Flashback
“Hana ikut keluar kota sama Anisa dan yang lain,” ucap Marco tiba-tiba, menghentikan kesibukan Hana di meja kerjanya. Mata Hana berbinar. Ini pertama kalinya ia mendapat kesempatan untuk ikut proyek luar kota setelah beberapa bulan bekerja. Semangatnya langsung meningkat. Sudah lama ia ingin pergi ke luar kota, apalagi untuk urusan pekerjaan. "Loh, kenapa Hana, Mas?" suara Risa menyela, nada suaranya terdengar kurang senang. "Biar Hana bisa belajar. Kamu kan sudah sering," jawab Marco santai sebelum melangkah keluar dari ruangan tim administrasi dan kreatif. Hana menangkap sekilas ekspresi tak suka di wajah Risa. Perasaan tak enak mulai muncul di benaknya. "Ini nggak apa-apa, kan, Nis?" bisik Hana pelan kepada Anisa, masih ragu. "Tenang aja, Bos sendiri yang nyuruh," jawab Anisa, menepuk punggung tangan Hana untuk meyakinkannya. "Udah, jangan dipikirin si Risa. Memang dia kayak gitu..." tambah Anisa dengan suara lebih pelan. ✨✨✨ Pagi itu, mereka semua berkumpul di studio sebelum pukul tujuh. Studio masih tutup, hanya tim yang akan berangkat yang berada di sana. Perjalanan menuju vila di puncak berjalan lancar tanpa hambatan berarti. Sesampainya di vila, mereka disambut oleh seorang pria paruh baya yang diperkirakan adalah pemiliknya. Bangunan vila dua lantai dengan desain kayu bergaya tradisional tampak begitu hangat dan nyaman. Semilir angin dingin khas pegunungan membuat Hana menarik napas dalam-dalam, menikmati kesegaran yang tak bisa ia dapatkan di kota. “Udara di sini enak banget,” gumamnya sambil tersenyum. Tanpa membuang waktu, mereka langsung bersiap untuk pengambilan foto dan video. "Anisa, Hana, bantu modelnya bersiap, ya," pinta Yudha saat semuanya sudah mulai beraktivitas. Pekerjaan kali ini melibatkan dua proyek sekaligus: promosi vila dan pemotretan untuk sebuah brand pakaian. Tak menunggu lama mereka langsung memulai pekerjaan agar cepat selesai. Hingga tidak terasa sudah waktunya makan siang. "Waktunya salat zuhur, yuk!" ajak Yudha kepada semua orang, sebelum makan siang. Sebagian besar langsung bersiap untuk salat, kecuali Hana yang sedang berhalangan. Ia memilih duduk di beranda, menikmati teh hangat yang sudah disediakan. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat Yudha yang menjadi imam salat. Hana memperhatikan sosok pria itu tanpa sadar tersenyum. Sorot matanya mencerminkan kekaguman. "Rajin salat, wajah tampan, dan pekerja keras..." gumamnya pelan. Seolah tersadar, ia segera mengalihkan pandangannya dan memutuskan berjalan-jalan di sekitar vila. Udara sejuk dan pemandangan kebun teh yang luas membuatnya semakin rileks. Ia menarik napas panjang, menikmati ketenangan yang sulit ia dapatkan di kota. Ia begitu menikmati moment tanpa menyadari seseorang mendekat dari arah dalam. "Han," suara Yudha membuatnya menoleh. "Makan siang sudah siap, ayo," ajaknya. "Oh, iya..." Hana berjalan mengikuti Yudha menuju dapur. Mereka berjalan dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. “Besok free?” tanya Yudha tiba-tiba. "Kenapa?" "Gak sih ... cuma mau ajak jalan aja," jawab Yudha, menggaruk kepalanya canggung. "Boleh aja, tapi mau ke mana?" "Lihat nanti aja," ucap Yudha singkat, tepat saat mereka sampai di dapur. Yudha menarik kursi kosong dan menyuruh Hana duduk, sebelum akhirnya duduk di sampingnya. "Ayo makan, jangan malu-malu," ujar pemilik vila dengan ramah. "Alhamdulillah, pas banget lapar," sahut Azmi dengan tawa kecil, mencairkan suasana. "Kalau mau jalan-jalan sebentar setelah ini juga boleh," tawar pemilik vila. Mata Anisa langsung berbinar mendengar tawaran itu. "Mau banget, Pak!" serunya semangat. ✨✨✨ Setelah makan siang, mereka menyusuri kebun teh yang hijau, menikmati pemandangan sekaligus mengambil beberapa foto. Sesekali, mereka meminta Pak Tarji, asisten pemilik vila, untuk mengambil foto mereka. Dengan bimbingan Yudha, Pak Tarji mulai bisa mengoperasikan kamera sederhana. Saat mereka melewati jalan yang agak menurun dan licin, Yudha tiba-tiba mengulurkan tangannya ke arah Hana. "Hati-hati, Han," katanya lembut. Hana ragu sejenak sebelum akhirnya menerima uluran tangan itu. Jemari mereka bertaut beberapa detik lebih lama dari yang seharusnya. "Jalannya udah aman, Yud," goda Azmi dari belakang. Mereka berdua langsung melepas tangan masing-masing. Hana berjalan lebih dulu, berusaha menghindari tatapan orang-orang. Anisa yang ada di sampingnya tiba-tiba menyodorkan ponsel. "Han, coba lihat deh," katanya. Di layar, terlihat story W******p Risa—sebuah foto dengan wajah seseorang yang sengaja ditutupi stiker. Tanpa caption. Namun, Hana langsung mengenali jaket yang dikenakan orang itu. Ia melirik ke belakang, ke arah Yudha yang berjalan tak jauh dari mereka. Jaketnya sama persis. "Jaket Yudha, kan?" bisik Anisa dengan nada penuh arti. Hana kembali menatap layar. Jantungnya berdebar tak nyaman. "Yud, ini kamu?" tanya Anisa langsung, memperlihatkan layar ponselnya kepada Yudha. Yudha menatap ponsel itu sesaat sebelum berkata, "Bukan. Jaket kayak gitu banyak." "Dih, bilang aja iya. Orang kita-kita sering lihat kalian jalan bareng," balas Anisa tak percaya. "Kan satu proyek. Makanya sering bareng," jelas Yudha dengan nada santai. Hana diam. Benarkah hanya sebatas rekan kerja? Jika memang tidak ada apa-apa, kenapa Risa sampai berani mengunggah story seperti itu? Pikiran Hana penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Namun, ia memutuskan menepis semuanya. Mungkin, hanya Risa yang menyukai Yudha. Atau... mungkin, ada sesuatu yang belum ia ketahui.Hana mengernyit saat mendapati Yudha berdiri di depan pintu kamarnya."Ada apa?"Yudha merogoh saku, mengeluarkan beberapa lembar uang, lalu meraih tangan Hana dan meletakkannya di sana."Ini uang yang ibu pinjam dulu. Aku baru tahu soal ini, dan aku ingin segera mengembalikannya."Hana menatap uang itu. Sempat ragu untuk menerima, tapi menolak pun terasa seperti menghina keluarga Yudha."Oh, oke." Ia hendak menarik tangannya, tapi Yudha menggenggamnya lebih erat.Tatapan mereka bertemu."Maaf...." suara Yudha terdengar lirih, penuh penyesalan.Hana hanya diam."Beri aku satu kesempatan lagi...."Hana tercekat. Entah kenapa, mendengar kata-kata itu, dadanya terasa sesak.Ia mengerjap, mencoba memahami apa yang baru saja dikatakan Yudha. "Apa maksudmu?"Yudha menatapnya dalam-dalam. "Aku menyesal, Han ... Aku menyesal memilih Risa. Seharusnya aku tidak pernah meninggalkanmu. Tidak harus mendengarkan Ibu. Aku bodoh."Jantung Hana berdegup kencang. Kata-kata itu, andai saja ia dengar dul
Ponsel Hana berdering saat ia tiba di hotel. Nomor asing, tapi foto profilnya jelas memperlihatkan wajah Risa. Hana menghela napas berat. Rasanya sudah cukup lelah berurusan dengan wanita itu, tapi ia tetap menjawab dengan enggan. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Han, aku gak jadi nitip. Aku ambil aja langsung. Kamu di mana?" Suara Risa terdengar tanpa basa-basi. Yudha, yang berdiri di samping istrinya, mengernyit heran. Ia mendengar Risa menyebut nama "Han". Apakah itu Hana? "Baru sampai hotel. Ini mau masuk." "Aku tunggu di lobi." Telepon terputus begitu saja. Tanpa sopan santun. Hana kembali menarik napas, berusaha menahan kekesalan. "Kenapa?" tanya Ali. "Risa mau ambil titipannya sendiri. Dia nunggu di lobi." Tak lama, mereka tiba di lobi hotel. Hana berjalan menuju meja resepsionis, sementara Ifa memilih langsung ke kamar. "Han!" Suara Risa terdengar lantang. Hana menoleh, dan betapa terkejutnya ia melihat siapa yang berdiri di sebelah Risa. Yudha.
Seharian ini Yudha bekerja dengan gelisah. Pikirannya terus melayang ke kota tempat Risa, Hana, dan Ali berada. Ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa mereka bertiga ada di satu tempat yang sama. Keinginan untuk menyusul semakin kuat, tetapi keuangan sedang tidak stabil. Lagi pula, mereka akan kembali bekerja pada hari Senin. Namun, semakin ia mencoba menahan diri, semakin tidak tenang rasanya. Akhirnya, muncul ide untuk meminjam uang kepada Zaki, rekan kerjanya yang sedang sibuk di depan laptop. "Zak, lo ada uang nggak? Gue mau pinjam," tanya Yudha langsung. Zaki menoleh dengan dahi berkerut. "Tumbenan lo pinjam uang. Berapa?" Yudha cepat menghitung perkiraan biaya tiket pesawat pulang-pergi, transportasi, makan, serta penginapan karena tidak mungkin tidur sekamar dengan Risa yang berbagi kamar dengan rekan kerjanya. Setelah semuanya ia perhitungkan, ia menunjukkan angka di layar ponselnya. Zaki membulatkan mata. "Segini?" "Ya. Gue transfer sekarang ya?" "Transfer aja, br
"Mbak, kenal sama cowok tadi?" suara seseorang tiba-tiba menyapa Sasa, yang masih termenung setelah kejadian tadi. Sasa menoleh. Seorang perempuan berdiri di dekatnya, wajahnya tampak penasaran. Sasa mengerutkan kening. "Maaf, kita kenal?" Perempuan itu tersenyum tipis, seolah memahami kebingungan Sasa. "Oh, saya Risa. Dulu satu tempat kerja sama cewek yang dihampiri cowok sama Mbak tadi." Mendengar itu, Sasa langsung tertarik. "Oh ya? Terus?" Risa mendekat sedikit, menurunkan suaranya. "Dia itu centil, Mbak. Suka goda laki orang. Suami saya yang udah nikah aja masih dideketin." Sasa tertegun. "Maksudnya... dia deket sama cowok tadi?" "Sepertinya, sih. Suami saya pernah lihat foto mereka bareng," ujar Risa, nada suaranya terdengar sedikit puas setelah menyampaikan informasi itu. Sasa menghela napas. Tanpa ia sadari, ia bertemu dengan seseorang yang mungkin sudah menggantikan posisinya di hati Ali—lelaki yang masih sangat ia rindukan. Penyesalan menyelip di hatinya. Dulu
"Han, sudah siap?" tanya Ifa. Mereka berencana kulineran di luar. Cuaca yang tadi mendung kini berubah lebih cerah, meskipun tidak sepenuhnya. Setidaknya cukup nyaman untuk berjalan-jalan. Tujuan mereka kali ini adalah sebuah depot legendaris yang sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu, bahkan sebelum mereka lahir. Konon, makanan di sana sangat enak, mulai dari mie hingga lumpia yang banyak digemari orang. Mereka memilih berjalan kaki. Sekitar lima belas menit kemudian, mereka tiba di lokasi. Suasana depot ramai, hampir tidak ada kursi kosong. Aroma khas makanan menyeruak, menggoda selera. Perut mereka yang sudah lapar sejak tadi pun semakin tidak sabar untuk diisi. "Mau pesan apa? Makan di sini atau dibungkus?" tanya seorang pegawai, kira-kira berusia awal dua puluhan, kepada mereka yang berdiri di dekat etalase menu. "Makan di sini. Ada tempat kosong, nggak, Mbak?" Ifa bertanya sambil celingukan mencari meja kosong. "Berapa orang? Saya cek dulu, ya." "Dua orang," sahut Ifa. Si
"Ngapain kamu di sini? Ada kerjaan sama yang lain? Sama Yudha juga? Dia nggak bilang apa-apa?" Risa membombardir Hana dengan banyak pertanyaan. Sementara itu, ia membiarkan rekannya melakukan check-in. Dengan angkuh, ia melipat kedua tangannya di dada, wajahnya penuh kesombongan. Sebelum jadi pegawai saja sudah sombong, sekarang malah makin menjadi, batinnya. "Liburan, berdua sama sepupu," jawab Hana singkat, padat, dan jelas. Baginya, tidak ada alasan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut, apalagi bertanya kabar. Lagipula, orang di depannya ini sepertinya sudah membencinya sampai ke ubun-ubun. "Enak banget, ya? Yang lain kerja, kamu malah liburan. Kamu apain Mas Marco sampai dia mau kasih izin?" sindir Risa. "Sa, kamu tahu namanya cuti tahunan, kan? Bukannya dulu kamu juga kerja di sana? Bahkan lebih lama. Harusnya kamu paham," sahut Hana. Kali ini, ia tidak mau repot-repot bersikap lembut. Sebelum Hana sempat menanggapi lebih lanjut, suara panggilan seseorang terdengar. "Sa,