue di Kafe Kasa, yang dekat rumah sakit. Penting.Balasan muncul beberapa menit kemudian.Arga tiba lebih dulu. Kafe kecil itu masih sepi menjelang malam. Ia memilih duduk di sudut dekat jendela, memesan espresso hanya untuk menjaga tangan tetap sibuk.Waktu berlalu perlahan sampai suara langkah mendekat membuatnya mendongak.Zeno.Pria itu duduk tanpa senyum, hanya anggukan kecil sebagai bentuk pengakuan eksistensi Arga. Sorot matanya dingin, tajam, tida
Langkah Arga terasa lebih berat dari sebelumnya saat ia berjalan kembali menyusuri gang sempit.Orang-orang yang tadinya memperhatikannya mulai kembali ke rutinitas masing-masing. Namun dalam kepala Arga, tak ada yang kembali seperti semula. Segalanya kini terasa rusak—patah dalam diam.Mobilnya masih terparkir di ujung gang, mencolok di tengah deretan kendaraan roda dua dan tukang sayur yang lewat.Arga membuka pintu dengan kasar dan menjatuhkan tubuhnya ke kursi kemudi. Tangannya meraih setir, menggenggam erat seperti hendak menahan semua gempa di dadanya.Ia menarik napas dalam, sekali, dua kali, tapi rasanya tetap sesak.Lalu Arga mengeluarkan ponsel. Jemarinya bergetar saat membuka kontak dan mengetik nama yang sudah menunggu di memorinya Vikram.Nada sambung berdering lama.Satu detik.Dua.Tiga.Hingga akhirnya, suara sang kakak tiri terdengar dari seberang.“Ya?” Vikram menyahut ketus.Arga tidak langsung bicara. Tenggorokannya tercekat.“Vik … Amara pergi,” ucapn
Udara di dataran tinggi menyambut mereka dengan pelukannya yang sejuk. Driver berhenti di depan sebuah rumah kayu luas bergaya kolonial yang berdiri anggun di tengah taman bunga yang sedang mekar.Pepohonan tua mengayun pelan seolah menyambut kehadiran tamu baru.Amara turun dari mobil perlahan dibantu Bayu yang sudah lebih turun membukakan pintu.Rembulan yang dibedong hangat masih terlelap dalam dekapan sang mama.Pintu rumah terbuka.Seorang perempuan paruh baya dengan rambut sebagian memutih duduk di atas kursi roda yang didorong oleh seorang perawat. Sorot matanya tajam namun teduh. Kulitnya berkerut, meski begitu ada ketegasan yang tetap hidup di sana. “Ibu .…” Suara Amara lirih, nyaris tercekat.Sumiati tidak menjawab langsung. Matanya tertuju pada sosok kecil yang terbungkus dalam kain putih lembut di pelukan putrinya. Bayu mundur pelan, memberi ruang bagi momen yang tak bisa diulang.Amara mendekat, lalu berlutut perlahan di hadapan ibunya.“Ini Rembulan, Bu… cucu I
Pagi datang tanpa kehangatan. Cahaya matahari menyusup dari balik tirai, membentuk pola lembut di lantai kamar rawat yang masih lengang. Arga berdiri di depan cermin kecil, menyusun dasinya dengan gerakan lambat. Ada lelah yang tidak bisa disembunyikan dari sorot matanya—lelah fisik dan lelah yang bersumber dari hatinya sendiri.Di ranjang, Amara duduk bersandar dengan bantal menopang punggung. Matanya menatap kosong ke luar jendela, tak sekali pun melirik ke arah Arga. Tak ada sapaan pagi, tak ada senyum atau lirih doa hati-hati seperti dulu.“Aku ke kantor dulu,” kata Arga pelan. Suaranya terdengar seperti helaan napas yang meminta pengampunan.Tak ada respons.Arga berjalan mendekat. Ia mencium dahi Amara perlahan—ragu dan takut. Dahi yang sama yang dulu sering ia cium penuh cinta, kini terasa seperti tembok dingin.“Kalau ada apa-apa, telepon aku, ya,” lanjutnya, nyaris memohon.Tetap tak ada reaksi.Akhirnya Arga menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah keluar kamar. Pint
Malam turun dengan pelan, seperti kabut yang menyelimuti ruang rawat itu dalam keheningan. Lampu tidur menyala temaram di sudut ruangan. Udara masih terasa dingin meski suhu telah diturunkan, tapi di dalam dada Arga, ada hawa yang lebih menusuk dari AC rumah sakit—udara bersalah yang tak kunjung menguap.Rembulan, bayi mungil mereka, telah dibawa kembali ke ruang bayi.Tadi siang dokter menyatakan kondisinya sangat pesat. Tidak perlu lagi tinggal di NICU. Organ-organ tubuhnya cukup kuat untuk bertahan mengingat memang usia kandungan Amara saat dokter harus mengeluarkan Rembulan—sudah cukup tua.Tapi jiwa kecil itu belum tahu, bahwa dunia di luar inkubator sangat dingin dibanding dunia di dalamnya.Dan di ranjang itu, Amara masih belum tidur.Arga tahu. Ia bisa melihat dari cara bahu perempuan itu naik turun pelan. Matanya terbuka, meski tak menatap apa pun. Ia masih terjaga, seperti dirinya. Namun, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Amara sejak tadi sore.Arga mengg