"Seru, kan, Han, kerja di luar?" ucap Anisa pada Hana yang duduk di sampingnya.
Mereka sedang melihat proses pengambilan video di setiap ruangan vila. "Seru... kerja sambil healing, hehe," balas Hana, diikuti tawa kecil mereka berdua. Namun, perhatian Hana tak pernah lepas dari Yudha sedetik pun. Ia terus memperhatikan setiap gerakan pria itu—dari cara Yudha mengarahkan tim, mengatur pencahayaan, hingga menyusun tampilan ruangan agar terlihat lebih menarik. Setelah pekerjaan selesai, mereka berencana langsung pulang, mengingat sebelumnya sudah sempat berjalan-jalan. Namun, bagi Hana, perjalanan kerja kali ini lebih dari sekadar pengalaman baru. Setiap gerakan Yudha terasa menarik di matanya. Jika dalam keseharian Yudha sudah terlihat memesona, saat bekerja pesonanya justru semakin bertambah. Postur tinggi, mata teduh, alis tebal, kulit sawo matang, serta rambut yang selalu tertata rapi—semua itu membuat Hana semakin sulit mengalihkan pandangan. "Han, tolong ambilkan skrip yang di meja," pinta Yudha, menunjuk kertas yang ada di dekat Hana. Suara Yudha menyadarkan Hana dari lamunannya. Dengan sigap, ia menyerahkan skrip tersebut sambil berdoa dalam hati agar Yudha tidak menyadari kalau dirinya terus memperhatikannya. Di penghujung hari, mereka bersiap pulang. Saat Hana hendak membawa tasnya sendiri, tiba-tiba Yudha mengambilnya. "Sini, biar aku aja yang bawa," ucapnya ringan. Sekali lagi, Hana merasa diperhatikan oleh Yudha. Ia hanya bisa mengikuti langkah pria itu menuju mobil, sementara langit senja perlahan menampakkan warna keemasannya. Perjalanan pulang terasa panjang bagi Hana yang belum terbiasa bepergian ke luar kota untuk bekerja. Rasa lelah menguasainya hingga tanpa sadar ia tertidur di dalam mobil, kepalanya tersandar di sisi jendela. Melihat itu, Yudha mengambil bantalan kecil dan dengan hati-hati menyelipkannya di belakang kepala Hana agar posisinya lebih nyaman. "Cantik..." gumam Yudha dalam hati, memperhatikan wajah Hana yang tertidur. Namun, lamunannya buyar saat mobil melewati jalan berlubang, membuat mereka sedikit terguncang. Yudha langsung mengalihkan pandangannya dan mencoba tidur sejenak untuk mengalihkan pikirannya dari Hana. Setelah beberapa jam perjalanan, mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah rumah makan sederhana dekat masjid. "Bangunin Hana, Yud," pinta Anisa yang duduk di kursi depan. Yudha menoleh ke samping, melihat Hana masih terlelap. Dengan lembut, ia menepuk bahu gadis itu. "Han... bangun," suaranya terdengar pelan. Hana menggeliat kecil sebelum akhirnya membuka matanya perlahan. "Hm? Udah sampai?" tanyanya masih dengan suara mengantuk. "Belum, kita istirahat dulu. Makan sekalian salat," jelas Yudha sambil membuka pintu mobil. "Ayo, turun dulu." Hana mengangguk, lalu mengikuti langkah Yudha keluar. Namun, udara malam yang menusuk membuat tubuhnya sedikit menggigil. Ia lupa membawa jaket. Sambil menunggu yang lain salat, Hana memilih duduk di teras masjid, menyandarkan tubuhnya pada salah satu pilar. Perlahan, matanya kembali terpejam, menikmati hembusan angin malam yang dingin. Set. Tiba-tiba, sesuatu terasa menyelimuti tubuhnya. Hana membuka mata dan melihat sebuah jaket denim kini menutupi tubuhnya. Ia menoleh ke samping, menemukan Yudha tengah mengenakan sepatunya. "Udah selesai?" tanya Hana, melihat Anisa dan Azmi berjalan mendekat. "Udah. Yuk, kita makan," jawab Yudha, menunjuk ke rumah makan di samping masjid. Hana hendak melepas jaket itu, tapi Yudha buru-buru menahannya. "Pakai aja," katanya santai. "Tapi kamu gimana?" tanya Hana, sedikit khawatir karena jaket itu milik Yudha. "Aku aman. Masih ada ini," Yudha menepuk kaus putih polos yang ia kenakan di balik kemejanya. Mendengar itu, Hana akhirnya mengenakan jaket tersebut dengan nyaman. Aroma khas parfum maskulin langsung menyerbu indra penciumannya—wangi segar yang menenangkan. Dalam hati, Hana semakin mengagumi Yudha. Baginya, pria yang rapi, bersih, dan wangi adalah nilai tambah selain tampilan yang menarik. Malam semakin larut ketika mereka tiba kembali di studio. Yang lain sudah pulang lebih dulu, meninggalkan Hana dan Yudha yang masih duduk di depan studio. "Aku antar pulang, mau?" tawar Yudha. Hana menggeleng pelan. "Tunggu sebentar ya, aku masih nunggu Ibu. Tadi telepon nggak diangkat, mungkin lagi di jalan." Setengah jam berlalu, tapi ibunya belum juga tiba. Padahal, perjalanan dari rumah ke studio hanya sekitar dua puluh menit. Hana mulai gelisah, berkali-kali mengecek ponselnya. "Aku temani nunggu di sini," kata Yudha. Hana mengangguk pelan. Sunyi. Tak ada yang berbicara. Yudha sibuk dengan ponselnya, sementara Hana sibuk dengan pikirannya sendiri. Ingatannya memutar kembali momen-momen selama perjalanan tadi—bagaimana Yudha membantunya, memperhatikannya, dan kini menemaninya. Namun, lamunannya terhenti ketika Yudha tiba-tiba berbicara melalui telepon. "Ris, tolong kirimkan foto-foto yang udah diedit kemarin ke klien besok, ya." Hana sontak menoleh. 'Ris?' Itu pasti Risa. Setahunya, tugas Risa sama seperti dirinya—bagian administrasi. Urusan kirim-mengirim file atau hasil pemotretan biasanya dikerjakan oleh tim editor atau fotografer, bukan bagian administrasi. Namun, sebelum sempat memikirkan lebih jauh, suara motor yang familiar menarik perhatiannya. Hana menoleh dan melihat ibunya sudah tiba. "Yud, Ibu udah datang. Aku duluan, ya. Makasih udah nemenin," ucapnya cepat sebelum bergegas pergi. "Hati-hati," balas Yudha singkat, sebelum menyalakan motornya juga. Saat perjalanan pulang, Hana masih kepikiran. Perasaannya campur aduk. Ada rasa senang karena kebersamaannya dengan Yudha hari ini, tapi juga perasaan lain yang sedikit mengganggunya—ketika mendengar Yudha menyebut nama Risa tadi. Tanpa sadar, tangannya meremas ujung jaket yang masih ia kenakan. Jaket milik Yudha. Jaket yang sempat membuatnya merasa istimewa, tapi kini malah menimbulkan tanda tanya di benaknya.Hana mengernyit saat mendapati Yudha berdiri di depan pintu kamarnya."Ada apa?"Yudha merogoh saku, mengeluarkan beberapa lembar uang, lalu meraih tangan Hana dan meletakkannya di sana."Ini uang yang ibu pinjam dulu. Aku baru tahu soal ini, dan aku ingin segera mengembalikannya."Hana menatap uang itu. Sempat ragu untuk menerima, tapi menolak pun terasa seperti menghina keluarga Yudha."Oh, oke." Ia hendak menarik tangannya, tapi Yudha menggenggamnya lebih erat.Tatapan mereka bertemu."Maaf...." suara Yudha terdengar lirih, penuh penyesalan.Hana hanya diam."Beri aku satu kesempatan lagi...."Hana tercekat. Entah kenapa, mendengar kata-kata itu, dadanya terasa sesak.Ia mengerjap, mencoba memahami apa yang baru saja dikatakan Yudha. "Apa maksudmu?"Yudha menatapnya dalam-dalam. "Aku menyesal, Han ... Aku menyesal memilih Risa. Seharusnya aku tidak pernah meninggalkanmu. Tidak harus mendengarkan Ibu. Aku bodoh."Jantung Hana berdegup kencang. Kata-kata itu, andai saja ia dengar dul
Ponsel Hana berdering saat ia tiba di hotel. Nomor asing, tapi foto profilnya jelas memperlihatkan wajah Risa. Hana menghela napas berat. Rasanya sudah cukup lelah berurusan dengan wanita itu, tapi ia tetap menjawab dengan enggan. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Han, aku gak jadi nitip. Aku ambil aja langsung. Kamu di mana?" Suara Risa terdengar tanpa basa-basi. Yudha, yang berdiri di samping istrinya, mengernyit heran. Ia mendengar Risa menyebut nama "Han". Apakah itu Hana? "Baru sampai hotel. Ini mau masuk." "Aku tunggu di lobi." Telepon terputus begitu saja. Tanpa sopan santun. Hana kembali menarik napas, berusaha menahan kekesalan. "Kenapa?" tanya Ali. "Risa mau ambil titipannya sendiri. Dia nunggu di lobi." Tak lama, mereka tiba di lobi hotel. Hana berjalan menuju meja resepsionis, sementara Ifa memilih langsung ke kamar. "Han!" Suara Risa terdengar lantang. Hana menoleh, dan betapa terkejutnya ia melihat siapa yang berdiri di sebelah Risa. Yudha.
Seharian ini Yudha bekerja dengan gelisah. Pikirannya terus melayang ke kota tempat Risa, Hana, dan Ali berada. Ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa mereka bertiga ada di satu tempat yang sama. Keinginan untuk menyusul semakin kuat, tetapi keuangan sedang tidak stabil. Lagi pula, mereka akan kembali bekerja pada hari Senin. Namun, semakin ia mencoba menahan diri, semakin tidak tenang rasanya. Akhirnya, muncul ide untuk meminjam uang kepada Zaki, rekan kerjanya yang sedang sibuk di depan laptop. "Zak, lo ada uang nggak? Gue mau pinjam," tanya Yudha langsung. Zaki menoleh dengan dahi berkerut. "Tumbenan lo pinjam uang. Berapa?" Yudha cepat menghitung perkiraan biaya tiket pesawat pulang-pergi, transportasi, makan, serta penginapan karena tidak mungkin tidur sekamar dengan Risa yang berbagi kamar dengan rekan kerjanya. Setelah semuanya ia perhitungkan, ia menunjukkan angka di layar ponselnya. Zaki membulatkan mata. "Segini?" "Ya. Gue transfer sekarang ya?" "Transfer aja, br
"Mbak, kenal sama cowok tadi?" suara seseorang tiba-tiba menyapa Sasa, yang masih termenung setelah kejadian tadi. Sasa menoleh. Seorang perempuan berdiri di dekatnya, wajahnya tampak penasaran. Sasa mengerutkan kening. "Maaf, kita kenal?" Perempuan itu tersenyum tipis, seolah memahami kebingungan Sasa. "Oh, saya Risa. Dulu satu tempat kerja sama cewek yang dihampiri cowok sama Mbak tadi." Mendengar itu, Sasa langsung tertarik. "Oh ya? Terus?" Risa mendekat sedikit, menurunkan suaranya. "Dia itu centil, Mbak. Suka goda laki orang. Suami saya yang udah nikah aja masih dideketin." Sasa tertegun. "Maksudnya... dia deket sama cowok tadi?" "Sepertinya, sih. Suami saya pernah lihat foto mereka bareng," ujar Risa, nada suaranya terdengar sedikit puas setelah menyampaikan informasi itu. Sasa menghela napas. Tanpa ia sadari, ia bertemu dengan seseorang yang mungkin sudah menggantikan posisinya di hati Ali—lelaki yang masih sangat ia rindukan. Penyesalan menyelip di hatinya. Dulu
"Han, sudah siap?" tanya Ifa. Mereka berencana kulineran di luar. Cuaca yang tadi mendung kini berubah lebih cerah, meskipun tidak sepenuhnya. Setidaknya cukup nyaman untuk berjalan-jalan. Tujuan mereka kali ini adalah sebuah depot legendaris yang sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu, bahkan sebelum mereka lahir. Konon, makanan di sana sangat enak, mulai dari mie hingga lumpia yang banyak digemari orang. Mereka memilih berjalan kaki. Sekitar lima belas menit kemudian, mereka tiba di lokasi. Suasana depot ramai, hampir tidak ada kursi kosong. Aroma khas makanan menyeruak, menggoda selera. Perut mereka yang sudah lapar sejak tadi pun semakin tidak sabar untuk diisi. "Mau pesan apa? Makan di sini atau dibungkus?" tanya seorang pegawai, kira-kira berusia awal dua puluhan, kepada mereka yang berdiri di dekat etalase menu. "Makan di sini. Ada tempat kosong, nggak, Mbak?" Ifa bertanya sambil celingukan mencari meja kosong. "Berapa orang? Saya cek dulu, ya." "Dua orang," sahut Ifa. Si
"Ngapain kamu di sini? Ada kerjaan sama yang lain? Sama Yudha juga? Dia nggak bilang apa-apa?" Risa membombardir Hana dengan banyak pertanyaan. Sementara itu, ia membiarkan rekannya melakukan check-in. Dengan angkuh, ia melipat kedua tangannya di dada, wajahnya penuh kesombongan. Sebelum jadi pegawai saja sudah sombong, sekarang malah makin menjadi, batinnya. "Liburan, berdua sama sepupu," jawab Hana singkat, padat, dan jelas. Baginya, tidak ada alasan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut, apalagi bertanya kabar. Lagipula, orang di depannya ini sepertinya sudah membencinya sampai ke ubun-ubun. "Enak banget, ya? Yang lain kerja, kamu malah liburan. Kamu apain Mas Marco sampai dia mau kasih izin?" sindir Risa. "Sa, kamu tahu namanya cuti tahunan, kan? Bukannya dulu kamu juga kerja di sana? Bahkan lebih lama. Harusnya kamu paham," sahut Hana. Kali ini, ia tidak mau repot-repot bersikap lembut. Sebelum Hana sempat menanggapi lebih lanjut, suara panggilan seseorang terdengar. "Sa,
"Udah lama banget kita gak liburan berdua ya, Han?" ucap Ifa saat mereka dalam perjalanan menuju Kota M. Dari sana, mereka akan melanjutkan perjalanan ke Kota J dengan kereta, sesuai rencana yang sudah mereka buat jauh-jauh hari. Karena hari ini Jumat, Hana meminta izin cuti sehari. Biasanya, ia dan Ifa libur di hari Sabtu dan Minggu, kecuali ada permintaan mendadak dari kantor. Sejak mulai bekerja, Hana sudah jarang liburan, terlebih saat pandemi melanda. Bahkan ketika sedang galau sekalipun, ia lebih memilih berdiam diri di rumah. "Bener, Fa. Ali tadinya mau ikut, tapi kerjaan lagi gak bisa ditinggal," jawab Hana saat mereka sudah duduk di dalam pesawat. "Nanti aja kalian berdua," goda Ifa sambil mengangkat alisnya. Hana hanya bisa tertawa kecil mendengar candaan sepupunya itu. Mereka hanya terpaut satu tahun, dan Ifa adalah sepupu yang paling dekat dengannya. Dengan Ria, kakak Ifa, Hana juga cukup akrab, tapi tidak seerat dengan Ifa. Berbeda dengan Syifa dan Sani, anak dari Tant
Ayu… Yudha udah di kantor. Risa mengirim pesan itu kepada Ayu. Sejak tadi, Yudha tidak bisa dihubungi. Bahkan pesan terbarunya pagi ini pun tak dibalas. Hal itu semakin membuatnya kesal. Pesan terakhir yang dibalas Yudha adalah tengah malam tadi. Gila aja, seharian hampir gak bisa dihubungi, gerutunya. Ketidakhadiran Yudha di ponsel membuat Risa kurang fokus bekerja. Matanya terus tertuju pada layar ponsel, menunggu balasan. Jam di layar menunjukkan pukul 08.49—harusnya Yudha sudah tiba di kantor. Udah nih, baru aja datang. Kenapa? balas Ayu, tak lupa mengirim foto Yudha yang baru saja memasuki kantor. Risa menatap foto itu. Yudha mengenakan jaket cokelat muda—sama seperti yang ia punya. Seperti jaket couple jika mereka mengenakannya bersama. Padahal, Yudha membelinya lebih dulu, dan Risa membelinya belakangan. Bilangin sama Yudha buka chat. Ayu langsung membalas Oke dan berjalan ke arah Yudha yang baru saja duduk. “Yud, kata Risa buka pesan,” ucapnya. "Ok, thank you, Ayuu…," j
Flashback Risa mendengus pelan. "Kenapa sih harus Hana?" Kesal benar rasanya. Kenapa bos menyuruhnya bekerja sama dengan Hana? Ada Anisa dan Ayu, tapi tetap saja yang dipilih Hana. Dari awal masuk, Risa memang tidak suka dengan perempuan itu. Wajahnya memang manis, diakui atau tidak. Tidak heran jika Yudha terus melirik ke arahnya. Bukan hanya Yudha, banyak rekan kerja lain juga seperti itu. Apalagi waktu itu, Hana yang ditunjuk untuk ikut pemotretan ke Puncak. Sialan. Baru satu hari Risa tidak masuk, perempuan itu sudah mengambil peran besar. Dulu, saat Risa baru bekerja di sini, tidak ada kesempatan seperti itu. Hampir setahun ia bekerja, barulah mendapat proyek luar kota. Itu pun masih lebih banyak ditempatkan di bagian customer service. Sementara Hana? Baru beberapa bulan sudah dilibatkan dalam berbagai proyek besar. Apa karena kecantikannya si bos jadi lebih memperhatikannya? Tidak, Risa tidak bisa diam saja. "Woy, kenapa melamun?" Suara Ayu membuyarkan lamun